Anda di halaman 1dari 6

Si Miskin Bersekolah

Oleh Indah Tri Lestari

Sudah delapan bulan yahya masih saja teringat dengan ayah nya yang meninggal
karena kanker yang dideritanya, Yahya adalah anak petani buta huruf yang harus
memikirkan bagaimana cara untuk memenuhi kebutuhannya. Kini Yahya hanya
tinggal bersama dengan ibunda tercintanya. Tinggal di gubuk bambu yang sangat
minim dan harus melakukan lagi renovasi. Di desa Pagarbanyu, dan pada saat itu
belum ada listrik di desa tersebut.

Pada saat malam Yahya hanya bisa membaca buku yang ditemukan d tumpukan
tempat sampah pinggir sekolah dan hanya di sinari oleh lampu minyak yang
memberikan cahaya merah di mukanya. Sedangkan ibunya yang selalu menemani
sang anak tercinta dengan menyanding sepotong obat nyamuk bakar agar anaknya
dapat fokus dalam membacanya.

Pagi itu, Yahya ingin sekali bersekolah, tetapi dengan kondisi keuangan yang tidak
mencukupi, yahya sementara itu tidak bisa melanjutkan sekolah. Ibunya yang
sehari-hari mencari nafkah dengan bekerja di sawah milik juragan Toni. “Bu kapan
aku bisa sekolah seperti teman-teman yang lain?” kata Yahya dengan menatap
ibunya dengan penuh harapan. “Sabar ya nak, nanti kalau tabungan ibu udah cukup
buat biaya sekolah yahya . secepatnya Yahya bisa sekolah..” katanya.

Dengan melihat ibunya bekerja keras demi membantu ekonomi keluarganya , Yahya
hanya bisa membantu ibunya bekerja disawah. Semenjak ayahnya meninggal
ekonomi keluarga bu Saji tidak stabil. Sehingga membuat mereka berusaha keras
mengumpulkan uang untuk kebutuhan sehari-hari dan berharap mendapatkan rezeki
lebih agar Yahya bisa sekolah kembali.

Yahya pun tidak sekedar membantu ibunya di sawah, tetapi juga dia memilih untuk
berjualan Koran. Ketika Yahya menjajakan korannya, tidak menyangka dia bertemu
dengan temannya yang bernama Difa dia anak salah satu guru. Dengan melihat Difa
sudah memakai seragam sekolah yang rapi dan lengkap dengan membawa tas dan
tak lupa membawa bekal makan siang - Cerpen Tema Pendidikan tentang Sekolah.
Yahya merasa iri hati melihat Difa yang bisa bersekolah dan mempunyai banyak
teman.

“Yahya aku berangkat sekolah dulu ya, takut telat ada upacara bendera” kata Difa
sambil bergegas berangkat dan meninggalkan Yahya. “Ohhh.. iya Difa, hati-hati di
jalan ya..” menatap Difa dengan merasa sedih. Yahya pun bergegas pulang dan
menemui ibunya yang sedang bersiap untuk pergi bekerja, “Buu.. kenapa si hidup
kita miskin, kenapa aku engga bisa seperti teman yang lain,?? coba aja ayah belum
meniggal, pasti Yahya sekarang ini biasa sekolah bu..” kata yahya dengan penuh
amarah dan emosi kepada ibunya.

Ibunya tidak merespon perkataan Yahya yang hanya akan sia-sia bila di jelaskan
karena Yahya masih belum bisa mengikhlaskan kepergian ayahnya. Kemudian
ibunya laju pergi untuk bekerja disawah. Begitu amat kesal akhirnya Yahya pergi
dan duduuk dibawah pohon rindang.

Sani datang untuk menemui Yahya, dan mengajak Yahya untuk menjajakan Koran
di sekitar terminal. Seperti biasa dengan semangat yang luar biasa mereka benar-
benar tak merasakan lelah, meskipun terik matahari siang itu begitu terasa kulit.
Mereka masih tetap semangat dan termotivasi untuk mengumpulkan uang yang
banyak. Agar bisa melanjutkan sekolah dan mewujudkan cita-cita.

Sambil menjajakan Koran Sani bertanya kepada Yahya “Emang cita-citamu pengen
jadi apa sobat ?”. “Ada deh, mau tau aja ..” Yahya tertawa melihat wajah sani yang
amat penasaran. Sani pun masih tetap bersih keras menanyakan cita-cita Yayha.
Tetapi Yahya masih tetap tidak mau memberitahu Sani.

Setelah menjajakan Koran Yahya dan sani melanjutkan untuk mengamen. Mereka
ingin mendapatkan penghasilan lebih. Tak disangka sebuah mobil menyerempet
Yahya dari belakang, Yahya pun jatuh tersungkur.

Kemudian keluarlah Bu Indah dari mobilnya. Dan mengajak Yahya untuk pergi
kerumah sakit tetapi Yahya menolak. Dan Sani keget melihat kaki Yahya memerah
dan bengkak, Bu Indah pun langsung membawa Yahya ke rumahnya untuk diberi
obat. Sesampainya di rumah Bu Indah menyuruh pembantunya untuk merawat
Yahya yang kakinya kesleo dan bengkak itu.

Kemudian Bu Indah bertanya kepada Yahya dan Sani. “mengapa kalian berada di
jalan waktu pagi-pagi? Apakah kaliat tidak sekolah?” dengan wajah merasa bersalah
telah menyerempet Yahya. Yahya pun bilang kalau ia tedak sekolah. Sani pun
menjelaskan bahwa mereka ingin sekolah tetapi tidak punya biaya.

Kemudian anak bu Indah yang bernama andi tiba-tiba dating dari kamarnya
menghampiri Yahya, dan Andi pun tidak suka melihat kedatangan Yahya dan Sani
karena mereka orang miskin. Bu indah menasehati Andi agar tidak bersikap kasar
kepada Yahya dan Sani. Tetapi andi masih bersih keras dia tidak suka dengan
kedatangan Yahya dan Sani. Andi tidak suka mamanya menolong Yahya dan Sani.
Dan bu Indah ingin menolong mereka agar bisa sekolah kembali. Tetapi dengan
niatan Bu Indah seperti itu, Andi tidak suka membantu mereka untuk sekolah di
tempat andi bersekolah.

Luka Yahya sudah selesai di obati, Bu Indah mengantarkan pulang Yahya dan Sani.
Smpai di rumah Yahya Bu Indah minta maaf kepada ibunya Yahya. Karena tidak
sengaja menyerempet yahya . “Kedatangan saya kemari mau minta maaf, karena
sudah tidak sengaja menyerempet Yahya” kata Bu Indah.
Ayahku, Pahlawan Pendidikanku

Namaku Geri. Aku tinggal di kawasan kumuh, dekat tempat pembuangan akhir. Bau
tidak sedap yang menyengat sudah jadi makanan sehari-hari, sampai aku tidak lagi
peka terhadap bau itu. Kedua orang tuaku adalah tukang sapu jalan. Mereka selalu
berangkat subuh dan pulang sore hari. Aku adalah anak satu-satu nya. Aku tidak
punya adik atau kakak. Meskipun orang tuaku tukang sapu jalan, namun mereka
selalu menjunjung tinggi nilai pendidikan. Mereka teguh untuk menyekolahkanku.
Tidak pernah sekalipun aku tidak bayar uang sekolah. Ayah selalu menabungkan
uangnya di bekas kaleng roti untuk membayar sekolahku. Ayah dan Ibu selalu
mengajariku pentingnya ilmu dan juga disiplin. Mereka berdua tidak ingin aku
bernasib sama seperti mereka. Mereka ingin aku menjadi orang hebat dan
bermanfaat untuk orang lain. Kini aku duduk di bangku kelas 2 SMP.

Suatu hari ibu sakit. Sehingga ibu tidak bisa membantu ayah mencari nafkah. Hanya
ayah yang mendapatkan uang. Aku sudah tidak bayar uang spp selama 3 bulan
karena untuk membayar spp satu bulan saja ayah tidak punya uang. Ayah harus
membeli obat ibu juga makan sehari-hari. Aku tidak pernah membeli buku. Semua
pelajaran kucatat dalam buku tulis yang kubuat dari bekas kalender atau kertas-
kertas yang tersisa dan masih bisa digunakan dari tempat pembuangan akhir dekat
rumah. Kadang-kadang juga aku merangkum buku pelajaran teman sebangku di
waktu istirahat. Aku tidak pernah pergi ke kantin karena aku tidak punya uang untuk
jajan. Kadang kala teman sebangku ku berbaik hati membagi makanannya
denganku.

Bulan-bulan itu tampak sulit bagi keluarga kami. Ayah tampaknya sedang sedih
belakangan ini. Akhirnya, aku bertekad untuk membantu ayah mendapatkan uang.
Aku tidak bilang ayah jika aku memulung sepulang sekolah. Karena jika ayah tahu,
aku bisa dimarahi. Begitu hebatnya ayahku. Meski kami miskin, ia tidak pernah
menyuruh anakanya bekerja. Kata ayah, tugasku hanya belajar dengan sebaik-
baiknya sehingga kelak bisa sukses dan tidak miskin. Hasil memulung yang
kudapatkan aku setorkan kepada pengumpul dan aku bisa mendapatkan uang 20
ribu setiap harinya.
Ayah tidak curiga karena aku bilang kepadanya bahwa aku mengikuti pelajaran
tambahan di sekolah hingga petang. Aku selalu sampai di rumah pukul 07.00
malam. Lalu kembali belajar mengulang pelajaran. Aku juga sangat senang karena
ibuku sudah kembali sehat. Uang yang kudapat dari memulung kutabung, sehingga
akhir bulan aku bisa melunasi spp ku yang sudah tidak dibayar selama 4 bulan,
tambahan juga aku bisa membeli buku pelajaran di koperasi sekolah. Ayahku
sempat heran mengapa aku bisa melunasi spp dan membeli buku. Ia mengira ada
donatur sekolah yang berbaik hati membantuku. Kemudian aku jelaskan baik-baik
kepada ayah. Ayah sempat kesal karena aku berbohong, namun di sisi lain ia juga
bangga akan kerja kerasku. Sejak saat itu, ayah juga turut memulung bersamaku.

Selama bertahun-tahun ayahku dan aku memulung untuk kehidupan kami juga
sekolahku. Kini aku sudah menyelesaikan studi strata 1. Aku sudah menjadi sarjana.
Kini aku mendapatkan beasiswa dari salah satu universitas terkemuka di Indonesia
untuk melanjutkan studi S2 di bidang bisnis dan manajemen. Aku juga berhasil
mengikuti pertukaran pelajar dan konferensi pemuda berbasis kepemimpinan di luar
negeri. Seandainya saja ayah masih hidup. Tentu ia akan menangis haru melihat
pencapaianku. Ya, ayah meninggal tidak lama setelah aku wisuda S1. Beliau
terkena penyakit paru-paru basah. Kini aku dan ibu hanya berdua. Kami pindah dari
kawasan tempat pembuangan akhir. Aku dan ibu menyewa rumah kecil di dekat
kampus. Ibu yang suka memasak akhirnya berjualan kue di dekat kampus. Hingga
aku menempuh studi S2, aku tetap memulung di sore hari dan membuka usaha
kecil-kecilan lain bersama teman-temanku. Aku juga punya komunitas rumah yatim
piatu dimana aku dan teman-teman mengajar dan menghidupi anak-anak yatim
piatu, juga mencari donatur untuk mereka.

Hal yang selalu dipertanyakan teman-temanku mengapa aku tetap saja melakukan
aktivitas memulung meski kehidupanku sudah lebih baik dan sudah bisa buka usaha
sendiri. Alasannya adalah, memulung membuatku lebih dekat dengan orang-orang
kecil yang juga bekerja sebagai pemulung. Aku jadi sering bertemu dengan anak-
anak yang memulung. Ketika kutanya, mereka tidak sekolah karena tidak punya
biaya. Akhirnya aku mengajak mereka di rumah singgah yatim piatu yang kubangun
bersama teman-teman. Di sana tidak hanya anak yatim piatu, tetapi anak-anak yang
membutuhkan pendidikan namun tidak punya biaya juga kami tangani. Aku sudah
membuktikan bahwa hidup hidup susah bukan berarti tidak bisa sekolah. Aku ingin
menjadi penyambung pendidikan mereka, mengajarkan nilai-nilai kehidupan untuk
mereka bisa berjuang dalam hidup ini. Aku sangat bersyukur karena aku punya ayah
yang gigih pendiriannya tentang nilai pendidikan. Bagi ayah, miskin bukan
penghambat untuk tidak sekolah, justru orang miskin harus sekolah untuk
memperbaiki kehidupannya di masa mendatang. Dengan begitu, bangsa menjadi
lebih maju.

Anda mungkin juga menyukai