Anda di halaman 1dari 9

UJIAN TENGAH SEMESTER

PENGAJARAN SASTRA ANAK


(TERBUKA)

1. Bacalah naskah Drama di bawah ini!


2. Analisis berdasarkan unsur dan kaidah kebahasaan
teks naskah drama ini!

Agoraphobia

Naskah Drama Zoex Zabidi


Berdasarkan Cerita Pendek “Batas Langitku” Karya Nindia Kusuma Putri

Pemain

ALEA: Remaja usia 16 tahun, pelajar, introvert, phobia keramaian.

BUNDA: Seorang ibu usia 60 tahun, wanita karier, penyabar.

DHIMAS: Kakak Alea usia 22 tahun, buruh pabrik, pendiam, dan humoris.

DANIEL: Kakak alea, adik Dhimas usia 20 tahun, mahasiswa, keras, dan tegas.

PROLOG

Suasana keramaian. Orang orang berlalu lalang. Suara perbincangan. Suara deru


motor dan juga mobil saling tindih. Lea nampak pucat. Ia mulai ketakutan. Ia
mulai histeris. Hingga sebuah suara klakson memekak telinga dan sorot
lampu mobil menampar mukanya. Alea berteriak histeris. Ia mendekap tubuhnya
erat erat. Suara Tabrakan. Suara Teriakan. Lampu padam.

ADEGAN 1

Panggung gelap berangsur terang musik mengalun lirih. Lagu Balada terdengar
menyayat.

 
ALEA: Perkenalkan, namaku Alea Renata Putri. Orang yang mengenalku,
biasa memanggil diriku dengan sebutan Lea. Aku lahir dan tinggal di Kota Semarang,
persisnya di Perumahan Petompon, Semarang, Jawa Tengah. Aku tinggal
bersama Bunda dan kedua kakak ku yang bernama Dhimas serta Daniel. Sejak
kecil, aku tidak memiliki teman walau seorang pun. Aku terlalu takut. Takut
untuk berhadapan dengan dunia luar. Dahulu ayah mengatakan bahwa aku
menderita gangguan cemas yang menyebabkanku merasa panik jika berada
dalam keramaian. Dunia medis menyebutnya dengan kata Agoraphobia.

Pintu kamar yang terbuka membuat Alea menoleh.Ternyata itu Bunda. Ia


tersenyum sendu menatapku kemudian berjalan mendekat.

ALEA: Bunda… Bunda kapan sampai? Kok Lea nggak tahu?

Bukannya menjawab, Bunda malah meneliti diri Alea. Setelah itu, mata Bunda
seperti mencari sesuatu.

ALEA: Bunda cari apa?

Alea ikut-ikutan mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak lama kemudian,


tangan Bunda tampak meraih dua buah benda. Untuk sesaat Alea terkejut. Ia baru
sadar. Alat bantu itu rupanya belum terpasang di telinganya.

ALEA: Ya, selain penderita Agoraphobia, aku juga seorang tunarungu.

Dengan lembut, bunda memasangkan alat bantu itu di telinga Alea.

BUNDA: Tadi, Bunda sudah berulang kali salam, tapi tidak ada yang jawab.

Mendengar penjelasan Bunda, Alea merasa sangat bersalah.

ALEA: Maafkan Lea, Bunda. Lea tidak…

Bunda memotong perkataan Alea di saat satu kalimat belum selesai terucap.

BUNDA: Tidak apa-apa, Sayang. Jangan diulangi lagi ya?

Alea hanya menjawab dengan sebuah anggukan.

BUNDA: Kakak kakakmu ke mana Lea?

ALEA: Mereka sedang keluar, Bunda.

BUNDA: Mengapa kamu nggak ikut saja, Lea?

ALEA: Eng… enggak, Bund. Lea ta… takut….


Pandangan mata Bunda beralih. Napasnya dihembuskan secara perlahan.
Terlihat Bunda kecewa dengan jawaban Alea, tetapi ia berusaha untuk
menyembunyikannya.

ALEA: Bunda mengapa?

Lea takut membuat perasaan Bunda semakin kecewa. Mata sendu Bunda menatap
kembali, gelengannya dibuat tegas.

BUNDA: Bunda tidak apa-apa. Sekarang, Bunda mau ke dapur dulu ya? Menyiapkan


kalian makan malam.

ALEA: Iya, Bunda.

Setelah Bunda keluar, Alea tertunduk. Ia merasa sangat bersalah karena membuat
Bunda kecewa.

ALEA: Maafkan Lea, Bunda.

Lampu berangsur padam.

ADEGAN 2

Lampu berangsur terang. Musik mengalun lirih. Kesibukan pagi itu. Bunda


tampak sedang bersiap untuk pergi. Sementara, Dhimas juga sedang bersiap
berangkat jogging. Daniel tampak sedang asyik menonton televisi. Bunda sedang
berkemas. Dhimas dan Daniel saling pandang memperhatikan Bunda. Lea sedang
tiduran di kamar.

BUNDA: Kamu hari ini tidak kerja Dhimas?

DHIMAS: Iya Bunda. Hari ini saya libur. Hari ini saya ada janjian sama Nia


untuk mencoba fasilitas kebugaran di dekat kantor mamanya. Sore sudah pulang kok.

BUNDA: O, seperti itu. Kamu Daniel, bagaimana dengan skripsimu? Ada jadwal


bimbingan hari ini?

DANIEL: Tidak Bunda. Baru minggu depan diagendakan sama dosennya.

BUNDA: Ya sudah kalau begitu. Berarti kamu di rumah saja Daniel, jaga


adikmu Alea. Dan kamu, Dhimas, setelah selesai langsung pulang ya. Hari ini
Bunda mungkin agak terlambat pulang. Banyak klien yang harus Bunda temui.

DHIMAS & DANIEL: Ya Bunda.
BUNDA: Bagaimana lukamu Daniel?

DANIEL: Sudah mulai kering Bunda. Meski sesekali masih terasa nyeri.

BUNDA: Ya sudah. Jangan lupa perbannya diganti.

DANIEL: Ya Bunda.

BUNDA: Dhimas, Daniel. Bunda jalan dulu ya? Jaga rumah baik-baik. Dan jangan


lupa jaga adik kalian, Alea. Ingat semua pesan Bunda.

Bunda kemudian berlalu. Pergi. Lea terperanjat mendengar perbincangan mereka.

ALEA: Bunda… Bunda akan pergi? Bunda akan pulang terlambat? Mengapa Bunda


tidak pamit kepadaku? Ah, mungkin saja Bunda lupa. Sebaiknya, aku menghampiri
Bunda.

Lea keluar kamar berniat menemui Bunda. Namun, Bunda sudah pergi. Tak ada


siapa pun.

ALEA: Bunda telah pergi sebelum ia menemui diriku. Hati-hati, Bunda.

Lea berdiri dengan air mata yang mulai menetes.

DHIMAS: Jangan menangis, Bunda perginya nggak lama kok.

Suara Dhimas mengejutkan dan membuyarkan lamunan Lea. Dhimas tampak


sedang mempersiapkan peralatannya.

ALEA: Bunda mau ke mana, Kak?

Dhimas tersenyum kecil, sementara Daniel tetap memasang wajah datar. Detik
berikutnya, Daniel berlalu ke dalam rumah. Sembari menepuk pundak Lea,
Dhimas mengajak masuk rumah. Lea yang penasaran menarik lengan Dhimas.

ALEA: Bunda pergi ke mana, Kak?

DHIMAS: Kakak juga tidak tahu, yang pasti urusan pekerjaan. Kata Bunda hari ini


pulang agak terlambat karena banyak klien yang harus ditemui.

Lea semakin gundah mendengar jawaban Dhimas.

DHIMAS: Nanti, temani Kakak yuk! Mencoba fasilitas kebugaran di dekat kantor


mamanya Nia. Sore sudah pulang kok. Lea?

Lea diam. Kata Dhimas sedikit terkekeh. Lea hanya membisu. Takut jika
jawabannya akan membuat orang lain kecewa lagi.

DHIMAS: Bagaimana, Lea? Kamu mau ‘kan?


ALEA: Maafkan aku, Kak.

Tanya Dhimas lagi untuk memastikan. Lea diam tak menjawab. Ia Cuma
memandang sekilas ke arah Dhimas lalu masuk ke dalam kamar. Dhimas
memandang dengan tatapan sedih. Di kamar Lea menumpahkan kesedihannya.
Tiba-tiba HP Dhimas berbunyi.

DHIMAS: Ya, ada apa Nia? Ujung gang? Ok. Aku segera ke sana. Tunggu
sebentar ya. Aku sudah siap kok. Nel, kakak berangkat dulu ya. Nia sudah
menunggu di ujung gang. Jangan Lupa jaga Alea.

DANIEL: Iya kak. Hati-hati di jalan.

Daniel beranjak menuju pintu. Kemudian melangkah masuk kamar.

ADEGAN 3

Panggung gelap berangsur terang musik mengalun lirih. Lagu Balada terdengar
menyayat. Sore hari. Daniel masuk membawa baskom air hangat. Kemudian ia
menuju kotak obat mencari perban untuk mengganti perbannya yang sudah lusuh.
Lea menonton televisi sambil merapikan tumpukan baju di keranjang.

DANIEL: Lea!

ALEA: Iya, Kak?

DANIEL: Kakak bisa minta tolong sama kamu tidak?

ALEA: Minta tolong apa, Kak?

DANIEL: Tolong kamu belikan Kakak perban ya? Perban luka ini harus diganti.


Di kotak obat sudah habis. Sepertinya Bunda lupa beli. Sekalian belilah makanan.
Tolong ya. Warungnya juga tidak jauh dari sini ‘kan. Cuma di ujung gang.

ALEA: Eng… tidak mau, Kak. Lea tidak mau.

Jawab Lea dengan nada memelas. Daniel marah. Dibantingnya majalah.


Dipandanginya Lea dengan tatapan tajam. emosinya tampak meluap. Lea mulai
takut.

DANIEL: Mau kamu itu apa sih, Le? Mengapa kamu tidak pernah mau melawan rasa
takut kamu sama dunia luar? Mengapa???

Emosi Daniel tampak meluap.

ALEA: A… aku juga tidak mau Kak punya fobia ini.


MendengarJawaban Lea Dania malah tersenyum sinis. Keningnya pun berkerut.

DANIEL: Oh, jadi kamu juga tidak mau punya fobia itu? Namun yang Kakak
lihat, kamu nyaman-nyaman saja tuh sama fobiamu. Tidak ada rasa
mau naklukkan sama sekali.

Lea terdiam, enggan menjawab perkataan Daniel. Raut wajah Daniel tetap
memancarkan sebuah kemarahan. Tangannya bersedekap dan mata itu tetap fokus
menatap Lea.

DANIEL: Lihat kakak, Lea. Lihat. Kakak mencoba melawan rasa minder karena


muka ini. Tangan ini. Kaki ini. Kecelakaan itu telah merampas rasa percaya diriku.
Seolah hidupku sudah selesai akibat kecelakaan itu. Tapi lambat laun kakak
menyadari, tak ada gunanya hidup dalam ratapan dan kesedihan. Kakak harus bangkit.
Setidaknya kakak tidak ingin menjadi beban bagi siapa pun. Penuhi permintaan
Kakak kalau kamu memang punya niat buat naklukkan rasa takutmu!

ALEA: Ta… tapi, Kak….

Lea mulai cemas. Ia sangat takut.

DANIEL: Sudahlah, Lea…. Kamu harus melawan rasa takutmu. Kakak bisa. Kamu


juga bisa. Tak ada yang tak mungkin jika kita mau dan berusaha.

ALEA: Lea tidak percaya diri, Kak. Bagaimana jika orang-orang mengejekku?


Bagaimana jika aku dipermalukan oleh orang-orang yang bahkan tidak kukenal?

DANIEL: Mengapa? Tidak berani ya?

Tanya Daniel dengan intonasi yang sedikit naik. Lea Diam. Tak ingin
menanggapinya.

DANIEL: Sebenarnya, menurutku… Aku, Bunda, dan Dhimas udah cukup


sabar menghadapi kamu. Menghadapi semua rasa takutmu itu! Namun, kesabaran
juga ada batasnya, Le! Pada saat kami ingin kamu keluar dari rasa takutmu, kamu
sendiri seperti tidak mau! Kamu sudah telanjur nyaman dengan duniamu. Tanpa kamu
pikirkan semua usaha yang sudah kami lakukan. Lea terdiam. Pikirannya kalut dan
cemas.

DANIEL: Pergi belanja dan buktikan kalau kamu dapat menghilangkan fobia kamu


itu! Ya…, itu pun kalau kamu sanggup. Bagaimana?

Senyuman Daniel terlihat seolah meremehkan Lea. Lea bingung harus bagaimana.

DANIEL: Sudah aku duga, kamu pasti tidak akan sanggup

Kata Daniel dengan sinis.


DANIEL: Jika kau tak ingin dianggap penakut oleh semua orang, semua ini harus
berhenti. Fobia yang membelenggumu harus hilang selamanya. Atau, mungkin
kamu akan terbelenggu dalam rumah ini selamanya.

Daniel meluap emosinya. Namun, ia seolah sadar akan ucapannya. Ia memandang


Lea dengan penuh penyesalan dan menumpahkan kebodohannya dengan
memukul tembok.

ALEA: Kak …

Daniel terdiam.

ALEA: Aku mau mengikuti permintaan Kakak.

Daniel memandang Lea dengan tajam.

DANIEL: Yakin?

ALEA: Iya.

Daniel lalu memberi Lea beberapa lembar uang.

DANIEL: Pergilah. Hati-hati di jalan. Lawan dunia kerdilmu itu. Kamu bisa. Jika


ada masalah hubungi kakak. Jangan lupa bawa handphone-mu.

ALEA: Iya, Kak!

ADEGAN 4

Panggung gelap berangsur terang musik mengalun lirih. Lagu balada terdengar
menyayat.Sore hari. Bunda masuk bersama Dhimas. Dhimas lantas duduk di
kursi sementara Bunda meletakkan barang bawaannya di kamar. Bunda keluar
dengan membawa dua gelas kopi kesukaan anak- anaknya.

BUNDA: Lea kok tidak ada di kamarnya? Ke mana, Nel?

DANIEL: Lea pergi belanja ke toko serba ada ujung jalan Bu.

Bunda dan Dhimas serempak terkejut.

BUNDA & DHIMAS: Apa?

Daniel menjadi salah tingkah.

DANIEL: Lea pergi belanja ke toko serba ada ujung jalan.


BUNDA: Duh, Gusti… selamatkan Alea!

DHIMAS: Kamu gila ya, Nel? Kamu tahu ‘kan Alea itu seperti apa? Kamu
sudah nggak waras ya? Bisa-bisanya melakukan semua ini kepada Lea!

DANIEL: Loh? Bukannya ini tujuan kita dari awal? Membuat Lea berani melawan


rasa takutnya. Mengapa sekarang kamu jadi menyalahkan aku?

BUNDA: Sudah-sudah! Kalian ini malah ribut sendiri! Pikirkan kondisi adik kalian!

Dhimas lalu mengambil Hp-nya dan mencoba menghubungi Alea. Sementara,


Bunda tampak terduduk lemas di kursi. Raut wajahanya didera kecemasan.

ADEGAN 5

Panggung gelap berangsur terang musik mengalun lirih. Lagu Balada terdengar


menyayat. Sore hari. Lea berjalan dengan hati hati. Dipandanginya jalanan
perkampungan. Lalu-lalang orang. Lalu- lalang motor dan mobil. Ia mulai cemas
dan takut. Keringat dingin mulai membanjir. Ia menyeka keringat di dahi.
Walaupun toko serba ada sudah terlihat di ujung sana, tetapi tangannya mulai
bergetar. Semakin jauh dari rumah maka jalanan ini seolah semakin ramai.
Kakinya mulai ikut bergetar. Ia juga menangis karena takut. Cuaca yang tadi
cukup bersahabat, sontak menjadi gelap. Tiba-tiba guntur menggelegar dan petir
menyambar. Lea mulai panik. Gerimis mulai turun. Lea mulai semakin panik.
Lalu-lalang orang berlarian karena hujan. Sementara, bunyi klakson motor dan
mobil saling bersahutan. Lea mulai tak kuat melawan kecemasannya. Akibat
tergesa-gesa, tubuhnya tak sengaja

bersinggungan dengan pengguna jalan yang lain. Ia menatap wajah-wajah marah.


Lea hanya bisa menunduk. Mulutnya mulai meracau. berteriak. Suara tabrakan
terdengar. Braakkkk….  Lampu Padam. Kidung menyayat.

EPILOG 

Suasana keramaian. Orang-orang berlalu-lalang. Suara perbincangan. Suara deru


motor dan juga mobil saling tindih. Lea tampak pucat. Ia mulai ketakutan.

ALEA: Jangan sakiti aku, aku mohon. Hiks… Jangan sakiti aku. Hiks…


Jangan membuatku malu. Hiks… Aku mohon jangan. Jangan dekati aku! Hik, hikss…
Aku mohon jangan dekati aku. Jangan sakiti aku!
Ia mulai histeris. Semuanya menatapnya penuh kekesalan. Mereka seperti bicara,
tapi Lea tak dapat mendengarnya. Seketika, ia merasa ada sesuatu yang terlepas
dari dirinya. Perlahan, Lea kedua telinganya. Alat bantu itu tidak terpasang. Alat
bantu dengarnya terlepas. Ia pun berusaha mencari alat bantu dengar yang
terjatuh. Tiba-tiba sebuah sorot lampu menampar mukanya. Lea menatap
dengan takut. Didekapnya kedua telinganya sambil berteriak. Suara tabrakan
terdengar. Braakkkk….

Lampu Padam.

Kidung menyayat. TBRS, 5 FEBRUARI 2020

  

Zoex Zabidi lahir di Semarang pada 16 Januari 1970. Pendidikan formalnya yang


terakhir adalah SMA. Kemudian, lebih menyeriusi dunia panggung pertunjukan.
Sempat nyantrik kepada beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan tentang
dramaturgi, penyutradaraan, penulisan naskah hingga artistik, dan juga
manajemen pertunjukan. Terakhir, ia lebih suntuk dengan dunia film. Tamu
Misterius, Rik, Friend, dan Sketsa Cinta adalah karya film eksperimennya
sebagai kameramen, sutradara, dan editor. Pernah magang jurnalistik di
Kelompok Study Jurnalistik Wawasan Semarang. Juga menjadi desainer visual
lepas. Menjadi tenaga desainer seni kaca dalam exchange programe di Kuala
Lumpur Malaysia pada 1998. Kini, ia sebagai sutradara, editor, dan kameramen di
sebuah perusahaan swasta.

Anda mungkin juga menyukai