Anda di halaman 1dari 7

Mobil mustang berwarna pekat itu dikemudikan dengan kecepatan 60 km/jam.

Tergolong pelan

memang, tapi itu adalh taktik agar keduanya dapat lebih lama didalam mobil itu. Kini mobil

berwarna pekat itu sudah berada ditengah-tengah keramaian jalan tol yang nama jalan tersebut

tidak mampu diingat oleh Anindya dengan baik. Beruntunglah, tiadak ada insiden apapun yang

terjadi hari ini. Mobil-mobil yang berlalu laalang melintas tanpa hambatan. Langit juga

sepertinya bahagia, dia berwarna cerah pagi itu. Semoga saja ini akan menjadi pertanda yang

baik.

“Zidan, kita mau kemana sih? Kenapa perginya sepagi ini” Anindya memberanikan diri bertanya

kepada Zidan yang masih fokos mengemudikan mobilnya.

“Beli bahan makanan buat ngisi kulkas lo”

“Buat apa? Kulkas gue udah adah isinya kok”

“Apa isinya, angin? Telur sama beras aja di kosan lu gak ada”

“Iya, tapi gak usah. Ntar gue beli sendiri aja” Ucap Anindya penuh penekanan. Bukan tidak

menghargai niat baik yang ditawarkan Zidan, Anindya hanya tidak ingin merepotakn pria itu

semakin jauh.

“Lo, setiap hari makan mie instan?”

“Ha, enggak kok”

“Lo gak jago bohong”

“Gue gak bisa masak, Zid. Jadi, mau gak mau gue makan itu aja”

“Pantes gak ada yang mau sama lo. Orang lo-nya aja gak sayang sama tubuh lo sendiri”

Anindya terdiam mendengar perkataan Zidan yang memang benar terjadi dalam kehidupannya.

Anindya memang sering menyakiti tubuhnya sendiri. Dia sering ttelat makan, jarang olahraga,

Selalu bangun siang dan selalu mengkonsumsi junk food.


Suasana didalam mobil mewah itu kini mendadak hening. Bahkan, Anindya tidak lagi melihat

kearah depan. Gadis itu lebih nyaman melihat kearah kiri. Dia sangat malu dengan pria itu saat

ini. Anindya berfikir, kini harga dirinya didepan pria itu jatuh sejatuh-jatuhnya.

“Kenapa? Muka lo kok murung?” tanya Zidan yang melihat pergantian ekspesi gadis itu dengan

cepat. Padahal, sebelum pergi raut wajah gadis itu terpancar jelas sebuah kebahagiaan. Namun

saat ini, kebahagian itu perlahan kian memudar.

“Ah, enggak. Perasaan lo aja kali” ucap Anindya berusaha menyeka air matanya yang hampir

jatuh.

“Lo tersinggung sama ucapan gue tadi?” Fiks, Zidan benar-benar memiliki indera keenam.

Nujum yang disampaikan oleh pria itu selalu tepat menebak apa yang sedang dia rasakan.

Seolah-olah pria itu seperti memiliki kontak batin yang tinggi dengan gadis itu. Jadi, jika

berhubungan dengan Anindya, Zidan pasti dapat menjawabnya dengan benar.

“Enggak” Anindya mencoba membohongi pria itu. Tapi, dia lupa mengajak air matanya untuk

bersekongkol. Dengan perlahan, tetesan air mat aitu mulai membasahi pipi gadis itu.

Reaksi Zidan bagaimana? Tentu saja pria itu panik melihat tetesan air mat aitu semakin deras.

Lagi-lagi, rasa bersalah Kembali menghampiri pria itu. Harusnya dia tidak berbicara demikian

kepada peri kecil yang memiliki hati nan lembut itu.

“Far, jangan nangis dong, gue minta maaf ya”

“Gue gak bermaksud ngomong gitu sama lo. Gue hanya gak mau umur lo pendek aja” timpal

pria itu tanpa melirik sedikitpun kea rah kiri.

Maka dengan kejadian tadi, bisa dipastikan otak yang ada didalam kepala Zidan kini benar-benar

bermasalah. Bisa-bisanya dia menghibur seseorang yang bersedih dengan berbicara seperti itu.
Seharusnya pria itu mendapat predikat lelaki seribu satu. Langka sekali pria berfikiran gila

seperti ini.

Lantas, Anindya yang mendengar perkataan pria itu menahan agar tidak tertawa. Lihat saja muka

pria itu yang menjadi pucat seperti saat ulangan dadakan pada mata pelajaran matematika.

Anindya menoleh kesebelah kiri, sebelum berkata “Makasih ya Zid” dan Kembali tersenyum

manis kearah pria itu. Senyuman yang membuat konsentrasi berkendaranya tergangu. Kini,

keduanya benar-benar merasakan kebahagian didalam mobil itu.

Mobil yang dikemudikan Zidan terus berjalan keluar menuju pintu tol. Padatnya jalan raya

membuat pria tampan itu sedikit kesal. Akihirrnya, mau tidak mau pria itu memutar lagu klasik

dengan volume yang lumayan keras agar dapat meredam suara klakson yang sering bersautan.

Sulit untuk dipahami, ternyata Anindya memiliki beberapa kesamaan pada pria tampan itu.

Apakah ini petanda bahwa mereka berjodoh? Itu hanya tuhan yang tahu. Yang jelas, Anindya

tampak begitu menikmati alunan music itu hingga memejamkan matanya.

“Suka music ini juga”

“Mama sering muterin lagu ini pas gue masih kecil. Jadi, sekarang kalau lagi rindu mama sering

puter lagu ini” ucap Anindya tidak henti-hentinya tersenyum. “Kalau Zidan kenapa bisa suka

lagu ini?”

“Sama kaya lo” jawabnya singkat, padat dan jelas. Apakah ini sebuah kebetulan atau pertanda

dari Tuhan? Apapun itu yang jelas pria tampan tersebut selalu berdoa agar peri kecilnya selalu

Bahagia. Ada atau tanpa kehadiran sosoknya.


Mobil mustang itu kini berhenti di sebuah angkiringan yang menjual berbagai menu sarapan.

“Angkringan Mbak Maya” itulah nama tempat makan yang mereka singgahi saat ini.

Angkringan yang kerap menjadi saksi bisu masa kecil Zidan dan kakaknya terrekam jelas disini.

Seperti sebuah flim, kini memory ingatan yang dimilikinya Kembali memutar kisah-kisah manis

yang selalu dialaminya sehabis mendapatkan predikat the best student setiap pembagian raport.

Hanya saja, kini Zidan bersama Wanita lain saja. Wanita yang dengan perlahan mampu mengisi

kekosongan hatinya.

“Yuk, turun” Ajak Zidan kepada Anindya yang hanya mampu mengangguk kecil seraya

mengiyakan ajakannya. Gadis itu tidak berani bertanya perihal apapun dengan pria itu. Yang

jelas, dia percaya Zidan tidak akan berbuat macam-macam kepadanya.

“Selamat pagi Bunyo, apa kabar?” ucap Zidan mengampiri pemilik angkringan tersebut dan

mencium tangannya tanpa merasa canggung sedikitpun. Bunyo merupakan panggilan sayang

yang diberikan Zidan kepada pemilik warung saat masih kecil dulu. Entah apa artinya, yang jelas

pemilik warung tidak keberatan sedikitpun akan hal itu.

Anindya yang melihat kejadian itu pun terkejut. Ada saja tingkah pria itu yang membuat

Anindya semakin terkesimaa dengan pemuda tampan itu. Bagaimana perilakunya kepada orang

yang lebih tua benar-benar menggambarkan kepribadian yang patut dicontoh oleh pemuda di

zaman ini.

“Yaampun, si kasep sama siapa atuh?” ucap pemilik angkringan mencoba menggoda Zidan.

“Aduh, cantik sekali atuh den Zidan” timpalnya menatap lurus kearah Anindya dan tersenyum.

Melihat sang ibu yang tersenyum, dengan segera mungkin Anindya mengulurkan tangannya

seraya ingin melakukan jabat tangan dengan pemilik warung itu.

“Anindya bu” ucap Anindya seraya mengenalkan dirinya kepada pemilik warung
“Kamu pacarnya den Zidan?” tanya pemilik warung Kembali menggoda dua orang yang dari tadi

sudah menahan agar tidak tertawa.

“Belum, tapi doin ya Nyo” ucap Zidan ikut menyambar pembicaraan mereka.

Anindya tidak mengerti maksdu dari perkataan Zidan tadi. Yang jelas, dia tidak menaruh

harapan tinggi kepada pria itu. Yang dilakukannya saat ini hanyalah pasrah dan mengikuti takdir

yang leh di persiapkan oleh semesta saja.

“Neng cantik mau makan apa?”

“Disamain aja bu” ucapnya tersenyum ramah kepada pemilik warung itu. Dari nada bicara dan

cara pemilik warung bersikap, Anindya dapat menyimpulkan diantara pemilik warung dan Zidan

memiliki kedekatan secara emosional. Terpancar jelas dari mata sang pemilik warung, dia sangat

senang Zidan datang mengunjunginya. Layaknya seorang anak yang pulang kerumah orang

tuanya usai berpisah cukup lama.

“Yaudah pada duduk dulu. Biar Bunyo bikinin sarapannya” ucap pemilik warung tersenyum

tulus kepada keduannya.

***

Kedua orang tersebut kini sudah berada dibangku yang terletak di sudut angkringan. Simpan

pikiran busuk kalian, mereka hanya ingin makan dengan tenang dan tidak menjadi perhatian

banyak orang.

“Zidan, kok kita makan lagi? Kan tadi udah makan” ucap Anindya memberanikan diri bertanya

kepada pria yang masih sibuk dengan ponsel yang ada ditangannya.

“Emang lo kenyang Cuma makan satu roti?’ ucap Zidan setengah kesal pada gadis itu. Akhirnya,

Zidan meluapkan emosinya dengan cara membalas pertanyaan gadis itu dengan sebuah

pertanyaan pula.
Tidak lama dari usainya percakapan singkat antara kedua orang tersebut, Bunyo datang

membawa satu nanpan yang berisikan dua gelas berisi air putih hangat dan dua porsi mangkok

bubur ayam. Anindya sangat bersyukur atas hal itu. Setidaknya keheningan tidak akan hadir

Kembali diantara keduanya.

Anindya dan Zidan sangat menikmati bubur ayam yang dibawakan oleh Bunyo. Bahkan, sangkin

asiknya menikmati hidangan tersebut, diantara keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan

hingga keduanya selesai menghabisakan makanannya.

“Puji Tuhan, kenyang banget Zid” ucap Anindya sebellum Kembali meneguk air hangat yang

tinggal setengah gelas. “Sekali lagi makasih ya. Gue Bahagia banget hari ini” timpalnya sebelum

kembali tersenyum manis pada pria itu.

“Iya, santai” balasnya menatap sekilas kearah Anindya sebelum Kembali menatap lurus kearah

ponselnya. Jujur saja, Anindya ingin sekali merebut posel yang ada ditangaan pria itu saat ini.

Rasanya Anindya ingin mengilang dari bumi detik ini juga. Kehadirannya dihadapan pria itu

tidak lagi dianggap keberadaannya.

“Lo tadi malam kok bisa tidur diteras?” tanya Zidan mencoba memecahkan keheningan diantara

mereka. Namun, mengapa pertanyaan pembukanya sudah setajam itu?

Anindya yang tadinya melamun, lantas kaget mendengar pertanyaan yang di lontarkan pria itu.

Jujur saja, Anindya terkejut mendengarnya. Saat ini dia benar-benar memutar otaknya agar dapat

menjawab pertanyaan pria itu tanpa melakukan kebohongan sedikitpun.

“Hmm… gimana ya? Singkatnya gini, tadi malem gue gak bisa tidur, Zid” ucap Anindya

menatap lurus kearah Anindya.

Anindya Kembali terkejut dengan tingkah pria itu. Yang tadinya Zidan sibuk dengan posnselnya,

usai mendengar opening dari Anindya, kini ponsel itu tidak berada didalam saku celananya.
Ternyata, cerita yang ditawarkan Anindya bisa mengalahkan seseorang yang berada didalam

komol chatnya. Dan, Anindya merasa bangga akan hal itu.

“Gue udah ngelakuin segala hal supaya bisa tidur nyeyak. Gue udah mium susu, baca buku,

menghayal, Tapi, tetep aja gue gak ngantuk juga. Terus, tiba- tiba gue kepikiran sama lo. Yaudah

gue samperin lo. Pas sampai diteras, gue ngeliat lo di tidurnya pules banget sampai bikin gue

ngerasa ngantuk juga dan gue ketiduran diteras juga. Barengan sama lo” timpalnya mencoba

menjelaskan tanpa ada bumbu kebohongan sedikitpun.

Hingga kini, Zidan masih dnegan setia mendengarkan gadis itu selesai berbicara. Sebab, ada

banyak pertanyaan yang kini ada dibenaknya dan wajib dijawab oleh gadis itu detik ini juga.

“Tidurnya sambil meluk gue, gitu?” Blush! Warna pipi Anindya dengan sekejap berubah.

Anindya benar-benar tidak menduga bahwa pertanyaan itu yang diajukan Zidan kepadanya.

“Dih, enggak. Siapa yang meluk lo coba?” ucap Anindya spontan. Baiklah, untuk pertanyaan

kali ini dia akan coba untuk mengelak dari kebenaran yang ada.

“Ya, lo lah!” ucap Zidan merasa tidak terima dengan penolakan yang telah dilakukan gadis itu.

Karena, jelas-jelas dia memiliki bukti bahwa tangan gadis itu berada didalam gengamannya.

Maka, sangat besar kemungkinannya gadis itu juga memeluknya.

“Enggak! Orang gue gak meluk lo kok” Anindya terus berusaha mengelak dari kebenaran yang

ada. Tidak mungkin juga, gadis itu berkata jujur bahwa dia telah memeluknya tadi malam. Mau

ditaruh dimana mukannya saat ini.

“Ya, santai aja lah. Jangan ngegas!” ucap pria tampan itu mencoba menahan agar tidak tertawa.

Sepertinya Zidan telah mengetahui bahwa gadi itu telah berbohong. Akhirnya, dia berinisiatif

untuk memutuskan pembicaraannya gar gadis itu tidak terjerumus semakin jauh dari dosa.

***

Anda mungkin juga menyukai