Anda di halaman 1dari 7

MY MOM AND MY EDUCATION

Anindita Virgina Putri

Di pagi hari, matahari nampaknya sedang bersemangat


menunjukkan eksistensinya membuat cuaca pada pagi ini sangat
cerah. Namun, berbanding terbalik dengan raut wajah sang gadis
yang sedang berdiam diri di ruang makan, raut wajahnya mendung.
Ia tidak menyentuh sama sekali makanan yang ada di meja makan.
Hal tersebut membuat sang ibu mengerutkan alisnya bingung, “Aya
sayang, ayo dong dimakan sarapannya. Keburu telat lho nanti,
jangan cemburut didepan makanan,” ujar sang mama. Anaya, si
puan yang raut wajahnya sedang suram menghela nafas pelan. Ia
terpaksa menyuapkan satu sendok nasi dan lauk kedalam mulutnya.
“Mama, Aya kesel. Kenapa hari ini harus pembagian ulangan
matematika? Aya gak suka, pasti nilai Aya jelek, kalah sama yang
curang,” keluh Anaya. Sang ibu tersenyum tipis mendengarkan
keluhan dari Anaya, kemudian berkata sembari mengelus kepala
Anaya, “ini baru ulangan harian Anaya, gak apa kalah sama yang
curang. Karena pemenang yang jujur itu perlu berproses. Anaya
udah keren, kamu udah mau mengerjakan dengan jujur. Anaya gak
perlu bersedih kalau kalah sama yang curang, tandanya mereka gak
pernah berproses. Nanti kalau hasilnya udah keluar, jangan lupa
bangga sama diri sendiri ya.”

“Apa yang perlu dibanggain dari hasil nilai ulangan jelek, ma??”
Tanya Anaya. Di pikiran Anaya hanya satu, apa yang perlu ia
banggakan dengan hasil nilai ulangan yang jelek? Tidak ada bukan?
Sang mama yang mendengar pertanyaan dari Anaya tertawa pelan,
Anaya bingung, apakah ada yang lucu dari pertanyaannya?

“Kamu harus bangga, karena kamu udah berusaha dan mau belajar.
Kamu harus bangga karena kamu gak memilih seperti mereka,
curang,” jawab sang mama sembari mengelus kepala Anaya.
Anaya memberengut kesal, liat hasil ulangannya jelek. Ia
menoleh ke bangku selatan, teman-temannya disana bersorak ria
mendapatkan nilai yang bagus, tentu saja dengan hasil curang.
Anaya menghela nafas pelan, ia teringat nasihat ibunya tadi pagi.
Iya, Anaya harus bangga setidaknya ia tidak dengan cara curang.
Jam istirahat telah tiba, Anaya mengajak teman sebangkunya,
Hannah, untuk berbelanja di kantin. Ia lupa membawa bekal. “Lo
udah tau belum kalau udah diumumin tentang pembayaran spp?”
Tanya Hannah ketika mereka sedang perjalanan menuju ke kantin.
Anaya mengangguk pelan, “udah, waktu itu udah diumumkan di
grup,” jawab Anaya seadanya. Sesampainya dikantin, mereka mulai
mencari tempat duduk dan memesan makanan. Seseorang
nampaknya sedang mengalihkan fokus Anaya, mata Anaya
menangkap sesosok laki-laki yang tengah membagikan brosur,
sepertinya kakak kelasnya. Ia menghampiri kakak kelas tersebut,
untuk meminta brosur yang sedang dibagikan. “Permisi kak, boleh
minta satu?” Tanya Anaya pelan. Kakak kelas tersebut tersenyum
tipis sembari memberikan brosur kepada Anaya, “ayo ikut dek,
lumayan hadiahnya. Kalau mau ikutan, temui kakak di kelas 11
MIPA 1, kakak tunggu sampai tanggal 1 November,” ujar sang kakak
kelas kemudian berlalu meninggalkan Anaya. Anaya segera kembali
ke kantin dan menuju ke tempat duduknya. “Darimana aja lo
Ayaaaaa? Nih bakso lo keburu dingin. Gue kira lo ninggalin gue ke
kelas tau,” gerutu Hannah dengan raut wajah kesal. Anaya tertawa
pelan, “aku habis minta brosur tadi di kakak kelas, lomba menulis
cerpen. Lumayan hadiahnya dapet beasiswa, bagus gak sih kalau
aku ikutan?” Tanya Anaya sembari menyuapkan sesendok bakso ke
mulutnya. “Cocok banget, lo kan suka nulis. Tapi apa nyokap lo
setuju?? Beliau kan agak gimana gitu kalau soal kaya gini. Beliau aja
ngelarang lo jadi penulis,” tutur Hannah. Anaya terdiam, Hannah
benar. Apakah mamanya akan setuju jika ia mengikuti lomba
menulis??
Anaya melihat suasana rumah yang sepi, sepertinya
mamanya belum pulang dari toko kue. Mama Anaya merupakan
pedagang kue, ia mempunyai toko yang tak begitu jauh dari rumah
mereka. Anaya memutuskan untuk membersihkan diri, sepulang
sekolah memang sangat melelahkan apalagi Anaya pulang sekolah
pukul 4 sore. Selesai mandi, Anaya melihat mamanya yang sedang
mencuci peralatan kue yang kotor. “Mama dari kapan pulang?”
Tanya Anaya sambil membantu mamanya membereskan peralatan
kue. “Baru aja nak, o iya kamu makan malam sama ayam bakar mau
gak? Tadi dikasi ayam bakar sama Bu Indah, anaknya baru selesai
sunatan,” ucap sang mama. Anaya mengangguk senang, sudah lama
ia tidak makan ayam bakar. “Ma,” panggil Anaya. “Kenapa sayang??”
Jawab sang mama. Anaya terdiam sejenak, kata-kata sudah diujung
lidah tapi bibirnya terasa kelu untuk mengucapkannya. “Gapapa,
Aya cuma manggil aja hehehehe,” pada akhirnya hanya kalimat itu
yang dapat Anaya ucapkan. Yang sebenarnya, Anaya takut untuk
mengatakan bahwa ia ingin mengikuti lomba menulis cerpen.
Selesai makan malam, Anaya memutuskan untuk belajar,
rencananya setelah selesai belajar Anaya ingin membantu mamanya
untuk menyiapkan kue yang akan diperjual-belikan besok. “Mama,
Anaya bantu ya buat besok, boleh yaa ma, Aya udah selesai belajar,”
pinta Anaya kepada sang mama. “Gak usah nak, kamu istirahat aja.
Tugas kamu itu belajar, biar gak ngecewain mama sama papa. Kalau
urusan kerjaan itu mama aja,” ujar sang mama lembut. Anaya
mengangguk pelan, ia menghela nafas sebelum akhirnya kembali ke
kamar.

“Anaya, lo udah ngomong sama mama lo soal lomba cerpen


itu?” Tanya Hannah. Anaya menggeleng pelan, “belum. Aku masih
takut buat ngomong sama mama,” jawab Anaya lesu. Hannah
menghela nafas pelan, “lumayan hadiahnya, Aya. Lo dapet beasiswa,
dan lo gak perlu nunggak bayar spp lagi kaya semester 1 lalu. Lo
juga gak perlu ngerepotin mama lo soal uang sekolah.” Baru saja
Anaya ingin menjawab, tiba-tiba Irin yang tidak sengaja mendengar
percakapan mereka memotong, “hello, Anaya lo gak usah sok-sokan
pengen ikutan lomba cerpen itu. Palingan lo bakalan kalah dari gue
dan ujung-ujungnya tetep nunggak bayar spp terus dikeluarin deh
dari sekolah. Dan saingan gue berkurang. Hahahahaha, keluarga lo
kan miskin,” ejek Irin. Anaya yang tidak terima dengan ejekan
tersebut menatap Irin dengan tatapan sinis, “yang penting aku gak
tukang curang kaya kamu. Daripada kamu, lebih gak berguna. Tugas
joki, ulangan curang, omongan sukanya nyakitin. Kasian ya, orang
tua kamu yang bayarin spp mahal-mahal, eh anaknya malah gak
berproses, malah curang. Setidaknya sebelum ngatain orang
bercermin dulu. Udah sempurna belum, jangan jadi tukang bully,”
balas Anaya tak kalah sinisnya. Akhirnya ia bisa mengeluarkan kata-
kata yang selama ini terpendam tentang Irin. Irin terdiam, menatap
Anaya sinis kemudian meninggalkan Anaya dan Hannah yang belum
bisa memproses kejadian tadi. Ia tidak percaya bahwa Anaya akan
membalas, biasanya Anaya hanya diam saja ketika Irin
membullynya. Sepulang sekolah, Anaya melihat secarik kertas
ditempelkan di kulkas. “Aya, mama lembur. Kamu makan malam
bikin nasi goreng aja ya. Mama mau cari uang tambahan buat bayar
spp kamu 3 minggu lagi. Mama gamau kamu nunggak lagi bayar spp.
Pintunya kamu kunci aja ya, mama bawa kunci cadangan. Mama
sayang Anaya.” Anaya tak kuasa menahan air matanya ketika
membaca tulisan di kertas tersebut. Anaya merasa menjadi bagi
mamanya. Anaya mengusap air matanya, “aku harus ikut lomba itu.
Aku harus dapat beasiswa. Biar mama gak capek-capek terus,” batin
Anaya dalam hati. Keesokan harinya, disekolah, Anaya benar-benar
mendaftarkan dirinya. Disini ia berdiri, didepan kelas 11 MIPA 1
bersama kak Gean, yang membagikan brosur lomba tempo hari lalu.
“Lombanya minggu depan, kamu sepulang sekolah harus ikut
bimbingan. Lomba ini tingkat nasional, sekolah menginginkan yang
terbaik. Bimbingannya sama kakak nanti, semangat yaa,” ujar kak
Gean sembari tersenyum. Dan selama seminggu penuh Anaya
mengikuti bimbingan, selama seminggu itupun mama Anaya
mencari uang tambahan. Anaya menggunakan alasan kerja
kelompok ketika mamanya bertanya. Anaya terpaksa berbohong, ia
masih takut. Selama seminggu itupun Anaya dan mamanya jarang
berkomunikasi, mereka sama-sama sibuk. Biasanya ketika Anaya
pulang, mamanya sudah tertidur, ataupun sebaliknya.

Di suatu ketika, Anaya pernah merasakan lelah sekali,


sampai ingin rasanya ia berhenti mengikuti bimbingan. “Papa, Aya
capek banget. Aya capek fisik, Aya capek harus bohong setiap hari
sama mama. Tapi Aya terpaksa lakuin ini demi kelancaran
pendidikan Aya. Aya gamau sampai dikeluarin dari sekolah karena
nunggak bayar spp dan itu pasti buat mama sedih. Papa selalu
dukung keputusan Aya kan?” Anaya sudah seperti orang tidak
waras, ia berbicara sendiri sembari menoleh ke atas langit,
menganggap bahwa langit itu adalah papanya. Setiap difase sedang
lelah, Anaya selalu berbicara kepada langit berharap langit
menyampaikan keluh kesahnya kepada papanya. “Mama, Anaya
pulang,” ujar Anaya sambil membuka pintu. Anaya terkejut ketika
mendapati sang mama berdiri di ruang tamu dengan tatapan dingin.
Sebenarnya yang membuat Anaya terkejut adalah ketika sang mama
membawa brosur lomba menulis cerpen milik Anaya. Darimana
sang mama mendapatkan brosurnya???

“Mau menjelaskan soal ini Anaya Christina, kenapa selama ini kamu
bohongi mama?? Selama seminggu itu kamu bimbingan kan, bukan
kerja kelompok??” Tanya mama. Anaya menundukkan kepalanya,
seperti orang yang ketahuan mencuri saja. “Ma, Aya minta maaf,”
lirih Anaya. Sang mama menghela nafas pelan, “mama butuh
penjelasan, bukan cuma permintaan maaf aja,” tegas sang mama.
"Aku ngelakuin semua ini biar mama ga perlu kepikiran sama uang
spp aku. Aku juga gamau sampai telat bayar spp dan berakhir di
keluarin dari sekolah. Itu sama aja bikin mama sama papa sedih.
Aku gak suka tiap malam liat mama lembur dan kepikiran uang
pendidikan aku. Aku juga mau ngelanjutin pendidikan aku dengan
tenang. Ma, aku juga pengen banggain mama sama papa, aku
pengen banggain kalian berdua," jelas Anaya dengan suara lirih
seperti akan menangis. Sang mama terdiam, ia tidak tau harus
berkata apa. Melihat respon mamanya yang terdiam, Anaya
memegang tangan mamanya dan mengelusnya pelan, "mama please,
doain aku. Aku sayang sama mama. Aku gamau ngerasa beban buat
mama. Aku tau mama ga suka aku menulis. Tapi itu bakat aku, itu
yang bisa aku lakuin biar bisa banggain mama." Sang mama
memandang Anaya dengan wajah sendu, kemudian memeluknya
dan tangis Anaya pun pecah. "Kamu gak harus sembunyiin ini dari
mama. Mama merasa jadi orang tua gak berguna, mama ngerasa
ngelarang kamu. Kamu tau? Mama ga pernah sama sekali ngerasa di
bebani sama kamu, mama ngerasa senang kalau bisa bekerja buat
kamu. Mama gak marah Aya, mama bangga sama kamu, mama
selalu bangga dengan nilai-nilai yang kamu kasih ke mama. Mama
jadi liat kamu berproses. Anaya, mama akan selalu dukung dan
doain kamu nak, jangan sembunyiin apa-apa dari mama lagi, nak.
Mama mohon," tutur mama Anaya sembari melepas pelukannya dan
mengusap air mata Anaya. Anaya mengangguk, "mama, Anaya
sayang sama mama. Anaya gak akan menyembunyikan apapun lagi.
Anaya janji akan banggain mama dan papa." Pada malam itu, Anaya
menjadi lega. Ia sudah mendapat dukungan mamanya. “Tuhan, Aya
berharap agar Aya bisa memenangkan lomba dan membahagiakan
mama dan papa,” batin Anaya.

Hari perlombaan pun tiba, Anaya sedari tadi tidak bisa


menghilangkan rasa gugupnya. Ia membawa 3 harapan, sekolah,
mama papanya, dan kakak pembinanya, kak Gean. 5 menit sebelum
lomba dimulai, Anaya memejamkan matanya pelan, mengingat
nasihat mamanya tadi pagi. "Kerjakan dengan jujur ya Aya, biar
kamu gak sia-sia dengan proses kamu. Kamu akan berhasil pasti,
karena kamu sudah mau belajar dan berproses. Jangan gugup ya
sayang, doa mama selalu menyertai kamu, dan papa selalu ada
disamping kamu." Anaya membuka matanya dan tersenyum,
memandang ke arah langit, "papa dukung Aya ya pa, biar mama gak
susah susah biayain pendidikan Aya," batin Anaya. Anaya terkaget
ketika bahunya ditepuk, rupanya kak Gean. "Masuk gih, good luck
yaaa!! Kakak yakin kamu pasti bisa," Kak Gean menyemangati.
membuat Anaya menjadi semakin percaya diri. Lomba sudah selesai
20 menit yang lalu, dan sekarang pengumuman juara. Anaya sangat
gugup, ia takut. "Jadi, perlombaan sudah berakhir dan para juri
sudah mendapatkan pemenangnya," ujar sang juri. Anaya
memejamkan matanya, tidak ingin mendengarkan kalimat
selanjutnya, ia takut. "Pemenangnya adalah, Anaya Christina dari
sekolah Nusa Indah School." Anaya terkejut, ia hampir tak
mempercayainya. "Kakak, serius aku yang menang??" Tanya Anaya
memastikan. Kak Gean mengangguk semangat. Anaya sangat
senang, "mama papa, Anaya gak mengecewakan kalian," batin Anaya
bangga dalam hati.

Anaya pulang dengan bangga tak lupa dengan sertifikat


beasiswa dan juara ditangannya. Ia membuka pintu rumahnya,
memperlihatkan sertifikatnya dengan bangga kepada sang mama.
Sang mama memeluk Anaya, memberinya afeksi bangga. "Anak
mama paling keren, mama dan papa bangga dengan proses mu.
Anak mama paling hebat," bisik sang mama. Anaya tersenyum di
pelukan mamanya. Anaya sudah berhasil membanggakan orang
tuanya dan tidak perlu menyusahkan mamanya dengan biaya
pendidikan.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai