Anda di halaman 1dari 5

Senja yang Hilang

Senja memang sangat memanjahkan mata. Disuguhkannya langit orange kekuningan


di balik awan yang berbaris seakan-akan hilang seiring bertambahnya waktu. Sendirian,
ditemani dengan segelas kopi sambil memandang senja di samping jendela kamar adalah hal
yang biasa dilakukan Andini setiap sorenya. Lamunannya selalu mengarah pada masa depan
yang akan di pikulnya kelak. Bahkan ia dapat menghabiskan waktu berjam-jam duduk di
samping jendela tersebut. Hingga adzan magrib berkumandan barulah ia bergegas untuk
melaksanakan perintah agamanya yaitu melaksanakan sholat magrib.

Andini, anak ke dua dari tiga bersaudara. Ia merupakan pengusaha kedai kopi yang
jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahnya. Diusianya yang masih berumur 20 tahun seperti
sekarang, ia dapat digolongkan pemuda yang sukses walaupun hanya mengenyam pendidikan
sampai tamat SMA. Ia merupakan anak yatim, ayahnya telah meninggal 2 tahun lalu. Hal
inilah yang menjadi tekadnya untuk selalu menjadi pribadi yang mandiri dan tidak ingin
menambahi beban ibunya. Andini sadar bahwa hidup adalah tempat orang yang memiliki
nyali dan tekad yang kuat untuk menjadi pemenangnya. Tidak diragukan lagi kerasnya hidup
yang dijalani andini menjadikan ia perempuan yang tangguh dan tahan banting apapun
keadaan dan lingkungannya.

“slurppp.......”

Suara andini menghirup kopinya. Lagi, termenung dan menatap senja. Batinnya
menggumam tentang apa yang dilakukannya hari ini.

“ya Allah, terimakasih atas nikmat yang kau beri kepada hambamu ini”

Ucapnya dalam hati sambil tersenyum dan meminum kembali kopi yang ada di
tangannya.

Lamunan Andini kepada senja tidak berlangsung lama. Pandangannya teralihkan


dengan anak yang mendorong gerobak barang bekas dan masih menggunakan seragam
sekolah anak SD. Bola matanya mengikuti perjalanan anak tersebut hingga tak tampak lagi di
pandanganya. Anak tersebut memang setiap hari lewat di depan rumah Andini, dengan
seragam dan gerobak yang didorongnya. Dengan muka polos dan ceria seakan tak ada beban.
Lagi, andini selalu tersenyum ketika melihat anak tersebut, seakan dunia yang ia rasakan
hanya sementara dan menjalankan hidup dengan penuh cinta adalah salah satu cara kita untuk
bersyukur kepada Allah atas semua nikmat yang diberikannya.
***

“dini........” suara ibu dari dapur membangunkan Andini dari tidurnya. Andini
langsung beranjak dari tempat tidurnya dan mengambil wudhu untuk melaksanakan sholat
subuh. Setelah bersiap-siap, seperti biasa Andini mengunjungi kedai kopinya untuk
mengontrol kegiatan jual beli yang ada di kedainya tersebut. Entah itu untuk membantu
barista membuat kopi ataupun membantu melayani pelanggan. Bagi Andini ia dan
karyawannya sama saja, tidak ada jarak antara mereka. Semuanya sama bagi Andini yaitu
mencari nafkah dengan cara bekerja.

Ada satu karyawannya, yang ia sangat kagumi dari semangat berkerja yang dilakukan
karyawan tersebut. Namanya ibu Ida, walaupun usianya tak lagi muda namun semangat dan
tenaganya sama dengan karyawan yang lebih muda darinya.

“pagi neng....”

Sapa bu Ida kepada Andini sembari tersenyum dengan senyuman yang sangat ramah.

“pagi juga bu, ibu Ida sudah sarapan ?”

Tanya Andini kepada ibu Ida sambil tersenyum ramah padanya.

“su.. su.. sudah neng”

Jawab bu ida ragu-ragu, seolah ada yang disembunyikan ibu Ida kepada Andini.

“oh baiklah bu, saya lanjut dulu ya bu”

Jawab Andini kepada bu Ida, sembari meninggalkannya.

Keadaan kedai kopi Andini selalu ramai dikunjungi kaula muda yang biasanya hanya
untuk berkumpu atau mengerjakan tugas bersama. Kedai kopi ini memang menyediakan wifi
gratis bagi pelanggannya dan diiringi lagu khas anak muda, dengan dekorasi yang kekinian
sesuai dengaan jiwa muda saat ini.

Sembari duduk di meja kasir, Andini menikmati kopi dan menatap muda-mudi yang
asik berbincang di kedai kopinya. Namun lamunan Andini dikejutkan dengan suara pecahan
gelas yang berasal dari ruang dapur kedai tersebut. Andini pun langsung bergegas menuju
dapur dan betapa terkejutnya Andini saat melihat ibu Ida yang sudah tergeletak dengan darah
yang ada di hidungnya. Ibu Ida pun langsung dilarikan ke rumah sakit dengan digotong oleh
karyawan-karyawan kedai kopi. Andini pun langsung merangkul ibu Ida menuju rumah sakit.
***

Sesampainya di rumah sakit, dokter langsug menangani ibu Ida. Andini menunggu di
kursi depan ruangan tempat ibu Ida diperiksa. Dengan wajah yang cemas dan tangan yang
gemetaran Andini tak jenuh-jenuhnya memnajatkan doa untuk ibu Ida agar dapat sehat
kembali dan menjalani kehidupan seperti biasa. Sambil menunggu, ada satu karyawan yang
membuka obrolan pada Andini

“kasihan ya bos, bu Ida”

Kata karyawan yang mencoba duduk di samping Andini

“memangnya kenapa dengan bu Ida ?”

Tanya Andini pada karyawan

“ibu ida itu tinggal hanya berdua aja dengan anaknya di sini, suaminya sudah pergi
tidak tau kemana. Terus kalo melihat kodisi rumahnya seperti gak layak disebut rumah
bos.”

Mendengar apa yang dikatakan oleh karyawannya, Andini langsung termenung.


Pikirannya melayang berkecambuk dengan keadaan yang dialami bu Ida. Ia sadar bahwa ibu
Ida benar-benar pandai menyembunyikan rasa. Selalu ceria padahal beban yang dipikulnya
amatlah berat. Naluri seorang ibu sangat besar pada diri ibu Ida. Tanpa sadar Andini
menitikkan air mata.

“krekk”

Dokter membukakan pintu dan keluar dari ruangan, beliau meminta maaf kepada
Andini dan karyawannya. Ternyata ibu Ida sudah lama mengidam penyakit kanker otak dan
sekarang nyawanya sudah tidak tertolong. Betapa terkejutnya semua karyawan dan juga
anidini. Mereka sangat merasa kehilangan dan sedih. Sosok ibu Ida yang selalu ramah dan
ceria kini telah tiada, meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Tidak ada lagi senyuman
dan sapaan yang dilontarkan ibu Ida setiap paginya. Kini yang terkenang hanya kebaikan-
kebaikan yang ibu ida lakukan dan memori tentang sifat ibu Ida yang pekerja keras.

***

Pemakaman ibu Ida berlangsung dengan khidmat. Setelah selesai, Andini


memandangi sosok anak kecil yang menangis tersedu-sedu di pusaran makam ibu Ida. Wajah
anak kecil itu sudah tidak asing lagi bagi andini. Ya, anak kecil yang selalu ia pandangi saat
senja. Anak kecil yang mendorong gerobak dengan muka yang sangat ceria. Ternyata anak
kecil tersebut merupakan anak semata wayang ibu Ida yang sekarang sudah sebatang kara.

Sontak saja Andini langsung menemui anak kecil tersebut dan langsung memeluknya.

“adik anaknya ibu Ida ?”

tanya andini pada anak kecil tersebut

“iya kak”

Jawab anak kecil tersebut

Andini langsung memeluk erat anak bu Ida dan menangis tersedu-sedu.

Andini sangat tau rasanya kehilangan orang yang sangat disayangi. Andini sangat tau
rasanya hidup tanpa orang yang selama ini ada namun kini telah tiada. Hidup kadang memang
tidak adil. Namun dari hidup kita belajar arti kekuatan. Belajar arti ketangguhan untuk
menjalani jalan cerita yang diberikan Allah kepada kita. Yang hanya dapat kita lakukan
hanyalah menjalani hidup sebagaimana mestinya dan menjauhi larangan yang sudah
ditetapkan Allah.

Karena rasa iba dan kasihan, akhirnya Andini mengangkat anak ibu Ida tersebut
menjadi adiknya dan tinggal bersama dengan keluarga Andini. Tanpa membeda-bedakan, ibu
Andini pun mencurahkan kasih sayang kepada anak ibu Ida layaknya anak kandung sendiri.
Nama Lengkap : Siti Nurhidayati

Email : sitinurhidayati395@gmail.com

Nomor HP : 081273763858

Nomor WhatsApp : 081273763858

Alamat Instagram : snurhidayati98

Anda mungkin juga menyukai