Anda di halaman 1dari 5

Jodoh Bukan Pilihan

Meilana sebenarnya sosok yang rapuh, dia memiliki hati yang tidak sekeras
baja. Pertahanan yang ia lakukan selama ini hanya topeng egoisme semata. Dia tetap
kukuh dengan melakukan penolakan bukan karena tidak menginginkan Andika sebagai
jodohnya akan tetapi karena ia belum mampu meruntuhkan egonya. Di suatu senja yang
temaram saat gerimis perlahan berubah menjadi hujan, lamat-lamat Lana mendengarkan
perbincangan orang tuanya di ruang keluarga. “Bagaimana ini pak, apa yang sebaiknya
kita sampaikan kepada keluarga Pak Irawan?” Pertanyaan Ibu Lana lebih mirip sebuah
keluhan. Suaminya tidak menjawab hanya menggeleng pasrah. Dan perlahan senja pun
semakin memudar dengan kegelisahan yang menggelayut di hati kedua orang tua Lana.

Andika bukan orang baru bagi Lana, dia anak dari teman ibunya. Usia mereka
hanya terpaut satu bulan. Lana lahir di Bulan Nopember sedangkan Andika dilahirkan
pada Bulan Oktober. Meskipun demikian mereka memang tidak akrab, mungkin karena
tempat tinggal mereka berjauhan, namun Lana sangat dekat dengan ibu Andika.
Sebenarnya Lana punya alasan mengapa ia menolak mentah-mentah lamaran Andika.
Lana kembali mengingat kejadian empat tahun silam. Saat itu perayaan ulang tahun ke-
4 adik kedua Andika dan Lana hadir di sana. Masih jelas terngiang di telinganya ketika
Andika diam-diam menghampirinya di dapur dan berkata “Tidak usah sok baik, bantu
ini dan itu, toh aku tidak bakalan suka sama kamu”. Deg! Bumi seakan berhenti
berputar sejenak, ucapan Andika tepat menghunjam ulu hatinya. Tidak ada angin tidak
ada hujan tiba-tiba petir seakan menyambar kesadarannya, namun ia berusaha
menanggapinya dengan bijak.

“Santai saja, empat tahun itu bukan waktu yang singkat, masih banyak hal yang
bisa terjadi dan tidak menutup kemungkinan keadaan akan berbalik tiga ratus enam
puluh derajat” ucapan Lana berakhir dengan sebuah tarikan senyum yang lebih mirip
lengkungan patah. Sekuat hati ia menahan air matanya agar tidak membentuk anak
sungai di pipinya dan ia akan lebih mirip sebuah badut yang mengundang cemoohan.

1
Sejak mereka mulai beranjak remaja orang tua Andika memang secara
gamblang mengutarakan keinginananya kepada orang tua Lana untuk menjodohkan
Andika dan Lana namun Andika terus menerus memberikan penolakan secara tegas
sampai pada Hari Selasa yang lalu tiba-tiba ibu Andika menelfon orang tuanya dan
menyatakan bahwa Andika meminta Lana untuk dijadikan istri. Pada awalnya orang tua
Lana sangat bahagia karena perjodohan ini sudah lama direncanakan. Lana memang
tidak pernah memberitahu orang tuanya tentang perang dingin yang terjadi antara
dirinya dan Andika. Dia tidak mau mebuat hati ibunya teriris pilu karena penolakan
Andika. Kurang lebih empat tahun Lana menyimpan rapat-rapat kepiluan hatinya dan
sekarang Andika datang memporak-porandakan perasaannya sehingga luka itu kembali
menganga dan basah.

Andika bukan tidak mengetahui kondisi hati Lana yang luka karena ucapannya
yang setajam belati sehingga menorehkan luka yang tak kunjung mengering. Itulah
alasannya mengapa ia meminta ibunya untuk menelfon orang tua Lana. Ia bertekad
setelah Lana mengetahui niatnya maka ia akan berupaya dengan cara apapun agar luka
di hati Lana bisa sembuh dan menerimanya kembali seperti empat tahun yang lalu. Dan
hari ini adalah hari Minggu, waktu yang dipilih Andika untuk memulai semua
usahanya. Dengan meminjam mobil ayahnya ia melaju dengan hati yang ia sendiri sulit
memahaminya. Gugup, malu, optimis datang bersamaan menciptakan ruang-ruang
hampa di sudut nalurinya. Membayangkan penolakan yang mungkin dilakukan Lana
kepadanya seketika membuat hatinya nelangsa. Namun tekadnya untuk mendapatkan
kembali pengakuan Lana lebih besar.

Di kejauhan tampak pagar rumah Lana, cat berwarna peach lembut sedikit
menentramkan hatinya yang bergejolak. Ia sengaja tidak memberi kabar tentang
kedatangannya. Ia takut Lana pergi untuk menghindarinya. Ditekannya bel dengan hati-
hati sambil mengucap salam. Terdengar langkah-langkah ringan dari dalam rumah.
Setelah pintu terbuka dijumpainya sebentuk wajah yang sangat ia kenal. Lana berdiri di
sana dengan wajah kaku dan terkejut, ia tidak menyangka orang yang sangat tidak
diinginkannya hadir di hadapannya. Dia sudah hendak berbalik ketika Andika
menangkap tangannya dengan tatapan penuh permohonan. “Lan, tolong beri aku

2
kesempatan kali ini. Banyak hal yang ingin aku bicarakan, setelah itu kamu berhak
menolak lamaran ini”. Lana tidak menjawab, dihempaskan tangan Andika dengan kasar
kemudian berbalik dan berjalan masuk ke dalam rumah. Ibu Lana yang tiba-tiba hadir di
ruang tamu hanya memandang bisu kepergian Lana.

“Duduk dulu Dik, ibu buatkan minum ya” perempuan setengah baya itu
berusaha menetralisir keadaan. Andika hanya tersenyum miris dan mengikuti perkataan
ibu Lana. Tidak lama berselang Ibu Lana keluar dengan segelas teh manis hangat di atas
nampan. “Ayo diminum nak Dika” tanpa ekspresi Andika menyesap tehnya dengan
perlahan. “Sebenarnya ada apa di antara kalian ? Lana juga belum menyampaikan
alasan penolakannya. Dan ibu lihat, Lana juga tidak memiliki seorang teman laki-laki
yang bisa dianggap teman dekat”. Ibu Lana berucap dengan hati-hati, ia takut
pertanyaannya membuat Andika tersinggung. “Maaf bu, Dika belum bisa
mengatakannya sekarang. Dika akan menyelesaikan permasalahan ini dengan Lana.
Dika hanya mohon do’a dari ibu agar kami dapat menyelesaikan permasalahan ini
dengan baik dan pernikahan kami segera diselenggarakan” Andika menutup ucapannya
dengan diam. Seribu harap bergelayut di hatinya agar semuanya baik-baik saja.
Sementara Lana di kamarnya dengan isak tertahan berusaha mengesampingkan egonya
namun hatinya belum mau berdamai. Mungkin tidak untuk saat ini tapi entahlah nanti
karena Sang Pemilik hati berkuasa membolak-balikkan hati.

Siang ini Lana berencana mengunjungi pameran buku. Dia memang hobi
mengoleksi buku. Selain alasan itu Lana juga berfikir bahwa berada di keramaian bisa
sedikit meredam riak halus yang semakin bergejolak di hatinya. Pertarungan emosi
antara mempertahankan ego dan memenuhi harapannya karena sebenarnya jauh di sudut
hatinya tersimpan harapan untuk tetap menerima perjodohan ini. Jika saja ia memiliki
dua hati maka satu hatinya ia gunakan untuk tetap memelihara ego dan hati lainnya ia
gunakan untuk memupuk harapannya terhadap Andika. Namun itulah mungkin alasan
Sang Pencipta hanya menciptakan satu hati agar kita bisa memilih apa yang harus
dilepas dan apa yang semestinya kita pertahankan.

Lana masih bingung dengan hatinya ketika sebuah lengan merengkuh pundaknya
dengan kokoh dan ditemukannya tubuh Andika menjulang di sampingnya. Lana

3
berusaha menepis rangkulan Andika dengan halus namun Andika lebih kuat
mencengkramkan jari-jarinya di pundak Lana. Karena tidak ingin terlihat aneh Lana
menurut saja ketika Andika membimbingnya perlahan menuju mobil di parkiran.
Andika mendudukkan Lana dengan hati-hati di kursi penumpang di samping kursi
kemudi lalu menutup pintu masih dengan hati-hati seolah-olah takut kalau tiba-tiba
Lana melarikan diri. Mobil melaju perlahan dengan keadaan yang masih senyap. Tidak
ada suara, mereka sibuk dengan fikiran masing-masing. Andika berusaha keras
menemukan diksi yang tepat untuk memulai pembicaraan sedangkan Lana lebih
memilih diam seribu bahasa.

Agak lama mereka terpekur dalam diam, sepanjang jalan Lana hanya menatap
layar ponselnya sementara Andika fokus mengemudi. Tiba-tiba Lana merasa seperti
mengenali arah jalan yang mereka lalui. Dan benar, mereka ke arah rumah Dika.
“Kenapa kita ke sini?” pertanyaan Lana memecah kesunyian. Dika tidak menjawab, dia
hanya sekilas melihat wajah heran Lana. Mobil memasuki halaman rumah Dika yang
luas dan asri. Kenangan itu kembali membayang di pelupuk mata Lana, bayangan ketika
Andika Putra melakukan penolakan terhadap dirinya. Andika keluar dari mobil disusul
Lana dengan ragu-ragu. Rumah sedang sepi karena orang tua Andika sedang keluar
kota, itulah alasan mengapa Dika lebih memilih rumah untuk membicarakan banyak hal
dengan Lana.

“Mau minum apa La?” tanya Dika hati-hati. “Tidak usah, langsung saja, apa
tujuan kamu membawaku kesini?” tukas Lana tanpa basa-basi. Andika memperbaiki
posisi duduknya, berdehem beberapa kali kemudian akhirnya membuka suara. “Aku
minta maaf La, benar-benar minta maaf”. Andika menatap Lana tepat di manik
matanya, dia berharap menemukan maaf di sana. Ingin rasanya Meilana berteriak
menjelaskan perasaan yang selama ini ia pendam dalam-dalam namun sepertinya
Andika belum menyelesaikan ucapannya. “Kamu pasti tidak tahu apa yang aku rasakan
setelah hari itu, aku menyesal Lana, sangat menyesal. Tapi aku tidak berani mendatangi
kamu untuk meminta maaf. Berkali-kali aku mencoba untuk menemui kamu, di rumah,
di kampus atau dimana saja saya melihat kamu. Tapi selalu aku batalkan dan memilih
menjagamu dari jauh. Dan saat ini aku berani melamar kamu karena aku tahu kamu

4
belum memiliki seseorang yang istimewa di sampingmu” Andika terdiam sejenak dan
kembali menatap Lana. “Jika selama ini kamu memupuk kebencian terhadap diriku
maka yang terjadi denganku adalah sebaliknya. Mati-matian aku membunuh perasaan
bersalahku kepadamu namun yang terjadi adalah perasaan rindu yang semakin sulit aku
abaikan. Sekarang aku pasrah La, aku sudah menjelaskan semuanya dan kamu berhak
memberikan keputusan apa saja. Apapun yang menjadi pilihanmu akan aku terima
dengan ikhlas”. Andika menutup ucapannya dengan suara tertahan. Ingin dipeluknya
wanita yang selama empat tahun ini menjadi fokus perhatiannya, memberikan
keyakinan bahwa bersamanya ia berani mengarungi kehidupan yang keras sekalipun.
Asal Lana bersedia berjalan bersisian dengannya maka semuanya akan baik-baik saja.

Meilana belum membuka suara. Dia masih berusaha mencerna apa yang
barusan ditangkap oleh panca indranya. Suara Dika yang parau seperti tangis tertahan,
tatapan matanya yang sayu seolah penuh dengan pengharapan dan Lana sendiri
menyentuh dada kirinya, memeriksa apakah hatinya baik-baik saja di sana? Tanpa ia
sadari air matanya menetes ke pangkuannya tepat saat mata Andika tertuju padanya.
Andika bingung memaknai air mata Lana, apakah sebuah penolakan atau pengakuan.
Andika meraih tangan Lana, menggenggamnya dengan erat dan meletakkannya di
dadanya yang bergemuruh. Lana tidak menolak, dia merasakan detak jantung Dika
dengan sangat baik seolah-olah merupakan penanda bahwa mereka memang ditakdirkan
bersama. Lana terisak, ada haru yang menyeruak di palung hatinya dan Andika
memaknainya sebagai sebuah pengakuan. Ia merengkuh Lana dengan lembut,
mengusap pucuk kepalanya dengan haru dan Lana membenamkan wajahnya ke dada
Andika. Hatinya terasa ringan melepas semua kebencian yang selama ini menggelayuti
kehidupannya. Lana membayangkan wajah kedua orang tuanya yang tersenyum bahagia
saat mendengarkan keputusannya dan Andika tidak lagi bingung untuk menjelaskan
kepada orang tuanya alasan Meilana menolak lamarannya. Andika mempererat
pelukannya, memberikan keyakinan kepada Lana bahwa dirinyalah pusaran bahagianya.
Jodoh memang tak seharusnya dipilih karena dia akan datang dengan caranya sendiri,
menitahkan perasaan pada orang yang dipilihnya.

Anda mungkin juga menyukai