Anda di halaman 1dari 14

KALA SAMUDRA MEMELUK CAKRAWALA

UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA PELAJARAN BAHASA INDONESIA


GURU PENGAJAR: LUH PUTUH ARIES WIDIASTUTI

Disusun Oleh:
MIRANTI ANINDYA PUTRI
XII IPS 3 / 18

Jalan Borobudur 1 Kota Malang, Jawa Timur


KERANGKA CERPEN SEJARAH

Abstrak:

- Kanaia bersepeda menuju toko bunga untuk membeli mawar putih.


- Setelah mendapatkannya, ia melanjutkan perjalanan menuju pantai.
- Sesampainya disana, ia duduk di pinggir pantai dan meletakkan 2 tangkai mawar putih ke air.
- Ia duduk di pinggir pantai dan mengenang orangtuanya yang meninggal karena tsunami 12 tahun
lalu.

Orientasi:
- *flashback* Sejak pagi hari Kanaia dan Mama menyiapkan cookies untuk dibawa besok saat
sekolah untuk merayakan hari ulang tahun Kanaia.
- Selesai menyiapkan cookies, Kana, Mama, dan Papa sarapan bersama.
- Di tengah sesi sarapan, tiba-tiba mereka marasakan getaran dari dalam tanah dan suara
gemuruh yang kencang dari kejauhan.
- Saat mengecek keluar rumah, gelombang ombak yang tinggi sedang mendekat ke arah mereka.
Komplikasi:
- Papa dan Mama langsung membawa Kana berlari menuju ruko dengan lantai yang tinggi untuk
berlindung dari ombak tsunami.
- Tapi saat mereka akan mencapai lantai teratas ruko, ada sepasang lansia yang kesusahan untuk
naik.
- Papa dan Mama memutuskan untuk membantu mereka dan menyuruh Kana untuk naik ke
lantai atas sendirian.
- Sesampainya di lantai atas, ada banyak orang yang juga berlindung tapi Kana tidak
menemukan orang tuanya.
- Gelombang ombak semakin mendekat, sementara Papa dan Mama masih membantu sepasang
lansia di lantai bawah.
- Papa dan Mama terlambat, tubuh mereka langsung disapu gulungan ombak saat hampir akan
memasuki ruko.
- Kana ingin turun menyelamatkan mereka, tapi ditahan oleh seorang anak laki-laki.
- Tepat setelah itu, ombak setinggi rumah 2 tingkat langsung membersihkan apapun yang ada di
luar ruko.
- Selama 10 menit tsunami berlangsung, Kana berlindung ditemani anak laki-laki tadi.
- Tsunami mulai surut setelah 10 menit, dan Kana akhirnya pingsan.
- Kana bangun 2 hari kemudian dengan kaki yang dibalut perban karena terluka saat
menyelamatkan diri.
- Anak laki-laki yang menolongnya memperkenalkan diri dengan nama Angkasa.
- Kana dan Angkasa menghabiskan waktu di camp pengungsian bersama untuk pemulihan
setelah keluarga mereka telah dinyatakan meninggal dunia.
- Beberapa hari kemudian, terdapat berita jika pemerintah Jerman mengirimkan bantuan militer
untuk membantu evakuasi dan pemulihan pasca tsunami.
Resolusi:
- Di camp bantuan dari Jerman,mereka bertemu dengan salah satu tentara yang ternyata memiliki
seorang istri dari Indonesia yang bernama Allan.
- Allan sudah tinggal cukup lama di Indonesia, di kota yang sama dengan Kana dan Angkasa
bersama istrinya dan 2 orang anaknya.
- Ia sedang kembali ke Jerman untuk urusan pekerjaan ketika terjadi tsunami.
- Istri dan kedua anaknya juga meninggal karena tsunami.
- Allan menawarkan diri untuk menjadi relawan kepada militer Jerman sebagai cara untuk
mengenang dan menghormati keluarganya yang sudah meninggal.
- Allan akhirnya memutuskan untuk menetap di Indonesia dan membangun sebuah panti asuhan.
- Kanaia, Angkasa, dan anak-anak yang keluarganya sudah meninggal di camp itu masuk ke
panti asuhan milik Allan.

Epilog:
- *flashback end* Terdengar suara langkah kaki, yang ternyata adalah Angkasa.
- Ia khawatir dan mencari Kana karena tidak ada di panti dan hari akan turun hujan.
- Melihat Kana yang sedih, Angkasa menenangkannya dan mengajak Kana pulang.
- Di panti, Allan sudah menunggu mereka dengan khawatir.
- Kana yang awalnya merasa sedih dan terpuruk, kini merasa lebih baik dan bersyukur bisa
selamat dari tsunami besar dan juga dikelilingi oleh orang-orang baru yang menyayanginya
layaknya seperti keluarga sekarang.
Kala Samudra Memeluk Cakrawala

Di sudut jalan yang tenang dan teduh, tersembunyi di antara bangunan-bangunan kota yang sibuk, di
antara padatnya kedai-kedai kecil yang berdempetan, di sebelah angkringan kopi yang masih tutup
karena barusan ada hujan lebat, Kanaia memberhentikan sepedanya. Tepat di samping keranjang bunga
daisy warna-warni yang terlihat semakin mencolok ketika ditimpa sinar mentari, Kana memarkir
sepedanya yang warna cat-nya tak lagi menyala.

Angin yang lembut membawa aroma campuran harum dari setiap bunga, terasa sangat menenangkan.
Kana mendorong pintu kayu di depannya dengan seluruh tenaga, sampai-sampai menggunakan separuh
badannya agar pintu jati raksasa ini bisa terbuka. Bel toko yang tergantung di atas pintu berbunyi
mengumumkan kedatangan Kana di sore yang dingin ini.

Dengan bentuk sederhana yang hanya dilapisi lapisan warna perunggu sebagai sentuhan antik, ketika
pintu terbuka, tali kecil yang terhubung dengan bel itu ditarik dan menghasilkan suara lembut yang
segera mengisi ruangan. Persis terdengar seperti melodi kecil yang menyambut setiap datangnya
pengunjung, bunyi yang dihasilkan merupakan kombinasi antara kejernihan dan kehangatan, selalu
berhasil membuat Kana merasakan kedamaian yang tak bisa ia temukan dimanapun.

Pemilik toko, seorang wanita berhati lembut dan senyum ramah, dengan penuh kasih sayang menyambut
Kana dengan sukacita. Bu Rani, begitulah biasanya Kana menyebutnya.

“Nak Kana! Sudah lama belum mampir lagi, Ibu jadi kangen sama kamu. Apa kabar anak manis?”

Memang nyata jika Kana belum singgah kesini lagi setidaknya dalam 2 minggu belakangan. Tugas
sekolah yang selalu menyerbu menjadi alasan utamanya ia tidak pergi kemana-mana selain ke sekolah
dan pulang lagi ke panti. Sangat melegakan untuk merasakan suasana menyenangkan yang sudah lama
tidak hadir lagi di hatinya.

“Bu Rani! Kana juga kangen banget. Maaf ya, Bu, kemarin-kemarin belum sempat belok kesini. Lagi
dihajar tugas habis-habisan, Bu, hehe.”

Kana membalas rentangan lebar tangan Bu Rani dengan sebuah pelukan hangat. Hubungan mereka lebih
dekat dari hanya sekedar pemilik toko bunga dan pelanggan. Sejak masuk panti, Kana hanya
mempercayai mawar putih yang dibeli dari toko Bu Rani. Karena mawar putih yang akan ia beli ini
untuk mereka yang terkasih, Kana harus mendapatkannya dari tempat paling spesial juga.

“Ndak usah minta maaf, Nak. Yang penting sekarang kamu sudah mengunjungi toko Ibu lagi sekarang.
Cari mawar putih, kan?”

Bu Rani sudah hafal betul pesanan Kana. Tapi memang jika dihitung-hitung, sudah bertahun-tahun
lamanya Kana selalu memesan jenis bunga yang sama. Gadis ini seperti tidak ada bosannya dengan
hanya mawar putih polos. Tapi menurut Bu Rani, Kana memang sangat cocok dengan mawar putih.
Kepribadiannya yang murni kaya akan kesederhanan sangat serasi dengan karakter mawar putih. Bahkan
waktu itu, Bu Rani pernah bilang kalau Kana adalah bentuk mawar putih jika menjadi manusia, yang
membuat Kana senyum-senyum sendiri selama perjalanan pulang ke panti.

“Seratus buat Bu Rani. Kana mau mawar putih…”

“Dua tangkai!” Bu Rani menyela dengan percaya diri.

“… dua tangkai, ya, Bu.”


Mereka berdua tergelak bersama. Toko bunga Bu Rani terasa lebih hidup dari sebelumnya.

“Ibu sampai sudah hafal di luar kepala, nih, hehe. Ya sudah, Ibu siapkan dulu, ya, Nak” Bu Rani pamit
untuk mengambil pesanan Kana dan beranjak menuju ke belakang meja kasir.

“Iya, Ibu, silahkan,” Kana membalas dengan sisa-sisa gelak tawa.

Sambil menunggu, Kana menyebarkan pandangannya ke seluruh sudut toko bunga. Ada mawar merah
muda di samping pintu masuk yang mekar dengan anggun, sementara bunga matahari kuning yang
sengaja diletakkan di balik jendela besar toko bersinar cantik di bawah sinar lembut sang surya.

Sementara itu lavender ungu di atas meja sana memberikan penampilan yang lembut serta menyebarkan
aroma harumnya yang menenangkan, dan kembang sepatu oranye di depan meja kasir menciptakan kilau
warna yang menyala-nyala. Begitu banyak bunga berbeda yang tumbuh bersama, menciptakan paduan
warna yang cantik.

Kedua mata Kana bersinar menatap kagum setiap sudut toko. Semuanya seakan sudah dinarasikan
dengan baik oleh sang pemilik. Suara lembut berdesir dari daun-daun hijau dan bunga yang ditata rapi,
menciptakan sebuah harmoni manis yang memanjakan telinga siapapun yang mendengarnya. Senyum
Kana tidak pernah pudar sejak langkah pertamanya di toko ini.

Bu Rani muncul dari balik meja kasir, membawa 2 tangkai mawar putih segar yang dibalut selembar
kertas koran yang terbit minggu lalu. Senyum Kana semakin merekah.

Dengan segera Kana merogoh saku yang ada di samping kanan gaun se-mata kakinya, untuk mencari
kepingan koin dan beberapa lembar uang kertas.

Bu Rani sempat menawarkan Kana untuk mampir minum teh dahulu, “Nak Kana mau minum teh telang
dulu? Ibu baru dapet stok tadi pagi, jadi masih segar-segar.”

Godaan wanginya teh telang yang diseduh dengan air hangat sempat membuat Kana goyah untuk
beberapa saat, apalagi mengingat dinginnya udara saat ini karena hujan yang baru reda. Tapi buru-buru
ia usir keinginan itu sebelum dirinya benar-benar berubah pikiran.

“Waduh, Bu, jangan bikin Kana goyah, dong. Buat hari ini, ndak dulu deh. Mau mampir ke Mama Papa
dulu soalnya udah 2 minggu belum ke pantai lagi, hehe.”

Langsung memahami maksud Kana, Bu Rani buru-buru mengangguk dan mengemasi beberapa sachet
teh telang untuk Kana bawa pulang, “Ah iya-iya, Ibu lupa kalau kamu harus cepat-cepat ke pantai. Ya
sudah, ini teh telangnya dibawa pulang aja, ya, Nak. Nanti diminum sama anak-anak lain.”

“Beneran, Bu? Waaah makasih banyak, ya, Bu Rani!” Kana bersorak riang, memeluk Bu Rani sekali
lagi.

“Iya, sama-sama anak cantik. Ya sudah, hati-hati ke pantainya, jalanan lagi licin, jangan ngebut bawa
sepedanya!” Bu Rani mengusap lembut kepala Kana beberapa kali.

Senyum Kana merekah lagi, apalagi kini tangannya penuh dengan kemasan teh telang.

Setelah berpamitan sekali lagi, Kana segera keluar meninggalkan toko bunga menyenangkan milik Bu
Rani. Tapi kali ini, Bu Rani-lah yang membukakan pintu jati raksasa untuk Kana karena tangan gadis
bergaun putih dengan renda katun ini penuh dengan mawar putih dan beberapa kemasan bunga telang.

Kana meletakkan 2 tangkai mawar putihnya di keranjang depan sepeda, sementara kemasan teh telang
ia masukkan di saku gaunnya yang sudah kosong.
Kana sempat melirik ke arah angkringan kopi di sebelah toko bunga yang ternyata sudah buka. Begitu
juga dengan kedai-kedai kecil yang sebelumnya tutup. Kana tersenyum singkat sebelum mengayuh
kembali sepedanya menuju destinasi yang baru.

Dengan kilauan embun di daun-daun yang masih basah oleh hujan baru saja reda, di antara pepohonan
yang menguarkan aroma segar, dan di atas tanah yang basah dengan bau khas sehabis hujan, Kana
mengayuh pedal sepedanya sekuat tenaga meniti jalan yang menanjak.

Rambut sebahunya yang sedikit basah karena tetesan air yang jatuh dari daun di atasnya menciptakan
bayangan indah yang memantul di sepanjang perjalanannya. Sepeda tua yang ia kayuh terdengar riang
melintasi genangan air kecil di jalan menapak, menandakan destinasinya sudah semakin dekat. Roda
sepedanya menyemburkan tetesan-tetesan air kecil di udara seiring dengan setiap putaran pedal, dan
sibuknya deru sepeda Kana menyatu dengan suara burung yang kembali berkicau setelah hujan.

Begitu bertemu dengan jalan setapak yang lebih kecil dari sebelumnya, Kana turun dari sepeda dan
menuntunnya. Jalanan sempit ini terlalu berbahaya untuk dilewati jika naik sepeda.

Perjalanan menyusuri jalan setapak Kana tempuh dalam waktu tidak sampai 3 menit. Segera setelah
menyelesaikan jalan setapak mungil, ia disapa oleh gubuk kayu yang aromanya lebih menguar dari
biasanya, pasti karena guyuran hujan tadi. Biasanya gubuk ini digunakan untuk para pengunjung pantai
berteduh. Tapi untuk saat ini, gubuk itu kosong sama sekali. Kana menyandarkan sepedanya di dinding
gubuk, mengambil 2 tangkai mawar putih spesialnya dan beranjak pergi ke pinggir pantai.

Ia melepas alas kakinya agar bisa merasakan tekstur pasir yang lembut. Kana melangkahkan kakinya
ringan yang disambut sentuhan ombak rendah yang bermian-main di pinggir pantai. Setiap langkahnya
meninggalkan jejak kecil di pasir yang segera diratakan oleh gelombang kecil yang sering mampir.

Tak ingin terlalu jauh dari gubuk tadi, Kana hanya berjalan sejauh 100 meter dari titik awal pantai.
Diletakkannya alas kakinya di tempat yang kiranya tidak akan bisa dicapai para gelombang kecil yang
melompat ke pesisir. Dikeluarkannya dua tangkai mawar putih dari Bu Rani, digenggamnya dengan
penuh hati-hati, kemudian Kana berjalan sedikit mendekat ke pinggir pantai, bertemu gelombang-
gelombang kecil yang sudah menyembul menyapanya sejak tadi.

Kana berlutut, badannya condong mendekat dengan air. Dengan 2 tangkai mawar putih yang digenggam
dengan penuh hormat, Kana memejamkan matanya, menyampaikan pesan yang ingin ia sampaikan
untuk mendiang Mama dan Papa-nya yang meninggal karena tsunami besar 12 tahun lalu.

‘Mama, Papa, apa kabar di bawah laut sana? Banyak ikan, kan? Papa pasti suka, bisa berenang bebas
sama ikan-ikan itu kemanapun yang Papa mau. Mama, gimana rasanya tinggal di terumbu karang yang
cantik? Pasti indah banget, ya. Terumbu karangnya dan Mama sama, sama-sama cantik. Semoga Mama
dan Papa bisa lebih bahagia, ya, di dalam sana. Aku kangen, kangen banget. Aku kangen masak bareng
Mama, kangen main sama Papa. Tapi aku tau, Tuhan lebih kangen kalian. Laut ini butuh malaikat super
baik buat makhluk-makhluk di dalamnya. Mama Papa baik-baik di dalam ya, jangan lupa mampir ke
mimpi aku juga, hehe. Hari ini aku kirim mawar putih lagi, bunga favorit kalian, semoga suka, ya, Mama,
Papa. Tolong selalu ingat aku disini, Kanaia, anak Mama dan Papa yang selalu rindu kalian, setiap hari.”

Ia lepas genggamannya pada mawar putih di atas genangan air. Perlahan tapi pasti, dua tangkai mawar
putih itu pelan-pelan bergerak semakin menjauh. Kana duduk di dekat alas kakinya tadi, menatap
kepergian dua mawar putih. Tanpa sadar, air matanya tiba-tiba menetes deras sederas hujan sore ini.
Semua memori 12 tahun lalu kembali terputar dengan sangat jelas. Kana bahkan masih ingat detail-detail
kecil yang akan selalu menyakitkan jika diingat kembali.

Waktu itu, 26 Desember 2004, hari Minggu. Memori merobek kalender untuk mengganti tanggal bahkan
masih jelas Kana simpan. Tepat besok, adalah hari jadi Kana yang kelima. Jadi, sejak pagi-pagi sekali
Mama sudah membangunkan anaknya satu-satunya yang katanya ingin membuat cookies untuk
dibagikan kepada teman-temannya di sekolah besok.
“Eumm… Aia masih ngantuk, Mama… bikin cookiesnya nanti aja, ya?” gumam Kana kecil yang masih
memeluk gulingnya erat-erat. Kana memang lebih sering disebut dengan Aia saat di rumah, atau
setidaknya saat dengan orang-orang yang spesial untuknya.

“Hm? Siapa yang kemarin udah janji ke Mama mau bantuin bikin cookies dari pagi? Temen-temen Aia,
kan, banyak, kalau kita ngga mulai dari sekarang, besok Aia jadi ngga bisa bagi-bagi cookies, loh, Aia
mau?”

Ancaman Mama ini berhasil membuat Kana kecil melemparkan gulingnya ke sembarang arah, dan
langsung sigap berdiri walau sempat terhuyung beberapa kali.

“Iya… Mama, Aia bangun sekarang…” Mama tidak sanggup menahan gelak tawanya. Dengan penuh
sayang, digendongnya gadis kecil yang besok akan berumur 5 tahun itu.

Dapur rumah Kana sudah sibuk sejak pagi. Mama tersenyum lembut sambil menunjukkan kepada anak
semata wayangnya cara mencampur adonan cookies dengan baik. Kana kecil yang penuh dengan rasa
antusias, dengan hati-hati menggulung adonan cookies sembari membayangkan wajah teman-teman TK
nya besok ketika merasakan cookies buatannya. Kana jadi senyum-senyum sendiri.

Jam bergerak ke pukul 7.30 dan hampir di seluruh sudut rumah Kana sekarang sudah penuh dengan
aroma coklat dan vanilla yang lezat. Mama menghentikan sejenak aktivitas memanggang mereka, dan
mengajak Kana serta Papa yang barusan bangun 15 menit lalu untuk menyantap sarapan terlebih dahulu.

Kana ingat betul, menu hari itu adalah ayam kecap, sayur bayam, dengan beberapa potong tahu dan
tempe. Kana masih ingat detail wajah gembira Mama saat dirinya memuji masakannya, suara semangat
Papa yang ikut-ikutan menyanjung betapa lezatnya masakan Mama pagi ini, semua masih terekam jernih
di dalam memorinya.

Dalam kehangatan sarapan keluarga Kanaia pagi itu, di saat Mama dan Papa sedang asyik melontarkan
candaan yang membuat ruang makan penuh dengan gelak tawa, dan tepat di saat Kana sedang menggigit
potongan tempe keduanya, tiba-tiba ada getaran tak terduga yang membuat semua terdiam. Mata mereka
bertiga saling bertemu dengan kebingungan ketika mengetahui kalau ada gempa yang melanda.

Piring dan gelas berdenting nyaring, saling bertabrakan hingga membuat salah satunya jatuh pecah.
Disusul dengan TV tabung di ruang keluarga yang juga bergetar, koleksi guci-guci antik Papa yang
terguling di atas meja, dan seloyang cookies yang baru saja matang terjatuh dari meja.

Sebelum mereka sempat bereaksi, suara gemuruh laut mendekat dengan cepat. Papa yang tahu jika ini
bukanlah gempa biasa, langsung berteriak, “TSUNAMI! TSUNAMI!” sambil menggiring anggota
keluarganya untuk segera keluar dari rumah.

“Kita ke ruko di ujung jalan, di sana ada rooftop di lantai 5, Mama sama Kana pegang tangan Papa erat-
erat, jangan panik, kita bareng-bareng ke sana, okey?” Papa berbalik menghadap Mama dan Kana,
memastikan jika semua orang terkasihnya baik-baik saja.

“Papa, Aia takut…” Kana bergumam pelan, kepalanya menunduk, tangan mungilnya menarik-narik
ujung kaos Papa.

Papa menunduk menyamakan tingginya sejajar dengan Kana, “Kan ada Papa, Aia ngga perlu takut lagi.
Aia Papa gendong aja, mau?”

Kana terisak sekarang. Air matanya membasahi pipi saat kenangan akan senyuman hangat dan perkataan
teduh Papa terputar lagi, untuk yang kesekian kali. Rasa kehilangan yang ia rasakan terasa sangat nyata
dan menyakitkan, membuat sesak. Suara isak tangisnya memecah kesunyian pantai sore ini, membuat
beberapa ombak kerap menyapa kakinya yang berselonjor dengan penuh empati. Hanya pinggir pantai
ini yang menjadi saksi saat Kana sedang mengungkapkan kepedihan yang tak bisa terucapkan.
Dengan tanah yang masih terus bergetar, dan suara gemuruh laut yang semakin mendekat, Papa, Mama,
dan Kana yang ada di gendongan Papa segera berlari menuju ruko di ujung jalan.

Tak terhitung sudah berapa kali mereka bertabrakan dengan orang lain di sepanjang perjalanan. Jalanan
penuh dengan pasang-pasang mata yang penuh ketakutan mencari jalur evakuasi, langkah-langkah
mereka semua bergabung dalam deruan gelombang besar yang sudah terlihat di kejauhan.

Kana, Papa, dan Mama berhasil sampai ke depan ruko tanpa ada luka yang berarti. Tak sempat bernafas
lega karena gemetar ombak jaraknya sudah tidak sampai 1 km lagi, cepat atau lambat, semua orang
disini akan tersapu pergi jika tidak segera menemukan tempat berlindung yang tinggi.

Mereka baru saja akan menaiki tangga untuk ke lantai 2 ketika sudut mata Papa menemukan pasangan
lansia tetangga mereka, Kakek Arto dan Nenek Risma, dengan kepayahan berusaha menembus
kerumunan massa yang semakin menggila.

Papa itu orang yang baik, terlampau baik malah, hingga terkadang, beliau sering mengutamakan
kepentingan orang lain di atas kepentingannya sendiri. Papa menurunkan Kana dari gendongannya,
membuat gadis kecil dengan setelan gaun pastel dengan renda halus dan pita-pita kecil itu memasang
wajah kebingungan.

“Aia sayang, Papa mau bantu Kakek Arto sama Nenek Risma sebentar, ya, Nak. Kasihan mereka. Kanaia
tunggu disini sama Mama, ya?”

Jauh di dalam hatinya, Kana tidak ingin Papa pergi. Firasatnya mengatakan akan ada hal yang buruk. Ia
belum melepaskan genggamannya pada baju Papa sejak tadi.

“Papa, jangan… jangan kesana, airnya sudah mau datang, Papa disini aja,” Kana sudah setengah
menangis saat memohon kepada Papa.

“Nak, Aia ikut Mama ke atas, ya? Papa biar bantu Kakek sama Nenek dulu, kasihan mereka,” Mama
langsung menggendong badan Kana menjauh dari Papa.

Papa berlari keluar ruko, menuntun pasangan lansia agar bisa segera masuk. Mungkin sebenarnya hanya
memakan waktu tidak sampai 2 menit, tapi bagi Kana yang melihat itu, waktu terasa melambat berkali-
kali. Ia merasa menonton Papa selama berjam-jam.

Kurang 5 langkah lagi untuk Papa dan Kakek Nenek masuk, suara gemuruh ombak terdengar semakin
mendekat. Rasa-rasanya ombak itu kini sudah berada tepat di sebelah ruko.

Mama yang awalnya menggendong Kana sambil menaiki tangga ke lantai 2, langsung melepas
gendongannya, meletakkan Kana di tengah-tengah anak tangga, dan berbalik keluar ruko untuk
membantu suaminya.

Kana berteriak kencang, meminta Mama untuk kembali, tapi lantangnya deburan ombak membuat
suaranya kalah telak. Ia hanya ingat kalau sebelum Mama menurunkannya ia sempat bilang kalau ingin
membantu Papa agar bisa cepat masuk, dan menyuruh Kana untuk naik ke atas terlebih dahulu.

Kana jelas menolak, ia tidak akan naik tanpa Mama Papa-nya.

Mama dan Papa sudah semakin dekat, dengan Kakek Arto dan Nenek Risma disamping mereka, hanya
2 langkah lagi untuk meraih anak tangga pertama.

Kana yang masih menunggu di tengah anak tangga, turun lagi ke bawah dan mengulurkan tangannya
untuk Mama dan Papanya raih.
Sepersekian detik sebelum tangan mereka bertiga bersentuhan, ombak besar menghantam lantai bawah
ruko yang otomatis langsung menghanyutkan Mama dan Papa. Kana tidak mampu bergerak lagi.
Kakinya tidak bisa menopang tubuhnya, semuanya terjadi terlalu tiba-tiba, Kana belum mampu
memproses semua ini. Kesadarannya hampir hilang dan tubuhnya sudah setengah perjalanan untuk
terhuyung masuk ke terjangan ombak yang akan langsung melahap siapapun yang sudah menyentuh air,
dan pada saat itu juga, di sepersekian detik sebelum ombak itu ikut menarik Kana, ada uluran tangan
dari belakangnya yang menarik lengan kanan Kana untuk segera berlari ke lantai atas.

Tangannya kecil, mungkin sama seperti ukuran tangan Kana, tapi tenaganya luar biasa. Mampu menarik
tubuh Kana yang mematung sebelum ikut hanyut ditelan ganasnya amukan ombak laut.

Kana berteriak kencang sekali, melampiaskan semua frustasinya selama perjalanan ia dan tangan
misterius itu ke rooftop ruko. Kana berkali-kali meminta agar tangan ini melepaskan genggamannya,
berkali-kali meminta untuk tangan ini agar membiarkannya untuk ikut bersama orang tuanya saja.

Suara hantaman ombak semakin ribut di bawah, suara raungan Kana juga belum berhenti, ditambah
suara sibuk kecipak air mengiringi setiap langkah mereka.

Tapi, dengan suara yang tenang dan lembut, seseorang yang menarik Kana berbicara di tengah hiruk
pikuk yang berisik. Kata-katanya seperti melambung di atas kegaduhan, membawa ketenangan yang
tiba-tiba mengelilingi relung hati Kana, “Jangan turun, kamu harus tetap hidup. Setidaknya, agar
pengorbanan orang tuamu tidak menjadi sia-sia. Jadi aku mohon, ayo bertahan bersama, ada aku di sini,
kamu tidak sendirian.”

Raungan Kana berhenti seketika. Kepalanya yang sejak tadi menunduk mulai terangkat, menatap sosok
penyelamat di depannya. Seorang anak laki-laki, kira-kira seumuran dengannya, dengan tubuh yang jauh
lebih tinggi dari Kana. Cengkraman tangannya yang tidak pernah mengendur, langkah kakinya yang
cepat dan lincah tetapi selalu memastikan bahwa Kana tidak tertinggal, selalu membimbing langkah
pendek dan payah Kana untuk meniti setiap anak tangga.

Dengan kecepatan kilat yang juga didukung ombak besar yang mengejar, membuat Kana dan anak laki-
laki tadi dapat mencapai rooftop hanya dalam waktu 3 menit. Sudah banyak orang yang berkumpul di
rooftop. Anak laki-laki tadi mengajak Kana ke tengah-tengah kerumunan, saling berpegangan tangan
seerat mungkin, mencoba bertahan di buasnya ombak yang menerjang.

Kana langsung menutup matanya saat melihat ombak setinggi bangunan 2 lantai langsung menghantam
apapun yang berserakan di jalan. Teriakan terakhir dari mereka yang terbawa hanyut memenuhi indra
pendengaran Kana. 10 menit yang teramat menyiksa Kana lalui dengan penuh derita, tapi setidaknya ia
tidak sendiri di sini. Anak laki-laki di sebelahnya ini ikut memejamkan matanya tak kuasa melihat
bagaimana kejamnya kiriman dari samudra yang memusnahkan mayoritas umat manusia.

10 menit di tengah gempuran ombak terasa seperti selamanya. Entah sudah benda apa saja yang
menghantam tubuh mungil Kana, dirinya sudah mati rasa. Berada di tempat tinggi bukan berarti bisa
terelakkan dari puing-puing melayang yang akan siap menghantam kapanpun.

Setelan gaun pastel Kana sudah tidak berbentuk, warnanya sudah lusuh kecoklatan dengan banyak
robekan di sana-sini, pita-pita kecil yang sebelumnya terpajang cantik, sekarang sudah hilang hampir
sebagian.

Kiamat kecil ini menyelesaikan kegiatannya setelah 10 menit, meninggalkan jejak horror yang langsung
mengirim trauma bagi siapapun yang meihatnya. Rumah-rumah yang sebelumnya berjajar raoi
mengikuti arus jalan raya, kini sudah tandas semua. Tak lupa juga dengan ribuan mayat-mayat dari
mereka yang tidak sempat selamat terhimpit di sela-sela puing yang roboh.

Genggaman anak laki-laki di sebelah Kana mulai mengendur, bahkan ia sudah melepasnya sekarang.
Dan karena selama ini hanya genggaman dari anak-anak laki itu yang membuat Kana mati-matian
bertahan untuk tidak pingsan, jadi ketika dirinya sudah tidak mendapatkan uluran tangan itu lagi,
otomatis tubuhnya jatuh, kaki mungilnya yang gemetar sejak tadi tidak kuat lagi untuk menahan tubuh
rapuh gadis kecil ini.

Kana ambruk, denyut nadinya melemah, wajahnya semakin pucat, jantungnya berdebar kencang dan
pandangannya mulai memburam. Suara bising yang tidak pernah diam sejak tadi mulai meredup, Kana
perlahan kehilangan kesadaran. Suara sirine yang melengking nyaring diikuti teriakan panik dari anak
laki-laki di sebelahnya menjadi hal terakhir yang Kana ingat sebelum benar-benar menuju alam bawah
sadar.

Suara barang yang jatuh membangunkan Kana dari mimpi panjangnya. Dapat dengan jelas ia rasakan
tekstur kain yang lembut dengan… kasur? Kana tidak tahu bagaimana bisa ia berakhir di tempat
senyaman ini. Kelopak matanya masih terasa berat, namun ia paksakan untuk terbuka. Semuanya masih
terlihat buram dan berbayang untuk pertama kalinya, namun ketika sudah berkedip beberapa kali dan
menyesuaikan dengan sumber cahaya yang masuk, Kana dapat tahu jika ia sedang berada di atas ranjang
di sebuah tenda. Ada 2 ranjang di sebelah kirinya yang kosong.

Kana teringat dengan suara benda jatuh yang membangunkannya tadi. Ia tolehkan kepalanya ke kanan
sedikit yang ternyata tetap menghasilkan rasa nyeri yang luar biasa dan mendapati anak laki-laki kemarin
sedang memungut beberapa botol air yang berserakan di lantai.

Dengan tangan kecilnya, anak laki-laki itu membawa 4 botol air mineral sekaligus dalam sekali dekapan.
Segera setelah kepalanya mendongak dan mendapati kalau Kana sudah siuman, keempat botol tadi
langsung jatuh lagi.

Eskpresi wajahnya yang menggambarkan ketidakpercayaan di awal segera berubah menjadi senyuman
kelegaan yang mendalam. Tidak memperdulikan keempat botol yang sekarang tersebar lagi di lantai,
anak laki-laki itu langsung mendekat ke ranjang Kana.

“Kamu… kamu bangun! Kamu sudah bangun! Sebentar aku panggil Allan dulu, kamu tunggu disini
sebentar-“ perkatannya tertahan oleh Kana yang mengeluarkan suara. Pelan, sangat pelan malah, namun
masih tertangkap jelas di telinga si anak laki-laki.

“Tolong, jangan pergi. Kamu…” Kana menjeda kalimatnya saat menyadari bahwa ia belum mengetahui
nama lawan bicaranya ini.

“Angkasa. Kamu bisa panggil aku Angkasa.” Angkasa berkata mantap.

“Angkasa… Asa. Aku panggil Asa, boleh, ya?”

Angkasa yang tiba-tiba mendapat julukan baru itu hanya bisa mengangguk beberapa kali.

“Um, kalau kamu? Boleh aku tahu siapa namamu?” Angkasa merasa dirinya juga perlu tahu identitas
gadis kecil di hadapannya ini.

“Tentu. Aku Kanaia. Bisa kamu panggil…,” Kana belum sempat menyelesaikan kalimatnya saat
Angkasa langsung menginterupsinya.

“Aia. Aku ingin panggil kamu Aia. Nama yang cantik.”

Kana tertegun beberapa saat, selama ini yang memanggilnya Aia hanya Mama dan Papa yang kini sudah
tiada.

Melihat Kana yang tiba-tiba melamun memmbuat Angkasa khawatir, “Eh, apakah tidak boleh? Aku
minta maaf kalau sudah membuatmu merasa tidak nyaman…”
“Tidak,” Kana tersenyum. Ia bahkan hampir lupa bagaimana cara tersenyum setelah semua kejadian
mengerikan kemarin.

“Aku senang ada yang memanggilku Aia lagi, selain Mama dan Papa yang dulu selalu memanggilku
demikian.”

Mata keduanya bertemu, walau sangat jelas jika terlihat lelah, namun kedua pasang mata itu dengan
tulus menyampaikan rasa terimakasih kepada satu sama lain.

“Angkasa? Is everything fine? Tadi sepertinya ada suara benda jatuh dari tenda ini, apakah kamu baik-
baik saja?” tiba-tiba ada sesosok laki-laki dewasa menyembul lewat selambu tenda yang terbuka
separuh. Fisiknya jelas menyebutkan jika bukan negara ini tempat asalnya. Postur tubuh tinggi, kulit
putih, dan rambut pirang menjelaskan dengan gamblang jika laki-laki ini berasal dari negara luar.

Siapa dia? Mengapa ia sudah mengenal Angkasa? Sebenarnya, dimaanakah Kana saat ini? Apa yang
terjadi setelah ia pingsan kemarin? Mama Papanya… bagaimana keadaan mereka? Begitu banyak
seliweran pertanyaan yang berkecamuk di benak Kana.

Seakan memahami apa yang dirasakan teman barunya ini, Angkasa langsung angkat bicara.

“I’m okay, Allan! Yang jatuh hanya botol-botol ini saja. Tapi ada sesuatu yang lebih penting,” Angkasa
menggeser tubuhnya ke samping yang membuat sosok bernama Allan ini bisa melihat lebih jelas kalau
pasien yang belum sadarkan diri untuk 2 hari terakhir kini sudah siuman.

Wajah Allan sempat kaget namun segera berubah menjadi sumringah“Oh, thanks God. Halo, selamat
malam, bagaimana perasaanmu sekarang?” Allan berjalan masuk ke tenda mendekat ke ranjang Kana.

“Eh… aku… seluruh badanku masih terasa nyeri dan pegal, tapi diluar itu, aku merasa lebih baik dari
kemarin,” Kana masih belum terbiasa dengan kehadiran orang baru ini.

Allan tersenyum lega. Dengan hati-hati, ia menjelaskan semuanya kepada Kana. Kemarin, sehari setelah
tsunami terjadi ada kiriman bantuan dari militer Jerman. Mereka mengirimkan tentara, bantuan logistik,
dan peralatan medis. Allan bukan tentara, ia adalah relawan.

Allan sempat mengambil jeda berbicara sebentar, tiba-tiba suasana murung sudah menghiasi wajahnya.
Allan lanjut bercerita jika sebelum terjadi tsunami besar ini, ia mempunyai istri yang berasal dari
Indonesia. Mereka bertemu di Jerman dan tinggal disana. Bahkan ia dan istrinya sudah dikaruniai 2 anak
kembar, laki-laki dan perempuan.

Aceh menjadi kampong halaman istrinya. Minggu lalu, istrinya dan kedua anaknya berangkat ke
Indonesia untuk berlibur dan menjalin silaturahmi dengan keluarga di Aceh. Allan bilang akan menyusul
beberapa hari setelah mereka, karena ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggal. Siapa sangka jika ia akan
menyusul dengan kondisi seperti ini.

Segera setelah kabar tsunami di Aceh menyebar hingga ke benua seberang, Allan langsung
mendaftarkan diri untuk menjadi relawan. Hal ini ia lakukan sebagai penghormatan terakhir untuk
keluarga kecilnya yang telah mendahuluinya pergi ke surga.

Allan menyerahkan daftar mereka-mereka yang telah menjadi korban. Rasanya Kana langsung merasa
sesak, air matanya meluncur tanpa ia sadari saat diantara ribuan daftar itu, tertulis jelas nama Papa dan
Mamanya yang jasadnya ditemukan di pesisir pantai.

Angkasa langsung menenangkan Kana, mengatakan jika semua akan baik-baik saja. Angkasa juga
bercerita ketika menunggu Kana untuk siuman, dia mendapat kabar jika daerah tempat tinggalnya sudah
rata oleh tanah, dan satu-satunya keluarga terakhir Angkasa, ayah dan neneknya, ikut tertimbun di
dalamnya. Angkasa sedang izin bermain di luar kemarin, jadi dia tak bersama keluarganya di detik-detik
terakhir mereka.

Kana, Angkasa, dan Allan merasakan perasaan tidak rela yang sama. Dunia terlalu cepat berputar,
semuanya terlalu tiba-tiba untuk sekedar terekam di ingatan.

Allan lanjut bicara, dirinya berkata mantap jika ia akan mendirikan sebuah panti asuhan disini. Melihat
begitu banyak anak-anak yang kebingungan dan dihantui rasa takut setiap harinya membuat hatinya
tidak kuasa. Ia bilang, jika dirinya akan menetap di Aceh untuk seterusnya. Ia merasa lebih dekat dengan
istri dan anak-anaknya jika berada disini.

Beberapa bulan kemudian, ketika sudut-sudut kota sudah mulai lahir kehidupan, sudah tegak berdiri lagi
bangunan-bangunan, begitu pula dengan panti asuhan Allan. Semua anak-anak dari camp pengungsian
yang sama dengan Kana dan Angkasa dipindahkan kesana. Mereka memulai lembaran hidup baru,
bersama, saling bahu membahu membantu siapapun yang sedang merasa biru.

Pantai yang sebelumnnya hanya diisi dengan isak tangis Kana, tiba-tiba terdengar langkah kaki dari
kejauhan. Kana menoleh mencari sumber suara, dan mendapati Angkasa sudah berada di ujung sana.
Gerimis kecil mulai membasahi bumi, lagi. Angkasa berlari tanpa jeda menuju Kana. Ia genggam tangan
Kana untuk segera berlari menembus rintikan hujan.

Kana merasa de javu dengan ini.

Mereka berteduh di gubuk kayu yang sebelahnya terparkir sepeda Kana.

“Udah ketemu Mama Papa lagi?” sambal mengibaskan kaosnya yang setengah basah, ia menoleh kepada
Kana yang hanya disambut oleh anggukan kecil.

“Kamu… ngapain disini?” Kana masih merasa kaget dengan kemunculan Angkasa yang tiba-tiba.
Sebenarnya Angkasa sudah tahu rutinitas Kana, tapi baru kali ini dia ikut menyusul.

Jari telunjuk Angkasa menunjuk ke atas, mengarah pada redupnya sang cakrawala sekarang, “Hujan,”
hanya itu yang ia katakan.

“Kalau udah tau mau hujan mah,bawain mantel atau payung, dong!” walau Angkasa kini sudah menjadi
orang terdekatnya, tapi Kana masih sering bingung dengan sikap anehnya yang tidak bisa dijelaskan.

Angkasa mengangkat bahunya, “Ngga kepikiran. Aku tadi buru-buru nyusul ke sini, takut kamu
sendirian. Jadi ngga kepikiran untuk bawa payung. Dipikir-pikir, bodoh banget ya, hehe. Maaf, Aia,”
kekehan renyah terdengar di akhir kalimatnya.

Kana tertegun dengan pernyataan Angkasa. Dahulu, ketika Angkasa bilang kalau Kana tidak akan
sendirian di dunia ini, ia sungguh-sungguh mengatakannya. Sampai sekarang, telah 12 tahun berlalu, tak
pernah sesaat pun Kana merasa sendiri dan kesepian. Walaupun tidak ada percakapan yang berarti, tetapi
akan selalu ada Angkasa yang hadir mengiringi langkahnya.

Angin berdesir keras di sepanjang pantai, suara ombak yang tak berhenti bergerak terus disaut dengan
derasnya rintikan hujan.

"Dengar, Aia," kata Asa dengan suara serius, mencoba menembus suara angin yang bertiup kencang.

“Aku ngga akan bisa lihat kamu sakit atau terluka lagi setelah semua hal yang sudah kita lalui. Kita
berdua pernah kehilangan, tapi aku ga akan tinggal diam untuk mati-matian mempertahankan semua
yang aku punya sekarang.”
“Kita berdua sudah tumbuh bersama untuk waktu yang lama, susah dan senang semua pernah kita cicipi.
Kamu bukan cuma temanku, Aia. Kamu sudah menjadi bagian dari keluargaku sendiri. Aku
melindungimu karena kita memiliki ikatan yang tidak bisa diputuskan oleh keadaan apapun. Dan aku
tidak akan bisa membiarkan apapun mengambilmu, tidak akan."
Kana merasa hangat di dalam hatinya mendengar kalimat-kalimat Asa. Meskipun keadaan di sekitar
mereka semakin riuh, ia merasa didukung dan dilindungi oleh kehadiran Asa. Meskipun sebelumnya
terdapat ketakutan, kesedihan, dan kehampaan memenuhi matanya, namun sekarang mulai hadir
sepercik harapan dan kepercayaan yang mulai menguar. Dan semua ini, karena Angkasa, lagi.
“Jadi aku mohon, Aia, jangan pernah sendiri lagi, ya? Kapanpun dunia lagi jahat, kamu selalu bisa temui
aku di sini. Kalau di luar sana melelahkan, jangan lupa utuk pulang ke rumah. Kamu selalu punya rumah
untuk pulang. Kapanpun kamu menoleh ke belakang, aku selalu di sana, tepat di belakangmu. Jadi, kita
lalui semua sama-sama, ya? Kamu tidak sendirian, Kanaia,” Angkasa menatap mata Kana tulus,
memberikan senyuman terbaiknya untuk menghibur sang sahabat yang sedang lara.
“Terimakasih, Angkasa. Terimakasih untuk yang ke sekian kalinya.”

Mereka berdua, duduk di gubuk kayu tepi pantai dengan hujan yang menahan, merangkul erat
kekuatan persahabatan mereka, bersama menghadapi semua hal yang menunggu di depan sana.

Anda mungkin juga menyukai