Anda di halaman 1dari 10

SATU BINTANG Oleh: Reyna Dinata

Andi duduk di atas kursi roda yang tengah didorong adiknya. Ia menghela nafas panjang dan menyandarkan tubuhnya secara penuh pada sandaran kursi roda. Sesekali orang-orang melihatnya. Ia hanya menunduk. Ia tak suka mata tiap orang yang memandangnya dengan tatapan "apa yang terjadi". Ia bosan. Sampai juga mereka di depan pintu poli ortopedi. Ia dapat melihat beberapa orang, berbagai usia dan berbagai penampilan, menunggu sambil mengobrol dengan orang di samping mereka. Ada yang dangan kaki atau tangan bergips, atau dengan armsling. Banyak dengan tongkat di samping mereka. Kursi roda Andi mengarah ke tempat biasa ia menunggu, di samping tiang di pojok kursi panjang, sementara Gilang duduk di sampingnya dengan senyum. "Kak, liat deh dokter yang itu," kata adiknya menunjuk dokter yang lewat di depan mereka," cantik ya?" Andi mengikuti langkah dokter cantik itu hingga menghilang di balik pintu UGD. Ia hanya tersenyum. Matanya kemudian menjelajah tiap sudut yang mampu dilihatnya. Bosan, ia telah melihat pemandangan ini setiap dua hari sekali sejak 5 bulan ini. Matanya kini tertuju pada kakinya yang terbungkus elastic bandage, dengan tonjolan fiksasi ekternal yang dipasang untuk menyatuan serpihan tulangnya. Ia kembali menghela nafas panjang. "Kak, aku beli minum dulu ya," kata Gilang sambil masih bermain dengan BBnya. ANdi hanya mengangguk dan mengikuti langkah adiknya hingga menghilang di tikungan. Ia menjatuhkan tubuhnya pada sandaran kursi roda dan menutup matanya. "Hei, boleh ku duduk di sni?" suara seorang gadis membangunkannya. Ia membuka mata dan memandang ke arah datangnya suara. Seorang gadis dengan tongkat dan gips pada kaki kirinya tersenyum padanya. "Oh, silahkan," jawab Andi sambil tersenyum.

Gadis tersebut duduk perlahan di kursi kemudian meletakkan tongkatnya di sisi kirinya. Tongkat gadis itu berbeda. Dengan warna hitam sebagai warna dasarnya, liuk gemulai tinta putih dan pink berjalin membentuk lukisan bunga yang indah. Sementara gips yang terdapat pada kaki kirinya tak lagi berwarna putih polos. Terdapat gambar kaki dengan otot tulang dan ligamen yang terbuka. Gila, anak ini pasti terlalu berjiwa seni, pikir Andi. "Kamu sering ke sini ya?" tanya gadis itu pada Andi setelah merapikan roknya. "Lumayan," jawab Andi tanpa menoleh gadis itu. "Aku slalu liat kamu tiap kontrol lo. Pasti deh kamu dateng sama kakakmu. Betewe, mana kakakmu?" tanya gadis itu sambil melihat sekeliling, hingga menoleh ke kolong kursi. Andi diam. Apa ini hari sialku?? "Oiya, namaku Hana. Kamu siapa?" tanya gadis itu sambil mengulurkan tangannya tanpa menunggu jawaban Andi. Senyum lebar menghiasi wajahnya. Mau tak mau Andi mengulurkan tangannya. "Andi," jawabnya singkat sambil tersenyum. "Patah tulang ya?" tanya Hana sambil menunjuk tungkai Andi. Andi mengangguk. "kenapa? Kecelakaan?" tanya Hana lagi. Andi hanya kembali mengangguk tanpa menatap Hana. "Kalau aku, aku kena kanker tulang. Sebulan yang lalu sendiku di ganti sama yang buatan. sekalian tulang di sekitarnya." kata Hana sambil menatap kosong ke arah depan sambil tersenyum. Sesekali ia menatap ke arah kakinya yang di gips. Andi menoleh pada gadis itu. "Untung juga diamputasi, jadi bisa jalan n nggak begitu sakit lagi.." lanjutnya. Ia menoleh pada Andi yang segera memandang ke arah lain. Salah tingkah.

"Nih kak," kata Gilang yang tiba-tiba muncul. Gilang tersenyum pada Hana "hai."

"Hai juga. Kakakny Andi?" tanya Hana pada Gilang. Gilang tertawa lebar. "Bukan, adiknya," jawabnya sambil nyengir. "Oh maaf.. aku Hana," kata Hana tersenyum malu sambil mengulurkan tangannya. "Andi Suryanatha," suara seorang dokter membuat ketiganya menoleh. "Duluan ya, Na," kata Gilang. Hana melambaikan tangannya dengan mata yang terus mengikuti langkah mereka masuk ke dalam poliklinik. Hana melambaikan tangannya pada mereka.

"SIapa tu kak?" tanya Gilang pada Andi. "Cute juga." "Nggak tau," jawab Andi singkat. Seorang dokter segera menyuruhnya duduk di atas kasur. Tiga orang dokter muda memasang handscoen dan siap membersihkan lukanya. Ia sudah sangat mengerti apa yang harus dilakukan dokter-dokter inii padanya. Ia memberi tanda pada adiknya untuk menyiapkan semua alat dan bahan yang digunakan untuk membersihkan lukanya. "Wah, masih basah ya lukanya?" kata seorang dokter setelah elastic bandage yang menyelimuti kakinya terbuka dan memperlihatkan fiksasi eksternal yang menonjol keluar lewat kulitnya. Diantara baja tersebut tampak nanah cairan dan darah yang masih keluar. Andi hanya tersenyum getir. "Infeksi di kakimu ini disebabin sama kuman yang udah kebal sama berbagai macam antibiotik. Tapi anehnya justru kuman ini maunya sama antibiotik jaman dulu, yang sekarang udah jarang sekali yang memproduksi, ampisilin. Tapi sebenarnya dengan daya tahan tubuh yang bagus kuman ini bakal dikalahin sama kekebalan tubuhmu. Makanya kamu makan yang bagus ya. Ini rambut juga dipotong, biar seger gitu lo mukanya," kata dokter tersebut. Andi hanya tersenyum. Ia sudah tidak punya semangat lagi untuk memotong rambut. Patah tulang dengan infeksi ini telah menggerogotinya selama lebih dari 5 bulan. TUbuhnya makin lama makin lemah. Bagaimana mau makan yang baik, bila nafsu makan pun sudah tak ada lagi. Kecelakaan 5 bulan yang lalu telah merenggut banyak hal dari hidupnya. Pekerjaan, teman, dan hobi kini sudah jauh

bahkan dari mimpinya sekalipun. Ia hanya bisa duduk di atas kursi roda, sesekali berjalan dengan tongkatnya di halamannya. Ia tersenyum getir. "Iya, dok," katanya akhirnya. Andi memandang sekeliling sementara dokter merawat lukanya. Dilihatnya Gilang sedang berbicara dengan seorang dokter di dekatnya. Adiknya tersebut memang ingin sekali kuliah di kedokteran. Biar bisa ngerawat kakak, katanya. "Oke, ini udah selesai. Makan yang bagus ya Bli, biar cepet sembuh. Dan tetep kontrol ya," kata salah satu dokter muda yang merawat lukanya sambil tersenyum. Andi membalas senyuman tersebut dan dibantu adiknya kembali ke kursi roda. Ia kemudian didorong keluar oleh Gilang.

"Andi," panggil seseorang saat Andi dan Gilang meninggalkan pintu poli. Mereka menoleh. Hana dengan tongkatnya setengah berlari mendekati Andi. "Boleh aku minta nomormu?" tanyanya. Gilang dan Andi berpandangan. Andi mengangguk dan tersenyum pada GIlang. Gilang pun menyebutkan nomor kakaknya pada Hana. "Aku misscall ya," katanya sambil membuat panggilan. "Udah masuk," kata Andi kemudian. Andi dan Gilang meninggalkan Hana yang kemudian kembali pada tempat duduknya. "Well, kayaknya kakak punya penggemar deh," kata Gilang sambil tertawa. Andi hanya tertawa kecil. "Anak aneh dia tu," kata Andi. "Aneh, tapi cute kak," canda Gilang. *** semangat pagi..

apa kabar? gimana keadaanmu hari ini? kamu ke rumah sakit nggak hari ini? Andi melihat handphonenya. Ia melihat pemberitahuan adanya sms baru. Pasti Hana. SUdah 3 bulan terakhir ini tidak ada yang mengiriminya sms atau meneleponnya. Dan sudah seminggu ini Hana mengSMSnya setiap pagi sejak 3 bulan yang lalu ia bertemu dengannya di rumah sakit. Sebenarnya ia senang ada yang mengSMSnya, tapi HAna terlalu aneh. Ia hanya orang asing yang mungkin hanya kasihan melihatnya. Andi tak suka memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk mengapa seorang gadis manis yang aneh muncul entah darimana dan seolah memperhatikannya. Boleh aku ke rumahmu? SMS terakhir ini membuatnya membeku. Ke rumahnya?? Untuk apa? Andi terdiam beberapa saat. Ia meninggalkan HPny di kamar dan melakukan berbagai aktivitas, kecuali menyentuh hapenya. Berjam-jam kemudian ia kembali pada hapenya dan memandangi pesan singkat dari Hana. Ia lalu mengetik balasan pada gadis itu. silahkan. send *** "Waaahhhh... Kamarmu luas juga ya," kata Hana kagum saat masuk ke kamar Andi. Andi hanya tersenyum. Hana langsung duduk di atas kursi di samping meja belajarnya dan membuat dirinya nyaman. Andi memanggil pembantunya untuk menyiapkan minum bagi tamu anehnya ini. Andi cukup kagum pada Hana, karena ternyata ia kemari engendarai mobilnya tanpa supir. Kakinya kini tidak digips namun bentuknya berbeda dengan kaki kanannya.

"Aku juga punya boneka ini di rumah," kata Hana sambil menunjuk boneka DOraemon besar di pojok kasur. "Oiya, apa kamu sekolah? atau kuliah?" tanya Hana lagi. "Nggak, aku nggak kuliah. DUlu aku kerja, tapi berhenti setelah kecelakaan."

Berjam-jam kemudian Andi dan Hana mengobrol panjang. Atau lebih tepatnya, Hana bercerita panjang lebar, sementara Andi akan menjawab sesekali bila perlu. Hana adalah seorang gadis 18 tahun dengan osteosarcoma. Meskipun kanker tersebut telah diambil di meja operasi, ia masih harus menjalani kemoterapi selama 9 bulan ke depan untuk mencegah metastasis ke organ lain. Ia juga mengikuti program rehabilitasi agar mampu menjalani hidupnya secara normal. Dengan efek samping kemoterapi yang membuat seolah nyawanya tinggal setengah, ia mengatakan ingin menghabiskan waktu dimana ia sehat dengan orang-orang baik disekitarnya. "AKu nggak mau ngabisin hidupku dengan berdiam diri aja di rumah tanpa ngelakuin apapun," katanya. Andi kagum juga pada gadis ini. Sementara ia sendiri telah pasrah dan menyerah pada hidupnya. "Aku kecelakaan 5 bulan yang lalu waktu konvoi dnegan teman-temanku. Aku siuman di rumah sakit dan ngerasain sakit yang amat sangat di kakiku. Operasi menyelamatkan kakiku, tapi infeksi ngebuat penyembuhannya lambat. Ini udah operasi yang kedua," kata Andi pada akhirnya, setelah berkali-kali Hana menanyakan apa yang terjadi pada dirinya. "Wow, tapi Tuhan amat baik masih meninggalkan kakimu itu ya," kata Hana dengan polosnya. Andi tertawa. "Ya, kaki yang sakit," jawabnya. "Kakiku juga. Tapi kakiku ini kaki buatan." Andi terdiam mendengar jawaban Hana. Ia masih melihat senyum pada wajah gadis kecil itu, yang mulai membuatnya tertarik. Rambut Hana sangat tipis, yang dipotong pendek dan dibuat agak acak-acakan. Alisnya hampir tak terlihat

saking tipisnya. Wajahnya pucat dengan lingkaran mata berwarna hitam sementara bibirnya tipis dan pucat. Tubuh Hana cukup kurus di balut dengan tanktop dan kemeja yang tak dikancing, sementara celana jeans sepaha memperlihatkan perbedaan yang mencolok antar kedua kakinya. Fisik gadis ini memang tidak indah atau cantik, namun ANdi mulai merasa hangat melihat kehadirannya. "Aku nggak kerja sih, aku cuma ngabisin waktu nulis dan baca buku di rumah. Sesekali kalau tubuhku kuat, saat aku sudah selesai kemo, aku jalan-jalan juga sama keluargaku. Biar nggak nyesel nggak ngabisin waktuku sama orang yang aku sayang," kata Hana. "Aku pengen novelku dicetak, siapa tau bisa terkenal hayak J.K Rowling, haha.""Kalau planningmu ke depan apa?" Andi terdiam mendengar pertanyaan itu. Ia tidak punya rencana atau impian untuk masa depannya. Berlayar dengan kapal pesiar adalah harapannya ketika tamat SMA, dan dengan keadaannya sekarang, sepertinya tidak lagi memungkinkan. Sementara hobinya membuat program web seperti hanya kandas dan hancur bersama dengan menghilangnya semangat hidupnya. "Nggak ada," jawabnya pada akhirnya. Hana mengernyitkan dahi. "Well, aku harap kamu punya semangat," kata Hana sambil tersenyum. "Besok aku pindah ke Bandung ikut orangtuaku di sana. Brarti nggak bisa ketemu kamu lagi deh." Andi merasa jantungnya seperti berhenti berdetak. Baru saja ia merasa menemukan seorang yang mampu membuatnya tersenyum, esok ia harus kehilangannya. "Jalan-jalan yuk?" ajak hana pada Andi. Andi tersenyum dan mengikuti gadis itu menuju mobilnya. *** Kota Denpasar di sore hari memang bukanlah kota yang ramah pada pengendara mobil. Macet, tentu saja membuat jalan baik kecil maupun besar sukses menambah kekesalan di wajah orangorang yang tengah kelaparan sehabis beraktivitas. SUara klakson saling menyahut diantara bisingnya suara kendaraan. Namun tampak Hana acuh tak acuh dengan keadaan itu. Ia dengan

santai menyetir mobil maticnya sambil mengikuti alunan musik dari speakernya. Suaranya yang sumbang saat menyanyikan lagu bernada tinggi membuat keduanya tertawa.

Matahari tampak mulai tenggelam di sebelah barat. Lepas dari kemacetan, mereka melewati jalan kecil dan sepi. Kanan dan kirinya terhampar sawah yang menguning. Andi sudah lama tak melihat pemandangan ini. Hana mematikan Ac dan membuka kaca mobilnya. Angin menerpa wajah Hana yang membuat rambutnya berantakan. Andi tersenyum melihatnya. Andi menghirup dalam-dalam aroma pantai yang bercampur dengan aroma sawah. Hana memarkir mobilnya dan membantu Andi keluar dari mobil. Hana pun cacat, dengan wajah seperti vampir, namun ia tampak lebih kuat dibandiingkan Andi. Hana membantunya berjalan dan membantunya duudk di atas pembatas tanah dan pasir. Tampak matahari telah tinggal setengah di ujung cakrawala, sementara langit di sekitarnya menjadi keemasan. Beberapa orang tampak sedang surfing ataupun berenang di kejauhan. Hana menarik nafas panjang. "Well, pernah terlintas di otakku, saat pertama kali kemo, untuk segera menyudahi aja hidup ini. Terlalu berat rasanya untukku yang masih muda ini untuk menanggung efek samping kemo. Aku ke tempat ini sendiri, nangis sementara hidungku saat itu berdarah. Seorang bule duduk di sampingku dan ngasi aku saputangan. Dia udah tua, dan aku tanpa pikir panjangg nerima sapu tangan itu," kata Hana memulai ceritanya. Ia memandang jauh ke balik awan. "Aku nangis sejadi-jadinya waktu itu. Yah, gimana enggak. Belum ada satu bulan aku putus dari pacarku yang ngeduain aku, dan akuu harus nerima kenyataan kalau aku kanker. Prognosis kanker ini jelek, 50% hidup dalam 5 tahun. Aku bukan orang yang kuat, aku cuma anak manja yang pintar menyusahkan orang tua. Aku cuma bagian dari ABG labil yang merasa bahwa hidupku yang paling penting, aku yang paling menderita. Tapi nenek bule itu nyadarin aku," katanya sambil menyeruput capuccino kaleng yang dibawanya di mobilnya. "Ia mengidap kanker payudara stadium 4, dan udah ngelewatin operasi untuk yang kedua karena kankernya kambuh. Dia udah ngelewatin 12 seri kemo dan harus lanjut lagi dari awal karena kambuhnya kanker itu. Tapi dia semangat hidup, meskipun nggak punya anak yang nemenin dia,

sementara suaminya udah meninggal karena stroke. Dia sendiri, Di. sementara aku punya orangtua yang selalu ngurusin aku, yang selalu kawatir sama keadaanku. Aku masih lebih beruntung dibandingin dia. Terakhir aku denger kabar kalau dia gabung di sebuah panti yang menangani orang-orag dengan kanker di negaranya sana. "Welll, aku nggak mungkin kalah dari dia kan. Aku masih muda dan kankerku masih belum bermetastase, dan kemoterapi bisa nyembuhin kanker ini. Jadi kenapa enggak. Aku putusin untuk ngejalanin kemo dan setelah kankerku bisa dioperasi, aku oprasi dan ngeganti sendi ini." Andi tertegun mendengar cerita Hana. Dirinya terlalu mudah menyerah pada keadaan yang sebenarnya tidak seburuk itu. Yang dimilikinya sekarang hanya masalah infeksi, dengan antibiotik sebagai obatnya. Namun ia menyerah dan bersikap inilah akhir dunia. Ia melupakan segalanya. "Aku punya cita-cita jadi seorang pilot. Aku ingin terbang tinggi. Tapi, yah, dengan keadaan sekarang rasanya nggak bisa. Aku sekarang pengen jadi penulis aja. Setidaknya aku bisa terbang tinggi kemanapun akuu mau dengan tulisanku ini," kata Hana. "Well, infeksi di kakiku ini ngebuat aku selalu lemah. Aku juga nggak bisa kerja lagi. Tementemenku juga udah pada mulai ngelupain aku. Aku nggak punya semangat samal sekali, Na," kata Andi, jujur pada dirinya sendiri. Bahkan untuk tersenyum bahagia pun ia sulit. Ia selalu meratapi nasibnya, bertanya apda Tuhan apa kesalahannya. "AKu cuma berharap, saat kita ketemu nanti, aku ngeliat Andi yang tersenyum karena bahagia. Bukan karena terpaksa. Aku nggak ingin ngeliat air mata tiap kamu senyum."

Mereka berdua kini memandang langit yang telah ditinggalkan oleh matahari. Bulan belum nampak, namun satu bintang mulai terlihat di atas laut. "Lihat bintang itu?" Andi mengangguk

"Kalau kamu sedih, cerita aja sama bintang itu. Dia pasti ngedengerin kamu." kata Hana. Andi tersenyum. Ia merasa hangat. Seolah bebannya mulai terangkat dan hujan yang mengguyur hatinya telah reda dan menyisakan pelangi di ujungnya. "Makasi, Na," kata Andi *** Empat tahun sudah kepergian Hana dari Bali. Andi berdiri di tempat yang sama saat mereka berbincang untuk yang terakhir di pantai ini. Ia tak lagi menggunakan tongkat, meskipun kaki kirinya kini bengkok, tak seindah kaki kanannya. Tapi kaki ini kini mampu menopang berat tubuhnya. Ia kembali ke pantai ini setiap minggu setelah keberangkatan Hana, untuk berbicara pada satu bintang yang ditunjuk Hana. Entah bagaimana kabar Hana kini. Sejak hari itu ia tak pernah lagi mendengar kabar tentang dirinya. Tadi sebelum berangkat ke pantai inii Andi menemukan paket yang tidak terbuka selama empat bulan. Pembantunya lupa memberikan paket itu padanya, dan tadi ia menemukan paket itu di bawah tumpukan barang digudang. Pembantunya itu segera meminta maaf dan ampun karena terlupa memberikannya pada Andi. Andi tidak marah, karena pembantunya memang sudah tua dan sering lupa. Dari balik kertas coklat pembungkusnya, tampak sebuak buku tipis berwarna hitam, dengan hiasan bunga berwarna pink dan putih. Satu Bintang, Puisi yang Terkenang. begitu judul buku itu. Oleh Hanaditya Iswara. Andi merasa sesuatu menerobos lambungnya, mendesak dadanya. Ia melihat sampul belakang buku itu. Hana. Andi tersenyum. Mimpi Hana kiranya telah terwujud. Sebuah catatan kecil terselip diantara halaman buku tersebut. "Aku sudah kembali" 30 meter dari tempat Andi berdiri, tampak gadis dengan rambut sedada yang memandang langit ke arah barat. Ia mengenakan gaun santai berwarna putih selutut yang memperlihatkan kaki kirinya yang tak sempurna. Gelangnya berwarna hitam berhiaskan lukisan bunga berwarna pink dan putih. Ia berjalan menuju bibir pantai dan bermain dengan ombak. Andi melihat ke arah gadis itu. Meskipun tak tahu siapa gadis itu, dadanya bergetar.

Anda mungkin juga menyukai