Anda di halaman 1dari 6

Mungkin, sehabis ini kamu akan percaya denganku



Pernah mendengar cerita Tania dan Zaidan? dua insan manusia dengan latar belakang berbeda yang
dengan sengaja dipertemukan sang pencipta melalui pertemuan yang tak terduga. Kemudian sang
pencipta dengan terpaksa memisahkan mereka akibat melakukan sebuah kesalahan fatal. Namun takdir
ada dipihak mereka. Melalui sebuah ketidaksengajaan, mereka Kembali diperesatukan. Dan berjanji
akan terus bersama, hingga maut memisahkan mereka.

Cerita ini hampir sama dengan yang dialami oleh pelanggan setia di cafe saya di Lembang. Hanya saja
mungkin dia belum seberuntung mereka. Anindya Fadhira Grizelle Namanya, dia biasanya lebih akrab
dengan sapaan Anin. Ya, walaupun sebenernya gadis itu lebih suka di panggil dengan nama Fadhira.
Lebih cantik saja menurutnya. Gadis cantik nan menggemaskan yang selalu berkunjung ke Cafe-ku
selepas pulang dari sekolah. Anindya sempat beberapa kali bercerita denganku, bahwa dirinya sempat
berada di dalam zona yang sama dengan dia. Namun takdir saja yang belum mengizinkan mereka
bersama. Bahkan mereka juga sempat beberapa kali berpapasan, namun tetap saja belum ada kata yang
terucapkan. Mungkin, Anindya hanya diizinkan untuk melihat tanpa menyentuh. Menjadi pengawas
bukan teman. Berada di pelabuahan bukan diatas kapal yang akan berlayar. Sebab, saat ini hatinya
masih terbelenggu sementara raganya hanya mampu melihat dari balik jeruji besi.



“Mbak Net, Teh Anis mana ya? Mau cerita” Tanya Anindya kepada Mbak Net, salah satu peramu saji di
cafe milik teh Anisa yang sudah akrab dengan dirinya.

“Noh di meja pojokan An” Mbak Net mengarahkan jari telunjuknya kearah seorang Wanita yang sibuk
menatap layar laptop namun. sesekali memperhatikan sekitar dan mengnyruput secangkir kopi yang
hampir dingin.

"Dari belakang kok gak mirip teh Anis ya” gumam Anindya berjalan kearah meja yang ditunjukan oleh
mbak Net dengan raut muka penuh kebingungan.

Dari kejauhan Anisa yang lebih akrab dengan panggilan teh Anis melihat seorang gadis menghampiri
salah satu peramu saji. Dia masih berseragam lengkap dengan segala atribut yang masih tertata rapi.
Padalah, jam sudah menunjukan pukul 14.00 WIB. Artinya, gadis itu sudah pulang dari sekolah.

“Sepertinya itu Anindya. Pasti dia sedang mencariku” Gumamnya. Teh anis segara melambaikan tangan
kepada gadis itu “Anin, teh Anis disini” ucapnya sedikit berteriak berharap Anin mendengar teriakannya.
Namun, bukan Anindya namanya jika memiliki telinga yang tidak bermasalah. “Astaga, ternyata
membutuhkan usaha lebih agar gadis itu mendengarkanku” Ucap teh Anis berjalan menghampiri
Anindya yang masih kebingungan.

“Hei Anin, lo rada tuli juga ternyata ya. Teh Anis udah panggilin dari tadi tetap aja ga kedengaran” Teh
Anis menepuk pundak Anindya dari belakang dan menumpahkan kekesalannya kepada gadis itu.

“Hehe.. maaf teh, gak kedengaran tadi. Disini lumayan berisik” Anindya hanya menggaruk tengkuk
belakangnya yang tidak gatal. Dia merasa tidak enak dengan teh Anis saat ini.

“Teh, mau cerita dikit boleh?”


“Kenapa lo? Masalah rumah tangga lagi? Cerita lo mah ga asik. Itu-itu mulu” Zidan ikut menyambar
percakapan mereka. Zidan merupakan adik kandung teh Anisa yang sedang mengikuti pendidikan untuk
menjadi seorang pilot di Amerika. Zidan sedang menghabiskan liburan musim panasnya disini. Ya,
sekaligus membantu menjalankan cafe milik teh Anisa. Ophelia Cafe penolong artinya, iya itu nama café
milik teh Anisa.

“Apaan si lo. Sok tau banget!” Ucap Anindya ketus. Sejak awal mereka bertemu, Anindya memang
sudah memiliki dendam tersendiri dengan Zidan. Jadi jangan heran dengan perlakuan serta
perkataannya kepada pria tampan itu.

“Boleh, kamu duduk aja dulu disana. Teteh mau ngecek stok barang dulu” Teh Anis menatap kearah
Zidan tajam, kemudian mengarahkan jari telunjuknya kearah yang berlawanan dengan yang ditunjukan
oleh mbak Net. Teh Anis mengarahkan jari telunjuknya kearah meja yang penuh dengan kertas yang
berserakan tepat disebelah tangga.

“Cantik, abang Zidan temenin ya nunggu teh Anisnya” Zidan mengedipkan sebelah matanya, dia
mencoba menggoda Anin.

“Gak usah sok asik lo!” Anindya membalasnya dengan raut muka kesal dan tatapan yang sinis ketika
berjalan melewati Zidan dan teh Anisa.

“Yaampun si eneng, cantik-cantik galak ey” Zidan menggoda Anindya kembali. Kali ini dia tertawa
melihat Anindya terlihat sangat kesal karena tingkahnya.



Anindya menekuk kedua tangannya dan meletakannya dia atas meja. Dia meletakkan wajahnya diatas
kedua tangannya sebagai tumpuan. Wajah yang ditekuk dan kusut menandakan kejenuhan menunggu
Anisa yang belum juga kembali. Sudah hampir dua jam dia menunggu Anisa kembali dari gudang. Segala
kegiatan sudah dia lakukan untuk mengusir kebosannya menunggu Anisa. Meja yang penuh kertas yang
bersebaran kini sudah bersih dan rapi. Kertas-kertas yang berserakan juga sudah disusunnya mengikuti
urutan tanggal yang tertera pada kertas.

“Teh Anis ngecek barangnya di kutub utara kali ya. Gak balik-balik dari tadi” keluh Anindya ketika
melihat jam ditangan kirinya yang telah menunjukan pukul 15.45 WIB. Akhirnya dia menyalakan
ponselnya dan menyambungkannya ke wifi yang ada di cafe tersebut. Maksud hati ingin menunggu teh
Anisa sambil menonton drama korea.

“Eh, anjir ini kok gak bisa” Muka Anindya bertambah kusut dua kali lipat ketika melihat layar ponselnya.
“Ini kok diminta menulis sandi ulang si? Biasanya ga gini” Timpalnya dengan raut wajah yang bertambah
kesal.

“Wifi-nya ga tersambung? Ya jelas, orang password wifi-nya baru gue ganti” Zidan Kembali muncul dari
belakang Anindya membawa nampan berisikan dua gelas lemon tea dan satu piring kentang goreng
milik pelanggan di cafe tersebut.

“Lo ada masalah apa si? Mati kali lo ya kalau liat gue senang”

“Kalau iya Emang kenapa? masalah?” Zidan Kembali berulah. Kali ini lebih parah lagi. Dia berjalan
mendekati meja Anindya kemudian tersenyum. Senyum yang manis nan menjijikan.
“jadi, sekarang password wifi-nya apa?” Anindya masih mencoba menahan amarahnya kepada manusia
titsan iblis dihadapannya.

“Lo mau gue kasi tau? Cium dulu. Eh, atau peluk juga gak papa deh” Zidan mendekati Anindya,
meletakan nampan berisikan makanan diatas meja. Kemudian, Zidan mulai merentangkan kedua
tangannya. Dia benar-benar siap untuk dipeluk oleh gadis cantik didepannya. Tidak hanya itu, beberapa
dekit kemudia Zidan mencondongkan sedikit badannya lalu memajukan bibirnya dan memejamkan
matanya membayangkan benda kenyal milik Anindya menyentuh bibirnya.

“IH, NAJIS! NGELUNJAK LO YA!” Anindya melayangkan tangannya secara spontan tetap di salah satu pipi
mulus milik Zidan. Benar, Anindya baru saja menamparnya. Sepertinya gadis cantik itu sudah mua
dengan pria dihadapannya ini.

“Sakit gila! Lo kok kdrt sama gue sih? Nih lihat, pipi mulus gue ternodai. Maaf ya pipi dan bibirku sayang.
Hari ini kamu belum bisa dapatin kissing dari neng geulis. Tapi, papa berjanji tidak akan menyerah” Zidan
memegangi pipinya yang memerah akibat ulah Anindya. Dan melanjutkan drama yang mungkin telah
direncanakan untuk menarik perhatian Anindya. “Asli, ini sakit beneran lo. Aduh” Timpalnya, mengemis
perhatian dari Anindya.

“Lo kira gue peduli?” Anindya memutar badannya dan menatap lurus kedua mata Zidan dengan muka
datar, kemudian kembali menatap layar ponselnya. Dia sangat muak dengan tingkah Zidan hari ini.

“ZIDAN PESANAN UNTUK MEJA NOMOR 29 MANA? DARI TADI KOK BELUM ADA INI? NANTI KEBURU
PELANGANNYA KABUR ZIDAN!” Teriak mbak Net kesal

“Eh, iya lupa gue. Pamit dulu ya cantik mwah. BENTAR MBAK NET, LAGI OTW NIH!” Ucap Zidan sambil
menepuk jidatnya, kemudian segera mengangkat nampan berisi makanan dan minuman tadi dan
berjalan kearah meja nomor 29 secepat mungkin.

Hari itu, Ophelia Cafe memang sedang dipenuhi oleh pengunjung. Jadi, walaupun Zidan adik dari si
pemilik café dia harus rela terjun langsung demi melayani pelanggan yang datang.

“Hahaha… syukurin emang enak dimarahin. Marahin terus mbak Net” Anindya yang melihat kejadian
tersebut tersenyum penuh kemenangan. Dia sangat bahagia melihat Zidan berjalan kepayahan
membawa nampan tersebut. Ditambah lagi cara dia berjalan yang megal-megol. Lucu sekali fikirnya.

“Perasaan ini cafe punya kakak gue deh. Kok semau pada marahin gue mulu si?”



Langit perlahan menguning akibat matahari mulai bersembunyi dibalik awan. Untuk warna langit disore
hari, hari ini agak berwarna kelabu. Sepertinya nanti malam akan turun hujan. Anindya menggendong
tasnya dan melangkahkan kaki kearah pintu keluar. Dia berniat pulang. Dirinya tidak ingin membuat
teman sekamarnya khawatir karena pulang terlambat. Bisma namanya. Jangan berfikiran yang tidak-
tidak, Bisma merupakan seorang perempuan yang memiliki nama lengkap Bidari Salsabila Kharisma.
Namun, karena nama tersebut terlalu panjang serta bertolak belakang dengan sifatnya yang tomboy.
Akhirnya, Anindya menyingkat nama panjang tersebut menjadi Bisma. Nama yang lebih baik, lebih keren
dan cocok dengan kepribadian teman sekamarnya.
Sebenarnya, Anindya belum sempat berbicara dengan teh Anisa sampai detik ini. Namun dia juga harus
mengerti, hari ini cafe lumayan ramai dari biasanya. Ditambah lagi hari ini sudah mendekati akhir bulan.
Ya, wajar saja bila teh Anisa sangat sibuk mengecek segala persediaan di cafe-nya. Mungkin, Anindya
akan kembali lusa untuk menemui teh Anisa dan menceritakan masalah yang sedang dihadapinya.

“Lo mau balik Far?” tanya seseorang dari arah belakang. Tanpa menoleh, Anindya bisa tahu kalau yang
memangginya adalah Zidan Xavier Shaquille. Adik dari teh Anisa yang super nyebelin. Karena selain
keluarganya, hanya Zidan lah yang memanggilnya dengan sebutan Fara. Katanya sih, panggilan Fara
terdengar lebih cantik untuk gadis yang cantik seperti dirinya. Dan Anindya setuju akan hal itu.

“Kenapa? Masalah?” Anindya berhenti tepat didepan pintu kemudian berbalik ke belakang dan berjalan
menuju ke arah Zidan.

“Buset, jutek amat si neng. Jadi perawan tua ntar lo” Ucap Zidan. Sebenarnya Zidan sedang tidak ingin
mencari masalah dengan Anindya. Dia hanya bertanya apakah Anindya akan pulang ke kosannya?
Namun, mengapa Anindya selalu sensi setiap berada di dekatnya? Apakah bagi seorang Anindya Farisa
Zidan merupakan sebuah virus berbahaya? Sepertinya tidak. Dia merupakan seseorang yang tampan.

“Haha..lucu?” Balas Anindya menatap Zidan datar.

Kalau ingin tahu, itulah yang terjadi setiap Anindya dan Zidan bertemu. Keduanya sama seperti kartun
Tom and Jerry. Tidak pernah akur. Selalu ada saja yang diributkan. Bahkan candaan sekali pun bisa
berubah menjadi perdebatan bagi mereka. Ya, seperti sekarang ini contohnya.

“Gue serius, emang teh Anis udah balik? Udah curhat dong mah juga dong?”

“Kek cewe lu, Kepo banget”

“Dih, sewot mulu lo ya, ada yang mau gue tanyain ke teteh. Sekarang teh Anisnya mana?”

“Belum balik”

“Lah terus kenapa lo balik?” Tanya Zidan heran dengan perlakuan gadis cantik di depannya ini.

“Kenapa? Lo bakal kangen sama gue? Gak bisa hidup tanpa gue?” Itulah perkataan yang di ucapkan oleh
Anindya. Mungkin, Anindya tidak sadar mengatakan tersebut. Namun, ada pria yang sangat gemas
dengan tingkahnya saat ini. Dia sangat ingin bila gadis itu ia masukan kedalam karung detik ini juga.

“Dih, alay lo”

“Lo gak liat? Udah sore. Mau hujan juga, ya balik la gue” Anindya menarahkan jari telunjuknya ke jam
dinding yang terpajang di tengah cafe. Pukul 17.49, itu artinya, dia berkata jujur. Sebernarnya, bisa saja
Anindya menunggu teh Anisa jauh lebih lama dari itu, namun sepertinya semesta sedang tidak ingin
bersahabat dengannya. Dia juga tidak ingin membuat Bisma mencemaskan dirinya jika pulang terlalu
sore.

“Lah iya juga ya. Gue anterin aja yuk”

“Dih, ogah! Ntar yang ada lo mesumin gue lagi”


“Difilter kalau ngomong. Gue yang tampan tiada tara ini merupakan cowok baik-baik sekaligus calon
imam yang baik buat lo” Tunggu, tadi Zidan bilang apa? Calon imam yang baik? Astaga Zidan! Dia benar-
benar lepas kontrol saat mengatakan itu. Dia hanya bisa berharap bahwa Anindya tidak menyadari
perkataannya tadi.

“Gue bukan anak kecil kali Zid, jadi gue bisa pulang sendiri. Rumah gue juga gak terlalu jauh dari sini.
Paling jalan sekitar 20 menit juga sampai” Anindya coba menjelaskan pada Zidan. Bukan tanpa alasan,
dia hanya tidak suka merepotkan orang lain. Selagi dia bisa mengerjakannya sendiri, pasti Anindya akan
mengerjakannya sendiri.

“Yaudah paling lo ntar kehujanan ditengah jalan. Tuhan, turunkan hujan yang deras. Biar, teman hamba
satu ini tahu betapa sakitnya hati ini ditolak ketika hambamu yang tampan ini berniat baik ingin
mengantarnya pulang dengan selamat. Tolong kabulkan do’a hamba Tuhan. Amiin” Zidan mengadahkan
tangannya sambil menutup mata. Kelihatannya dia sangat khusyuk dalam doanya kali ini. Namun, apa
mungkin dia tega membiarkan wanita secantik Anindya di guyur oleh hujan?

“Bodo ah, dah gue balik. Salam buat teh Anis ya. Bilangin lusa gue kesini lagi” Bukan Anindya Namanya
bila percaya dengan apapun yang dilakukan oleh Zidan. Bahkan, Anindya juga tidak pernah percaya oleh
ucapan pria itu. Lagian, tidak mungkin juga Tuhan akan mengabulkan doa yang buruk dari hambanya.

“Bener gak mau gue antar ya? Bentar lagi pasti bakal hujan ini” Ucap Zidan mencoba meyakinkan
Anindya.

“Sok tau lo. Emang lo tuhan bisa nentuin kapan turun hujan?” Namun tetap saja, Anindya adalah Anidya.
Dia tidak akan pernah mempercayai apapun yang dikatakan Zidan.

“Dih, gak percaya. Kan tadi udah gue doain. Gini-gini ucapan gue ini didengerin tuhan tau. Kan gue anak
yang yatim. Lo lupa? Kata guru gue kalau do’a anak yatim lebih cepat dikabulkan tau”

“Masa? Gak percaya tuh”

“Lo gak percaya kalau gue anak yatim?” Ucap Zidan dengan raut wajah lugu. Ternyata otak cowok itu
masih bermasalah. Sedikit demi sedikit kebodohan pria tampan itu mulai terlihat jelas. Bagaimana bisa
dia berkata demikian dihadapan Anindya? Teh Anisa pasti sudah menceritakan keluarganya dengan
Anindya. Tahu sendiri, Anindya sudah dianggap seperti adik kandungnya sendiri oleh sang pemilik
Ophelia Cafe. Itu artinya, sudah pasti gadis itu mengetahui bahwa dirinya sudah tidak memiliki ayah.
Astaga! Tolong bantu Zidan menghilang detik ini juga.

“Oke! Terserah sama lo! Lo yang gak mau gue antar. Kalau lo nanti kehujanan bukan salah gue lagi. Sana
lo balik, bye gue mau tidur” Ucap Zidan dengan suara meninggi. Tidak, pria tampan itu tidak marah
dengan Anindya. Dia hanya mencoba menutup rasa malunya dihadapan gadis itu. Pria tampan itu juga
telah menyerah dengan Anindya yang keras kepala. Dia menatap Anindya perasaan malu, kesal serta
perasaan kecewa yang begitu dalam. Dia meninggalkan gadis itu tanpa memberi kesempatan lawan
bicaranya untuk berbicara.

“Cowok aneh. Gue salah apa coba?” Gumam Anindya menatap pria tampan tersebut perlahan menjauhi
dirinya. Ah, mungkin Zidan terlalu lelah mengurusi cafe yang padat akan pengunjung hari ini.


Anindya segera melangkahkan kakinya keluar dari cafe tersebut. Dia mencoba berjalan secepat yang dia
bisa. Langit kini kian menghitam, tak terlihat lagi cahaya matahari saat ini. Dilaur, angin juga mulai
berhembus kencang. Mungkin, tuhan akan segera mengabulkan doa Zidan tadi. Dia mencoba berlari
sekuat tenaga agar hujan tidak membasahi dirinya. Namun, semesta kini berada dipihak Zidan, dia
ternyata benar-benar memiliki ucapan mujarab. Tahu ini akan terjadi, mungkin Anindya dengan berat
hati menerima tumpangan dari Zidan tadi.

Benar saja ketika dia sampai diperempatan jalan menuju kosannya, dalam hitungan detik hujan
mengguyurnya dengan amat deras. Alhasil, dia tiba dikosannya dengan keadaan basah kuyup. Mungkin
dia bakal terkena flu atau mungkin demam esok hari.

“Harusnya, tadi gue paksa lo pulang bareng gue” Ucap seorang pria ketika melihat tetsan air mulai
membasahi jendela cafenya. Dia benar-benar mencemaskan gadis itu sekarang.



Terima kasih telah berkunjung disini ya <3

Hope you like it!

Maaf ya, aku jarang update. Soalnya aku lagi persiapan untuk ujian.

Mohon doanya ya semua 😊

Anda mungkin juga menyukai