“Apa yang perlu dibanggain dari hasil nilai ulangan jelek, ma??”
Tanya Anaya. Di pikiran Anaya hanya satu, apa yang perlu ia
banggakan dengan hasil nilai ulangan yang jelek? Tidak ada bukan?
Sang mama yang mendengar pertanyaan dari Anaya tertawa pelan,
Anaya bingung, apakah ada yang lucu dari pertanyaannya?
“Kamu harus bangga, karena kamu udah berusaha dan mau belajar.
Kamu harus bangga karena kamu gak memilih seperti mereka,
curang,” jawab sang mama sembari mengelus kepala Anaya.
Anaya memberengut kesal, liat hasil ulangannya jelek. Ia
menoleh ke bangku selatan, teman-temannya disana bersorak ria
mendapatkan nilai yang bagus, tentu saja dengan hasil curang.
Anaya menghela nafas pelan, ia teringat nasihat ibunya tadi pagi.
Iya, Anaya harus bangga setidaknya ia tidak dengan cara curang.
Jam istirahat telah tiba, Anaya mengajak teman sebangkunya,
Hannah, untuk berbelanja di kantin. Ia lupa membawa bekal. “Lo
udah tau belum kalau udah diumumin tentang pembayaran spp?”
Tanya Hannah ketika mereka sedang perjalanan menuju ke kantin.
Anaya mengangguk pelan, “udah, waktu itu udah diumumkan di
grup,” jawab Anaya seadanya. Sesampainya dikantin, mereka mulai
mencari tempat duduk dan memesan makanan. Seseorang
nampaknya sedang mengalihkan fokus Anaya, mata Anaya
menangkap sesosok laki-laki yang tengah membagikan brosur,
sepertinya kakak kelasnya. Ia menghampiri kakak kelas tersebut,
untuk meminta brosur yang sedang dibagikan. “Permisi kak, boleh
minta satu?” Tanya Anaya pelan. Kakak kelas tersebut tersenyum
tipis sembari memberikan brosur kepada Anaya, “ayo ikut dek,
lumayan hadiahnya. Kalau mau ikutan, temui kakak di kelas 11
MIPA 1, kakak tunggu sampai tanggal 1 November,” ujar sang kakak
kelas kemudian berlalu meninggalkan Anaya. Anaya segera kembali
ke kantin dan menuju ke tempat duduknya. “Darimana aja lo
Ayaaaaa? Nih bakso lo keburu dingin. Gue kira lo ninggalin gue ke
kelas tau,” gerutu Hannah dengan raut wajah kesal. Anaya tertawa
pelan, “aku habis minta brosur tadi di kakak kelas, lomba menulis
cerpen. Lumayan hadiahnya dapet beasiswa, bagus gak sih kalau
aku ikutan?” Tanya Anaya sembari menyuapkan sesendok bakso ke
mulutnya. “Cocok banget, lo kan suka nulis. Tapi apa nyokap lo
setuju?? Beliau kan agak gimana gitu kalau soal kaya gini. Beliau aja
ngelarang lo jadi penulis,” tutur Hannah. Anaya terdiam, Hannah
benar. Apakah mamanya akan setuju jika ia mengikuti lomba
menulis??
Anaya melihat suasana rumah yang sepi, sepertinya
mamanya belum pulang dari toko kue. Mama Anaya merupakan
pedagang kue, ia mempunyai toko yang tak begitu jauh dari rumah
mereka. Anaya memutuskan untuk membersihkan diri, sepulang
sekolah memang sangat melelahkan apalagi Anaya pulang sekolah
pukul 4 sore. Selesai mandi, Anaya melihat mamanya yang sedang
mencuci peralatan kue yang kotor. “Mama dari kapan pulang?”
Tanya Anaya sambil membantu mamanya membereskan peralatan
kue. “Baru aja nak, o iya kamu makan malam sama ayam bakar mau
gak? Tadi dikasi ayam bakar sama Bu Indah, anaknya baru selesai
sunatan,” ucap sang mama. Anaya mengangguk senang, sudah lama
ia tidak makan ayam bakar. “Ma,” panggil Anaya. “Kenapa sayang??”
Jawab sang mama. Anaya terdiam sejenak, kata-kata sudah diujung
lidah tapi bibirnya terasa kelu untuk mengucapkannya. “Gapapa,
Aya cuma manggil aja hehehehe,” pada akhirnya hanya kalimat itu
yang dapat Anaya ucapkan. Yang sebenarnya, Anaya takut untuk
mengatakan bahwa ia ingin mengikuti lomba menulis cerpen.
Selesai makan malam, Anaya memutuskan untuk belajar,
rencananya setelah selesai belajar Anaya ingin membantu mamanya
untuk menyiapkan kue yang akan diperjual-belikan besok. “Mama,
Anaya bantu ya buat besok, boleh yaa ma, Aya udah selesai belajar,”
pinta Anaya kepada sang mama. “Gak usah nak, kamu istirahat aja.
Tugas kamu itu belajar, biar gak ngecewain mama sama papa. Kalau
urusan kerjaan itu mama aja,” ujar sang mama lembut. Anaya
mengangguk pelan, ia menghela nafas sebelum akhirnya kembali ke
kamar.
“Mau menjelaskan soal ini Anaya Christina, kenapa selama ini kamu
bohongi mama?? Selama seminggu itu kamu bimbingan kan, bukan
kerja kelompok??” Tanya mama. Anaya menundukkan kepalanya,
seperti orang yang ketahuan mencuri saja. “Ma, Aya minta maaf,”
lirih Anaya. Sang mama menghela nafas pelan, “mama butuh
penjelasan, bukan cuma permintaan maaf aja,” tegas sang mama.
"Aku ngelakuin semua ini biar mama ga perlu kepikiran sama uang
spp aku. Aku juga gamau sampai telat bayar spp dan berakhir di
keluarin dari sekolah. Itu sama aja bikin mama sama papa sedih.
Aku gak suka tiap malam liat mama lembur dan kepikiran uang
pendidikan aku. Aku juga mau ngelanjutin pendidikan aku dengan
tenang. Ma, aku juga pengen banggain mama sama papa, aku
pengen banggain kalian berdua," jelas Anaya dengan suara lirih
seperti akan menangis. Sang mama terdiam, ia tidak tau harus
berkata apa. Melihat respon mamanya yang terdiam, Anaya
memegang tangan mamanya dan mengelusnya pelan, "mama please,
doain aku. Aku sayang sama mama. Aku gamau ngerasa beban buat
mama. Aku tau mama ga suka aku menulis. Tapi itu bakat aku, itu
yang bisa aku lakuin biar bisa banggain mama." Sang mama
memandang Anaya dengan wajah sendu, kemudian memeluknya
dan tangis Anaya pun pecah. "Kamu gak harus sembunyiin ini dari
mama. Mama merasa jadi orang tua gak berguna, mama ngerasa
ngelarang kamu. Kamu tau? Mama ga pernah sama sekali ngerasa di
bebani sama kamu, mama ngerasa senang kalau bisa bekerja buat
kamu. Mama gak marah Aya, mama bangga sama kamu, mama
selalu bangga dengan nilai-nilai yang kamu kasih ke mama. Mama
jadi liat kamu berproses. Anaya, mama akan selalu dukung dan
doain kamu nak, jangan sembunyiin apa-apa dari mama lagi, nak.
Mama mohon," tutur mama Anaya sembari melepas pelukannya dan
mengusap air mata Anaya. Anaya mengangguk, "mama, Anaya
sayang sama mama. Anaya gak akan menyembunyikan apapun lagi.
Anaya janji akan banggain mama dan papa." Pada malam itu, Anaya
menjadi lega. Ia sudah mendapat dukungan mamanya. “Tuhan, Aya
berharap agar Aya bisa memenangkan lomba dan membahagiakan
mama dan papa,” batin Anaya.
TAMAT