Anda di halaman 1dari 10

PELAJARAN HIDUP

Lia, anak rumahan yang jarang memiliki teman, bahkan ia tak pernah merasakan
memiliki sahabat. Bukan karena ia yang tak bisa menjalin pertemanan, tapi karena keadaan
orang tuanya yang memaksa seperti itu. Sebelumnya tak pernah begini. Ia memiliki
banyak teman dan bisa bermain sesuka hatinya. Masa kecil saat ia tinggal bersama nenek
ketika kedua orang tuanya sibuk meniti karir masing masing. Papanya sibuk bekerja dan
mamanya masih kuliah. Di usia 16thn ini, baru 6 thn belakangan ini ia tinggal bersama
kedua orang tuanya. Itupun terpaksa karena neneknya telah pergi ketempatNya. Sejak itu
pula ia telah berpindah rumah 10 kali dan pindah sekolah 7 kali karena pekerjaan orang
tuanya yang mengharuskan keluarganya selalu berpindah rumah. Tak mudah baginya
untuk selalu bergaul di lingkungan baru, apalagi disekolah baru yang biasanya tiap siswa
telah memilki kelompok masing masing. Setiap ia baru akrab dengan lingkungannya, ia
harus menghadapi lingkungan baru lagi, dan itu membuatnya tertekan. Apalagi untuk masa
remajanya sekarang. Karena itu,ia merasa terasingkan dan dianggap aneh oleh teman
temannya.

Lia : (menahan tangis dan amarah, berlari memasuki ruangan, membanting pintu. Melepas
sepatu dan tas, melempar kesembarang arah dengan penuh emosi. terdiam ditempat,
dengan wajah sedih, lalu terjatuh duduk lemas. Mengambil bantal, membenamkan wajah
kebantal, meraung menangis)

Mama : (mengetuk pintu) Lia… ada apa…? (masuk ke ruangan dengan wajah bingung. Duduk
disamping Lia, membelai kepala Lia) Kenapa sayang.. ada apa lagi disekolah barumu…?

Lia : (melepas tangan mama dari kepala, wajah tetap terbenam dibantal)

Mama : (menarik Lia dalam pelukan) kenapa..? cerita sama mama… (membelai kepala Lia)

Lia : (mengusap air mata) aku benci dengan ini…(suara merendah menahan tangis) aku bosan
ma… (memejamkan mata)

Mama : kenapa lagi sayang…? (menatap dan mengusap air mata Lia, membelai pipinya)

Lia : (diam sejenak) Kenapa kita harus pindah lagi? Aku gak bisa terus menerus beradaptasi!
(berseru , melepaskan diri dari mama. Lalu berdiri). Aku pengen punya temen karib! Genk
sendiri! Gak harus berusaha masuk ke genk lain untuk berbaur! Aku udah gak tahan lagi…
(tetap berdiri, menangis)

Mama : (berdiri, mmemeluk Lia) mama tau perasaanmu… tapi mau bagaimana lagi… kita hanya
bisa hidup karena pekerjaan papa…

Lia : (melepaskan diri) tapi ma… (suaranya merendah), gak bisakah ini berubah…? (diam
sejenak. Lalu meninggalkan mama)

Karena mamanya tak bisa memberikan kejelasan apapun, ia merasa jika ia terus
tinggal bersama orang tuanya, hidupnya tidak berubah. Karena itu, tengah malam ini ia
memutuskan kabur dari rumah untuk mencari kehidupannya sendiri.
Lia : (memasukkan beberapa baju kedalam tas. Diam diam keluar rumah, berjalan dengan
wajah murung tanpa tau tujuan. Berhenti di halte, lalu duduk)

Beibh : (berjalan perlahan, mendekati dan memperhatikan Lia. Menepuk bahu Lia) kamu ngapain
disini? (memperhatikan Lia)

Lia : (melirik perempuan itu)

Beibh :(mengeluarkan rokok dari tasnya dan menyalakannya. Menghirupnya perlahan)kok diem?
(berjalan mengelilingi Lia)

Lia : numpang duduk aja kok mbak.. (menunduk)

Beibh : (melipat tangan) iya. Tapi ini wilayahku (nada agak meninggi). Atau….? (berhenti
berjalan, memperhatikan Lia lebih rinci. melihat jam) ah.! Sial!. Untung aku udah punya
janji! (berbalik badan, bersiap siap pergi) cepat pulang kalau mau selamat. Kayak kamu
gak baik kelayapan sendirian malem malem gini.Orang tua kamu pasti nyariin. Gak ada
yang paling nyaman selain rumah. Deket ma orang tua. (maju selangkah)

Lia : (berdiri, mengejar dan menarik tangan beibh) makasih.. aku Lia.

Beibh : (melepaskan tangan, memejamkan mata), aku Beibh. (membuka mata, membuang rokok,
menginjaknya,melangkah pergi tanpa berbalik badan)

Lia : (kembali duduk, merebahkan badan, lalu memejamkan mata. Tidur)

Sejenak Lia memikirkan perkataan Beibh. Lia lalu tertidur karena terlalu lelah menjalani
hari yang panjang ini. Tak terasa Hari berganti pagi…

Sindhu : (masuk perlahan, mengusap rambutnya dari belakang, melihat lia, duduk disamping Lia,
menepuk bahu Lia) Eh.! Bangun. Bangun. Udah pagi. (menepuk lebih keras)

Lia : (kaget, terbangun, mngucek mata) oh.. aku tertidur ya..? (menguap)

Sindhu : (menatap arah berlawanan, bersikap dingin) jelas. Ketinggalan bus dari tadi. Udah jam
10. Jangan ketiduran lagi, dikira pengemis nanti. (berdiri, memasukkan tangan dalam
jaket, melangkah menjauh perlahan)

Lia : (diam melihat kepergian Sindhu. Berdiri seketika, mengejar sindhu, berjalan
dibelakangnya) tunggu!

Sindhu : (berhenti) kenapa? Aku baru datang. Dan aku sama sekali tidak menyentuh satupun
barangmu. Cek aja.

Lia : Gitu aja? Kita belum kenalan… ( menundukkan wajah)

Sindhu : (membalikkan badan, mengulurkan tangan) Sindhu. Sekarang kita udah kenal.

Lia : (membalas tangan Sindhu) Lia. (tersenyum)


(datang dua orang cewek dan satu cowok berseragam SMA. Andini, Meysa dan Rendra. Melihat
Sindhu dan Lia )

Andini : Pagi kak… Tumben nih, sama cewek… ehem… (melirik Lia)

Sindhu : (mengusap rambut dari belakang) baru kenal. Lia. Lia, Andini adikku. (duduk melipat
kak, mengambil rokok dari sakunya, menghidupkan, menghirupnya perlahan)

Lia : Lia (tersenyum, mengulurkan tangan)

Andini : (tersenyum, membalas tangan Lia) masih sekolah? Dimana? Kok gak sekolah?

Lia : mhmh.. (terdiam) ada masalah.. pribadi (nada lebih dalam)

Sindhu : (melihat Lia, menggeram) huh.! (terdiam) kabur? ada tujuan.?

Lia : (menunduk, menggeleng,terdiam)

Sindhu : (menggelengkan kepala) Andini, Mesya. Ajak aja dia ketempat mu. Nambah tenaga
sosial. (kembali menghisap rokok)

Andini : (kaget) hah? Lho kok? (bingung menatap Mesya) Tapi kan…? (menggarukan kepala)

Sindhu : (berdiri) aku yakin dia cewek baik baik. Lagi salah pikiran aja, sampai gila gini.
(melangkah pergi. Dikejauhan, membuang rokok, lalu menginjaknya)

Lia : (memperhatikan kepergian Sindhu)

Andini : (memegang bahu Lia) dia emang kayak gitu. Dingin.

Lia : (diam) Ia… tapi rasanya ada yang beda. (menatap Andini)

Rendra : Ehm.. (berdeham, memecah suasana) kenalin, aku rendra. (jaim, tangan didalam saku)

Lia : (tersenyum pada rendra) Lia.

Mesya : Aku Mesya .. ( mengulurkan tangan, mengalihkan perhatian Lia. dibalas oleh Lia) biar
dia tinggal di tempatku aja Din. Gak apa apa… Lagian teman sekamarku udah dapet
kerjaan. Biar ada teman lagi. (menatap andini)

Lia : Maksudmu? (bingung)

Rendra : Kamu mau tinggal dimana Lia? Gak ada tempat kan? Mesya dan aku tinggal dipanti
sosial. Kamu bisa tinggal disana juga… tapi gak gratis.

Lia : Hah? Panti sosial apaan tuh? (bingung)

Rendra : jangan negative dulu. Ni panti sosial buat anak yatim. Bayarannya, kamu bias ngerawat
dan ngajarin anak anak dibawah kamu. Tempatnya gak terlalu bagus, tapi menurutku cuma
itu yang paling aman. Gimana? Mau?
Lia : owh… (berfikir sejenak) beneran, ini halal?

Rendra : (menggerakkan bahu dan menengadahkan tangan) terserah kalau gak percaya.

Lia : oke deh.. makasih ya… (tersenyum).

Andini : baguslah, beres sudah masalahnya.. (tersenyum)

Lia : tapi… kenapa kalian tinggal disana? (memandang Andini, Mesya dan Rendra)

Andini : Bukan aku. Mesya dan Rendra.. (diam) Rendra memang sudah yatim.. kalau Mesya..
(melirik Mesya) Sama. Masalah pribadi. Dan kayaknya gak perlu dibahas deh.. (melirik
mesya)

Mesya : (menggelengkan kepala) gak apa apa Din.. dia juga berhak tau, sebelum terlanjur. (diam)
aku kabur, capek mendengar orang tuaku selalu bertengkar. Beberapa minggu setelah itu,
mereka tau aku disini. Sebenarnya aku ingin pulang. Tapi, kenyataanya mereka sama
sekali tidak mencari dan mengkhawatirkan aku. Jadi, tak ada gunanya aku pulang.
(menunduk sedih)

Lia : (terdiam, melirik andini) maaf…

Mesya : Gag perlu (tersenyum). ini pelajaran hidupku. Aku maunya maksa kamu pulang, tapi
rasanya gak perlu. Biar kamu sendiri yang dapet hidayah buat pulang… (nada lebih
rendah)

Andini : (mengambil tangan Lia, Mesya dan Rendra lalu menyatukannya) oke.. sekian kisah
sedihnya ya! (berseru, tersenyum) udah dong, jangan jadi cengeng gini. Mending cepat
ngenalin Lia ke anak anak panti lain. (tersenyum bersama, melangkah pergi)

Lia memutuskan untuk mempercayai Sindhu, Andini , Rendra dan Mesya, teman
yang baru saja ia kenal. mau bagaimana lagi, Ia sekarang memang terjebak dan tak punya
tujuan. Satu satunya yang bisa ia dapatkan hanya mempercayai mereka.

Beberapa minggu dipanti sosial, Lia benar benar mendapatkan pelajaran yang
sangat berharga. Ia baru merasakan hidup diluar pengawasan kedua orang tua. Memang,
tiap malam bayangan orang tuanya tak pernah berhenti mendatangi mimpi Lia. Andini,
Mesya dan Rendra tau jika batin Lia tersiksa tanpa orang tua. Akhirnya, pagi ini Andini,
Mesya dan Rendra memutuskan untuk datang kerumah Lia tanpa sepengetahuan Lia.
Mereka mendapatkan alamat rumah Lia dari kartu pelajar yang ada di dompet Lia.

Andini : permisi…. (berseru kencang) permisi… Spadaa….! Assalamualaikum..?

Mama : (keluar dari rumah) wallaikum salam..? ada apaa yaa? Kalian siapa? Temannya Lia?

Rendra : iya tante.. saya Rendra, ini Andini dan Mesya (mengenalkan Andini dan Mesya) maaf,
tante siapa ya?

Mama : saya mamanya.. kalian tau, dimana keberadaan Lia?


Rendra : ehm.. enggak tante (menggelengkan kepala) , kami kesini mau tanya kabar Lia… kami
fikir Lia sudah pulang… (menyesal)

Mama : Tante udah nyari keliling, lapor kekantor polisi, semuanya.... tapi Lia tidak ketemu
ketemu…. (wajah sedih)… (menutup mulut dengan tangan, seperti menahan tangis) tante
gak mau kehilangan Lia… Ya Allah.. tante gak tau apa lagi yang harus tante lakuin…

Mesya : (memandang Andini dengan wajah sedih) Lia pasti pulang tante… kami juga ikut nyari
dan berdoa buat Lia…

Mama : tante harap begitu… (mengusap matanya), cuma Lia yang tante punya…

Mama Lia menceritakan semua kejadian dan sebab kepergian Lia. Mesya, Andini
dan rendra pun mengerti alasan Lia kabur dari rumah. Mereka ikut sedih dengan keadaan
Mama Lia yang begitu menderita tanpa keberadaan Lia tapi mereka tak mau
memberitahukan keberadaan Lia untuk saat ini.

Esoknya, Lia merenung. Entah kenapa Sindhu juga merasuki pikirannya. Dan
perempuan yang malam itu menegurnya. Lia merasa ada sesuatu yang aneh.

(Lia dan Mesya berjalan perlahan. Lia dengan wajah sedih).

Lia : (berhenti, menatap langit)

Mesya : (duduk) sebaiknya kamu pulang aja Lia... orang tuamu pasti sangat khawatir… (dengan
nada rendah).

Lia : enggak ah... (menggeleng) Lebih enak disini, aku bisa belajar mandiri, mengerti arti
hidup… (menunduk)

Mesya : Orang Tuamu lebih berharga dari pada pelajaran hidup Lia… (dengan nada pelan)

Lia : aku lebih suka gini… (duduk, menatap langit, dengan nada cuek)

Mesya : (mendengus) kalau kamu suka, kenapa kamu sering bimbang (melipat tangan), sering
gelisah..? (nada lebih tinggi)

Lia : ah.. (menggelengkan kepala) sok tau kamu… (bersandar)

Mesya : ia. (berseru) Tapi wajahmu gak bisa bohong, kamu rindu mereka! (nada meninggi). Pasti
sekarang kamu mikirin mereka. (terdiam) Ayolah Lia… jangan munafik gitu… (acuh)

Lia : (menegakkan posisi duduknya) Kok kamu marah? kamu gak suka ya, punya temen kayak
aku? (mencoba tenang)

Mesya : bukan gitu.! (berdiri) Kamu gak tau.! (berseru)

Lia : apa? (berdiri, membentak)

(andini, dan Sindhu datang, Lia dan Mesya terdiam)


Andini : heii…! Lia..! (tersenyum girang, melihat Mesya dan Lia. (lalu berhenti tersenyum).

Mesya : (sedih) aku gak mau kamu kayak aku…

Lia : (menatap Mesya) hah…

Mesya : Jadi anak terbuang gini.. (menundukkan kepala, menggeleng). Orang tuaku pun tak
merasa memiliki aku.! (nada meninggi, lalu pergi)

Andini : (bingung.) lho? Ada apa ni? Lia?

Lia : (hanya menggelengkan kepala)

Andini : duluan aja. (pergi meninggalkan Lia dan Sindhu. Mengejar Mesya)

Sindhu : (menatap Lia) kenapa Lia…?

Lia : bukan salahku. Sungguh.! ( menggelengkan kepala)

Sindhu : sudahlah.. ayo, jalan. (memasukkan tangan ke saku, cuek)

Lia : andini gimana?

Sindhu : tadi dia sudah nyuruh kita duluan. Ayo. Gak usah khawatir dengan Mesya. Mungkin saat
ini lebih baik tanpa kamu. Maksudku…. (diam, mengalihkan muka). Dia gak mau ada
yang senasib.

(Lia dan Sindhu melangkah pergi)

Saat itu, Andini dan Mesya sedang membicarakan Lia.

(Mesya masuk, diikuti Andini)

Andini : (menarik tangan Mesya) kamu kenapa sya..? gak biasanya kamu kayak gini? kamu benci
dia?

Mesya : enggak… (berbalik badan) kamu tau kan, kemarin saat kita ketemu orang tuanya? begitu
mengkhawatirkan Lia.. (sedih)

Andini : Ia sih.. (sedih) tapi kita gak bisa memaksa Lia.. (menggeleng sejenak)

Mesya : bisa.! (membentak) kita harus menghubungi orang tuanya sekarang.! (berseru) Aku gak
tega membayangkan dia seperti aku nantinya.. (menunduk)

Andini : (terdiam) kamu yakin sya..?

Mesya : yakin… (menatap Andini) kamu sih, belum pernah jadi anak yang terbuang… sungguh.
Aku cuma gak mau Lia jadi kayak gitu… apalagi yang lebih aku takutkankan….
kedekatannya dengan kakakmu. Aku takut … (mengingat memori, sedih)
Andini : Beibh… (mengalihkan muka) kakakmu… maafkan aku, tapi aku yakin Sindhu telah
berubah…

Mesya : mungkin… Tapi beibh gak ngerasa gitu…

Mesya dan Andini memutuskan untuk memberi tahu keberadaan Lia pada orang
tuanya. Bukan karena apa, tapi karena mereka menyayangi Lia.

Dilain tempat, Lia berjalan berdua bersama Sindhu, melewati malam itu bersama.
Dengan berbagai cerita. Saling mengenal dan mengetahui diri masing masing. Tapi entah
kenapa, Lia merasakan sesuatu yang aneh setiap melihat Sindhu. Bahkan sejak pertama
kali bertemu.

(Lia dan Sindhu berjalan berdua, berjauhan tapi beriringan)

Lia : ada yang aneh… (berbisik)

Sindhu : apanya? (dingin)

Lia : (duduk) anda. Seperti banyak menyimpan rahasia.

Sindhu : (ikut duduk, agak berjauhan. menatap langit). Hidup memang penuh rahasia..

Lia : tapi, rahasia anda lebih berbeda. (menggelengkan kepala) Entah kenapa aku merasa aneh..
(bersandar)

Sindhu : (melirik Lia, menaruh kedua tangan untuk menyangga leher kepala) semakin kamu
ungkap rahasia itu, semakin dalam kamu terjatuh dalam kegelapan… Lebih baik,. Biarkan
rahasia itu terkubur dalam dalam. Dan jangan pernah ungkapkan lagi. Biar gak sakit.

Lia : (melirik Sindhu, tertegun) kenapa anda mau menolong saya?

Sindhu : ( tersenyum) haha.. aku gak merasa begitu. Tapi, kalau kamu memang merasa aku tolong.
Okelah… (dingin)

Lia : (mendesah) huh…

Sindhu : mungkin… aku memiliki rasa… (terdiam)

(Beibh berjalan dari kejauhan, tertegun melihat Lia dan Sindhu, menghampiri Sindhu)

Beibh : kamu…? (memandang Sindhu dan Lia, menunjuk dengan tangan) kita ketemu lagi ya…
(sinis, melipat tangan). Sindhu..? (memandang sindhu) sejak kapan kalian saling kenal?

Sindhu : baru aja… (menatap Lia) iya kan lia..? (dingin)

Lia : Mbak dan mas ini saling kenal? … (bingung) baru tau nih.. (tersenyum, menggaruk
kepala)
Beibh : aku dan Sindhu, udah lama kenal. (melipat tangan) Sindhu gak cerita ta? Hahaha…
( sinis) padahal, sepertinya hubungan kalian udah jauh.. dari pandangannya ke kamu tadi,
harusnya dia udah cerita…(menggelengkan kepala) bener kata Mesya…

Sindhu : (berdiri) ini bukan urusanmu Beibh!. (nada meninggi) Lia, ayo pergi…

Lia : (berdiri, mengikuti Sindhu)

Beibh : (tertegun) kenapa? Kamu mau kabur lagi? Kapan kamu mau menghadapinya?! (nada
semakin tinggi, sinis)

Sindhu : bukan sekarang beibh.. (memegang tangan Lia, menariknya pergi meninggalkan Beibh)

Beibh : tunggu.! (berteriak, menahan tangis) mau kamu apakan dia? Apa akan seperti aku? Kamu
belum dewasa Ndhu.! (menahan tangis)

Lia : maksudnya…? (menahan tarikan sindhu)

Beibh : Sindhu itu bajingan.! (datar, menahan tangis)

Lia : hah.. gak mungkin.. (melepas tangan Sindhu) anda hanya cemburu karena saya bersama
dia. !

Sindhu : (jongkok, menutupi kepalanya dengan tangan)

Beibh : hah.! Cemburu? Gila apa.? (mundur beberapa langkah)

Lia : (menatap Sindhu) gak mungkin.! Kak Sindhu gak mungkin bajingan.! Semua pasti ada
penjelasannya! (berseru)

Beibh : (mendekati Lia, berhadap hadapan) kamu mau penjelasan apalagi? (menunjuk bahu Lia)
Mending sekarang kamu pulang kerumah sebelum kamu dirusak dia! (menahan emosi,
menunjuk Sindhu)

Lia : enggak.! (maju selangkah) Aku butuh penjelasan.. (berseru) apa maksudnya ini kak?
(menatap sindhu)

Sindhu : (menggelengkan kepala)

Beibh : (menggelengkan kepala, menutup mata sejenak) aku dulu juga kabur… lalu bertemu
dia… (memejamkan mata) persis seperti kamu… terpesona oleh dia.. ia meninggalkan
aku… (mengeluarkan sedikit air mata) dan cabang bayinya.. sampai sekarang, kedua orang
tuaku tak mau menerimaku, karena dia… mungkin untuk wanita wanita yang dulu, aku
bisa diam. Tapi untuk kamu (menggelengkan kepala), yang memiliki nasib sepertiku, sulit
rasanya…

Lia : (shock) benarkah itu kak? Benarkah itu ? (datar, tak percaya)

Sindhu : (berdiri) ku mohon jangan percaya dia… aku menyayangimu sekarang… (mendekati Lia)
Beibh : hahah… (sinis) dulu juga kau katakana cinta aku… (menangis) sampai mati bahkan.
(berseru)

Sindhu : cukup beibh.! Lebih baik kamu sekarang pergi.! (membentak beibh)

Beibh : (terdiam) sekali bajingan, kamu tetap bajingan! (berseru) Tapi , aku sungguh bodoh…
(menahan tangis) rasa ini tak bisa ku usir pergi… selamanya aku masih cinta kamu…

Sindhu : puaskah kamu sekarang? Semuanya telah kamu ungkapkan.! Itu hanya masa lalu beibh.!
Dan kita sudah janji gak akan membahasnya lagi.! (membentak)

Beibh : selamanya Ndhu… (menangis, berlari pergi)

Sindhu : (menatap Lia) dulu hanya kesalahan saja, dan aku tak tau. Aku dulu belum dewasa… dan
sekarang, aku tau aku telah dewasa… (meraih tangan Lia)

Lia : (menepis tangan Sindhu) kenapa kak?! Kenapa kakak tega sama aku? Aku terlanjur
percaya kakak, percaya kakak bisa ngenalin aku sama dunia luar yang lebih indah…!
(membentak)

Sindhu : sungguh.. (sedih) aku gak bermaksdu seperti itu, tolong percaya aku.. semua orang punya
kesalahan, begitu juga aku… (memegang bahu Lia)

Lia : (menampar Sindhu, Lia menahan tangis) aku ingin menangis sekarang. Tapi , rasanya
bodoh membuang air mataku untuk orang seperti anda… terimakasih dengan semuanya…
(pergi meninggalkan Sindhu)

Sindhu : Lia…. ! (berseru)

Lia : (berhenti)

Sindhu : aku ingin kamu tau.. (menunduk) Aku benar menyayangimu.. Aku cuma ingin
memperbaiki kesalahanku…

Lia : cukup kak...! (berseru) aku juga berharap begitu... tapi bukan pertemunan seperti ini yang
aku harapkan...! terimakasih telah mengajarkanku mengenal arti hidup... (memenjamkan
mata, menahan tangis)

(Mama, Andini, Mesya dan Rendra datang dari kejauhan, mama berjalan mendekati Lia
dan yang lain berjalan mendekati Sindhu)

Mama : Liaaa...! (berseru menghampiri Lia dengan menangis)

Lia : Mama.... (dengan nada bersedih)

Mama : kemana aja kamu sayang...? mama sudah lama mencari kamu...! jangan pergi lagi ya
sayang... (menarik Lia dalam pelukan)

Lia : (memeluk mama) Maafin Lia ya ma.....


Mama : Maafin mama juga ya sayang.... (melepas pelukan, membelai kepala Lia)

Lia : Lia sekarang mengerti... enggak cuma Lia yang punya masalah... semua orang memiliki
masalah masing-masing... (menatap mama)

Mama : iya sayang... ayo kita pulang...

Lia : sebentar ma... (mendekati sindhu dkk. Tersenyum) makasi ya semua...!

Andini : (mengangguk) iyaa... sama-sama... jaga diri baik-baik ya.. jangan lupain kita! (menarik
tangan Lia) kita sudah jadi sahabatkan sayang...?

Lia : okee..! (tersenyum) Mesya, Rendra, makasi ya... salam buat kakakmu... (menatap Mesya)

Mesya : (mengangguk) maafin kakakku juga ya...

Lia : (mengangguk) kak... (menatap sindhu) kalau mau memperbaiki kesalahan, perbaikilah
pada Beibh... belajarlah bertanggung jawab...

Sindhu : (mengangguk, terdiam sesaat) mungkin kamu benar...

Lia : ku harap kita bisa bertemu lagi... bye... (melambaikan tangan, melangkah pergi bersama
mamanya)

(yang lain ikut melambaikan tangan, menghantar kerpergian Lia)

Ada sedikit cerita Sindhu dalam hati Lia. Tapi, Lia tak menyesalinya. Lia
menganggap itu sebagai pelajaran teridah dalam hidupnya. Lia yakin, suatu saat jika
memang diizinkan, Lia dapat bertemu Sindhu dengan cara yang lebih baik. Saat mereka
sama-sama dewasa. Jika tidak pun, ia berharap kedatangannya dapat menyatukan Sindhu
dengan Beibh.

Lia sekarang sadar, bahwa masalah tidak hanya mendatanginya. Semua orang
memiliki masalah yang harus dihadapi dalam hidup. Kabur dan mencari masalah lain
bukanlah jalan yang tepat untuk menyelesaikan masalah. Yang ada, ialah kita harus
menghadapi masalah itu.

Sejak saat itu, ia tak pernah mengeluh lagi akan keadaan orang tuanya. Ia menjalani
hidupnya dengan penuh semangat, meski harus berpindah-pindah tempat. Yang lebih
penting, ia slalu berusaha mensyukuri apa yang ia dapatkan.

Anda mungkin juga menyukai