Karya : SAINI KM
Diadaptasi Kembali Oleh D. Alfiant Hariyanto (Teater DeLIK)
ADEGAN I
002. AMAT :
Amat?
004. AMAT :
Baiklah, perawakannya kecil, perutnya buncit, gayanya gagah. Saudara Lugu, eh saudara
Amat, eh ya Tuhan. (memukul keningnya)
006. AMAT :
008. AMAT :
(Melongo) Jadi dia buncit, bukan? Perawakannya kecil, dan gayanya gagah?
010. AMAT :
012. AMAT :
Melihat dia kecil, buncit, gagah, dan mengepit pakaian. Apa saudara Lugu melihatnya?
014. AMAT :
016. AMAT :
Tadi anak-anak menunjuk kemari dan menyarankan supaya saya bertanya kepada saudara
Lugu tukang jualan rokok.
018. AMAT :
Memang anak-anak sini kadang-kadang memanggil saya Lugu. Tapi nama saya Amat Mpok.
Tadi Saudara mengatakan, mungkin saudara Lugu melihat orang yang membawa bungkus
pakaian itu bukan?
020. AMAT :
Ya.
Yang Lugu, eh yang Amat itu yang .... Aduh saya bingung, mumet ini (memukul pelipisnya).
022. AMAT :
Aduh mencari keterangan saja begitu sukar, apalagi mencari pencuri. Dasar nasib orang kecil,
baru dapat pakaian kebesaran sekali saja sudah blingsatan begini.
024. AMAT :
Ya, saudara Lugu, eh saudara Amat, eh saudara Lugu .... Yang mana sih saudara itu.
026. AMAT :
027. AMAT :
Kalau pakaian kebesaran mengapa tidak dikecilkan. Daripada lari-lari sana sini mencari
saudara Lugu, mendingan mengecilkan pakaian yang kebesaran itu.
(Bingung sedih, memukul pelipisnya kembali) Tak ada pakaian yang kebesaran Pak, yang ada
pakaian yang hilang.
029. AMAT :
(Duduk di bangku bagai karung setengah isi) Saya pusing apa saudara Lugu itu ada... Apa
ada air ?
031. AMAT :
Saudara Lugu tidak ada. Kalau teh ada (Amat masuk dan kembali membawa segelas teh)
033. AMAT :
Bukan. Saya, sayalah orang kecil itu, sedang orang yang saya cari itu orangnya kecil....
(Rupanya menyadari bahwa sukar sekali baginya untuk memberi penjelasan. Ia
menggelengkan kepalanya dengan lesu)
035. AMAT :
Saya tidak mengerti Mpok, mengapa pagi-pagi begini Mpok sudah kepayahan dan tampaknya
susah sekali?
Orang itu kecil, buncit, gagah, saudara Lugu. Ia lewat di depan rumah saya dan pakaian
Jendral itu “Ples!” hilang.
037. AMAT :
(Kepada dirinya) Keil, buncit, gagah, lugu, Jendral, pakaian, ples! Apa artinya itu?
Saya sudah bilang, cari keterangan begini susah apalagi cari pencurinya.
039. AMAT :
Pencuri pakaian.
041. AMAT :
Pakaian siapa?
Pakaian Jendral.
043. AMAT :
(Terkejut karena disangka Jendral) Yang betul saja saudara Lugu, masa tampang begini
Jendral. Saya ini orang kecil saja. (Menunjuk dirinya) Kalau saya Jendral masa saya harus
lari-lari kehabisan nafas seperti ini.
045. AMAT :
047. AMAT :
Saya lari bukan latihan. Saya mengejar pakaian Jendral yang dicuri dari rumah saya.
049. AMAT :
051. AMAT :
(Harapannya timbul kembali) Apa saudara Lugu, eh Amat, eh Lugu melihat orang buncit,
perawakannya kecil, gayanya gagah lewat sini?
053. AMAT :
(Menyesal karena tidak dapat membantu) Tidak Mpok. Saya kesiangan, tadi malam sudah
larut sekali baru saya tidur. Saya nonton sirkus Mpok.
(Sedih) Keramaian ini, sirkus-sirkusan ini memang banyak mengundang orang jahat ke
daerah kita ini.
055. AMAT :
(Agak melamun) Memang ramai sekali Mpok. Bukan yang nonton saja, pedagang pun banyak
sekali. Lapangan kecil di depan Rumah Gila itu penuh dengan warung-warung.
057. AMAT :
(Termenung, sungguh-sungguh) Memang, maksud saya Rumah Sakit untuk orang gila.
Rumahnya sih tidak gila, isinya yang sinting.
Baiklah saudara Lugu, eh saudara Amat, eh.... (Memukul pelipisnya lagi) Baiklah,
terimakasih atas tehnya. Saya kira lebih baik saya pergi ke pos Hansip.
059. AMAT :
Cuma teh kok Mpok. Jadi Mpok mau pergi ke pos Hansip?
Ya. Mudah-mudahan mereka sudah bangun. Maklum mereka berjaga sepanjang malam,
mana ada sirkus-sirkusan itu lagi. (Ia pergi ke sebelah kiri, Amat kemudian menyimpan
gelasnya ke dalam kios).
ADEGAN II
061. AMAT :
063. AMAT :
Tukang jahit baru saja pergi, Oom. Apa nama tukang jahit itu Pak Wartawan?
Tukang jahit?
065. AMAT :
067. AMAT :
069. AMAT :
(Saking marahnya ia gemetar. Ia bergerak hendak memukul Amat, tapi menahan dirinya. Ia
terengah-engah, lalu diam dan menampakkan kelelahan) Kalau tidak karena takut kumat
ayanku, kamu sudah jadi bubur aku labrak!
071. AMAT :
073. AMAT :
(Kasihan melihat laki-laki itu kepayahan) Oom sakit? Duduklah Oom, saya ambilkan teh.
Ada bir ?
075. AMAT :
NYANYIAN :
(Yang sejak semula memperlihatkan kemarahan dan kemuakkan dan tiba-tiba tidak dapat
menahan diri) Sudah! (Ia mengambil uang lima ratus Rupiah dari sakunya, lalu
melemparkan ke tanah).
(Setelah mereka terkejut dan berhenti main) Kalau Oom tidak suka tidak usye kasyih uang
(Suara wanita).
078. SI BUNTUT KUDA :
(Mengejek) Katanya jangan pura-pura. Ambillah dan cepat pergi dari sini.
(Dengan suara wanita) Kite-kite nyanyi bukan buat Oom. Jangan salah sangke. Kite nyanyi
buat Oom Amat.
(Dengan suara asli, suara laki-laki) Eee kurang ajar kamu (Menggulung lengan bajunya, Si
Buntut Kuda tampaknya sadar, bahwa yang ia hadapi bukan wanita, ia tampak mengkerut
menghadapi Pemain Musik yang siap mengeroyoknya).
082. AMAT :
(Dengan cepat melompat diantara Si Buntut Kuda dan Pemain Musik, tangannya
dibentangkan lebar-lebar, ia melompat kekiri-kekanan, kekiri lagi, kekanan lagi, seakan-
akan sedang ikut permainan anak-anak Sunda yang disebut galah) Sabar-sabar, Oom ini
kurang sehat, penyakitan. Tadi juga hampir kumat, kasihan.
(Suara Wanita) Kalau bukan karena Oom Amat (Ganti suara laki-laki) sudah kita hajar orang
itu.
084. AMAT :
Sabar, sabar, sudahlah. Oh, ya, ini uang buat nyanyiannya. (Memberikan uang dalam jumlah
yang agak banyak)
(Dengan suara wanita) Terimakasih banyak, Oom, terimakasih banyak. (mereka memberikan
penghormatan dengan cara membungkuk sambil memegang rok masing-masing, sambil
meninggalkan pentas. Tapi di dekat batas pentas mereka berpaling dan mendelik pada Si
Buntut Kuda).
(Dengan suara laki-laki yang jantan) Lain kali aku hajar kamu! (Mereka keluar dari pentas)
087. SI BUNTUT KUDA :
Sialan! (Mengambil uang dari tanah, memandang kearah perginya Pemain Musik) Dasar
Ben Go Pek, merendahkan martabat seniman.
088. AMAT :
(Berpaling pada Si Buntut Kuda) Nyanyian mereka merdu sekali kan Oom? Memang mereka
seniman, seperti Oom bilang.
Puah, seniman! Kalau mau angkat topi bukan pada seniman macam begitu!
090. AMAT :
(Memegang kepalanya; lugu) Oom lihat saya tidak pakai topi, dan memang tidak pernah
pakai topi (Si Buntut Kuda merasa dipermainkan, bangkit lagi kemarahannya, akan tetapi ia
gemetar lagi dan tangannya bergerak-gerak tidak wajar. Ia menahan diri, menenangkan
jantungnya) Apa musik suka membikin ayan Oom kumat lagi? (Dengan simpati yang tulus).
(Setelah mengistirahatkan dirinya beberapa lama) Apa kau sebut musik yang kayak begitu?
092. AMAT :
(Melongo sejenak) Saya kira... Saya kira, ya, Oom. Mereka seniman bukan Oom?
094. AMAT :
(Sedih karena menurut pendapatnya Si Buntut Kuda tidak adil) Saya kira mereka tidak
mengemis, Oom. Mereka menyenangkan hati orang dan menerima upah sekedarnya.
096. AMAT :
(Sedih dan tidak mengerti) Tapi, bukankah mereka menyanyi bagus, Oom?
100. AMAT :
(Sedih, putus asa) Habis mereka harus bagaimana, Oom. Daripada mengemis....
Lebih hina daripada mengemis (Kemarahannya terhadap Pemain Musik diarahkan kepada
Amat).
102. AMAT :
(Bersemangat) Seniman tidak boleh kalah oleh Dokter, Insinyur, Menteri, ya oleh Presiden
sekalipun! Seniman harus sama kuat, sama hebat, dengan mereka.
104. AMAT :
106. AMAT :
(Mula-mula tampak marah, akan tetapi kemudia seperti mendapat ilham) Memang, seniman
berjuang, bertempur, berkelahi melawan Menteri, melawan Presiden!
108. AMAT :
(Heran) Bertempur?
109. SI BUNTUT KUDA :
Ya, Saya pun sering berdemontrasi mengadakan protes terhadap mereka (Mengacungkan
tinju).
110. AMAT :
(Salah tafsir terhadap pertanyaan Amat) Tergantung pada musimnya. Pemerintah bikin
jembatan kita protes. Kita bilang Masjid lebih penting, karena masjid adalah jembatan ke
sorga.
Kalau pemerintah bikin jalan, kita protes, kita bilang sekolah lebih penting, karena
pendidikan adalah jalan lurus ke masa depan. Kalau tidak musim protes-protesan, kita bikin
pertunjukan yang aneh-aneh. Yang menggegerkan, lebih menggegerkan dari statement
Menteri atau Presiden, biar berdrum-drum tinta wartawan tumpah di koran-koran dan
majalah-majalah mereka.
113. AMAT :
115. AMAT :
(Setelah termenung sejenak) Ooo... Begitu. Lalu, kalau sudah main gila, kapan main
keseniannya, Oom?
(Berpaling kepada Amat dan memandang dengan muak dan lelah) Sudahlah, kau tidak
mengerti. Kau perlu lebih banyak berpikir dan termenung (Menunjuk ke pelipisnya).
117. AMAT :
(Lugu) Saya sibuk Oom. Paling-paling saya termenung kalau saya sedang buang air besar.
ADEGAN IV
Itu Dia!
119. AMAT :
Wajah you cerah seperti fajar, rupanya sudah banyak dapat amplop nih?
Lumayan deh.
124. AMAT :
126. AMAT :
Maaf Oom. Atau barangkali Oom punya usaha percetakan yang bisa membuat amplop.
127. SI KEMEJA BATIK :
128. AMAT :
Pe... Pe... Peras (Si Kemeja Batik naik pitam sampai gemetar, Si Buntut Kuda memegang
pundaknya)
(Menariknya ketempat lain) Sudahlah. Mari kita mulai dengan rencana kita.
(Setelah memandang kearah Amat) Baiklah, mari kita bicarakan disini sambil menunggu dia
muncul. (Mereka duduk dibangku kios Amat. Amat masuk ke dalam kiosnya akan tetapi terus
memperhatikan kedua orang itu dengan hasrat ingin tahu yang besar) Begini, seperti telah
saya terangkan kemarin, tokoh kita itu mengaku sebagai seorang istri bekas pejuang yang
berjasa dalam masa perang kemerdekaan. Ia mengatakan almarhum suaminya mempunyai
beberapa bekas luka dipaha dan didadanya setelah masa perang itu. Dulu, waktu saya
wawancarai, dia memperlihatkan foto-foto bekas luka suaminya, bahkan ia pun meminta
foto-foto bekas luka itu untuk saya bawa. Saya membawanya, tapi Pemimpin Redaksi
menolak memuatnya, katanya itu tak senonoh, melanggar kode etik jurnalistik, Sayang, tapi
baiklah, kita kembali pada rencana kita itu. Begini, nanti saya akan perlihatkan hasil
wawancara saya kemarin dulu itu (Si Kemeja Batik mengeluarkan koran). Saya akan
membacakannya di depannya. Ia senang dan akan memberi uang yang lebih besar jumlahnya
daripada yang saya ceritakan kepada you.
You bertindak setelah saya panggil. Tunggu saja sampai saya diberi uang lagi, lalu you
bersiap-siap. Nah, kalau saya sudah mendapat uang lagi, kita akan melaksanakan rencana
yang kedua. Saya akan mengatakan kepadanya bahwa ada wartawan yang mendapat fakta
lain tentang dia. Fakta yang tidak menyenangkan dan merusak nama baiknya. Dia tentu akan
terkejut dan ketakutan. Lalu saya akan berpura-pura menolongnya, yaitu dengan jalan
menyarankan agar berita jelek itu dibeli dari wartawannya sebelum diberitahukan ke koran-
koran. Ketika itulah saya akan memanggil you. You bacakan tulisan itu agar didengar
olehnya. Dia tentu bersedia membeli tulisan itu. You ternyata harus jual mahal.
Kalau tidak salah kemarin you mengatakan agar kertas itu jangan diberikan kalau tidak dibeli
Lima Juta, apakah itu tidak terlalu tinggi? Cuma dua halaman saja kok.
Dia tidak membeli kertas, dia membeli nama baiknya. Sekarang, laksanakanlah. Ingatlah kita
saling membutuhkan. Saya membutuhkan you hari ini, you sebagai seniman akan
membutuhkan saya. Disamping itu you akan mendapat bagian.
Sekarang tunggulah dulu di sini, saya akan menemani dia. (Berjalan kearah beranda sebelah
kanan pentas). Salamlaikum!
ADEGAN V
Selamat pagi, anak muda, mari duduk, minum apa? Kopi susu, jeruk panas?
141. SI KEMEJA BATIK :
Kopi susu, Bu. Soalnya sampai jam dua malam tadi saya berdebat dengan Pimpinan Redaksi.
Majikan saya itu mula-mula menolak memuat wawancara kita itu. Setelah itu korektor mau
ikut-ikutan memotong wawancara, bagian yang pentingnya lagi. Setelah saya pukul dia dan
saya lempar ke atas mesin cetak, baru dia mau menurut. Ternyata sulit juga kita hendak
mengajukan fakta yang sebenarnya dan sesuai dengan semangat 45.
Sudah Bu, lengkap dengan foto-foto Ibu dan juga almarhum Bapak. (Mengeluarkan koran).
Mari saya bacakan.
(Merebut koran) biar nak, biar Ibu yang baca kisah bapak, suamiku yang membanggakan ini.
(Berdiri seraya memegang dan memandangi koran, tertawa dengan senang lalu membaca).
Setelah “Tidak Bang Johan…” Kata Toha. “Perjuangan kulanjutkan, sampai akhir jaman.
Kalau kelak akan gugur selimutilah hendaknya badanku dengan Sang Merah Putih. Selamat
tinggal, sekali merdeka tetap merdeka”, katanya. “Selamat jalan, Bandung Selatan jangan
dilupakan”, kata suami saya terharu. Lalu dia dengan lantang maju terus, meninggalkan
suami saya yang membalut luka dengan selendang sutera yang ia terima dari seorang gadis
anggota PMI sebelum mereka berangkat ke garis depan.
Bagian mana dalam wawancara di koran ini yang menjadi favorit Ibu? Pasti bagian sewaktu
suami Ibu bahu-membahu dalam medan perang dengan arek-arek Suroboyo kan?
Benar sekali. Bagian itu. Suami saya seringkali menceritakannya. (Bercerita dengan
bersemangat diiringi dengan gerakan-gerakan untuk menggambarkan situasi yang terjadi
didalam cerita) “Ketika saya menembak Jendral Mallaby, Jendral Inggris itu. Saya bersama
beberapa arek Suroboyo berdampingan dan menembak serentak kearah Jendral itu. Karena
saya yang paling mahir dalam menembak, saya yakin peluru sayalah yang menghabisi
riwayat jendral itu.” (Ibu Johan tertawa kegirangan).
147. SI KEMEJA BATIK :
(Ragu, ingin berbicara tetapi menunggu Ibu Johan selesai tertawa, namun kemudian
memutuskan untuk berbicara) Bagaimana Ibu Johan ?
Bagus, bagus, bagus sekali! (mengacungkan jari jempolnya ) sebenarnya saudara dapat
menambahkan kesan-kesan yang lain tentang pertempuran-pertempuran lainnya juga. Bahkan
saudara dapat menulis tentang pengalaman-pengalaman suami saya sebagai anggota
pergerakan nasional atau ketika suami saya ikut bergerak di bawah tanah melawan tentara
pendudukan Jepang.
Betul bu, saya harus sudah berada di kantor redaksi saat ini.
Saya bermaksud mengajukan usul permintaan biaya pengobatan Bu. Tapi saya tak yakin
apakah kantor mau menanggung atau tidak, biasanya tidak.
Saya Bu, agar wawancara itu bisa terbit, saya berdebat dengan Pemimpin Redaksi sampai
jam dua malam. Kemudian saya terpaksa berkelahi dengan korektor yang mau menyabot
wawancara itu. Saya melemparkannya ke atas mesin cetak, tapi ia berhasil menendang perut
saya. Mungkin saya kena sakit liver karenanya Bu.
Saya juga tahu Bu, tapi saya ragu apakah kantor mau menanggungnya. (Tidak ada yang
bicara untuk beberapa lama). Sebenarnya saya harus cepat-cepat pergi Bu.
(Akhirnya ia mengerti maksud Si Kemeja Batik) Ini lumayan untuk tambahan ongkos Dokter.
(Merogoh saku memberikan uang).
Terima kasih Bu, (Berwajah cerah) Permisi Bu, sampai jumpa di wawancara yang akan
datang.
ADEGAN VI
Sekarang bagaimana?
Sebentar lagi saya akan kembali kesana. You siap di depan rumah seraya melambaikan kertas
itu.
Lalu bagaimana?
ya siap. (sebelum dialog ini berlangsung, Amat terus memperhatikan dan tampak dari
wajahnya bahwa ia mencoba mengerti apa yang sedang terjadi).
ADEGAN VII
Salamlaikum.
Lakumsalam! Mari, silahkan duduk. Apa sudah siap dengan wawancara baru?
Bukan, Bu, begini, begitu saya keluar dari sini saya bertemu dengan seorang wartawan dari
koran lain. Ternyata ia punya fakta-fakta lain tentang bapak, suami Ibu. Fakta- fakta itu lain
sekali dengan yang Ibu wawancarakan kepada saya.
Bertolak belakang ?
175. SI KEMEJA BATIK :
Seperti bumi dengan langit. Fakta itu menyatakan bahwa suami Ibu sama sekali bukan
pahlawan.
Ya Tuhan!
Bahwa bapak tidak pernah bertempur. Sebaliknya, justru bapak dicurigai menjadi kolaborator
Belanda. Suami Ibu lah tokoh yang pertama-tama turun ke kota, ke daerah pendudukan.
Kalau bapak tidak mendaftarkan diri sebagai veteran perang, itu memang bukan karena bapak
tulus ikhlas berjuang, melainkan karena bapak tidak ada bukti-bukti, malahan saksi-saksi
yang menguatkan suami Ibu sebagai penghianat, cukup banyak.
(Betul betul terpukul dan hamper pingsan) Ya Tuhan, Tolonglah anak muda.
Barangkali kita dapat mengusahakan agar fakta-fakta itu tidak diberitakan di Koran-koran,
Bu.
Usahakan anak muda, bagaimana caranya? Anak muda, tolonglah. (Berlutut di hadapan Si
Kemeja Batik).
Tidak perlu berlutut, Bu. Saya kikuk jadinya. Siap-siap saja dengan segala daya dan dana.
Sekali lagi dengan segala daya dan dana. Mudah-mudahan dalam persoalan ini dapat diatasi.
Hai, Bung wartawan, kemarilah, mari kita berunding (Si Buntut Kuda dengan bimbang
berjalan ke serambi lalu duduk di salah satu kursi ) Begini, Bung wartawan, kami, Ibu Johan
dengan saya telah memutuskan untuk mengganti ongkos anda mengetik berita itu. Sekarang
begini, berapa anda mau kami bayar?
(mendengar itu Si Buntut Kuda terlonjak dari duduknya, lalu berdiri, kaku, lantas gemetar,
kemudian duduk terkulai sambil mengeluarkan suara menggeram-ngeram karena ayannya
kumat). Hai, kenapa dia?
(mula-mula terkejut, lalu bingung dan gelagapan) Air! Air! (Si Buntut Kuda diperciki air
dari gelas minuman).
Marah?
195. SI KEMEJA BATIK :
ya, ya….. karena tawaran Ibu terlalu rendah. Biasanya dua halaman ketik sedikitnya Lima
Puluh Juta.
Kita bisa berunding, Bu. Saya khawatir begitu siuman dia akan langsung mencetak fakta-
fakta itu……. Atau langsung ke pengadilan mendakwa Ibu.
Nanti saya rundingkan dengan dia, Bu. Nah, dia siuman rupanya. Hai Bung wartawan,
bangun, bangun.
Ya, sadarlah, saudara. Maaf saya telah membikin saudara marah. Jangan beritakan fakta-fakta
itu, jangan.
Begini saja Bu. Kami akan mencari tempat yang tenang dan baik untuk berunding. Saya akan
mengembalikan kesadarannya dulu, meredakan kemarahannya dan setelah berunding akan
kembali kesini.
Kalau begitu baiklah, silakan, anak muda. Cepat-cepatlah minta berita itu darinya, agar saya
dapat segera membakarnya.
Baiklah, Bu (kepada Si Buntut Kuda) Mari Bung wartawan, sadarlah kita cari tempat
berunding (Si Kemeja Batik menuntun Si Buntut Kuda meninggalkan serambi. Ibu Johan
Budiman sempoyongan masuk ke dalam rumah).
204. SI BUNTUT KUDA :
Tawarannya melebihi apa yang di rencanakan itu. Saya terkejut dan ayan saya kumat.
Untung tidak parah.
Menggeledek, siapa yang tidak terkejut oleh geledek. (Tertawa) Ini rejeki nomplok namanya.
Mari kita cari tempat yang baik untuk berunding.
Kalau bisa kita berunding di sini saja, lutut saya masih gemetar ini.
Oke, mari di sini saja. Duduklah. (Duduk di kios toko Amat) tenanglah dulu, tariklah nafas
dalam-dalam, agar cepat sehat kembali. Seandainya serangan ayan itu tidak datang, kita
sudah jadi orang kaya sekarang.
Terlalu besar? Mengapa terlalu besar? Tidakkah you senang? Mestinya you senang dan
bukannya semaput.
Memeras juga kalau sedikit sih tidak apa. Tapi kalau terlalu besar ngeri juga.
(Marah, Berdiri) Jangan ucapkan kata memeras itu. Saudara menghina profesi saya. Saudara
kira seniman itu hebat? Cih, tukang gunjing, tukang cari nama sambil menjelek-jelekkan
nama kawan-kawannya sendiri. Seniman, Cih. Tanpa mass media saudara itu apa? Di
samping itu tingkah polah saudara-saudara, maka kata seniman dihubungkan masyarakat
dengan kesintingan. Seniman identik dengan senewen. (Si Buntut Kuda mulai bangkit
walaupun masih lemah) Seniman adalah kelompok orang-orang yang perlu dimaklumi, dan
masyarakat tersenyum kembali sambil maklum tentang tingkah polah saudara-saudara yang
memang sinting. Tapi kalau keterlaluan, kami tidak bisa maklum lagi. Saudara harus tahu,
waktu saudara minta dipotret setengah telanjang dengan pakaian tarzan itu, dan minta saya
memuatnya di koran saya, saya hampir saja dipecat. Memang ketika itu saudara sudah
keterlaluan dan saya terlalu maklum. Sedang Pemimpin Redaksi sebagai orang awam
beranggapan bahwa polah tingkah seperti itu sudah cukup untuk mengirimkan saudara ke
Pusat Kesehatan Jiwa.
Kalau kami tidak bergunjing, kalau kami tidak nyentrik, kalau kami tidak buat sensasi, kalau
kami tidak berbuat yang berani, yang nekat, yang hebat, koran saudara akan kosong,
sedikitnya kehilangan garam. Kami juga punya kebanggaan profesi. Saudara tidak perlu
menghina.
214. AMAT :
(Melompat dari dalam kiosnya lalu membentangkan tangan di antara kedua orang yang
mulai seperti akan terkam itu) Sabar Oom, kalian berdua kan sahabat karib, mengapa harus
bertengkar?
(Sadar bahwa kalau mereka bertengkar rejeki yang sudah hampir berada di tangan akan
lenyap). Oke deh, kita sama-sama punya kelemahan, seharusnya kita saling maklum dan
kerjasama. Dan memang kita telah biasa kerjasama.
Lebih baik kita kerjasama. Bersatu kita teguh. Kita saling membutuhkan. Mari kita salaman.
(Mereka salaman dengan hangat)
218. AMAT :
Setuju! Mari, dan kita berunding di sana. (Mereka meninggalkan pentas berpeluk bahu)
ADEGAN VIII
221. AMAT :
222. BANEN :
Apa dunia yang sakit perut atau saya yang sudah gila, Jang Amat?
223. AMAT :
224. BANEN :
(Duduk dibangku dan menepuknya) kalau bangku ini bisa bicara saya bertanya padanya?
225. AMAT :
226. BANEN :
(Terkejut) Eh, Jang Amat, Apa Ujang lihat saya ini sudah gila?
227. AMAT :
(Lugu) mungkin saja, Teh, Kalau emang diperiksa oleh dokter-dokter di rumah sakit gila itu.
Kawan saya juga, mula-mula sering termenung-menung. Ketika dibawa ke rumah sakit, ia
dioper ke rumah sakit orang gila. Eh, tahu-tahu ia tidak kembali ke kampung, malah
terpenjara di sana. (Banen benar-benar terkejut dan cemas, ia mendekat kepada Amat, Amat
memperhatikan). Tapi Teteh tidak semurung kawan saya itu. (Banen lega).
228. BANEN :
Kalaupun saya gila, saya tidak bakalan pergi ke rumah sakit gila itu.
229. AMAT :
230. BANEN :
(Tertawa) Saya bakalan keliling-keliling kota saja, makan sisa sisa bakmi pemberian pelayan
restoran. Yang jadi persoalan cumalah saya harus berusaha tidak telanjang bulat. Biar gila
juga malu kalau sampai telanjang bulat di jalan. Saya kira kalau saya gila tidak akan sampai
telanjang bulat.
231. AMAT :
Sayapun tidak akan sampai hati Teteh telanjang bulat. Saya tidak akan membiarkan Teteh
begitu. Kalaupun misalnya hanya punya dua pasang pakaian pasti sepasang saya berikan
kepada Teteh.
232. BANEN :
(Terharu) Terima kasih Jang Amat, saya akan memelihara pakaian itu sebaik-baiknya, agar
awet.
233. AMAT :
Yang susah caranya menyampaikan pakaian itu, The. Tadi Teteh bilang Teteh akan keliling-
keliling kota. Kemana saya harus mencari Teteh?
234. BANEN :
(Tersadar dan terkejut) Jang Amat! Astaga! Apa memang saya sudah kelihatan ada tanda-
tanda akan menjadi orang gila?
235. AMAT :
236. BANEN :
Apakah Jang Amat misalnya melihat adanya perubahan-perubahan pada diri saya? Apakah
saya kemarin berbeda dengan saya sekarang?
237. AMAT :
(Tidak langsung menjawab akan tetapi berjalan mengelilingi Banen sambil mengamat-amati)
Rasanya tidak ada perubahan Teh.
238. BANEN :
(Lega) Syukurlah kalau begitu Jang Amat. Walaupun begitu saya cemas dan bingung.
Rasanya bukan saya lagi.
239. AMAT :
Kenapa, Teh?
240. BANEN :
241. AMAT :
Pernah.
242. BANEN :
(Terkejut) Pernah?
243. AMAT :
Ya, ketika main sandiwara dikampung dan saya jadi raja di sana.
244. BANEN :
(Menarik nafas panjang) Oo……. Maksud saya di sembah sungguhan, diluar sandiwara.
245. AMAT :
Belum, Teh.
246. BANEN :
Nah, tadi saya di sembah, oleh siapa? Coba tebak. Oleh juragan, Ibu Johan Budiman, majikan
saya. Jangan percaya, jangan percaya Jang Amat. Kalau percaya, Ujang juga ikut gila.
247. AMAT :
248. BANEN :
249. AMAT :
250. BANEN :
Percaya apa?
252. BANEN :
Bahwa saya disembah, oleh siapa? Oleh juragan, Ibu Johan Budiman!
253. AMAT :
254. BANEN :
255. AMAT :
Juragan menyembah kepada Teteh sebagai apa? Sebagai Menteri kepada Rajanya?
256. BANEN :
(Seperti lelah) Jang Amat, dengar Jang Amat. Ini bukan sandiwara. Ini sungguhan.
257. AMAT :
258. BANEN :
Itulah soalnya. Juragan Johan berlutut dan sambil menangis bicara padaku, “Banen” katanya,
“kau adalah pelayanku yang paling setia. Kau ikut aku sejak aku baru punya warung kecil,
jauh sebelum aku dan almarhum suamiku menjadi memimpin beberapa perusahaan besar
seperti sekarang. Sekarang janganlah kepalang tanggung kesetiaanmu itu. Carilah dukun
yang paling sakti, bawakan dia kesini dalam waktu yang sesingkat – singkatnya, kalau
mungkin dalam waktu lima belas menit, selambat – lambatnya dalam waktu setengah jam.”
Ketika sambil bilang, bahwa saya bukannya tidak setia akan tetapi tidak sanggup, juragan
menyembah saya sampai tiga kali, catat itu, Jang Amat, tiga kali.
259. AMAT :
260. BANEN :
Biarlah, tapi ingat, saya disembah tiga kali oleh majikan saya. Apa itu tidak bikin pusing
kepala orang? (Menunjuk kepalanya).
261. AMAT :
Tidak, Teh.
262. BANEN :
Tidak?
263. AMAT :
264. BANEN :
265. AMAT :
266. BANEN :
(Tiba – tiba lesu. Hilang semangatnya) Itulah soalnya, Jang Amat, rasanya lebih baik
menjadi orang gila saja, bebas berbuat semaunya dan tidak bakalan disuruh mencari dukun.
267. AMAT :
268. BANEN :
(Kesal) Ini kota besar, Jang Amat. Bagaimana kita cari dukun disini? Kalau Dokter masih
banyak, juga Dokter gila. Seratus langkah dari sini kalau mau kita bisa dapat tiga Dokter gila.
269. AMAT :
270. BANEN :
271. AMAT :
(Termenung) Waktu saya masih di kampung, justru di kotalah dukun-dukun yang hebat
berada.
272. BANEN :
274. BANEN :
Tapi kan kota ini luas sekali, Jang Amat. Bagaimana mungkin saya dapat menemukan
seorang dukun ditengah berjuta-juta orang dalam kota seluas ini?
275. AMAT :
276. BANEN :
(Kesal) Jang Amat, Jang Amat, dukun tidak dijual di pasar. Kalau dukun dijual di sana dan
seandainya ada orang jualan dukun, berapa harganya?
277. AMAT :
278. BANEN :
Jadi?
279. AMAT :
Teteh pergi ke pasar, lalu teriak – teriak disana. “Apa di sini ada dukun sakti? Yang tidak
sakti tidak perlu menyahut!“
280. BANEN :
(Tertegun. Lalu tersenyum dan memukulkan tinju tangan kanannya ke telapak tangan
kirinya). Boleh juga. Kalau tidak ada yang menyahut bagaimana?
281. AMAT :
Kan pasar itu banyak. Atau, Teteh bisa pergi ke terminal misalnya.
282. BANEN :
Y a h u i! Jang Amat. Terimakasih atas nasehatnya. Saya pergi sekarang juga agar Juragan
tidak terlalu gelisah. Saya harus dapat dukun itu, Jang Amat, agar tidak sia-sia juragan
menyembah. Terimakasih, yahui! (Berlari dengan cepat meninggalkan Pentas)
ADEGAN IX
283. PEMUDA :
(Berjalan ke kedepan kios. Amat menyambut dari depan kiosnya) Ada barang?
284. AMAT :
285. PEMUDA :
286. AMAT :
(Lebih heran) Wah, Oom lihat disini jualan rokok bukan jualan pesawat.
287. PEMUDA :
288. AMAT :
(Terpukau) Ganja?
289. PEMUDA :
(Teriak) G a n j a!
290. AMAT :
(Terkejut, ngeri) Jangan teriak. Oom ! Kan saya tidak buta, eh, tuli!
291. PEMUDA :
292. AMAT :
294. AMAT :
295. PEMUDA :
296. AMAT :
297. PEMUDA :
(Bangga dan mengejek) Berbahaya? Saya sudah menghisap yang lebih berbahaya dari itu.
Othalidon, Megadon, Cosadon, Mandrax, Nembatal, LSD, Heroin! Saya ini veteran candu,
biasa diuber-uber polisi. Kalau mau kenal pemadat kawakan, inilah dia! (Menunjuk
kedadanya).
298. AMAT :
(Lugu) Itu, yang gambarnya di sana? (Menunjuk kearah gambar penyanyi pop di kaos oblong
si Pemuda).
299. PEMUDA :
300. AMAT :
301. PEMUDA :
302. AMAT :
303. PEMUDA :
Oomnya sih, keburu berteriak teriak. Kenapasih Oomnya ngisep ganja segala?
305. PEMUDA :
306. AMAT :
307. PEMUDA :
(Duduk di bangku, menggeliat) Saya ini Frustrasi Generation Gap. Orang–orang tua munafik.
Itu yang bikin saya frustrasi.
308. AMAT :
309. PEMUDA :
Pinter seperti Einstein pun masa depan tetap suram. Sebetulnya saya bisa jadi Professor, tapi
saya frutrasi.
310. AMAT :
311. PEMUDA :
(Memandang kearah Amat dengan kesal) kalau fulus dan aksi barangkali mode.
312. AMAT :
313. PEMUDA :
Nah, mengerti rupanya si Abang, frustrasi itu seperti pakaian, kalau kita tidak ikut kita
ketinggalan jaman. Tidak frustrasi-frustrasian, protes-protesan, morfin-morfinan, kita
ketinggalan mode.
314. AMAT :
315. PEMUDA :
Hah?
316. AMAT :
317. PEMUDA :
Protes!
318. AMAT :
Ya… itu.
319. PEMUDA :
Memangnya kenapa?
320. AMAT :
321. PEMUDA :
Protes?
322. AMAT :
Ya.
323. PEMUDA :
324. AMAT :
325. PEMUDA :
(Marah) Omong Kosong! Kayak tahu saja apa itu protes. Cuma mahasiswa yang tahu
caranya bagaimana bikin protes.
326. AMAT :
327. PEMUDA :
Protes pun harus ilmiah. Kita harus tau psikologi masa. Kita harus peka terhadap saat-saat
psikologis. Pada saat yang tepat kita turun seperti koboy menumpas. Kalau momentum sudah
tercapai dan masyarakat bergerak , kita kembali ke kampus. Back to campus as heroes.
328. AMAT :
329. PEMUDA :
330. AMAT :
Oom bicara seperti koboy di pelem itu sampai saya tidak mengerti.
331. PEMUDA :
Sambal!
ADEGAN X
332. BANEN :
333. MADAM :
(Melihat kearah kios, kearah Amat kemudian ke arah Pemuda itu) Silahkan duluan, saya beli
rokok dulu (Banen masuk).
334. AMAT :
335. MADAM :
Saya tidak perlu rokok, tapi perlu bantuan. (Mendekat pada Pemuda). Maukah kau
membantu, nak?
335. PEMUDA :
Tidak. (Tegas).
336. MADAM :
(Heran, melirik kearah Amat, lalu melihat pada Pemuda lagi ). Baiklah, saya tidak minta
bantuan. Saya menawarkan Kerjasama.
337. PEMUDA :
Saya sudah putuskan, tanpa kompromi dengan generasi tua. Membuat jembatan untuk
menutup generation gap sia-sia belaka. “Make War, Not Love, Even Again at Your Parents!”
338. MADAM :
(Heran, akan tetapi tetap tenang) Daripada termenung disini lebih baik melakukan sesuatu
yang ada hasilnya.
339. PEMUDA :
340. MADAM :
(Wajah cerah) Kertas warna biru, merah, (Menggerak-gerakkan jari tangan seolah-olah
sedang menghitung uang).
341. PEMUDA :
Bisnis?
342. MADAM :
Bisnis!
343. PEMUDA :
Baiklah, Bu. Tapi hendaknya ibu mengerti, bahwa saya mau bekerja sama dengan ibu sekedar
melaksanakan taktik saja.
344. MADAM :
Saya tidak peduli, saya perlu bantuan. Satu hal lagi, panggil saya Madam, jangan Ibu.
345. PEMUDA :
Ya, ya, ya Terserah. Tapi nanti dulu, Madam. Dalam melaksanakan taktik ini,kalau saya
melakukan commitment, saya harus memperkirakan consequence yang menguntungkan
pihak saya.
346. MADAM :
Menguntungkan.
347. PEMUDA :
Madam harus menjelaskannya kepada saya, supaya kita dapat merundingkan aturan
permainannya, rules of the game nya.
348. MADAM :
Begini nak. Nanti Madam akan mengadakan pembicaraan dengan Nyonya Johan Budiman.
Nah, kira-kira setengah jam setelah Madam berbicara dengan dia, datanglah ke sana.
349. PEMUDA :
Buat apa?
350. MADAM :
Buat membantuku tentunya. Kau katakan kepada Madam, bahwa Presiden Direktur
Perusahaan Multinasional Brithish Indonesia Industry Co memanggil Madam, karena
putrinya sakit.
351. PEMUDA :
Lalu?
352. MADAM :
Hanya itu. Atau, kalau ditanya oleh tuan rumah, katakan bahwa Madam dipanggil saat itu
juga.
353. PEMUDA :
Kalau sudah ada hubungannya dengan Perusahaan apalagi perusahaan asing, saya harus
tegas, harus zakelijk, bukan?
354. MADAM :
Jangan takut, Nak. Industri perdukunan bangkit kembali di masa pembangunan ini.
355. PEMUDA :
356. MADAM :
Nyonya Johan Budiman, seorang istri dari tokoh perang kemerdekaan, pemuda angkatan
empat lima itu. Tidaklah anak membaca wawancaranya dikoran hari ini?
357. PEMUDA :
(Bersemangat) Bagus, bagus kalau begitu. Saatnya sekarang bukan soal taktik melulu, atau
soal bisnis melulu. Sekarang jadi soal prinsip, soal pejuang antar generasi. Bagus, ia adalah
seorang di antara tokoh generasi tua yang harus saya lawan, dan juga saya harus turunkan
dari tahtanya.
358. MADAM :
Bagus, bagus (Menepuk-nepuk pundak pemuda) Sekarang bersiaplah, Madam akan pergi
kesana, nanti Madam akan beri isyarat dan kemudian masuklah dengan gagah.
359. PEMUDA :
Ok, Madam.
ADEGAN XI
360. MADAM :
(Menghabur ke luar dari pintu). selamat pagi! Apakah Ibu calon penolong saya, penyelamat
saya, yang pernah menyembuhkan tujuh orang gila, berpuluh orang lumpuh, tiga orang buta,
dan hampir menghidupkan lagi orang mati?
362. MADAM :
Yah, itu berita di sebesar-besarkan, Nyonya Johan. Dan, jangan panggil saya Ibu, tetapi
panggil saya Madam.
Baik Madam, baik. Tetapi Banen, Banen pelayan saya yang bilang begitu tentang riwayat
kesaktian Madam, dan saya percaya pada Banen. Ia pelayan yang setia.
364. MADAM :
Tapi, bukankah Madam hampir menghidupkan orang mati kalau tidak ada orang bersin waktu
Madam sedang berdoa?
366. MADAM :
Kalau Nyonya Johan mau percaya, silahkan. Kalau tidak, tidak apa.
367. IBU JOHAN BUDIMAN :
Kalau begitu, betul, betul, kebetulan, kebetulan. Aduh, Madam, tewas, Madam, tewas.
Tolonglah saya.
368. MADAM :
(Mereka duduk saling mendekat, lalu berbisik satu sama lain sambil kadang –kadang
menggerakkan tangan masing – masing untuk menegaskan arti kata masing masing. Amat
mengawasi mereka dengan teliti serta tidak habis habisnya merasa penasaran. Sementara
adegan itu sedang berlangsung, munculah Si Kemeja Batik diikuti oleh Si Buntut Kuda.
Mereka segera melihat kearah Ibu Johan Budiman dan Madam yang sedang sibuk dengan
tangannya masing- masing yang simpang siur.
Ssssssssst (Berjalan kearah pentas bagian depan diikuti oleh Si Buntut Kuda).
Ada apa? Mengapa tidak langsung saja kita minta uang itu? Kita bisa permisi dulu pada
tamunya itu.
Mungkin bukan tamunya. Siapa tau backingnya. Kita harus hati-hati, kita bisa terpeleset nih.
Merangkak?
Untuk uang Tiga Puluh Juta tidak rugi kita merangkak. Mari!
(Keduanya merangkak kearah teras, lalu meniarap dan berusaha mendengarkan percakapan
Ibu Johan Budiman dan Madam. Sementara itu Amat dan Si Pemuda tampak tidak mengerti,
akan tetapi mereka tidak berbuat apa-apa, cuman melongo saja. Tak lama kemudian Madam
memberi isyarat kepada Si Pemuda berjalan kearah serambi dan berdiri di ambang pintu.
Dengan gaya yang jelek dan dan tidak meyakinkan dia berkata)
379. PEMUDA :
Anak perempuan perusahaan Multi Nasional British Indonesia Industri Co, maksud saya,
president direkturnya, eh anak President Direktur, eh kenapa jadi kacau begini .
380. MADAM :
381. PEMUDA :
382. MADAM :
384. MADAM :
Apa boleh buat, dia langganan lama saya, Nyonya. ketika Presiden Direkturnya sendiri kena
penyakit kanker, sayalah yang menyembuhkannya.
386. MADAM :
Syaratnya Cuma yang saya kemukakan tadi itu. Kain putih tetoron satu gablok. Ayam hitam
lima ekor, putih lima ekor. Karangan bunga satu pot besar, bunganya bukan bunga sungguhan
,tapi bunga-bungaan dari uang kertas. Daunnya dari uang kertas warna hijau, biru juga boleh.
Bunga–bungaan dari kertas merah, sedikitnya seratus kuntum tidak termasuk kuncup.
387. PEMUDA :
388. MADAM :
Saya penuhi syarat-syarat itu, Madam. Dengan jaminan wartawan itu tiba-tiba akan lumpuh
dan tidak bisa pergi ke percetakan bukan?
390. MADAM :
Tapi syarat-syarat itu harus saya terima siang ini juga, di depan toko “Sobat” di pasar baru.
kepada tukang-tukang peras itu katakanlah, Nyonya Johan bersedia membayar. Itu hanya
taktik untuk mengulur waktu, sebelum mantera-mantera saya makan. (Berpaling pada
Pemuda itu) Mari nak, kita segera ke Presiden Direktur itu. Selamat siang, Nyonya Johan.
ADEGAN XII
391. MADAM :
Hai, kamu apa apaan kamu, hah? Mengapa mengintip begitu? Dasar pemuda luntang-
luntung!
(Marah) Sembarangan kamu, menghina profesi! Dukun penipu mestinya kamu masuk
penjara!
393. MADAM :
(Mengambil topi dari kepala Si Kemeja Batik, melemparnya ke tanah lalu menginjak
injaknya. Sementara itu Si Buntut Kuda dengan Si Pemuda saling mendelik dan saling
berkeliling dalam gaya dua orang petinju dan tidak bertekad berkelahi, gerak – gerik mereka
lebih mendekati dua orang yang sedang menari japin).
Itu topi wartawan, kamu menghina corps! Kamu melanggar Kode Etik Jurnalistik!
ADEGAN XIII
(Amat, Madam, Si Kemeja Batik, Si Buntut Kuda, dan Si Pemuda mengangkat tangan
mereka. Hansip segera mengelilingi mereka dengan pentung siap di tangan masing-masing.
Si Pakaian Militer mendatangi serambi, mengambil kursi, lalu duduk dengan gaya
Napoleon.)
Angkat tangan tinggi-tinggi ! (Banen menyelinap dan berdiri dekat Amat. Ketika melihat
Amat mengacungkan tangan, ia ikut mengacungkan tangan) Tinggi, Tinggi ! (Karena merasa
tidak dapat mengacungkan tangan lebih tinggi, Amat naik keatas bangku dan berdiri
diatasnya. Banen mengikuti perbuatan itu. Hal itu menarik perhatian Si Pakaian Militer.
Yang kemudian berkata lagi) Kau dan kau tidak usah angkat tangan, turunlah dan dekatlah
kesini.
397. AMAT :
398. BANEN :
Pak Jendral.
Bagus, justru kalian harus menjadi saksi. Terangkan pelaku, mengapa orang-orang ini bikin
onar disini.
402. AMAT :
Baik, Pak Jendral. Ibu ini Bu Johan Budiman, pemilik pabrik dan toko besar di pasar,
mungkin bapak pernah belanja disana. Entah bagaimana asal mulanya Bu Johan ini mau
diminta uang oleh Oom wartawan dan Oom seniman ini. Besar lagi uangnya, Pak Jendral.
Pak Wartawan ini kalau tak salah suka membuat amplop atau membeli amplop.
403. BANEN :
405. AMAT :
Baiklah, Teruskan.
407. AMAT :
Baik, Pak Jendral. Ini Tante dukun, ini Oom Mahasiswa, Ini... ia tadi anu, beli ganja dan ia
juga senang ngisep frustasi dan pakai baju model protes (Termenung sejenak) Begitu kalau
tidak salah. Tante dukun dan Oom Mahasiswa ini mau membantu Bu Johan dan minta upah
lima ekor ayam goreng dan kain kafan hitam. (kepada Banen) Benar begitu kan, Teh?
408. BANEN :
Saya tidak tahu upahnya Jang Amat, tapi (Kepada Si Pakaian Militer) kepada saya si Madam
bilang, ia hampir saja berhasil menghidupkan orang mati kalau tidak ada yang bersin waktu
dia baca mantera.
409. AMAT :
Pak Jendral, mau tahu mengapa mereka mau berkelahi disini, Teh.
410. BANEN :
(Menunjuk kepada Si Madam) Dia penipu! Dia pura-pura jadi dukun, tapi dia penipu, saya
berani taruhan.
412. MADAM :
Dia mau memeras Nyonya Johan, Pak Jendral, dan saya datang untuk menolong orang yang
akan menjadi korban itu.
Nyonya Johan Budiman itu pendusta, dia mau memamerkan nama-nama pahlawan–pahlawan
bangsa untuk kepentingannya!
Diam! Kamu semua orang jahat, Ayo berlutut! (Si Buntut Kuda ragu-ragu berlutut) Pukul!
(Hansip dengan senang mempergunakan pentungnya kearah pundak Si Buntut Kuda yang
langsung berlutut) Hei, Kamu! (Menunjuk ke Ibu Johan Budiman) Mengaku! (Johan gemetar
tapi tidak segera bicara) Kalau tidak saya suruh Hansip itu untuk memukulmu juga! (Hansip
melakukan pemanasan dengan gembira)
Mengaku apa?
Ayo terus mengaku! (Si Ibu Johan Budiman ragu-ragu) Hansip! (Hansip-hansip kembali
melakukan pemanasan)
Ampun! Ampun! Saya mengaku! Saya bukan istri pejuang. Suami saya paling dulu masuk
kota dan bekerja sama dengan Belanda waktu kawan-kawannya bergerilya.
Suamimu bekerja sama dengan Belanda? Kamu anjing NICA ya? (Hansip-hansip dengan
gembira melakukan pemanasan dengan lebih ekstrem)
Ampun, Ampun! Aduh, adudududuh, jangan, saya tidak ingin dipukul. Saya ingin mengaku,
luka yang didapat suami saya di dada dan di paha digigit itu bukan karena luka perang,
melainkan karena digigit anjing Van Lienwetbook. Ketika gerilya menyerang kota, suami
saya lari ke rumahnya, minta ikut bersembunyi, ia tidak mau menerima sumai saya, dan
suami saya terpaksa masuk kandang anjing herdernya. Anjing herdernya marah dan
menggigit paha dan dada suami saya.
Bajingan, suamimu bukan patriot, ya? Suamimu tidak setia pada revolusi. Kau dan suamimu
orang jahat, Sujud!
Saya mengaku Pak Jendral. Saya mau memeras Ibu Johan tapi belum.
Hanya itu, Heh? (Karena Si Kemeja Batik ragu-ragu Hansip-hansip berebutan memukulnya)
Ampun, Saya mengaku saya juga menulis cerita-cerita porno (Diam, Hansip memukulnya
lagi) Ampun! Saya juga mengasuh majalah gunjingan. (Diam, Hansip gembira dan
memukulnya lagi) Kalau tidak ada bahan tulisan saya bisa mengada-ada dan menulis
seenaknya, asal majalah saya penuh Pak Jendral.
Hayo, Apa lagi! (Hansip-hansip berebutan hendak memukul Si Kemeja Batik tergesa-gesa
menjawab)
Kalau saya pergi ke luar kota, saya suka minta uang kepada pejabat-pejabat dengan alasan
kehabisan ongkos di jalan. Saya pun suka berjanji bahwa saya akan menulis yang baik-baik
saja tentang daerah mereka. Kadang-kadang saya tulis, kadang-kadang tidak saya tulis.
Cukup! Saya pernah mengatakan bahwa saya lebih takut oleh satu pena pengarang dari pada
seribu pucuk senapan. Tapi tentu bukan oleh pena orang semacam kamu! Sujud! (Si Kemeja
Batik buru-buru sujud disamping si Ibu Johan Budiman) Sekarang kamu, Ayo mengaku,
Orang Jahat!
431. MADAM :
433. MADAM :
Tapi, Pak Jendral.... (Mendengar Madam itu berani menantang, dengan geram hansip-hansip
itu bersiul dan melakukan pemanasan untuk menakutinya) Ampun, Pak, Ampun, Memang
saya Penipu. Tapi mereka yang saya tipu memang minta ditipu! Walaupun saya tidak bisa
apa-apa, cuma bisa satu mantera, mereka percaya pada saya.
434. SI PAKAIAN MILITER :
435. MADAM :
Sujud! (Si Madam sujud mencium Tanah). Sekarang kamu, Anak Ingusan, Kamu jahat, ya?
(Menunjuk kepada pemuda) Ayo mengaku, Pemadat. (Hansip-hansip mendekat kearah
pemuda itu. Pemuda itu mulai menangis)
437. PEMUDA :
Kalau ganja sudah menghisap, Pak. Tapi yang lain yang lebih keras belum pernah. (Melirik
kearah Amat) Kalau tadi saya mengatakan kepada tukang jualan rokok itu bahwa saya
morfinis kawakan itu cuma berlagak saja pak. Maklumlah saya anak muda pak. Sungguh
saya berjanji tidak akan sekali-kali lagi menghisap ganja. Soal protes-protesan, saya hanya
ikut-ikutan saja pak. Soalnya kawan saya mengatakan generasi kami ini generasi protes, jadi
saya ikut. Biar disambar geledek, pak, saya cuma ikut-ikutan.
Seharusnya sekarang kamu kuliah dan tidak bolos keluyuran. Belajar itu protes, protes
kepada kebodohan!
439. PEMUDA :
441. PEMUDA :
Sujud! (Berpaling pada Si Buntut Kuda) Sekarang Kamu, Hei penghalau burung! Ayo ngaku!
(Tidak segera menjawab, walaupun seluruh tubuhnya gemetar) Tuhan, Minta kumat, Tuhan,
mengapa ayanku tidak kumat?
444. SI PAKAIAN MILITER :
Sinting rupanya orang ini! Ayo mengaku! (Melihat Si Buntut Kuda tidak dapat berkata,
Hansip itu senang dan segera mendekat).
445. HANSIP :
Yahuy!
446. HANSIP :
Yiiiiiheeee!
Apa?
Saya Cuma ikut-ikutan saja, Pak. Orang lain mengadakan pementasan aneh-aneh dan edan-
edanan, saya ikut-ikutan. Cuma supaya beken saja, Pak. Orang lain meneriakkan kata-kata
kotor di pentas, saya ikut juga. Saya juga mempergunakan Slogan-slogan pak. Dulu kesenian
saya, saya namakan “Kesenian Teroris”, Semboyan kesenian kami ialah “Seni sama dengan
kentut”. Sekarang saya namakan kesenian saya aliran seni langit lapis ketujuh, dan saya
proklamasikan diri saya sebagai nabi zaman ini. (Si buntut Kuda Seperti Kehabisan nafas).
Cuma itu? Cuma kentut saja? (Hansip-hansip maju, Ketika Si Buntut Kuda tidak cepat
menjawab pentung berjatuhan di pundak dan kepalanya)
Saya juga ikut-ikutan protes, juga ikut mengadakan pekan caci-maki. Tapi tidak dari dalam
hati, Pak. Saya sendiri tidak mengerti tentang apa maksud semua itu. Numpang beken saja
Pak.
Sujud! Cium itu pertiwi yang sudah lama kamu injak-injak! Mencipta karya-karya seni
adalah protes, protes terhadap kejelekan, kekacauan, ketanpa maknaan. Seandainya
Rebespierre masih berkuasa, kepala kalian sudah lama dalam keranjang, tapi saya bukanlah
Jendral macam itu. Saya adalah Jendral yang tidak hanya menciptakan strategi yang
membikin kekuatan-kekuatan reaksi Eropa tidak berdaya, tapi juga adalah pencipta hukum.
Sampai sekarang Eropa masih berpedoman pada hukum yang dasar-dasarnya saya letakkan.
Saya akan menghukum kalian semua, tapi bukan hukuman yang sewenang-wenang,
melainkan hukuman dari seorang Jendral Negarawan.
ADEGAN XIV
459. PERAWAT :
Laporan. Kendaraan sudah siap, waktu minum sudah tiba. Putri Josephine de Beauhannais
menunggu paduka.
460. SI PAKAIAN MILITER :
Bagus. (Ia berpaling kepada Hansip). Jaga orang-orang ini selagi saya kemarkas besar.
(Si Pakaian Militer meninggalkan pentas, diiringi oleh dua orang diantara Perawat. Perawat
yangsatu lagi menarik nafas panjang. Berdiri tukang jahit)
462. PERAWAT :
Ya, Tuhan, Syukurlah, kami sudah benar-benar mumet. (Melihat ke kios rokok) Ah,
kebetulan ada warung. Minum pun saya tak sempat. (Berjalan kearah kios diikuti oleh Si
Tukang Jahit sementara yang lain plonga-plongo)
464. PERAWAT :
466. PERAWAT :
Tenang saja Bu, nanti ada yang mengantarkannya dari rumah sakit.
467. AMAT :
468. PERAWAT :
469. AMAT :
470. PERAWAT :
Itu kan pasien dari Pusat Kesehatan Jiwa dari Rumah Sakit Jiwa. Sejak sore kemarin dia
lolos. Memang sudah biasa dia lolos. Karena ada sirkus ini kami sukar menemukannya
walaupun kami semalaman tidak bisa tidur.
471. SI TUKANG JAHIT :
Itulah orang yang mencuri pakaian kebesaran dari rumah saya itu, saudara Lugu.
472. AMAT :
473. PERAWAT :
(Baru melihat ada orang-orang bersujud, ia melihat kearah Hansip) Ini apa-apaan? (Tertawa
geli) Sudahlah, Pasiennya juga sudah pergi.
474. HANSIP :
475. PERAWAT :
Katakanlah begitu.
476. HANSIP :
477. PERAWAT :
Kan ia mencuri dari toko Ibu ini. (Menunjuk pada Si Tukang Jahit)
478. AMAT :
479. PERAWAT :
Memang dalam sakitnya selalu menghayalkan dirinya sebagai seorang Jendral, Jendral tidak
kepala tanggung pula, Napoleon Bonaparte. Bayangkan! (Ketika itu orang-orang yang
bersujud mulai bangkit dan plonga-plongo. Perawat berpaling kepada Hansip). Bagaimana
saudara-saudara bisa sampai terkecoh?
480. HANSIP :
Kami kesiangan bangun karena semalaman jaga di tempat sirkus itu. Tahu-tahu dia teriak :
Bangun! Bangun! Desertir, Ayo ikut patrol! Karuan saja kami terkejut dan gemetar. Mana
masih setengah bangun lagi.
Ya Tuhan
482. SI KEMEJA BATIK :
Sialan!
483. PEMUDA :
Samber geledek!
485. PERAWAT :
486. AMAT :
Ayannya kumat!
(Amat lari kedalam kios dan kembali membawa ember. Si Buntut Kuda disembur air satu
ember lalu siuman dan dipapah, didudukkan diatas bangku. Selagi orang-orang itu
mengelilingi Si Buntut Kuda, terdengarlah sayup-sayup suara musik yang merdu, makin
lama makin dekat. Tak lama kemudian munculah para rombongan musik itu.)
(Bersama)
(Bersama)
(Bersama)
-SELESAI-