Anda di halaman 1dari 5

SI MISKIN BERSEKOLAH

Karya : Lutpiatuj Jakiah (8A)

Sudah depan bulan Yahya masih saja teringat dengan ayahnya yang meninggal
karena kanker yang dideritanya. Yahya adalah anak seorang petani buta huruf yang harus
memikirkan bagaimana cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Kini Yahya hanya tinggal bersama dengan ibunda tercintanya. Di desa Pagarbanyu
yang belum ada listrik masuk desa sama sekali. Tinggal di gubuk bambu yang sangat minim
dan harus melakukan lagi renovasi.

Pada saat malam Yahya hanya bisa membaca buku yang ditemukan ditumpukan
tempat sampah pinggir sekolah dan hanya disinari oleh lampu minyak yang memberikan
cahaya merah dimukanya. Sedangkan ibunya selalu menemani sang anak tercinta dengan
menyalakan sepotong obat nyamuk bakar agar Yahya dapat terus fokus dalam membaca.

Pagi itu, Yahya ingin sekali bersekolah. Tetapi dengan kondisi keuangan yang tidak
mencukupi, apa hendak dikata, Yahya sementara ini tidak bisa melanjutkan sekolah. Ibunya
yang sehari-hari mencari nafkah dengan bekerja di sawah milik juragan Toni, tak bisa
membiayai sekolah Yahya.

“Bu kapan aku bisa sekolah seperti teman-teman yang lain?” kata Yahya menatap
ibunya dengan penuh harap.

“Sabar ya nak, nanti kalau tabungan ibu sudah cukup untuk biaya sekolah Yahya,
secepatnya Yahya bisa sekolah” ibu menjawab dengan suara lebut.

Melihat ibunya bekerja keras demi memenuhi ekonomi keluarga, Yahya sangat sedih
karena dia tidak bisa banyak membantu. Yahya hanya bisa membantu ibunya bekerja di
sawah.

Semenjak ayahnya meninggal, ekonomi keluarga Bu Saji tidak stabil. Sehingga


membuat mereka berusaha keras mengumpulkan uang untuk kebutuhan sehari-hari dan
berharap rejeki lebih agar Yahya bisa sekolah Kembali. Yahya pun tidak sekedar membantu
ibunya di sawah, tetapi juga dia memilih untuk berjualan koran.

Suatu hari Ketika Yahya sedang berkeliling menawarkan koran, tidak menyangka dia
bertemu dengan temannya yang Bernama Difa, dia adalah anak salah satu gurunya di
sekolah. Yahya melihat Difa yang mengenakan seragam sekolah sangat rapi dan lengkap
dengan membawa tas dan bekal makan siang. Yahya merasa iri hati melihat Difa yang bisa
bersekolah dan mempunyai banyak teman.
“Yahya aku berangkat sekolah dulu ya, takut telat ada upacara bendera, sekarang
kan hari senin” kata Difa sambil bergegas berangkat dan meninggalkan Yahya ytang berdiri
mematung.

“ohhhh….iya Difa, hati-hati di jalan ya” menatap Difa dengan merasa sedih karena
Yahya pun ingin sekali bisa bersekolah lagi.

Yahya pun bergegas pulang dan menemui ibunya yang sedang bersiap untuk pergi
bekerja.

“Buu.. kenapa sih hidup kita miskin, kenapa aku tidak bisa seperti teman yang lain?.
Coba saja ayah belum meninggal, pasti Yahya sekarang ini bisa sekolah bu…” kata Yahya
dengan penuh amarah dan emosi kepada ibunya.

Ibunya tidak merespon perkataan Yahya yang hanya akan sia-sia bila dijelaskan
karena Yahya masih belum bisa mengikhlaskan kepergian ayahnya. Bu Saji langsung pergi ke
sawah untuk bekerja tanpa menghiraukan perkataan Yahya. Karena sangat kesal, Yahya
pergi dan duduk di bawah pohon pisang sambil menangis menyandarkan kepalanya pada
pohon pisang dan sesekali mengusap air matanya yang berlinang.

Dari kejauhan tampak Sani melambai-lambaikan tangan kearah Yahya. Sani datang
untuk menemui Yahya dan mengajaknya untuk berjualan koran di sekitar terminal. Yahya
pun segera menghampiri Sani. Mereka berangkat bersama-sama ke terminal untuk
berjualan koran sambil bercakap-cakap. Seperti biasa dengan semangat menggebu mereka
benar-benar tak merasakan lelah meskipun terik matahari siang itu begitu terasa panas di
kulit.

Yahya dan Sani masih tetap semangat dan termotivasi untuk mengumpulkan uang
yang banyak, agar bisa melanjutkan sekolah dan mewujudkan cita-cita. Sambil menjajakan
koran Sani bertanya kepada Yahya “emang cita-cita mu pengen jadi apa sobat?”.

“Ada deh, mau tau aja…” Yahya tertawa melihat wajah Sani yang amat penasaran.
Sani pun masih tetap bersikeras menanyakan cita-cita Yahya, tetapi Yahya masih tetap tidak
mau memberi tahu Sani.

Setelah menjajakan koran Yahya dan Sani melanjutkan untuk mengamen. Mereka
ingin mendapatkan penghasilan lebih. Tak disangka sebuah mobil mewah menyerempet
Yahya dari belakang, Yahya pun jatuh tersungkur.

Mobil itupun segera berhenti dan keluarlah Bu Indah dari dalam mobil tersebut. Bu
Indah terlihat sangat panik dan segera menghampiri Yahya yang masih duduk meringgis
kesakitan sambil memegang kakinya.

“ Kamu tidak apa-apa nak?” Bu Indah bertanya sambil jongkok memperhatikan


Yahya.

“Tidak apa-apa Bu, hanya luka kecil saja” Yahya menjawab


“Oh tidak…luka ini perlu diobati, ayo kita pergi ke rumah sakit saja, biar semua biaya
ibu yang tanggung” Bu Indah meyakinkan Yahya

“Tidak usah Bu, tidak usah ke rumah sakit, saya takut sama dokter” Yahya berkata
sambil meringgis.

“Tapi Yahya coba lihat kaki mu, memerah dan bengkak begitu” Sani tampak kaget
melihat kaki Yahya.

“Ya Ampuun benar sekali…, baiklah nak kalau kamu tidak mau dibawa ke dokter, kita
ke rumah ibu saja, nanti luka mu biar di obati di rumah ibu, bagaimana mau ya?” Bu Indah
merasa bersalah.

“Baiklah Bu Kalau begitu, tapi bolehkah teman saya ikut?” Yahya menjawab sambil
menunjuk kearah Sani.

“Tentu saja boleh, mari nak kita naik mobil ibu agar lukamu cepat diobati” Bu Indah
berkata sambil berdiri dan memapah Yahya untuk masuk ke mobil bersama Sani.

Sesampainya di rumah Bu Indah menyuruh pembantunya untuk merawat Yahya,


yang kakinya keseleo dan bengkak. Sambil mengobati luka Yahya, Bu Indah kemudian
bertanya kepada Yahya dan Sani “mengapa kalian berada di jalanan waktu pagi-pagi begini?,
apakah kalian tidak bersekolah?” dengan wajah merasa bersalah telah menyerempet Yahya.

“Tidak Bu, Kami tidak bersekolah” Yahya menjawab sedih.

“Benar Bu, Kami tidak sekolah. Sebenarnya kami ingin sekali bersekolah seperti anak
lain, tetapi kami tidak punya biaya. Sehingga kami berjualan koran dan mengamen untuk
menambah penghasilan” Sani menimpali dengan nada sedih.

“Oh begitu, kalian berjuang dari kecil membantu orang tua kalian, sungguh anak-
anak yang berbakti” Bu Indah berkata sambil terus mengusap-usap kaki Yahya yang
bengkak.

Tiba-tiba anak Bu Indah yang bernama Andi keluar dari kamarnya dan langsung
menghampiri Yahya dengan ekspresi tidak suka “Siapa mereka mih, kenapa anak-anak kotor
ini datang ke rumah kita?”.

“Ini Yahya dan Sani, tadi waktu mamih mau berangkat ke pasar, tidak sengaja Pa
Sopir menyerempet Yahya, coba lihat kakinya merah dan bengkak begini” Bu Indah
menjelaskan sambil menunjukan kaki Yahya.

“Tapi aku tidak suka dengan kedatangan mereka ke rumah kita, mereka kan orang
miskin, mana pantas bertamu ke rumah kita, nanti malah jadi kotor” Andi berkata dengan
nada sinis.

Mendengar perkataan Andi, Yahya dan Sani merasa sangat sedih dan malu dengan
penampilan mereka yang memang jauh dari kata bersih.
“Sudahlah Andi jangan begitu kaya atau miskin apa bedanya nak?, kita harus saling
menghargai dan saling tolong menolong. Tidak baik kamu berbicara seperti itu”. Bu Indah
menasehati Andi anaknya.

“Mamih suruh saja mereka segera pulang, Aku tidak suka dengan keberadaan
mereka disini” Andi masih bersikeras.

Bu Indah menggeleng mendengar perkataan Andi. Kemudian Bu Indah berkata


kepada Yahya dan Sani “Yahya, Sani, benarkah kalian ingin bersekolah lagi?”

Yahya dan Sani terkejut mendengar perkataan Bu Indah. Dengan spontan Yahya dan
Sani mengangukkan kepala bersamaan walaupun ragu.

“Baiklah kalau begitu, kalian akan ibu sekolahkan di sekolah yang sama dengan Andi,
biar Andi punya teman yang baru, itu pasti lebih baik” Bu Indah berkata sambil tersenyum.

“Apa?, yang benar saja, mamih mau menyekolahkan mereka?, di sekolah yang sama
dengan aku lagi, oh tidak, Andi benar-benar tidak setuju, Andi tidak mau berteman dengan
orang miskin” Andi menolak dan berkata dengan nada keras.

“Jangan begitu Andi, kita sama di mata Tuhan, kita harus saling tolong menolong, lagi
pula Yahya dan Sani adalah anak-anak baik dan bertanggung jawab, jadi menurut mamih
tidak ada salahnya kalau kita membantu mereka untuk bisa bersekolah lagi” Bu Indah
menasehati Andi yang cemberut.

Luka Yahya sudah selesai diobati, Bu Indah mengantarkan Yahya dan Sani pulang.
Sesampainya di rumah Yahya Bu Indah meminta maaf kepada Bu Saji, ibunya Yahya. Bu
Indah merasa bersalah karena tidak sengaja sudah menyerempet Yahya. “Kedatangan saya
kemari mau minta maaf, karena tidak sengaja menyerempet Yahya” kata Bu Indah.

“Tidak apa-apa bu…., saya mengerti, memang kondisi ekonomi keluarga saya kurang
mencukupi, sehingga Yahya membantu saya memenuhi kebutuhan sehari-hari, maafkan
anak saya yang kurang berhati-hati dalam berjalan sehingga menghalangi mobil ibu” Ibu Saji
berkata sambil meminta maaf.

“Oh ya bu, tadi saya sempat ngobrol dengan Yahya dan Sani, katanya mereka ingin
bersekolah lagi. Bagaimana kalau saya bantu untuk menyekolahkan mereka?, untuk biaya
ibu jangan khawatir, insyaallah saya siap untuk membantu” Bu Indah berkata dengan
sungguh-sungguh.

Mendengar perkataan Bu Indah, tentu saja Yahya dan Sani merasa sangat bahagia,
sudah terbayang dibenak mereka betapa gagahnya kalau mereka mengenakan seragam
sekolah dilengkapi dengan tas dipunggung, berangkat sekolah bersama, belajar bersama
dan tentunya mereka akan memiliki banyak teman. Pasti menyenangkan.

“Tapi bu, apakah tidak merepotkan?, biaya sekolah kan cukup besar” Bu Saji berkata
dengan ragu.
“Tidak apa-apa bu…, kita saling menolong dan berbagi, insyaallah akan lebih berkah”
Bu Indah berkata sambil tersenyum dan menyentuh bahu Bu Saji.

“Nah Yahya dan Sani bagaimana apakah kalian siap untuk bersekolah lagi?” Bu Indah
mengajukan pertanyaan kepada Yahya dan Sani sambil tersenyum.

Yahya dan Sani yang sedari tadi berdiri mematung saling memandang dan
mengangguk bersamaan.“Iya Bu Indah, kami siap untuk bersekolah lagi, terimakasih ibu
sudah peduli dan membantu kami” Yahya berkata sambil menangis bahagia.

“Iya Bu, saya juga berterimakasih atas kebaikan Bu Indah, dan telah percaya kepada
kami, insyaalah amanah ini akan kami jaga. Kami tidak akan mengecewakan Ibu. Nanti saya
juga akan segera mengabari ibu saya bahwa saya akan bersekolah lagi atas bantuan ibu”
Sani berkata sambil menangis juga.

“Alhamdulillah kalau kalian senang dan siap untuk bersekolah lagi, besok kita temui
bapa kepala sekolah tempat anak saya Andi bersekolah, kita daftarkan Yahya dan Sani untuk
bersekolah, boleh kan bu?” Bu Indah bertanya pada Bu Saji.

Bu Saji menganguk sambil berlinang air mata.”Tapi baju seragam anak saya sudah
tidak layak pakai bu, kami belum mampu membeli seragam baru, sepatu, tas, buku dan alat
tulis dalam waktu secepat itu”.

“Jangan khawatir Bu Saji, biar itu saya yang tanggung, nanti sore Yahya dan Sani
datang ke rumah ibu ya…untuk mengambil seragam dan perlengkapan sekolah, mau kan?”
Bu Indah tersenyum memandang Yahya dan sani.

“Tentu saja bu…” Yahya dan sani menjawab bersamaan.

“Baiklah kalau begitu, Saya pamit dulu ya Bu Saji. Yahya, Sani, jangan lupa nanti sore
datang ke rumah ya untuk mengambil seragam baru kalian dan perlengkapan sekolah, ibu
tunggu ya” Bu Indah berkata sambil tersenyum.

Yahya dan Sani mengangguk pasti.

“Sekali lagi saya ucapkan terima kasih Bu Indah atas kebaikan hatinya bersedia
menyekolahkan Yahya dan Sani” Bu Saji berkata sambil menangis bahagia.

“Sama-sama bu. Baiklah saya pamit pulang dulu ya bu. Sampai jumpa nanti sore ya…
Yahya dan Sani” Bu Indah berpamitan.

Pada akhirnya Yahya dan Sani bisa melanjutkan sekolah Kembali. Bu Saji bersyukur
melihat Yahya bisa bersekolah lagi.

Yahya bersekolah dengan amat rajin, sehinnga dia mampu sekolah sampai di
perguruan tinggi dengan mendapatkan beasiswa. Yahya berhasil mewujudkan cita-citanya
menjadi seorang guru.

Anda mungkin juga menyukai