Anda di halaman 1dari 23

BAB 1

Vinan merasakan kepalanya seperti hantaman sebuah balok kecil, Pak Joni tampak
memegang buku setebal dua jari.

“Plakk” bunyi ketukan buku di kening Manus.

Hari itu siswa kelas empat SDN Tujuh Semuntai belajar matematika tentang pecahan. Kelas
seperti tidak ada penghuninya, tidak seorangpun mengucapkan sepatah katapun. Tampak wajah pak
Joni geram sekali pada siswa di kelas itu. Tatapannya pada siswa seakan-akan ingin memakan hidup-
hidup. Vinan dan Manus masih merasakan panas buku yang telah dihantamkan ke keningnya. Semua
siswa berharap lonceng cepat berbunyi. pak Joni hanya diam menatap siswanya. Buku yang
ditangannya sungguh membuat siswa takut sekali. Deo yang terkenal nakal di kelas pun hanya
terdiam dan merundukkan kepalanya ke bawah.

“Teng-teng-teng,”lonceng berbunyi dengan kerasnya.

Tampak senyum di wajah penghuni kelas itu ceria sekali. Setelah pak Joni keluar kelas, Vinan
meneteskan air matanya sambil mengusapnya.

“Tahan saja Nan! Sakitnya nggak lama kok.”Manus menghampiri Vinan.

“Hmm...hmm...hmmm...hmmm,”Vinan menangis semakin keras.

Andri dan Deo yang pernah merasakan hal yang sama hanya tersenyum pada Vinan.

“Gitu aja nangis.” Fatim mengejek Vinan dengan senyuman.

Vinan yang merasakan sakit di kepalanya masih mampu menahan emosi pada Fatim. Ia
bahkan tak menghiraukan wanita itu. Ia berharap sakit di kepalanya segera hilang. Biasanya di waktu
istirahat Vinan bersama Andri, Deo dan Manus bermain benteng di lapangan bersama anak kelas V
dan VI. Hari itu Vinan terpaksa absen, ia juga malu dengan bekas air mata yang membasahi pipinya
masih tampak dan warna matanya masih merah.

“Nan yok kita main benteng di lapangan!”Andri mengajak Vinan bermain.

“Hari ini aku nggak ikut Ndri, tanganku juga masih sakit ni.”Vinan menolak dan berbohong
pada Andri.

Andri tahu Vinan berbohong padanya. Ia tak memaksakan Vinan dan pergi ke lapangan
meninggalkan Vinan sendirian di dalam kelas.

“Mana Vinan?”Tanya Deo pada Andri.


“Vinan lagi merenungi nasibnya.”Andri tertawa.

Mereka bertiga melanjutkan permainan tanpa Vinan. Setelah selesai bermain dan lonceng
berbunyi tanda pulang semua siswa berkemas dan pulang kerumah masing-masing. Di perjalanan
pulang Deo tersenyum kearah Vinan dan manus. Vinan heran dengan Deo. Andri dan Santi juga ikut-
ikutan tersenyum kearah Vinan dan Deo.

“Nan dahimu benjol.” Manus tertawa pada Vinan.

“Dahimu juga benjol Nus.” Vinan tersenyum pada Manus.

“Oooo... jadi dari tadi kalian bertiga menertawakan dahi aku dan Manus yang benjol.” Vinan
baru menyadarinya.

“Hahahaaaaa...,”Andri, Deo dan Santi tertawa bersama.

Vinan dan Manus berdiam diri saja dan tak membalas olokan mereka bertiga. Sesampai di
rumah ayah Vinan terkejut melihat kening Vinan benjol sebesar buah pinang.

“Kamu berkelahi dengan siapa Nan?”tanya ayah Vinan.

“Aku tidak berkelahi dengan siapa-siapa Yah.”Jawab Vinan dengan jujur.

“Lalu keningmu kenapa?” Ayah Vinan kembali bertanya.

“Keningku di pukul pak Joni dengan buku karena aku tidak tidak bisa menjawab
pertanyaannya Yah.” Vinan menjelaskan penyebab dahinya benjol.

Ayah Vinan tidak bertanya lagi pada Vinan. Ia sudah tahu dengan pak Joni yang sangat killer
itu.

“Andri dipukul tidak tadi?”Ayah Vinan menanyakan Andri.

“Tidak Yah.”Vinan menjawab dengan singkat.

“Lain kali belajar seperti Andri!”Ayah Vinan berpesan pada Vinan.

Vinan tidak menjawab lagi dan langsung pergi ke kamar untuk mengganti pakaiannya. Andri
memang hebat dalam pelajaran matematika, belum pernah sama sekali ia dipukul oleh pak Joni
dengan bukunya. Vinan yang sudah dari kelas satu berteman dengan Andri tahu kehebatan Andri di
matematikanya. Setelah selesai mengganti bajunya, Vinan melihat kearah kaca.

“Besar sekali benjolnya.”Vinan berbicara sendiri di dalam hatinya.

“Vinan.” Manus memanggil dari luar.


Vinan keluar kamarnya dan melihat Manus sudah siap untuk bermain di sungai Peninsung.

“Nan yok ke sungai?”Ajak Manus.

“Dahiku masih sakit Nus.”Vinan mengelus dahinya yang benjol itu.

“Yok Nan ke sungai! Udah banyak orang di sungai, nanti kita nggak kebagian tempat.” Andri
berteriak dari rumahnya.

“Ok.” Vinan menerima ajakan mereka berdua dengan muka lesunya.

Sungai merupakan tempat bermain paling favorit bagi anak-anak di kampung Tembatu.
Permainan favoritnya berayun dengan sebuah tali yang berada di tengah sungai. Ketika air sungai
Peninsung meluap semua anak-anak pasti ke sungai. Tidak heran anak-anak di sana takut mendapat
antrian paling buntut untuk berayun. Vinan, Manus dan Andri segera pergi ke sungai dengan berlari.

“Nan cepat sikit larinya! Nanti kita lama nunggu giliran kita.” Andri mendesak Vinan yang
berjalan dengan santai.

“Nggak apa-apa Ndri.” Vinan menjawab Andri dengan nada lemas sekali.

“Kamu kok nggak semangat sekali hari ini Nan? Biasanya kamu paling semangat.”Andri
mencoba mencari tahu masalah Vinan.

“Nggak kok Ndri, ayok kita lanjutkan pergi ke sungainya!”Vinan berlari kecil.

Sesampai di sungai terlihat anak-anak cowok kampung tembatu seusia dengan Vinan dan
Andri sudah mulai bermain. Semua anak telanjang tanpa sehelai benang pun di tubuh mereka.

“Nan sekarang giliran kalian dua Andri berayun.”Bian yang timbul dari dalam air seketika
menyuruh Vinan dan Andri.

“Ok Bian.” sahut Andri cepat.

“Nan kuat-kuat pegangannya!”Andri mulai mendorong tali yang dipegang Vinan.

“Jangan terlalu kuat ya Ndri!”pinta Vinan.

Setelah di dorong oleh Andri, Vinan bergerak bolak-balik beberapa kali kemudian jatuh ke
air. Beberapa menit setelah jatuh, Vinan tidak nampak timbul ke permukaan air yang lumayan deras.
Andri yang mendorong mulai khawatir bersama teman lainnya.

“Nan...Nan...Nan.” beberapa teman Vinan berteriak dari atas.

“Hoiiiii.” Vinan berteriak keluar dari dalam air.


“Kemana kau Nan? Lama Benar nyelamnya.” Manus bertanya dengan nada khawatir.

“Iya Nan, kemana kamu tadik?” Bian bertanya senada dengan Manus.

“Ohhh, aku di bawah semak yang di seberang Bian. Aku kehabisan tenaga untuk pegangan.
Jadi aku istirahat dulu di sana untuk lanjut berenang ke seberang sini.” Vinan menjelaskan pada Bian
dan teman lainnya.

“Ohh, gitu.”Manus menjawab paham.

“Tadi kami memanggil, kamu di mana? Kok nggak dengar?” Andri yang dari tadi khawatir
menanya kembali.

“Aku dengar kalian panggil aku, Cuma aku nggak berani teriak aja dari seberang sana.”
Vinan menjelaskannya.

“Ayo, kita lanjutkan.” ajak Deo.

“Kita pulang aja ya, mata kalian juga udah merah semua.” Vinan mengajak semua kembali
pulang.

“Ok.” jawab mereka semua serentak tanda setuju.

Vinan dan teman-temannya pergi meninggalkan sungai dengan badan basah kuyub tanpa
dikeringkan dengan handuk. Celana dan baju yang dikenakan di badan basah seketika, terlihat di
selangkangan celana air meresapi kain celananya.

“Setelah ini, kita kemana lagi?” Bian menanyakan rencana bermain selanjutnya.

“Hmmm...kita buat rumah-rumahan aja yok!” Deo mengusulkan rencananya.

“Aku nggak setuju.” Andri menolak dengan cepatnya tanpa alasan.

“Aku setuju dengan Andri. Main rumah-rumahan kan mainannya para cewek.” Manus
menjelaskan alasan Andri.

“Ok, sekarang aku ingin kembali kerumah aja. Aku nggak ikut kalian.” Vinan mulai emosi
dengan mereka semua.

“Kamu dari tadi emosi terus Nan? Kami hanya menyampaikan rencana kami masing-
masing.” Andri mulai kesal pada Vinan.

“Kalian duluan aja bermainnya! Nanti aku nyusul.” Vinan melangkahkan kakinya kerumah.

“Nggak bisa gitu dong Nan, nanti kamu yang enak sendiri.” Bian mulai kesal juga.
“Iya Nan, nggak mudah loh bangun rumah-rumahannya. Kami perlu tenaga.” Manus
mencoba merayu Vinan.

Vinan tidak memperdulikan ucapan teman-temannya lagi, ia tetap melangkahkan kaki menuju
rumahnya. Rasa lapar diperutnya tidak mampu ditahan lagi. Setelah pulang sekolah ia tidak makan,
dipikirannya hanya memikirkan kebencian pada pak Joni yang telah memukul kepalanya hingga
benjol. Dengan cepat Vinan menuju dapur dan membuka tutup Rice Cooker, ia melihat nasi putih
yang masih banyak. Sungguh lega perasaan Vinan. Dibukanya tudung saji yang biasa tempat
menyimpan sayur oleh ibunya. Bagaikan petir yang menyambar, emosi Vinan meledak seketika.

“Plakk.”Bunyi hempasan tudung saji oleh Vinan.

ibunya terkejut mendengar bunyi itu di dapur.

“Nan bunyi apa di dapur?” ibunya bertanya dengan nada rendah.

“Teng-teng-teng.”Bunyi panci dihempaskan Vinan.

Ibu Vinan yang mendengar itu langsung pergi ke dapur. ibu Vinan langsung naik darah
melihat dapur sudah berantakan dan nasi sudah berhamburan dimana-mana. ibunya langsung
mendekati dan menampar seluruh badan Vinan.

“Plakk...plak...plak.”Ibunya menampar badan Vinan hingga merah semua.

“Mamak tak sediakan aku sayur.”Vinan menangis sambil memberikan alasan.

“Plak.”Sekali lagi tamparan ibunya.

“Pergi kau dari rumah ini!” ibunya mengusir Vinan tanpa rasa kasih sayang lagi.

Vinan melangkahkan kakinya dari dapur meninggalkan ibunya dengan perut yang lapar. Ia
lalu mencari tempat teman-temannya bermain rumah-rumahan. Vinan pergi ke sungai terlebih dahulu
untuk mencuci mukanya sebelum menemui teman-temannya. Ia takut diolok-olok oleh Bian dan Deo.
Setelah selesai, Vinan mencari mereka berempat dan menemui mereka di samping rumah pamannya.

“Hai,” Vinan menyapa mereka berempat.

“Iya Nan, datang juga kau.” Bian menjawab dengan marah.

“Kami udah selesai ni. Sekarang kami mau pulang, udah sore juga.” Manus menjelaskan
baik-baik pada Vinan.

“Ayo kita pulang.” Ajak Deo.


Andri, Deo, Manus, dan Bian pergi meninggalkan Vinan sendirian di rumah-rumahan yang
terbuat dari pohon-pohon kecil dengan atap daun kelapa yang masih bewarna hijau. Vinan bingung
sekali, jika kembali kerumah ibunya pasti mengusirnya kembali. Perutnya yang sudah kosong sangat
menyakitkan untuk ditahan. Ia juga tak berani meminta makanan pada pamannya. Ia memutuskan
untuk tidur di rumah-rumahan itu dan menahan rasa lapar hingga esok hari. Sementara ibu dan
ayahnya di rumah kebingungan mencari Vinan, jam dirumah sudah menunjukkan pukul 18.30. Andri
yang rumahnya berhadapan dengan Vinan mencoba memberikan informasi pada ayah Vinan.

“Paman tadi kami meninggalkan Vinan di dekat rumah pamannya. Kami tadi membuat
rumah-rumahan di sana.”Andri mencoba menjelaskan pada ayah Vinan.

Ayah Vinan bersama ibunya langsung menuju tempat itu dan mendapati Vinan sudah tertidur
lelap sambil memegang perutnya. Nyamuk yang hinggap di badannya tidak dihiraukannya lagi.

“Vinan ayo kita pulang!” ayahnya berusaha membangunkan.

Vinan tidak bergerak sama sekali.

“Vinan,” ayahnya berusaha membangunkan kembali.

“Hmm...mmm...mmm,” suara Vinan bangun dari tidurnya.

“Ngapa kamu tidur disini Nan?” tanya ayah Vinan.

“Tadi Vinan ngamuk di rumah karena nggak ada sayur. Jadi ibu marahi dia dan menyuruhnya
pergi dari rumah.” ibu Vinan menjelaskan semuanya dengan muka menyesal.

“Iya yah, Vinan minta maaf. Vinan telah buat ibu marah sekali.” Vinan memeluk ayah dan
ibunya.

“Ayo kamu makan dulu. Ayah udah belikan kamu telor sama ikan asin.” ayah Vinan
mengajak Vinan makan.

Dengan lahapnya Vinan makan nasi dengan lauk telor dan ikan asin. Vinan makan seperti
orang yang beberapa hari belum makan.

“Kamu pulang sekolah tadi belum makan Nan?” tanya ayahnya pada Vinan.

“Belom yah.” jawab Vinan dengan jujur.

“Siang tadi lupa makan.”Vinan menjawab dengan senyumannya.

Dalam sekejap semua makanan dihadapan Vinan sudah habis tanpa tersisa lagi. Sekarang
Vinan sungguh merasakan rasanya orang kelaparan yang belum makan beberapa hari.
BAB 2
Di ruangan kelas berisi sembilan orang, terdengar teriakan Vinan dan teman-temannya dari
kantor. Suara langkah kaki guru bahkan tak terdengar ketika memasuki kelas. Keributan yang
dilakukan Vinan bersama Manus mengganggu temannya sekali. Andri terlihat menatap buku
matematikanya sedari tadi. Ia tak sama sekali menghiraukan yang lain, telinganya seperti sudah
ditutup rapat-rapat. Langkah kaki pak Joni dengan sepatu ventopelnya terdengar cukup keras
diinjakkan kelantai. Seketika suasana kelas senyap kecuali Vinan yang masih ribut sendiri membalas
olokan Fatim ketika dahinya benjol. Vinan tak menyadari pak Joni sudah lama berada di depan kelas.

“Fatim raksasa kelas.” Vinan mengolok Fatim.

Fatim hanya diam saja dan tak membalas olokan dari Vinan. Ia sudah tahu pak Joni di depan
yang sudah siap memberikan hukuman pada Vinan. Fatim hanya senyum dan mulai memberikan kode
pada Vinan yang sedari tadi hanya menghadap pada Fatim.

“Hmm...mmm...mmm.” kode pak Joni pada Vinan.

Vinan terbelalak melihat pak Joni sudah mulai menggulung bukunya dan wajahnya sudah
mulai memerah.

“Asik, ganggu Fatimnya Nan.” tanya pak Joni.

“Nggak pak.” jawab Vinan dengan nada rendah sekali.

Kamu kerjakan pekerjaan rumah kemaren ke depan. Dada Vinan seperti tertusuk jarum
mendengar perintah pak Joni. Vinan baru sadar pada Andrianus yang dari tadi diam mengerjakan PR-
nya. Ia lupa mengerjakan PR nya dan tidak tahu cara mengerjakannya. Dengan melangkahkan kaki
pelan-pelan menuju papan tulis, terlihat Vinan gugup sekali. Tangannya mulai meraih kapur tulis
berwarna putih dan berpikir. Pak Joni mulai beranjak dari kursinya dan menuju Vinan yang di depan
papan tulis. Tubuh Vinan makin bergetar, keningnya mulai mengeluarkan keringat. Ketakutan
semakin menghantuinya, pikirannya semakin kosong dengan cara menyelesaikan pekerjaannya di
depan itu.

“Bisa Nan?” tanya pak Joni.

“Bi... bi... bisa Pak.” jawab Vinan dengan gugup.

“Waktumu dua menit lagi.” pak Joni memperingatkan Vinan dan mulai mengayunkan buku di
tangannya.
Setelah berakhir waktu pengerjaan, Vinan tidak bisa menyelsaikan apapun di depan. Ia sudah
tahu hukuman yang akan diterima.

“Hari ini aku pasti akan menangis.” pikir Vinan di dalam hatinya.

“Vinan kamu ke meja bapak sekarang!” pinta pak Joni.

“Iya pak.” jawab Vinan.

Disamping Vinan, Fatim tersenyum puas sekali. Seakan-akan dendamnya terbalaskan pada
Vinan. Vinan yang melirik Fatim sesekali, tersimpan dendamnya pada Fatim melihat Fatim sungguh
senang dengan kesengsaraan Vinan.

Vinan kembali berjalan mendekati meja pak Joni dengan menundukkan kepalanya ke bawah.

“Cepat jalannya!” pinta pak Joni.

“Ngapa kamu tidak kerjakan PR nya?” pak Joni bertanya sambil membentak.

“Saya lupa pak.” Vinan menjawab singkat saja.

Emosi pak Joni meluap seketika mendengar jawaban Vinan. Pak Joni mulai berdiri dan
menanya siswa lainnya satu persatu.

“Siapa yang tidak mengerjakan PR selain Vinan?”Pak Joni bertanya dengan nada nyaring.

Semuanya mengangkat tangan kecuali Andri. Vinan sungguh merasa lega sekali memiliki
teman untuk dihukum bersama-sama.

“Pok...pok...pok.” suara pukulan buku di dahi teman-teman Vinan.

Pukulan pak Joni tepat di tengah dahi mereka. Fatim yang semula senyum pada Vinan
merasakan pukulan dari pak Joni. Tapi tidak nampak ciri-ciri Fatim akan menangis, hanya saja
pipinya yang makin memerah seperti diolesi cabe. Dan yang terakhir ditujukan pada Vinan. Warna
biru di dahinya belum hilang, masih tampak benjolannya.

“Kamu pilih dahimu dipukul atau push-up 100 kali dengan tangan dikepal.” pak Joni
memberikan dua pilihan pada Vinan.

Dua pilihan yang berat sekali bagi Vinan. Selama ini Vinan belum terbiasa dengan push-up, ia
bingung sekali memilih yang mana. Tapi jika ia memilih dahinya diketok menggunakan buku, maka
benjolan di dahinya akan bertambah besar dan Fatim akan semakin senang melihatnya.

“Cepat!” pak Joni kembali membentak.


“Saya memilih push-up pak.” Vinan menentukan pilihannya.

“Cepat push-up nya!” pak Joni kembali mendesaknya.

“Andri, hitung Vinan push-up!”Pak Joni memerintahkan Andri untuk menghitung jumlah
Vinan push-up.

Setelah selesai push-up, Vinan segera meminta izin ke Toilet untuk mencuci mukanya yang
penuh keringat. Tangannya terasa sakit sekali. Untuk menggenggam saja terasa susah. Setiap hari
Vinan selalu mendapat kekerasan fisik dari pak Joni, kadang telinganya yang dijewer. Andri tidak
mau mengajarinya belajar matematika. Setiap ulangan matematika nilai Vinan tidak pernah di atas
lima puluh. Rasa kebencian dan ketakutan pada pelajaran matematika semakin menjadi-jadi di pikiran
Vinan. Setiap pelajaran matematika, pikirannya selalui di hantui dengan kekerasan dan hukuman yang
pernah diterimanya. Hukuman yang diterimanya tidak sedikit pun menyentuh Vinan dalam
memotivasi dirinya untuk belajar lebih giat lagi. Setiap belajar matematika di kelas Vinan hanya
pasrah saja dengan hukuman. Ia hanya berharap dalam doanya agar pak Joni segera pindah dari
sekolah itu. Vinan hampir tidak sanggup lagi meneruskan belajar bersama pak Joni, tapi ulangan
kenaikan kelas sudah semakin dekat. Pak Joni akan segera berakhir mengajar siswa kelas IV dan akan
digantikan dengan guru baru yang tidak seperti pak Joni guru killer itu. Semangat Vinan untuk belajar
meningkat kembali, ia tak menghiraukan kembali pelajaran matematika yang sangat dibencinya.
Vinan sungguh berharap tidak akan bertemu dengan matematika kembali. Ia sungguh trauma sekali
dengan matematika sekaligus guru yang kejam sekali mengajarkannya. Di tengah merenungnya Vinan
di kursinya, Depi menghampiri Vinan yang hampir meneteskan air mata.

“Nan kamu nggak apa-apa?” tanya Depi pada Vinan.

“Nggak apa-apa kok Dep, tadi tangan aku yang terasa keram dan sekarang udah nggak lagi.”
Vinan mencoba menyembunyikan rasa sakitnya dari Depi.

“Dahi masih sakit Nan.” Depi melirik kearah dahi Vinan yang berwarna biru.

“Nggak kok Dep, ini warnanya saja yang masih ada.” Vinan masih tetap menyembunyikan
rasa sakitnya.

“Lain kali kamu belajar ya Vinan.” Depi menunjukkan rasa kasihannya pada Vinan.

Vinan yang hampir meneteskan air mata kembali semangatnya membara dan mata yang
semula berkaca-kaca hilang dengan sendirinya. Perasaan bahagianya muncul seketika. Tidak seperti
biasanya, Vinan selalu diacuhkan oleh teman lelakinya Andri dan Deo. Mereka berdua sering
meninggalkan Vinan sendirian di kelas. Biasanya Manus yang sering menghiburnya di dalam kelas
ketika Vinan menangis mendapat hukuman dari pak Joni. Dan Fatim yang sering mengoloknya
sebagai anak yang cengeng di kelas. Cewek yang lumayan gemuk itu dan memiliki postur badan
tinggi besar membuat Vinan sering kalah dengannya. Fatim bukan wanita yang mudah menangis dan
ia sanggup beradu mulut. Setiap Vinan mendapat hukuman, Fatim selalu mengoloknya sebagai anak
cengeng.

Di pagi itu untuk kesekian kalinya Vinan diketok kepalanya dengan buku. Vinan kembali
tidak mengerjakan tugasnya. Kali ini iya tidak menangis dan mencoba menahan rasa sakitnya. Fatim
yang berada di sampingnya tersenyum pada Vinan dan menyindirnya.

“Tumben hari ini nggak nangis. Kepalanya pasti sakit banget tuh.” Fatim menyindir Vinan
dari kursinya.

“Pak...pak...pak.” Vinan menendang kursinya sendiri dan berdiri menghadap Fatim.

“Diam kau, cewek gemuk!” Vinan membentak Fatim dengan matanya berkaca-kaca.

“Kau bilang aku apa krempeng?” Fatim balik memarahi Vinan.

Vinan tidak membalas Fatim dan ia kembali duduk dikursinya. Fatim yang dari tadi belom
puas, masih mengganggu Vinan.

“Kakiku pasti sakit udah nendang kursi.” Fatim kembali menertawakan Vinan.

“Diam kau.” Vinan menatap tajam mata Fatim.

Tatapan kebencian Vinan pada Fatim seakan-akan ingin mencekik wanita itu. Fatim sangat
tidak memahami sekali perasaan Vinan yang sedih sekali. Vinan sangat membenci dirinya yang
sangat bodoh dalam belajar matematika. Di dalam hatinya yang terdalam, Vinan benci pada Andri
tetangganya yang pelit itu. Andri tidak mau mengajarinya matematika. Vinan tahu Andri teman
dekatnya yang sering di ajak bermain. Ketika mengerjakan tugas, Andri selalu mengerjakan sendiri
dan selalu menyembunyikan hasil pekerjaannya di tas. Betapa tidak memiliki perasaan Andri pada
Vinan. Andri tahu Vinan sering dihukum di kelas dan sering mendapat hukuman. Setelah semester
dua hampir berakhir Vinan jarang menemui Andri lagi. Ia lebih sering berteman dengan Manus dan
Deo. Meskipun otak mereka berdua tidak seencer Andri, tapi setidaknya mereka berdua sering berbagi
pada Vinan.

Seperti biasanya, ketika sore hari sekitar pukul dua tiga puluh menit Andri mengajak Vinan,
Manus dan Deo ke sungai Peninsung.

“Vinan.” teriak Andri dari seberang rumahnya.

Vinan menulikan diri di kamarnya dan meneruskan untuk mencoba mempelajari matematika.
“Vinan...Vinan.” teriak Deo dan Manus.

“Iyaaaaaaa...yaa.” jawab Vinan dengan keras.

“Aku teriak kamu kok nggak jawan Nan?” tanya Andri pada Vinan.

Vinan tidak menjawabnya, ia kembali ke kamar dan mengunci pintu kamarnya. Vinan
meneruskan pekerjaan yang belum selesai. Vinan masih kesal dengan Andri yang tidak pernah peka
itu.

“Nan...Nan.” Manus mencoba memanggil Vinan dari luar.

“Kalian aja, Nus yang pergi! Aku lagi nggak enak badan.” Vinan mengusir mereka bertiga
dengan nada halus.

“Ayo kita bertiga aja!” Deo mengajak Andri dan Manus.

“Vinan kok jadi berubah.” tanya Andri pada Deo dan Manus.

“Nggak tahu juga, kemaren dia baik-baik aja kok sama kita bertiga.” Deo sedikit
menjelaskan.

“Mungkin dia lagi stress mikirin dahinya yang benjol.” Andri mencoba membuat guruan.

Deo dan Manus tidak menambah cerita Andri. Mereka bertiga terus berjalan. Tiba-tiba di
tengah perjalanan menuju sungai Deo berubah pikiran.

“Vinan nggak ada, kita kurang orang dong.” Deo tiba-tiba ingat dengan permainannya.

“Iya...ya.” Andri mengangguk paham.

“Bian juga lagi nggak di rumah.” Manus menambahkan.

“Kita balik ke rumah aja ya!” Pinta Deo.

“Ok,” jawab Andri dan Manus serentak.

Mereka bertiga memutuskan untuk tidak ke sungai dan memilih kembali ke rumah masing-
masing. Deo dan Manus memutuskan untuk mengunjungi Vinan tanpa sepengetahuan Andri. Mereka
berdua curiga dengan sikap Vinan terhadap Andri.

“Vinan...Vinan.” Deo memanggil Vinan di kamarnya dengan suara kecil.

“Siapa?” Vinan pura-pura nggak tahu.

“Deo dengan Manus aja Nan.” Sahut Deo.


“Masuklah!” Vinan membukakan pintunya dan membiarkan Deo dan Manus masuk.

“Kalian nggak jadi main di sungai?” Vinan sok-sok nanyak mereka berdua.

“Kami kurang orang Nan. Jadi kami memutuskan untuk pulang aja.” Manus menjelaskan
pada Vinan.

Deo dan Manus terkejut melihat meja belajar Vinan penuh dengan buku matematika kelas
empat SD. Mereka berdua mencoba memperhatikan yang dikerjakan oleh Vinan.

“Kamu latihan soal Nan?” Deo menanya Vinan dengan wajah meremehkan.

“Iya...aku mencoba mengerjakannya.” jawab Vinan singkat.

“Selama ini bukumu ini kemana Nan?” tanya Manus.

“Hmm...aku hanya menyimpannya.” Vinan menjawab dan menggaruk kepalanya yang tidak
gatal.

Vinan dari tadi tidak satu soal pun yang berhasil ia kerjakan. Deo dan Manus mencoba
membantunya, mereka berdua hanya mampu mengerjakan soal yang mudah saja tanpa membuat
kepala mereka pusing.

“Minta bantuan Andri aja Nan mengerjakan soal yang sulit ini!” Saran Deo pada Vinan.

Vinan tidak menjawab Deo dan tidak menanggapai, ia kembali mencoba melihat contoh di
bukunya cara mencoba mengerjakan soal yang sulit itu. Deo juga tidak berani menanyakan masalah
Vinan dengan Andri.

“Nan, kamu ada masalah apa dengan Andri?” Manus mencoba menggantikan Deo.

“Pergi kalian dua dari kamarku!” teriak Vinan pada Deo dan Manus dengan kerasnya.

Deo dan Manus dengan wajah memerah keluar dari kamar Vinan tanpa permisi lagi.
Semenjak kejadian itu Deo dan Manus tidak pernah mengunjungi Vinan lagi. Mereka berdua bertanya
pada Andri dengan masalahnya Vinan.

“Ndri, kamu bertengkar dengan Vinan kah?” Deo sedikit membentak Andri.

“Nggak ada Yo.” Andri menjawab dengan mata berkaca-kaca.

“Serius Ndri, matamu berkaca-kaca mau nangis tu.” tanya Manus kembali.

“Serius Nus.” Andri berusaha meyakinkan Deo dan Manus.


“Tapi Vinan marah sama kamu Ndri.” Deo mencoba untuk membuat Andri mengatakan
kebenarannya.

Andri tidak mengatakan apapun lagi dan pergi meninggalkan Deo dan Manus. Hubungan
mereka berempat semakin kacau, Deo dan Manus tidak tahu harus berbuat apa. Vinan tidak mau
mengatakan masalahnya pada mereka. Di dalam kelas Vinan lebih banyak diam dan hanya membuka
buku matematikanya. Dulu ia orang yang nakal dan sekarang Vinan berubah 180 o. Vinan dan Andri
tidak pernah berkomunikasi lagi. Di dalam kelas seakan-akan mencekam tanpa ada keributan
semenjak Vinan tergila-gila dengan buku matematikanya. Fatim yang sering mengoloknya pun
seakan-akan mulutnya di bungkam. Vinan tidak menghiraukan orang-orang di kelas itu lagi,
pandangannya hanya terfokus pada soal matematikanya. Deo dan Manus hanya berdiam diri melihat
semua perubahan itu, mereka berdua baru tahu dengan sifat Vinan. Vinan seorang yang pendendam,
ia sulit memaafkan kesalahan orang lain. Ulangan yang sudah di depan mata membuat Vinan semakin
menjadi orang yang pendiam. Vinan tidak pernah bergurau lagi di dalam kelas. Depi yang dulu sering
dekat dengannya, kini segan melihat Vinan yang sudah berbeda dari dulu. Ia tidak pernah mendapat
hukuman lagi dari pak Joni. Semua teman-temannya di kelas menjauhinya, tidak seorang pun yang
menyapanya lagi.
BAB 3
Vinan duduk termenung di pinggiran sungai Peninsung, air sungai yang mulai surut akan
meninggalkan kenangan bermain ayunan bersama Manus dan teman lainnya. Di genggaman
tangannya beberapa kerikil kecil yang ia lemparkan ketebing seberang sungai. Kedua kakinya diayun-
ayunkan dengan pikiran kosongnya. Setiap sore Vinan menghabiskan waktunya duduk di tebing
sungai Peninsung tempat biasa ia bermain. Melihat matahari yang akan terbenam dan mendengarkan
kicauan burung-burung kecil. Buku matematikanya tidak pernah lepas dari tangannya, di tebing itu
Vinan mencari inspirasi untuk mengerjakan soal yang sulit. Ketika ia bosan mengerjakannya, ditutup
bukunya dan minum secangkir teh yang ia bawa dari rumah. Vinan seperti orang gila yang suka
menyendiri, Andri yang mandi disampingnya dianggap angin berlalu yang tidak nampak. Sungai
tempat mereka bermain sekalian juga tepian bagi warga kampung Tembatu. Tepian adalah sebuah
tempat permandian untuk bersih-bersih. Andri yang melihat Vinan duduk termenung di tebing
perihatin melihatnya. Ia pun tak berani menyapa Vinan. Andri cepat-cepat membersihkan dirinya dan
segera pulang kerumah.

Di benak Deo, Manus dan Andri sudah mengganggap Vinan orang yang gila kerena
Matematika. Semenjak ia suka menyendiri, nilai matematikanya selalu seratus. Sekarang mereka
sudah duduk di kelas VI, pelajaran matematika semakin sulit. Bahkan Andri yang terkenal
kemampuan matematikanya tidak mampu lagi menyaingi Vinan. Semua orang di kelas segan dengan
Vinan. Tidak seorang pun yang berani mengoloknya lagi. Tidak pernah ada senyuman lagi di
wajahnya. Rambutnya setiap hari acak-acakan. Vinan seperti orang yang stress sekali. Keakraban
Vinan dengan Manus teman dekatnya sudah hilang. Manus yang merasa iba melihat Vinan pernah
mencoba untuk menyapanya. Ia kasihan melihat Vinan selalu menyendiri di dalam kelas.

“Vinan ke perpustakaan yok!”Manus mencoba menawarkan diri.

Vinan bahkan tak menoleh padanya, seakan-akan ia tuli. Manus tahu sekarang Vinan lebih
suka pergi ke perpustakaan untuk mencari referensi buku matematikanya. Melihat reaksi Vinan
seperti itu ia tak menyerah. Manus merencanakan untuk mengajak Andri dan Vinan berdiskusi
bersama di perpustakaan. Manus dan Deo tahu, semua masalah muncul ketika mereka kelas IV. Saat
itu Vinan sering dihukum oleh guru matematika mereka dan temannya yang cukup pintar dalam
matematika, tidak mau membantunya. Mereka berdua berpikir, Vinan marah pada Andri karena tak
mau membantunya.

Manus dan Deo sengaja tidak keluar saat istirahat. Mereka berdua menunggu semua penghuni
kelas keluar kecuali Vinan yang menatap buku matematikanya.
“Nan kita pergi ke perpustakaan yok! Aku mau meminjam buku matematika disana.”Deo
mencoba mayakinkan Vinan untuk ikut.

Vinan hanya menatap Deo dengan muka masamnya dan kembali menatap bukunya.

“Iya Nan aku juga mau pinjam buku, mungkin kamu bisa bantu kami berdua cari buku yang
bagus untuk referensi.”Manus juga mencoba mengajak Vinan.

“Ok...aku ikut kalian berdua tapi jangan pernah kalian ajak Andri.”Vinan menjawab Manus
dengan tegas tanpa senyuman.

Betapa bahagianya Manus dan Deo bisa mendengar kembali Vinan berbicara meskipun tak
seperti dulu lagi. Mereka tidak menampakkan kebahagiannya di depan Vinan. Setelah Vinan mau
diajak keperpustakaan, mereka bertiga langsung pergi menuju perpustakaan. Disana Andri sudah
menunggu sambil membaca buku cerita. Jantung Manus dan Deo berdegub kencang, mereka takut
Vinan marah lagi pada mereka berdua. Deo mencoba memberanikan diri untuk mengajak Vinan
pindah keruang baca.

“Nan kita pindah keruang baca ya!”Deo membawa Vinan keruang baca.

“Boleh.”Vinan menjawab dengan santai.

Diruang baca Andri sudah menunggu dari tadi, ia tidak meyangka mereka membawa Vinan.

“Nan.”Andri memanggil Vinan dengan suara seperti tidak makan sehari.

Vinan menatap tajam mata Andri dan mukanya mulai merah tanda Vinan penuh emosi pada
Andri. Ia tidak berkata sepatah kata pun pada Andri lalu meninggalkannya dan melanjutkan mencari
buku matematikanya. Vinan tidak pergi bersama Deo dan Manus lagi, ia tahu itu semua rencana
mereka berdua. Ia mencari sendiri bukunya, terlihat ekspresi wajah Vinan tidak menyukai Manus dan
Deo bergaul dengan Andri. Andri mulai menyadarinya, kalau Vinan sangat membencinya. Andri
selama satu tahun bingung dengan sikap Vinan padanya. Manus dan Deo tidak berani menceritakan
semuanya pada Andri. Mereka berdua takut Andri dan Vinan bermusuhan selamanya.

Andri yang dilanda kebingungan memaksa Manus dan Deo menceritakan yang sebenarnya
Vinan alami. Manus dan Deo hanya bisa saling tatap-tatapan di ruang baca itu. Dan memutuskan
untuk menceritakan semuanya pada Andri. Mereka berdua berharap semuanya bisa kembali seperti
dulu.

“Ndri, Vinan dari semester dua kelas IV tidak suka padamu. Kau orang yang pelit dan tidak
peka terhadap teman, setiap kali Vinan dihukum karena tidak mengerjakan tugas
matematikanya.”Manus mencoba menjelaskan pada Andri.
“Ya Ndri, Vinan bukannya tidak bisa mengerjakan PR-nya tapi ia sungguh kesulitan untuk
mengerjakannya sendiri bahkan soal yang mudah sekalipun. Kau bahkan tidak peduli dengannya saat
dia menangis menahan rasa sakit menerima pukulan dari pak Joni. Kau orang yang egois, bahkan
kami berdua teman dekatmu tidak kau perhatikan. Kau tahukan dulu Vinan sangat bodoh di pelajaran
matematikanya, tapi kau hanya menyelamatkan dirimu saja.”Deo kembali menjelaskan.

“Aku berharap kamu merubah sikapmu Ndri dari sekarang, Vinan orang yang pendendam
Ndri. Kau sudah lihatkan dia sekarang, menyapa kita saja ia tidak mau. Kamukan tetangga dekatnya
Ndri.”Manus menepuk bahu Andri.

“Segeralah kamu minta maaf pada Vinan Ndri, semoga saja ia masih mau
memaafkanmu.”Deo mencoba menggerakkan hati Andri.

“Sejujurnya Ndri aku dan Deo juga tak menyukai sikapmu itu, tapi kita sudah lama berteman
dan satu kampung. Kami berdua tidak mau kita berempat menjadi orang yang saling
bermusuhan.”Manus menuangkan kata-kata yang sudah lama ia pendam.

“Terimakasih , kalian berdua telah menceritakan semuanya dengan jujur. Aku akan berusaha
unutk meminta maaf pada Vinan dan akan merubah sikapku selama ini yang telah menyakiti perasaan
kalian berdua.”Andri menjawab dengan rasa penyesalannya.

Andri merasa puas telah mendapat semua penjelasan dari Deo dan Manus tentang sikap Vinan
terhadapnya. Ia mencoba untuk memberanikan diri mendekati Vinan yang penuh amarah terhadapnya.
Andri bahkan tak sanggup memikirkan rencana untuk bisa meminta maaf kepada Vinan. Pikirannya
dipenuhi rasa takut ketika harus berhadapan dengan Vinan. Andri tidak sanggup dengan tatapan tajam
mata Vinan. Tatapannya membuat jantung Andri berdegub lebih cepat dan membuat tetesan keringat
dari dahinya. Ia berusaha mengumpulkan keberaniannya dan menemui Vinan. Vinan yang masih
mencari buku di perputakaan itu mulai diikutinya dari belakang dan mencoba mendekati Vinan.

“Plakkkk.”Sebuah buku Andri jatuhkan di dekat Vinan.

Vinan tidak merespon sama sekali kode yang dilakukan Andri, ia hanya menjauh dan pergi
meninggalkan perpus bersama buku matematikanya. Andri hanya bisa mengelus dadanya dan kembali
meyimpan buku yang ia jatuhkan. Lalu Andri pergi kekelasnya, ia sudah tahu Vinan pasti akan duduk
menyendiri di kelas. Manus dan Deo yang duduk di ruang baca hanya bisa melihat tingkah mereka
berdua dan tidak melakukan apa-apa. Mereka berdua tidak ikut campur urusan Andri dan Vinan dan
lebih memilih duduk di ruang baca itu hingga lonceng tanda masuk bunyi.
Di dalam kelas Andri melihat Vinan membuka dua buku matematikanya sekaligus, keningnya
mengkerut menghadap buku itu. Vinan tidak menyadari kehadiran Andri di dalam kelas itu. Andri
yang berdiri tepat disampingnya melihat buku catatan Vinan penuh dengan rumus matematika.

“Nan.”Andri mengejutkan Vinan dari samping.

Vinan langsung menatap Andri dan wajahnya lesu sekali. Lalu ia kembali menatap bukunya
dan membolak balik halaman buku seperti ada sesuatu yang ia cari.

“Nan mungkin aku bisa bantu kamu mengerjakan soal ini.”Andri mencoba menawarkan
bantuannya kepada Vinan.

“Aku tidak perlu bantuanmu Ndri.”Vinan menjawab dengan sombongnya.

Muka Andri seketika berubah pucat mendengar jawaban Vinan. Semangatnya untuk meminta
maaf kepada Vinan hilang seketika. Andri kembali ketempat duduknya dan memalingkan wajahnya
dari Vinan. Emosinya pada Vinan meluap-luap di dalam hatinya. Wajah Andri yang pucat berubah
menjadi merah yang penuh emosi.

“Baik Nan, jika kau tidak mau memaafkan aku aku terima dari sekarang. Aku tidak akan
mengganggumu lagi. Dan aku minta maaf telah menyakiti perasaanmu. Aku tidak tahu harus berbuat
apa Nan, kau orang yang pendiam. Aku tidak tahu harus gimana membantumu jika kau ada masalah.
Aku tahu selama ini aku tidak peka dengan kalian bertiga terutama kau Nan, aku hanya berharap kau
mau memafkan aku.”Andri meluap emosinya pada Vinan.

“Aku ingin kita bisa bermain seperti dulu lagi Nan, sudah satu tahun ini kau tidak pernah
menemuiku lagi. Apakah hanya karena matematika itu yang membuatmu merasa jago Nan.”Andri
kembali menceramahi Vinan.

“Bukan buku matematika ini yang membuatku marah padamu Ndri.”Vinan berpaling pada
Andri.

“Kami bertiga hanya ingin merubah sikapmu itu. Kami ingin kau tidak menjadi orang yang
egois, mungkin di SD ini kita bisa bersama tapi kita tidak tahu setelah lulus dari SD ini Ndri. Ini
semua rencana Deo dan Manus, aku sebenarnya tidak tega dengan rencana kami terhadapmu. Tapi
kami takut sikapmu tidak berubah hingga lulus nanti Ndri. Aku yang selama ini banyak belajar
matematika, hanya untuk mempersiapkan ujian nanti Ndri. Kau tahukan aku bodoh sekali belajar
matematika. Dan yang paling aku banggakan, aku bisa bisa mengalahkanmu Ndri.”Vinan
menjelaskan semuanya pada Andri sambil tersenyum.
Andri terdiam mendengar semua penjelasan Vinan. Ia baru menyadari Vinan tidak
membencinya selama ini. Tidak lama kemudian Deo dan Manus datang ke ruangan kelas itu. Andri
dan Vinan tidak menunjukkan kalua Andri sudah tahu semuanya. Vinan tetap berpura-pura menatap
bukunya.

“Nan drama kita sampai disini aja ya, aku takut Andri frustasi nanti.”Deo tersenyum pada
Andri.

“Iya Nan tidak lama lagi kita ujian dan harus fokus belajarnya. Aku merasa kasihan dengan
Andri yang sudah setahun ini merasa bersalah denganmu.”Manus menambah penjelasan Deo.

“Aku sudah tahu rencana kalian semua, kalian tega sekali dengan aku. Tidakkah kalian bisa
bebicara baik-baik padaku sebelumnya.”Andri membentak mereka tiga.

“Kami terpaksa melakukan semuanya Ndri, itu semua untuk kebaikanmu dan kita
juga.”Vinan membantu menjelaskan.

“Tapi kamu seram sekali Nan, seakan-akan kau sungguh membenci aku dan tidak akan
memaafkan aku selamanya. Aku pikir kau selama ini sudah menjadi orang gila.”Andri menertawakan
Vinan.

“Tidak semudah itu Ndri belajar matematika, aku bahkan tidak memperdulikan diriku sendri
demi memahami matematika.”Vinan memulai senyumannya lagi.

Sudah sekian lama mereka berempat tidak bersenda gurau lagi, semuanya yang terjadi
sekarang seakan-akan hanya mimpi. Pengorbanan yang dilakukan Vinan tidak sia-sia, matematikanya
juga semakin mantab. Sekarang Vinan bahkan sangat menyukai matematika, tidak seperti dulu. Vinan
menyesal tidak menyukai matematika dari ia kelas IV. Seandainya kelas IV ia jago matematika,
pastinya selamat dari hukuman pak Joni yang mengerikan. Setelah lulus dari SDN 7 Vinan berencana
melanjutkan sekolahnya di SMPN 2 Tempunak. Sekolahnya tidak jauh dari kampung tembatu kira-
kira 30 menit jika berjalan kaki. Di tambah keakraban Vinan denga 3 temannya sudah kembali lagi.
Semuanya membuat Vinan bertambah semangatnya untuk belajar. Mereka berempat sangat
merindukan bisa kumpul bersama di tebing sungai Peninsung tempat biasa mereka ngumpul bersama.
Sudah setahun ini mereka tidak mendengarkan kicauan burung dan suara hembusan angin meniup
daun pohon yang menjulang tinggi.

“Sore ini kita duduk ditebing sungai Ya! Sudah lama kita tidak merasakan keindahan alam.
Aku merindukan sekali tempat itu.”Andri mengacaukan keheningan mereka berempat di kelas itu.

“Aku setuju dan sebentar lagi kita akan pulang. Kita kumpul di rumah Vinan.”Deo
mengomando mereka bertiga.
Kerinduan yang sudah lama mereka nanti-nantikan, sepanjang waktu hanya memikirkan bisa
berkumpul bersama. Setelah lonceng berbunyi tanda pulang mereka bergegas pulang dan mengganti
pakaiannya. Sesuai janji tadi di sekolah, mereka berkumpul bersama di rumah Vinan sebelum pergi ke
sungai. Jam di dinding menunjukkan pukul 12.30, teriknya panas matahari tidak mematahkan
semangat mereka. Setelah menyiapkan bekal untuk di bawa, mereka langsung pergi. Mereka
berencana untuk merasakan tempat itu hingga sore hari.

“Nan kamu yang bawa bekal kita ya dan jangan lupa disana sudah menunggu buah
kesukaanmu Nan, jadi kamu bawa cupai ya.”Perintah Manus pada Vinan.(Cupai adalah yang biasa
orang dayak gunakan untuk menyimpan barang. Cupai banyak jenis. Salah satunya berbentuk seperti
tabung tanpa tutup atasnya.)

“Iya Nus, hampir lupa aku dengan buah itu.”Vinan mengiyakan Manus.

Setelah 10 menit berjalan kaki, mereka sampai di sungai Peninsung tempat mereka biasa
gunakan untuk bermain. Tapi sekarang sungainya surut, tidak bisa lagi untuk bermainan ayunan.
Ranting-ranting di tengah sungai sudah nampak dan batu-batu dipinggiran sungai juga sudah nampak,
tidak memungkinkan bermain ayunan lagi.

“Airnya sudah surut sekali ya.”Deo memandang kearah sungai.

“Kita duduk-duduk disini aja ya, disini juga nggak terkena sinar matahari.”Vinan memberikan
idenya.

“Boleh juga idemu Nan.”Andri setuju dengan ide Vinan.

Tiupan angin yang menerpa badan mereka berempat sungguh nyaman rasanya, teriknya panas
matahari sudah tidak terasa lagi. Badan mereka berempat yang tadi berkeringat, sekarang sudah hilang
bersama tiupan angin. Pandangan mereka tertuju pada hutan di seberang sungai yang begitu indah.
Terlihat burung-burung terbang kesana kemari dan ada yang berkicau. Lambaian daun-daun kayu
ditiup angin tampak seperti melambai mereka berempat.

“Sungguh indah tempat ini, tempat yang memiliki banyak kenangan untuk kita nanti. Kita
tidak tahu apakah kita masih bisa merasakan ini nanti setelah kita lulus.”Vinan berbicara sendiri.

“Sebentar lagi kita akan melanjutkan di SMP, kita akan mendapat teman-teman baru yang
mungkin bisa membuat kita bisa saling melupakan.”Deo menatap teman-temannya.

Setelah puas mereka berempat menikmati suasana di sungai itu mereka berpelukan bersama
seakan-seakan takut sekali untuk berpisah dan takut tidak bisa menikmati tempat itu lagi bersama.
Suasana yang sungguh sulit untuk mereka lupakan, tapi ketakutan mereka tidak bisa dihindarkan. Satu
bulan lagi mereka akan ujian, artinya mereka harus bersiap-siap untuk menerima kenyataan bahwa
mereka tidak akan seperti dulu lagi.

BAB 4
Setelah lulus dari SDN 7 Semuntai, Vinan bersama ketiga temannya melanjutkan studi-nya di
SMPN 2 Tempunak. Sekolah itu tidak jauh dari kampung tembatu, kira-kira 30 menit berjalan kaki.
Rasa penasaran Vinan terhadap Sekolah Menengah Pertama membuatnya semangat untuk
melanjutkan pendidikannya. Di hari pertama pendaftaran, ia bersama ketiga temannya (Manus, Deo
dan Andri) pergi bersama jalan kaki ke sekolah itu. Hujan yang telah mengguyur daerah itu malamnya
membuat jalan becek dan penuh lumpur. Tidak memungkinkan bisa menggunakan kendaraan. Mereka
berempat terpaksa berjalan kaki. Map ditangan yang berisi fotocopy ijazah depegang erat-erat agar
tidak jatuh kelumpur. Tangan satu lagi memegang sandal jepit untuk dipakai di sekolah nanti. Cuaca
yang mendung mengurangi keringat yang keluar dari tubuh. Langkah kaki sedikit demi sedikit
digerakkan. Setelah berjuang melewati jalan berlumpur selama 30 menit mereka sampai di SMPN 2
Tempunak.

“Nan kita cuci kaki dimana ya.”Tanya Deo yang tampak kebingungan.

Vinan terlihat menggeleng kepalanya kesana kemari untuk melihat air yang bisa mereka
gunakan untuk mencuci kaki. Setelah beberapa kali matanya menatap depan sekolah itu, matanya
tertuju pada sebuah kolam yang terlihat ada jambannya. Segera ia melangkahkan kaki menuju kolam
itu sambil berlari kecil.

“Nan kau mau kemana?”Tanya Deo.

“Mau cuci kaki ke kolam itu. Ayo kita sama-sama cuci disana!”Ajak Vinan.

Mereka berempat segera pergi ke kolam itu. Cepat-cepat mereka membersihkan kakinya,
mereka takut pendaftaran hari itu segera tutup. Setelah selesai, cepat-cepat langkah kakinya
digerakkan menuju sebuah tangga yang tampaknya menuju ruangan kelas.

Sebuah tangga yang lumayan tinggi untuk dinaiki. Tangga yang mengarahkan mereka
kesebuah lorong kecil. Wajah kebingungan tampak di muka Vinan di depan lorong yang pendek itu.
Di ujung lorong terdapat dua simpang, satu menyimpang ke kiri dan satunya lagi ke arah kanan.
“Nan kita kemana ni, aku bingung.”Tampak Manus menggaru-garuk kepalanya dan
kebingungan.

“Tapi tanda panah ini mengarah ke kiri. Mungkin tempatnya searah dengan panah ini?”Vinan
melangkahkan kakinya mengikuti arah panah itu.

Vinan memutuskan untuk mengikuti arah panahnya bersama Andri, sementara Deo dan
manus kearah kanan. Vinan dan Andri terus berjalan, di depan mereka terlihat tulisan TEMPAT
PENDAFTARAN SISWA BARU. Seorang pria berpakaian seperti seorang guru kira-kira umurnya
30 tahun keluar dari ruangan itu. Pria itu seperti terburu-buru melangkah ke arah Vinan dan Andri.

“Silahkan masuk!”Pria itu menyapa dan berlalu dengan cepat melewati Vinan dan Andri
menuju sebuah ruangan lagi.

“Kamu duluan aja Nan masuk ke dalam!”Andri tampak takut masuk ke ruangan itu.

Vinan tidak punya pilihan lagi, Vinan mulai pelan melangkahkan kakinya ke ruangan itu.
Mereka terkejut melihat isi ruangan yang cukup ramai diisi oleh anak-anak sebaya dengan mereka
berdua. Mereka tidak menyangka rungan itu ramai, dari luar tidak ada terdengar keramaian.
Suasananya tidak seperti ketika mereka mendaftar sebagai siswa baru saat SD. Di depan ada 4 wanita
berpakaian rapi.

“Silahkan isi formulir dulu dan siapkan map warna kuning!”Salah satu wanita itu menyuruh
mereka.

Vinan dan Andri mulai mencoba mengisi formulir yang diberikan oleh pria yang mereka
temui tadi. Tidak lama kemudian Deo dan Manus datang juga. Mereka tidak berkata sepatah kata pun
di depan pintu ruangan itu. Pria itu lalu menyuruh Deo dan Manus duduk di dekat Vinan dan Andri
dan memberikan formulirnya.

“Isi baik-baik formulir itu!”Printah pria itu dengan nada yang tegas.

“Dalam dua jam kalian harus sudah menyelesaikan mengisi formulir itu!”Pinta pria itu lagi.

Vinan terlihat mulai gugup dengan perintah pria itu, dihitung lembar formulir yang belum ia
isi. Ia melihat ke sebelahnya, Andri terlihat santai mengisi formulir itu. Tersisa empat lembar yang
belum Vinan isi formulirnya. Vinan berusaha untuk terlihat santai mengisi formulir itu.

“Saya sudah selesai pak. Di mana saya bisa mengumpulkan?”Tanya Deo pada pria itu.
Pria itu tidak menjawab, ia mendekat ke arah meja Deo dan Manus. Wajah Manus tampak
tegang sekali. Lalu pria itu mengambil formulir Deo dan membuka lembar demi lembar kertas
formulir itu dan mengembalikannya lagi pada Deo.

“Kamu ambil map warna kuning di ruangan dekat lorong dan serahkan formulirmu ke
depan!”Jawab pria itu.

“Yo sekalian punya kita bertiga ya!”Pinta Vinan pada Deo.

Deo bergegas meninggalkan mejanya dan dengan cepat pergi meninggalkan ruangan itu untuk
mengambil mapnya.

Setelah sepuluh menit berlalu tidak ada tanda-tanda kemunculan Deo. Vinan sudah hampir
selesai mengisi formulirnya. Di bukanya lembar terakhir formulir itu, ia merasa lega sekali hampir
menyelesaikan isian formulir itu.

“Ada yang mau menyusul Deo?”Tanya Vinan.

Andri dan Manus tidak menjawab, mereka saling tatapan dan membuka lembaran formulir
yang telah diisinya.

“Baiklah kalau kalian tidak bersedia, aku saja yang pergi.”Vinan emosi pada Manus dan
Andri yang tidak menanggapinya.

Tiba-tiba Deo muncul dari depan pintu dengan nafas terengah-engah, map di tangannya basah
oleh keringat tangannya.

“Lama benar kamu ambil mapnya?”Tanya pria itu.

“Di ruangan itu habis pak dan saya pergi ke warung dekat lapangan bola membeli map
ini.”Deo menjelaskan pada pria itu.

Pria itu tidak menanya lagi dan ia berjalan ke belakang Vinan dan Andri. Setelah semua diisi,
mereka berempat menyerahkan formulir beserta mapnya ke dedepan menuju wanita tadi.

“Ini Bu formulirnya.”Vinan menyerahkan semua map ke wanita itu.

Vinan melihat ibu itu menuliskan sebuah kertas bertulisan BELUM LENGKAP di sebuah
kertas putih dan menempelkan di map yang ia kumpulkan. Vinan tidak berani menanyakan, lalu ia
pergi meninggalkan wanita itu.

“Tunggu dulu. Kalian harus melengkapi persyaratan ini dan dikumpulkan paling lama akhir
semester satu.”Pinta wanita itu.
Vinan menerima empat lembar kertas putih. Ia tidak membukanya dan langsung membagikan
kertas itu kepada temannya (Deo, Manus dan Andri) sesuai dengan nama yang tertulis di kertas itu.
Mereka berempat lalu pergi meninggalkan ruangan pendaftaran itu dengan cepat. Di luar ruangan
Manus mencoba membaca isi kertas itu.

“Huuuuuuh.”Manus menghembuskan nafasnya dan mengelus dadanya.

“Emang isinya apa Nus?”Tanya Vinan

Deo dan Andri yang juga penasaran membuka kertas itu. Mereka berdua hanya terdiam dan
melipat kembali kertas itu. Vinan makin heran dengan isi kertas itu dan mencoba membukanya
sendiri. Wajahnya seketika berubah melihat isi kertas itu, keningnya mengkerut.

“Nanti kita pikirkan.”Vinan berusaha menenangkan suasana.

Mereka berempat lalu kembali berjalan pulang. Jalan sudah mulai kering disinari teriknya
sinar matahari. Sandal jepit bisa digunakan untuk melewati jalan itu. Perjalanan selama 30 menit tidak
terasa. Mereka lumayan merasa capek berjalan kaki selama 30 menit itu dan langsung beristirahat.

“Inilah yang akan aku jalani tiga tahun ke depan.”Vinan berbicara sendiri di kamarnya.

Vinan kembali melihat kertas tadi yang ada di kocek celananya dan membacanya kembali.

Anda mungkin juga menyukai