Anda di halaman 1dari 7

Semua Pasti Ada Masanya

Penulis: Gusti Ayu Made Swatini

*Direkomendasikan membaca cerita ini dengan lagu Bunga Terakhir


– Bebi Romeo

“Semua pasti ada masanya.. Tapi, bukan ini yang aku maksud..”

***

6 November 2022..

“Shana, turun nak.. sarapan udah jadi nih..”

“Iya, ma. Shana turun..”

Suara langkah kaki mendekat ke arah ruang makan. Aroma roti


bakar dengan selai kacang dan the melati yang harum memenuhi
ruang makan. Perut Shana mulai keroncongan.

“Hmm.. Shana makan duluan ya, ma..” Shana bergegas duduk di meja
makan. Ibunya menyiapkan piring dan menata makanannya di
piring Shana.

“Makan yang banyak ya. Kamu kan mau ada ujian hari ini..” Ibu
Shana tersenyum hangat sambil menuangkan the hangat untuk
Shana.

“Iya, ma..”

Dengan lahap, Shana menghabiskan sarapannya. Ia menyelesaikan


sarapannya dan mulai berangkat ke sekolahnya dengan sepeda
kesayangnannya yang dibelikan oleh ayahnya sebelum ayahnya
meninggal dunia.
Suara kicauan burung yang indah, udara pagi yang sejuk dan aroma
bunga yang bermekaran sepanjang jalan membuat suasana sangat
tenang. Shana menikmati ketenangan itu sambal menggayung
sepedanya menuju sekolah. Namun, tiba-tiba…

“BWAH!”

“WAAA!!” Shana kehilangan keseimbangannya.

Dari belakang, ada seseorang mengejutkan Shana. Shana terkejut.


Shana hampir terjatuh. Shana memutarkan pandangannya
kebelakang dan melihat temannya, Kana, tertawa terbahak-bahak
melihat reaksi Shana. Pipi Kana memerah karena tertawa, rambut
hitam panjangnya terurai dengan pita merah yang manis di
kepalanya.

“Aish Kana!! Bisa ga sih lo jangan ngagetin gue?! Nanti kalo gue jatoh
gimaana?!?!” Geram Shana.

“Maaf Shana.. Habis lo ninggalin gue.” Kana cemberut.

“Hmm mulai mulai..”

Kana tertawa kembali. Kana orang yang ceria dan penuh


kehangatan. Tidak heran jika ia sering tertawa dan sedikit usil
dengan temannya. Namun, dibalik keceriaannya, Kana kekurangan
kasih saying dari kedua orang tuanya. Ibunya tidak menganggap
Kana sebagai anaknya dan menganggap Kana sebagai Anak
Pembawa Sial. Sedangkan ayahnya… Entahlah.. Kana jarang
berkomunikasi dengan ayahnya.

Shana menggelengkan kepalanya dan tersenyum lebar. Setelah itu,


mereka mulai menggowes pedal sepedanya, menuju ke sekolah. Di
sepanjang perjalanan, mereka berbincang tentang hal yang
beragam. Mulai dari pelajaran, binatang, bahkan membicarakan
orang lain. Bukan untuk ditiru okay? hehe…
Sesampainya di kelas, mereka segera duduk di bangku mereka dan
tak lama kemudian bel masuk kelas berbunyi. Kring Kring…

Ujian mereka dimulai.

Suasana hening memenuhi ruang kelas. Hanya ada keseriusan dari


masing-masing murid yang sedang mengerjakan ujian mereka.
Begitu pula dengan Shana dan Kana. Mereka terlihat fokus dengan
kertas ujian mereka.

Kring Kring..

Bel pulang sekolah berdering. Shana dan Kana bergegas pergi ke


parkiran sepeda di mana sepeda mereka terparkir.

Mereka berbincang tentang soal-soal ujian yang mereka kerjakan


tadi. Namun, Shana menyadari sesuatu. Di lengan sebelah kanan
Kana, terdapat memar yang membiru.

“Kana.. Lo kenapa? Kenapa bisa begini?” Tanya Shana dengan nada


khawatir.

Dengan segera Kana menutupi memar itu. “Gapapa kok.. Cuman tadi
malem gue kebentuk pintu kok..” Kana tersenyum.

“Jangan bilang ini ulah bunda lo lagi?”

Kana hanya diam. “Ga kok, sha.. Cuman kejedot pintu”

“Yaelah, lain kali lo harus hati-hati.. Jadi orang barbar sih..” Shana
tertawa meledek. Mencoba mencairkan suasana.

“Yeh.. Yang barbar itu bukannya kamu?”

Mereka tertawa meledek satu sama lain. Melupakan hal yang tadi
mereka bahas.

Dan merekapun pulang kerumah mereka masing-masing.

***
Kana, sesampainya di rumah Kana masuk kekamarnya. Tak
berselang lama, terdengar suara pecahan gelas. Dengan segera, Kana
mengintip dari pintu. Dia melihat jika orang tuanya sedang
bertengkar hebat. Ya.. Hal itu sudah biasa Kana dengar. Kana juga
tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.
Sejak kecil, Kana sudah dibenci oleh kedua orang tuanya.

Entah kenapa, kali ini ayahnya membawa koper dan pergi keluar
rumah. Ibunya terdiam, menahan amarahnya sambil terduduk lemas
di lantai. Dengan segera Kana menghampiri ibunya.

“Bunda gapapa?!” Tanya Kana dengan suara yang bergetar.

“Diam! Ini salah kamu!” Ibunya menjawab dengan nada emosi yang
memuncak.

“Bun..”

Ibunya berdiri, mendekat ke arah Kana.

“Ini semua karena kamu!! Anak sialan! Kenapa saya melahirkan


kamu huh??!” Cacinya meluapkan semua amarahnya. Kana terdiam.
Badannya bergetar. Dia tidak tau harus melakukan apa.

“Kamu itu anak pembawa sial! Karena kamu suami saya ninggalin
saya!!! Saya sangat menyesal melahirkan kamu! Makanya kamu-“

“Udah, bun udah!!!” Teriak Kana memotong pembicaraan ibunya.

“Oh.. Berani ya kamu memotong pembicaraan saya!!” Tanpa pikir


panjang, Ibunya menampar pipinya Kana hingga pipi Kana
memerah. Kana memegang pipinya, menahan rasa sakit. Kilauan air
mata tergenang di mata Kana. Air matanya berangsur-angsur jatuh
ke pipinya.

“Kalo bunda ga mau ngelahirin aku, kenapa bunda masih pertahanin


pas aku dalam kandungan!! Kenapa bunda ga-“
“Itu karena nenekmu akan memberikan hartanya untuk saya jika
saya memberikan dia cucu!!! Ternyata nenek tua itu mati duluan
sebelum saya ngelahirin kamu.. Terus, hartanya malah turun ke
bapakmu yang ga guna itu!” Hinanya sambil melipat tangannya di
dadanya.

Badan Kana bergetar. Pipinya basah kala air mata berjatuhan.


Bibirnya bergetar menahan rasa sesak.

“Bun, kalau Kana mati.. Gimana?” Secara tiba-tiba Kana menanyakan


hal itu.

“Aduh jangan panggil saya bunda lagi!! Itu sih terserah kamu. Saya
ga ngurus! Saya mau pergi dulu!” Ibunya mulai membalikkan
badannya dan pergi keluar rumah.

Lutut Kana terasa lemas. Kana terjatuh dan terduduk lemas di atas
lantai. Wajahnya di banjiri air mata. Dia memukul dadanya menahan
rasa sesak. Aku harus pergi dari dunia ini…

***

Sementara itu, Shana duduk di atas kasurnya menghadap


jendelanya. Terik matahari menyinari halaman belakangnya. Bunga-
bunga bermekaran. Shana merenung. Sebenarnya, apa yang terjadi
dengan Kana?? Lengan dia terdapat memar. Apakah dia baik baik
saja?? Pikiran Shana larut memikirkan hal itu. Dengan segera, Shana
mengambil telepon genggamnya. Shana terkejut, Shana
mendapatkan 10 panggilan tak terjawab dari Kana dan 1 pesan dari
Kana, bertuliskan “Shana, maafin gue ada salah.. Gue udah ga kuat,
sha.. Gue ga berguna.. Terima kasih Shana.”

Shana panik. Segara Shana melacak telepon genggam dari Kana.


Terlacak! Telepon genggam Kana ada di daerah pantai, di atas
jembatan tua yang sepi oleh orang berlalu lalang. Shana langsung
mengambil tasnya dan berlari menuju jembatan tua di mana Kana
berada. Sesampainya di sana, Shana melihat Kana sudah berdiri di
tembok jembatan.

“Kana!!” Teriak Shana.

Kana menoleh ke arah Shana. Matanya bengkak, merah dan sembab


karena menangis. Dia tersenyum hangat dan manis yang sangat
melekat dengan dirinya. Shana melihat hal itu langsung berlari ke
arah Kana. Tapi, dengan segera Kana menerjunkan dirinya ke lautan
bebas.

“KANA!!” Shana kaget dan langsung berlari ke arah Kana mencoba


mengambil pergelangan tangan Kana agar Kana tidak terjatuh
namun gagal. Hening.. Hawa tidak nyaman menyelinuti sekitar
seketika. Shana terlambat. Badan Shana bergetar. Air mata mulai
mengalir ke pipinya. “Kana.. Jangan pergi..”

2 tahun setelah kejadian itu, Shana masih tidak percaya dengan apa
yang dia lihat. Bangku yang di duduki Kana penuh dengan buket
bunga dan ucapan berduka. Di jembatan tua dimana kejadian itu
terjadi, Shana selalu menaruh sebuket bunga mawar putih,
kesukaan Kana setiap minggunya. Ayahnya Kana ternyata sangat
peduli dengan Kana. Ayahnya sangat terpukul setelah kejadian itu
terjadi. Sedangkan ibunya menghilang tanpa kabar. Shana selalu
menangis jika mengingat kejadian itu. Perasaan menyesal, bersalah
menyelimuti hati Shana. Shana berpikir karena ia terlambat
menolong Kana. Shana merasa jika dirinnya bukan pendengar yang
baik. Dia gagal menjadi sahabat yang bisa menolong sahabatnya.
Kenangan mereka tertawa bersama, bermain bersama hanya tinggal
kenangan. Senyum terakhirnya, terngiang-ngiang dibenak Shana
setiap malam. Teman yang selama ini menemani dan bersama
Shana, sudah menjadi bintang yang bersinar dilangit.
Semua terjadi begitu cepat. Kita tidak tau kapan orang yang kita
sayangi akan pergi selamanya. Menjadi bintang-bintang di langit dan
bersinar terang. Aku merindukan senyuman manismu, tawamu yang
lembut dan pita merah yang manis di kepalamu, Kana. Andaikan,
waktu bisa diputar kembali, kan ku peluk kembali dirimu

-Nashana Andhira

Tamat

Anda mungkin juga menyukai