Anda di halaman 1dari 9

Indahnya Birrul Walidain

Oleh :
Marila Diva Juliyanda

Pada bulan ramadhan, di sebuah surau desa terlihat seorang pemuda sedang
mengumandangkan adzan subuh. Adzan itu terdengar indah, lantang, serta
mengalun mengikuti irama. Para jamaah segera meluruskan shaf untuk
melaksanakan sholat subuh. Selang beberapa menit, ibadah sholat subuh telah
ditunaikan, para jamaah berbondong-bondong kembali ke rumah masing-masing,
tetapi tidak dengan pemuda itu.

Setiap kali selesai sholat subuh, pemuda itu bersama teman-temannya


meluangkan waktu untuk bertadarus al-Qur'an. Karena di bulan ramadhan harus
memperbanyak amal ibadah, baik sholat, tadarus, maupun bersedekah. Pemuda itu
bernama Angga. Ia terkenal sebagai pemuda yang rajin, taat beribadah, sholeh,
dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Dan ia juga merupakan siswa SMAN
Nusa Bangsa yang duduk di kelas 12 MIPA 2.

Suatu hari, Angga pernah ijin tidak masuk sekolah karena merawat Ibunya
yang sedang sakit-sakitan. Kondisi perekonomian keluarganya terbilang
menengah ke bawah. Ibunya bernama Aminah dan Ayahnya bernama Ahmad
yang bekerja sebagai tukang bangunan. Ia memiliki 2 adik kembar yang bernama
Anisa dan Alifa yang masih kelas 5 SD. Angga pun harus menjaga Ibunya tatkala
ketika Ayahnya sedang bekerja. Angga yang mencuci pakaian ibunya,
membuatkan makanan, dan memberi obat dari resep dokter untuk meredakan
sakitnya dan terkadang bergantian dengan adik-adiknya.

Suatu ketika sang Ibu mengatakan sesuatu kepada Angga.

"Nak, sejak 3 hari Ibu jatuh sakit dan kamu tidak masuk sekolah karena merawat
Ibu." Tangan sang Ibu meraih salah satu tangan Angga. "Ibu mohon … mulai hari
ini kamu sekolah ya. Raih apa yang kamu cita-citakan." Pinta sang Ibu dengan
nada lirih.

"Maaf Bu. Tapi Angga tidak tega meninggalkan Ibu sendirian di rumah. Ayah
kerja dan adik-adik Angga juga sekolah semua. Siapa yang menemani dan
merawat Ibu nanti?" balas Angga dengan nada terisak. Ia hampir saja menangis.
Tetapi ia harus menahannya, ia tak mau melihat Ibunya sedih karena air matanya
dan Angga juga merasa khawatir dengan kondisi Ibunya.

"Ibu baik-baik saja. Kan ada Mbok Surti yang bisa menjaga dan merawat Ibu.
Kamu sekolah saja ya nak. Kalau kamu ijin terus nanti kamu ketinggalan
pelajaran." Ibu Aminah tersenyum lepas, di balik rasa sakitnya, ia begitu tulus
melepaskan senyumannya.

Angga mengangguk. "Baik Bu. Ibu baik-baik ya di rumah. Semoga Ibu segera
sembuh. Angga berangkat sekolah dulu Bu. Assalamu'alaikum." Angga meminta
salam kepada sang Ibu. Sebelum melepaskan salamnya, sang Ibu mengelus
rambutnya.

"Iya nak. Wa'alaikumsalam."

Sang Ibu merasa sedih dengan kondisi yang dialaminya. Banyak hal yang
sebenarnya ia ingin lakukan jika ia tidak sakit seperti ini. Semenjak didiagnosa
leukimia sejak 5 bulan yang lalu dan berangsur-angsur sedikit-demi-sedikit pulih,
tiba-tiba saja kesehatannya menurun drastis. Tiga hari yang lalu, sang Ibu tidak
bisa apa-apa hanya terbaring lemah di tempat tidur. Tetapi sang Ibu tidak
menyerah. Ia harus kuat melawan penyakitnya. Karena ia ingin melihat anak-
anaknya sukses nanti. Dan Ibu Aminah pun berdoa kepada Allah.

"Allahumma bariklii fii 'aulaazdii waahfathhum wa laa tathurra hum waarzukna


birrohum." (Ya Allah, limpahkanlah kebaikan yang banyak kepada anak-anak
hamba, jagalah mereka dan jangan Engkau celakakan mereka. Karuniakanlah
kepada kami ketaatan mereka)

"Ya Rabb tolong sembuhkan dan angkat penyakit yang hamba derita. Hamba
ingin sekali melihat anak-anak hamba sukses. Tapi jika Engkau mengambil
hamba, tolong jagalah anak-anak dan suami hamba. Aamiin Ya Rabbal Alamin."

Sang Ibu menangis di dalam doanya. Ia mengharap belas dan kasih Allah
SWT. dan Ibu Aminah yakin, Allah SWT. Akan memberikan takdir yang baik
bagi hambanya.

Di sekolah, Angga mendapatkan pelajaran di kelas. Pada saat jam


pembelajaran berlangsung, wali kelasnya memberitahukan bahwa 2 pekan lagi
kelas 12 akan ujian EHB-BKS. Dan meminta seluruh anak didiknya untuk belajar
mempersiapkan ujian.

"Anak-anak 2 pekan lagi kalian akan mengikuti ujian sekolah EHB-BKS. Nanti
ujiannya dibagi menjadi dua sesi. Sesi pagi dan sesi siang. Jangan lupa untuk
membawa identitas kartu peserta ujian. Dan persiapkan diri kalian, belajar dengan
tekun supaya nanti nilainya memuaskan. Aamiin."

"Iya Bu. Aamiin."

Seluruh seisi kelas mengharapkan nilai yang terbaik, termasuk Angga. Ia


berharap, semoga ia bisa lulus dengan nilai terbaik dan membuat kedua orang
tuanya bangga serta tersenyum bahagia atas apa yang Angga peroleh.

Bel pulang berbunyi. Angga segera bergegas pulang menuju rumahnya


dengan mengayuh sepedanya. Jarak yang ditempuh dari sekolah ke rumah sekitar
4 km. Meskipun dalam keadaan berpuasa, ia harus semangat dalam menimba ilmu
agar cita-citanya tercapai.
Sesampainya Angga di rumah. Ia disambut oleh adik-adiknya. Sebelum
memasuki rumah, ia melepaskan sepatunya dan menaruh di tempat sepatu di teras
rumah.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam."

"Eh kakak sudah pulang." Anisa dan Alifa terlihat tersenyum ceria. "Tadi Anisa
sama Alifa dapat nilai matematika 100, Kak!" Mereka berdua menunjukkan hasil
ulangan itu dengan antusias.

Terukir ekspresi gembira pada wajah Angga. "Wah ... Alhamdulillah. Adik-adik
Kakak memang hebat!" ucap Angga seraya memberikan jempol.

"Alhamdulillah, terima kasih Kak!" Mereka berdua terkekeh.

"Sama-sama, terus pertahankan ya!"

"Tentu saja!" Ucap mereka dengan semangat.

Mbok Surti yang sedang berbincang dengan Ibu Aminah mendengar suara
Angga dari dalam kamar. Lalu ia pamit kepada Ibu Aminah untuk pulang ke
rumahnya untuk memasak menu buka puasa.

Mbok Surti adalah tetangga dekat keluarga Ayah Ahmad. Beliau dianggap
seperti keluarga sendiri. Tak jarang Mbok Surti berada di rumah Ayah Ahmad
untuk menjaga dan merawat Ibu Aminah.
"Nak Angga. Tadi Ibu Aminah sudah makan dan sudah minum obat." kata Mbok
Surti.

"Iya, makasih Mbok."

"Iya. Saya pulang dulu ya nak, mau masak untuk berbuka puasa."

"Sebentar Mbok, ini ada gula untuk Mbok." Anisa dan Alifa memanggil Mbok
Surti, hampir saja lupa dengan pesan Ibunya. "Tadi Ibu berpesan kepada kami
berdua untuk memberikan gula ini kepada Mbok Surti."

"Alhamdulillah. Terima kasih banyak ya nak."

"Iya Mbok. Sama-sama."

Setelah itu, Angga membersihkan badannya dan mengganti pakaiannya. Ia


dan adik-adiknya menuju ke dapur untuk memasak. Mereka semua bisa memasak
karena dulu mereka sering membantu Ibunya sebelum Ibu Aminah jatuh sakit.

Tidak lama kemudian, Ayah Ahmad pun datang.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam Ayah." Anak-anaknya menghampiri sang Ayah sembari


menyalami tangan lusuh Ayahnya.

"Anak-anak Ayah pintar sekali memasak. Nanti setelah selesai kita sholat maghrib
bersama-sama ya nak dengan Ibu. Dan jangan lupa untuk menata makanannya di
meja makan." ucap Ayah Ahmad mengingatkan.

"Baik Ayah." ucap mereka.


Ayah Ahmad pun segera membersihkan diri dan menuju kamar istrinya. Ia
melihat sang istri yang sedang tertidur pulas.

"Bu, cepat sembuh ya. Nanti kita kumpul-kumpul lagi seperti dulu. Ayah kangen
masakan Ibu." ucap Ayah Ahmad dengan lirih seraya mengusap surai sang istri
dan mengecup keningnya dengan penuh kasih sayang.

Waktu magrib pun tiba, keluarga Ayah Ahmad berbuka puasa. Istrinya tidak
berpuasa karena sakit. Setelah sholat maghrib bersama-sama, Ayah Ahmad dan
Angga melaksanakan sholat tarawih di surau. Sedangkan Anisa, Alifa, dan Ibunya
sholat di rumah. Selesai sholat sang Ibu bertanya kepada anaknya.

"Nak, bagaimana sekolahmu?" tanya sang Ibu.

"Alhamdulillah lancar Bu. Aku sama Anisa tadi di sekolah dapat nilai ulangan
matematika 100." jawab Alifa.

"Alhamdulillah nak, teruskan belajarmu sampai cita-citamu tercapai dan jangan


cepat merasa puas. Tetap belajar dan belajar. Buat Ayah Ibu bangga."

"Baik Bu, Anisa dan Alifa janji akan terus belajar dan membanggakan Ayah dan
Ibu." Mereka berdua memeluk sang Ibu. Mereka sangat menyayanginya.

Di surau, Angga dan Ayah Ahmad berdoa kepada Allah SWT.

"Ya Allah tolong ampunilah dosa kedua orang tua hamba. Ampunilah dosa hamba
dan dosa adik-adik hamba. Tolong sembuhkanlah penyakit Ibu hamba. Karena
hanya Engkaulah Maha Pemurah dan Maha Penyayang. Robbana atina fiddunya
hasanah wafil akhiroti hasanah waqina adza bannar. Aamiin."
"Ya Rabb tolong ampunilah dosa anak-anak hamba. Ampunilah dosa hamba dan
istri hamba. Tolong angkat penyakit yang istri hamba derita. Karena kami ingin
melihat anak-anak kami sukses nanti. Tetapi jika berkehendak lain, maka hamba
iklhas ya Allah. Karena hanya Engkaulah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Aamiin Ya Rabbal Alamin." Ucap sang ibu dengan nada lemah.

Setelah menunaikan sholat tarawih, Angga langsung pulang ke rumah untuk


mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian. Sementara sang Ayah menuju ke
kamar sang Istri untuk mengistirahatkan tubuhnya yang lelah.

"Ayah, Ibu mau bicara sebentar." kata Ibu Aminah membuka percakapan, sedikit
gugup.

"Iya Ibu. Mau bicara tentang apa?" tanya Ayah Ahmad, penasaran.

"Ibu minta maaf ya jika Ibu ada salah sama Ayah. Maaf karena akhir-akhir ini Ibu
merepotkan Ayah karena penyakit yang Ibu derita ini. Jika Ibu dipanggil oleh
Allah. Ibu titip anak-anak ya Ayah. Ibu ingin melihat mereka sukses walau Ibu
tidak ada di dunia ini."

"Ibu, janganlah berkata seperti itu. Tidak baik. Hidup dan mati, hanya Allah yang
tahu." Ayah mengelus wajah Ibu." Ayah tidak merasa direpotkan Bu. Sudah
kewajiban seorang suami merawat istrinya. Ibu tidak usah memikirkan hal-hal
seperti itu. Cukup pikirkan kesehatan Ibu. Kasihan anak-anak jika Ibu terus-
terusan sakit. Dan Ibu harus kuat demi kita semua." Ayah menggenggam erat
tangan Ibu. Ia yakin masih ada harapan di balik itu.

"Terima kasih atas kata-katanya Ayah. Ibu tidak bisa membalasnya lagi. Dan ibu
yakin, Allah akan mengizinkan Ibu untuk sembuh dari penyakit ini. Tetapi jika
Allah berkehendak lain, tolong ikhlaskan Ibu ya Ayah." ucap istrinya sambil
berderai air mata dalam rengkuhan suaminya.
"Iya Bu." ucap sang suami yang tidak mampu berkata-kata lagi.

Dua pekan kemudian ujian sekolah berlangsung. Angga mengerjakan soal


dengan sungguh-sungguh. Detik demi detik, menit demi menit, dan jam demi jam
akhirnya ujiannya sudah selesai. Sudah 2 pekan Angga mengikuti ujian sekolah.
Dan, akhirnya ia lulus dengan nilai sempurna. Tetapi, kebahagiaannya tidak
berlangsung lama. Ibu Aminah yang ia cintai serta ia sayangi harus pulang
terlebih dahulu ke rahmatullah. Seolah-olah Allah ingin melihat Angga kuat atau
tidak dengan kenyataan yang begitu besar ini. Angga tau mungkin saja, Allah
sangat sayang kepada Ibunya, sehingga Allah tidak rela jika Ibunya terus seperti
itu. Mungkin ini sebuah jalan yang terbaik untuk Ibunya.

Ayah Ahmad dan anak-anaknya sudah mengikhlaskan kepergian sang Ibu.


Dan Angga tidak ingin berlarut-larut dalam kesedihan. Selang beberapa hari dari
sepeninggal Ibunya, Angga mencoba daftar SNMPTN melalui apa yang sudah ia
punya untuk membanggakan Ayah Ahmad dan almarhumah Ibunya. Angga lolos
dan masuk ke PTN impiannya, mengalahkan beberapa peserta lain dari daerah
yang sama. Angga mengambil Fakultas Biologi dengan Prodi Bioteknologi.
Alasannya, ia sangat menyukai mata pelajaran biologi dan ia berharap, ia bisa
melakukan sebuah terobosan dengan apa yang ia pelajari. Dan ia juga memiliki
tujuan untuk meraih cita-citanya sejak dulu.

Empat tahun kemudian semenjak Ibunya wafat, akhirnya Angga lulus kuliah
dan memperoleh gelar sarjana. Sulitnya proses pembuatan dan sidang skripsi telah
dilaluinya. Kedua adik-adiknya juga diterima di SMA favorit di kotanya karena
prestasi yang mereka peroleh. Ketiga anak-anak dari almarhumah Ibu Aminah dan
Ayah Ahmad semuanya sukses. Allah telah mengabulkan doa almarhumah Ibu
Aminah dan Ayah Ahmad. Karena kesuksesan seorang anak tergantung dari sikap
berbakti kepada kedua orang tuanya.

Anda mungkin juga menyukai