Anda di halaman 1dari 5

WHAT IF

“Danan dan kepergian Adik.”

by Armaraher
Sore itu hujan sangat deras, seorang cowok berkaus putih dengan kemeja flannel cokelat dan
jeans hitam yang membalut tubuhnya hanya bisa termenung menatap ke arah luar jendela.
Dinginnya udara, berisiknya suara air hujan yang jatuh ke bumi tidak membuatnya bergerak
mundur untuk melindungi dirinya dari gemercik air yang masuk ke dalam kamar. Pandangannya
kosong saat ia harus menerima fakta adiknya telah pergi. Raut wajah tegas yang biasa Danan
perlihatkan kini berganti dengan raut wajah kehilangan, putus asa, dan menyesal.

Seandainya malam itu Danan tidak tidur, adik satu-satunya yang ia punya tidak akan
pergi selamanya. Setelah Uan tewas dalam kecelakaan bersama Oma dalam perjalanan menuju
rumah sakit, saat itu penyesalan besar memukul Danan telak. Karena seandainya Danan tidak
berbohong kepada Bunda, ia yang akan tetap mengantarkan Uan dalam keadaan selamat.

Malam itu… Mungkin adalah malam yang berat bagi Riyan. Semua rasa sakit yang ia
pendam tidak mampu lagi ditahan atau sekadar membaginya pada Danan, hingga akhirnya ia
memilih untuk menyudahi segala rasa sakit itu dengan meminum berbagai obat-obatan yang ia
beli di apotek setelah pulang sekolah.

“Bang, obat apa yang bisa sembuhin Iyan?”

Cowok berambut hitam yang memiliki bulu mata lentik itu bungkam ketika mengingat
suara dan pertanyaan Riyan dua hari lalu. Danan sudah menyarankan Riyan untuk pergi ke
psikolog sebagai salah satu cara meyembuhkan luka-luka batinnya, tapi Riyan menolak karena
memikirkan biaya yang harus dikeluarkan untuk konsultasi tidak murah.

“Mahal… Kalo Iyan rajin datang ke psikolog apa Bunda nanti nggak marah? Bunda
udah nggak kerja lagi. Iyan nggak mau dibilang beban….”

“Abang bisa kuliah sambil kerja buat biaya Iyan ke psikolog nanti.”

Namun, saat itu Riyan hanya tertawa mendengar penuturan Danan yang akan kuliah
sambil berkerja. Ia justru mengejek Danan yang akan kelelahan karena harus menanggung beban
sakit dirinya, lalu, Riyan terdiam dan melanjutkan kembali memakan soto ayam yang Danan
belikan. Begiu juga Danan yang kembali berusaha untuk mengajak Adiknya berbincang
membahas topik lain.

Dari sana rasa penyesalan Danan muncul. Setelah sadar air hujan hampir membasahi
lantai kamarnya, ia langsung menutup jendela kamar rapat-rapat. Membuat suasana kamarnya
terasa begitu sunyi. Pandangan Danan tidak sengaja melihat ke arah pintu kamar Riyan yang ada
di seberang kamar.

Pintunya tertutup dan terkunci.


Bunda dan Ayah sangat terpukul setelah kepergian Riyan, sehingga mereka milih untuk
tidak tinggal di rumah ini terlebih dahulu sampai keadaan membaik. Sedangkan Danan satu-
satunya orang yang memilih menempati rumah ini dengan alasan Riyan butuh ditemani.

Kejadian malang itu terjadi dini hari pukul 04.00. Saat Bunda mendatangi kamar Riyan,
karena sebelumnya Riyan sempat meminta Bunda untuk membangunkannya pagi karena ada
jadwal piket sekolah yang mengharuskan ia datang lebih awal. Wanita berambut sebahu itu panik
bukan main saat melihat keadaan anaknya sudah terkapar di lantai dengan mulut berbusa dan
mata terpejam, obat-obatan yang menjadi penyebab terkaparnya Riyan terlihat berhamburan di
lantai. Wajah pucat sang anak membuatnya tidak sanggup membangunkan Riyan atau berteriak
meminta pertolongan. Ia dibuat terpaku dengan bibir membisu selama beberapa saat.

Tangan Bunda yang bergetar memegang tangan Riyan yang dingin.

“Danan! Danan tolong Iyan!”

Teriakan Bunda terdengar begitu menyakitkan jika Danan ingat kembali. Semuanya
menyesali karena tidak ada satu pun yang sadar akan kesakitan Riyan. Seharusnya malam itu
Danan menemani Riyan, mendengarkan semua keluhannya, rasa sakit serta beban yang ia pikul
sendirian. Dokter menyatakan Riyan meninggal karena overdosis obat-obatan dan terlambat
dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan penanganan lebih cepat.

Danan belum menangis sedikitpun semenjak kepergian Riyan, hatinya bagai dikungkung
batu dan menolak semua yang terjadi.

“Yan… Ini Abang,” ucap Danan lirih di depan pintu tertutup itu.

Sunyi, tidak ada jawaban.

“Abang udah benerin sepeda Iyan yang rantainya lepas, Iyan bisa sekolah lagi nanti....”
Danan seakan tidak sanggup untuk melanjutan ucapannya. Sungguh sesak ketika ditinggal secara
tiba-tiba oleh orang yang tumbuh sedari kecil dengannya. Padahal sebelumnya Riyan sudah
memberikan sinyal betapa lelahnya ia hingga memerlukan obat untuk penyembuh lukanya.

“Bang, Iyan butuh obat. Orang-orang nggak percaya Iyan sakit.”

Danan meringis perih saat tangannya mulai menyentuh pintu berwarna cokelat itu, dingin
sekali. Sama seperti terakhir kali Danan mencium pipi sang Adik sebelum pemakaman. Riyan
akan tertidur lama, menyisakan Danan sendirian melawan luka batinnya yang semakin lebar.

“Iyan sama Uan punya rumah baru, ya? Yang ada sepedanya, yang punya mainan
banyak, yang nggak akan ada lagi Abang di sana buat ngurus Uan sama Iyan.”

Danan memejamkan matanya sesaat saat bulir-bulir air mata itu jatuh membasahi
pipinya. Pertama kalinya Danan menangisi kedua sang adik dalam satu waktu. Cowok itu
memukul dadanya pelan dengan kepalan tangan, hatinya berdenyut sakit. Mengapa Tuhan
membiarkan Danan sendirian di tengah luka-lukanya yang belum sembuh.

“Abang… kita pulang ke rumah Oma, ya.” Suara berat sang Ayah datang bersamaan
dengan tubuh Danan yang luruh ke lantai.

Kedua kakinya seakan sudah tidak lagi mampu menahan beban di pundaknya yang berat,
ia menundukkan kepala sembari menangis penuh sesal. Ayah yang berdiri tidak jauh dari Danan
segera menghampiri putranya, lalu berjongkok dan mengelus punggung rapuh itu pelan.

“Ada Ayah di sini, Bang… Kasih beban Abang ke Ayah.” Pria itu mulai berkaca-kaca
melihat keadaan Danan yang sangat jauh dari kata baik-baik saja. Ayah sedikit kecewa dengan
Danan yang seolah menganggap bahwa putra sulungnya itu baik-baik saja. “Kalau Abang sakit,
Ayah Bunda juga sakit.”

“I-iyan yang sakit, Yah,” kata Danan getir.

Ayah mengangguk, berusaha paham dengan apa yang Danan ucapkan.“Ayah mau jemput
Abang, kita tinggal di rumah Oma, ya.”

Cowok itu berusaha menghirup udara banyak untuk melepas semua sesaknya yang terus
mendera. Ia menatap mata sang Ayah, mencari sedikit ketenangan di sana. Namun, Danan jutsru
semakin dibuat sakit. Mengingat bagaimana sikap sang Ayah kepada dirinya dan Riyan selama
ini.

Derai air mata itu semakin berjatuhan, ia mendorong tubuh Ayahnya agar menjauh dari
Danan yang berusaha menarik dirinya mundur sambil terduduk di lantai. Wajah Danan memerah
menahan amarah, ia menunjuk ke arah sang Ayah.

“BUAT APA? BUAT APA DANAN IKUT AYAH BUNDA TINGGAL DI RUMAH
OMA? DANAN BISA HIDUP SENDIRI!” Keadaan Danan sudah tidak keruan, keringat
membasahi kening dan anak rambutnya, serta kemejanya yang ikut terkena tetesan keringat.
Mata sayu itu menatap tajam, melindungi dirinya dari segala kata maaf yang akan terucap.

Tangan besar Ayah berusaha menggapai Danan, pria itu ingin sekali mendekap sang anak
yang sedang rapuh. Namun, ia tidak bisa melakukan apa pun ketika melihat penolakan Danan.

“Maaf, Nak.”

Danan menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. “MAAF, MAAF… BUAT
APA MAAF! DANAN NGGAK BUTUH MAAF AYAH!”

Hujan yang mengguyur rumah sore itu mulai perlahan mereda, digantikan oleh isak
tangis seorang anak sulung yang harus kehilangan dua adiknya. Semuanya tumpah begitu saja di
hadapan sang Ayah yang hanya bisa diam menunduk sembari mengakui kesalahannya pada diri
sendiri. Namun, Ayah masih berharap pada Danan dengan segala kata maaf yang tidak akan
mampu membayar semua hal yang sudah telah terjadi.

“Danan, butuh Ayah...,” lirihnya sembari menghapus air mata di pipi. “Tapi, dulu. Bukan
sekarang.”

Ayah menatap sendu Danan diiringi dengan helaan napas beratnya.

“Maaf, Nak....”

Anda mungkin juga menyukai