Anda di halaman 1dari 4

Anindya segera melangkahkan kakinya keluar dari cafe tersebut.

Dia mencoba berjalan secepat


yang dia bisa. Berharap semesta, menunda air langit yang sebentar lagi akan turun.
“Anjir, doa Zidan bener-bener dikabulkan Tuhan. Tau gini bagus gue minta anter Zidan” Anindy
terus menggerutu beriringan dengan Langkah kakinya yang kian melebar. “Tuhan, Jangan
engkau turunkan hujan saat ini” Timpalnya. Hanya itulah harapan Anidnya saat ini. Dan
Anindya berharap, semesta berpihak padanya saat ini.

Perlahan, angin diluar mulai berhembus kencang. Bahkan, hembusannya telah menusuk kulit
siapapun yang menghalangi jalannya. Keadaan langit kini kian menghitam, tak terlihat lagi
cahaya matahari saat ini. Mungkin, tuhan akan segera mengabulkan doa Zidan tadi. Anindya
dengan Langkah sempoyongan mencoba berlari sekuat tenaga agar hujan tidak membasahi
dirinya. Namun, semesta kini berada dipihak Zidan, dia ternyata benar-benar memiliki ucapan
mujarab. Tahu ini akan terjadi, mungkin Anindya dengan berat hati menerima tumpangan dari
Zidan tadi.

Benar saja ketika Anindya tiba diperempatan jalan menuju kosannya, dalam hitungan detik hujan
mengguyurnya dengan amat deras. Alhasil, dia tiba dikosannya dengan keadaan basah kuyup.
Mungkin dia bakal terkena flu atau mungkin demam esok hari.
“Harusnya, tadi gue paksa lo pulang bareng gue” Ucap seorang pria ketika melihat tetsan air
mulai membasahi jendela cafenya. Dia benar-benar mencemaskan gadis itu sekarang.

Usai melakukan ritual mandi sore, ya walaupun langit tidak sudah gelap dan jam dinding sudah
menunjukan pukul 19.30, tapi khusus untuk pria itu ini masih sore. Sebab, dia belum
membiarkan shower membasahinya dengan sengaja. Lebih tepannya sih, Zidan saja yang malas
mandi. Zidan segera mengambil handphonenya yang terletak diantara tumpukan bantal yang
tersusun rapi diranjangnya. Laki-laki itu tergolong sedikit serakah kalau masalah perbantalan.
Alasannya, agar dia tidak mudah terjatuh dari ranjang yang cukup tinggi. Jadi, tumpukan bantal
tersebut, dapat menjadi benteng saat pria tampan itu terlelap.
“Teh, adik lo ganti nomor ya?” Ucap Zidan dengan suara cukup kencang agar terdengar hingga
sampai dapur. Zidan dan Anisa hanya tinggal berdua dalam sebuah apartement mewah. Kedua
orang tuanya sibuk menjalankan bisnisnya masing-masing. Mamanya, Ibu Roosendriawati
merupakan pemilik dari perusahaan kecantikan Beauty Skinny II yang telah memiliki lebih dari 30 cabang
di Indonesia. Sekaligus pemilik brand Estrella yang namanya sedang melejit di kalangan remaja saat ini.
Sementara ayahnya, saat ini menjabat sebagai CEO di salah satu perusahaan pertambangan dan batu
bara. Maka dari itu, bisa dibilang Zidan dan Anisa sudah terlahir kaya sejak keduanya masih dalam
kandungan. Yang menjadi pembeda adalah, Zidan lahir sembilan bulan sebelum perpisahan kedua orang
tuanya. Alhasil, dia tidak bisa mengenali wajah ayahnya dengan baik. Dan sejak umur lima tahun, Anisa
serta orang-orang disekitarnya mengajarkan bahwa ayahnya telah meninggal lima bulan setelah ia lahir.
“Adik gue siapa?” Anisa menjawab pertanyaan Zidan dengan suara yang tidak kalah melengkingnya
dengan suara Zidan. “Adik gue kan cuma lo doang” Timpalnya.
“Adik kesayangan lo. Masa lupa” Teriaknya Kembali. Kali ini, dengan suara yang lebih menggelegar.
“Siapa sih? Gue gak paham”

Karena merasa tidak sopan dengan sang kakak, dengan terpaksa Zidan melangkahkan kaki meninggalkan
kamarnya dan menghampiri Anisa yang masih betah di dapur. Saat ini, Anisa masih sibuk menguleni
sebuah adonan yang berada dalam wadah yang lumayan besar. Dia sedang berusaha menyempurnakan
resep cake miliknya untuk menjadi menu baru di Ophelia Cafe tepat saat ulang tahunnya.
“Teh, lo masih lama masak-nya?” Zidan melipat kedua tangannya diatas meja yang berjarak tidak jauh
dari posisi Anisa saat ini.
“Lumayan sih. Kenapa?” Tanya Anisa tanpa menoleh sedikitpun ke sumber suara tersebut. Dia
merasakan adiknya mulai bertingkah aneh setelah mereka Kembali ke apartement.
“Stop dulu bisa ga? Gue mau ngomong serius sama lo” Mendengar perkataan itu keluar dari mulut
Zidan, Anisa segera mencuci tangannya dan melepaskan apron yang masih melekat ditubuhnya. Dia
sama sekali tidak memperdulikan keadaan dapur yang masih acak-acakan. Dalam hitungan detik, Anisa
sudah duduk disebelah Zidan. Dia segera melipat kedua tangannya diatas meja dan menatap lurus ke
arah Zidan sambil berkata “Lo mau cerita apa?”.
Zidan memajukan kursi duduknya, agar posisi dirinya dan sang kakak tidak terlalu jauh. Detik
berikutnya, Zidan sedikit memancondongkan badannya agar suaranya terdengar lebih jelas.
“Fara ganti nomor ya teh?” Tanya Zidan dengan muka sangat serius. Sementara Anisa, dia sangat kesal
dengan tingkah pria ta,pan didepannya ini. Anisa tidak habis fikir, Zidan hanya ingin menanyakan hal
tidak masuk akal seperti tadi.
“Seriously?” Zidan hanya mengerutkan dahinya mendengar perkataan tersebut keluar dari mulut Anisa.
Dia merasa heran mengapa kakaknya Kembali menanyakan sesuatu yang sudah pasti jawabannya iya.
Sudah pasti Zidan sangat serius dengan hal-hal yang berbau gadis mungil itu. “Lo buang-buang waktu
gue Cuma buat nanya itu?” Timpal Anisa sambil memijit-mijit pelipisnya.
“Salah? Nomor Fara dari tadi gue telponin gak aktif, teh. Gue takut ada apa-apa sama dia. Dia balik dari
cafe pas udah mau hujan. Ya, gue khawatir aja dia belum sampai di kosnya” Ucap Zidan mencoba
menjelaskan secara detail kepada Anisa. Anisa yang tadinya biasa saja kini mulai menampilkan sedikit
demi sedikit kepanikan di wajahnya. Dia sangat tidak rela bila gadis mungil itu jatuh sakit akibat guyuran
hujan.
“Lo kok gak bilang ke gue dari tadi? Udah malam gini lo baru kasih tau gue. Anindya itu gak bisa kena
hujan Zidan. Lupa lo?” Anisa semakin menggebu-gebu mendengar kabar itu dari adiknya. “Lo juga bego
banget jadi cowok. Udah tau mau hujan, bukan lo anterin dia balik. Gimana sih lo?” Dan benar saja,
tebakan Zidan. Dia akan menjadi sasaran empuk sang kakak bila sampai ada apa-apa dengan gadis itu.
Padahal sebelum gadis itu meninggalkan cafe, Zidan sudah mencoba menawarkan tumpangan gratis
untuk gadis keras kepala itu. Jika sudah begini, Zidan hanya bisa pasrah dengan keadaan Anindya.
“Gue gak mau tahu, sekarang juga lo cari Anindya dan pastikan dia sudah sampai dirumah” Timpal Anisa
menatap lurus kearah Zidan dengan wajah penuh dengan kecemasan.
“Lo tega gue hujan-hujanan cari Fara? Tega lo?” Ucap Zidan mencari belas kasih dari sang kakak.
Bukannya keluarga sultan itu tidak memiliki mobil, akan tetapi saat ini mobil Zidan sedang dipinjam oleh
temannya dan mobil Anisa baru saja selesai dicuci sore tadi. Jadi, Anisa sedikit keberatan bila mobil itu
akan kotor lagi akibat guyuran hujan malam itu.
“Yaudah, gue coba telpon temen kosannya. Semoga aja dia belum tidur” Ucap Anisa yang hanya dibalas
dengan anggukan kecil dari sang adik.

“Far, sorry banget gue udah berdoa yang enggak-engak buat lo taadi. Sumpah, gue Cuma bercanda aja
tadi” Zidan berjalan bolak-bailk didalam kamar dengan muka gusar. Dia amat menyesal telah membuat
gadis itu diguyur derasnya air hujan sore tadi. Andai saat ini dia bisa memutar waktu, sudah pasti dia
akan memaksa gadis itu pulang bersamanya. Ya, walaupun Zidan akan mengantar gadis itu
menggunakan motor, tapi dapat dipastikan gadis itu tidak kehujanan dan selamat sampai tujuan.

Anda mungkin juga menyukai