Anda di halaman 1dari 55

BEN GO TUN

Karya : SAINI KM
Diadaptasi Kembali Oleh D. Alfiant Hariyanto (Teater DeLIK)

PENTAS MEMBERIKAN KESAN SUATU PERTIGAAN DENGAN DI SEBELAH


KANAN MENONJOL BERANDA DEPAN SEBUAH RUMAH BESAR, SEDANG DI
SEBELAH KIRINYA KIOS ROKOK YANG KECIL DAN SEDERHANA. BERANDA
ITU MEMBERIKAN KESAN BAHWA PEMILIKNYA SEORANG KAYA BARU YANG
BERAMBISI BESAR UNTUK MENONJOL DI MASYARAKAT. SEMENTARA ITU,
KIOS ROKOK KECIL ITU WALAUPUN SEDERHANA TAMPAK BERSIH DAN RAPI.
DI DEPANNYA TERDAPAT BANGKU YANG DAPAT DIPERGUNAKAN SEBAGAI
TEMPAT DUDUK OLEH PEMBELI ATAU PENGENDARA BECAK YANG
BERISTIRAHAT. RUMAH DAN KIOS ROKOK DIBATASI OLEH JALAN YANG
MEMBELOK HILANG DI BAGIAN BELAKANG PENTAS.

ADEGAN I

AMAT PEMILIK KIOS, TAMPAK SEDANG MEMBUKA KIOSNYA, LALU


MEMBENAHI BARANG DAGANGAN SERTA MEMBERSIHKAN KIOSNYA ITU.
PERBUATANNYA ITU MEMBERIKAN KESAN BAHWA HARI MASIH PAGI SEKALI.
MELIHAT GERAK-GERIKNYA SERTA CARA BERPAKAIANNYA, AMAT
MENGESANKAN ORANG YANG JUJUR, SEDERHANA, DAN BAHKAN KEKANAK-
KANAKAN, DENGAN HASRAT INGIN TAHU YANG BESAR. SELAGI IA BEKERJA,
MASUKLAH TUKANG JAHIT DARI ARAH KANAN DENGAN TERBURU-BURU. IA
LARI KE SUATU TEMPAT, MENJENGUK. LARI KE TEMPAT LAIN MENJENGUK.
JELAS IA SEDANG MENCARI SESUATU. SEMENTARA ITU AMAT
MEMPERHATIKANNYA DENGAN TERHERAN-HERAN.

001. TUKANG JAHIT :

Saudara lugu, Saudara lugu.

002. AMAT :

Nama saya Amat, Mpok.

003. TUKANG JAHIT :

Amat?

004. AMAT :

Ya, Ayah Ibu saya memanggil saya begitu.


005. TUKANG JAHIT :

Baiklah, perawakannya kecil, perutnya buncit, gayanya gagah. Saudara Lugu, eh saudara
Amat, eh ya Tuhan. (memukul keningnya)

006. AMAT :

Tenanglah, tenang, Mpok. Minum dululah, supaya tenang.

007. TUKANG JAHIT :

Terimakasih. Perutnya buncit. Saudara Lugu, eh saudara Amat.

008. AMAT :

(Tenang) Saya sudah dengar buncitnya, Mpok.

009. TUKANG JAHIT :

(Melongo) Jadi dia buncit, bukan? Perawakannya kecil, dan gayanya gagah?

010. AMAT :

Memang Mpok bilang begitu.

011. TUKANG JAHIT :

(Penuh harapan) Jadi saudara melihatnya?

012. AMAT :

(Lugu) Melihat apa?

013. TUKANG JAHIT :

Melihat dia kecil, buncit, gagah, dan mengepit pakaian. Apa saudara Lugu melihatnya?

014. AMAT :

(Kesal) Mungkin saudara Lugu melihatnya Mpok.

015. TUKANG JAHIT :

(Bingung) Yang bernama Lugu itu yang mana sih?

016. AMAT :

Saya tidak tahu Mpok.

017. TUKANG JAHIT :

Tadi anak-anak menunjuk kemari dan menyarankan supaya saya bertanya kepada saudara
Lugu tukang jualan rokok.
018. AMAT :

Memang anak-anak sini kadang-kadang memanggil saya Lugu. Tapi nama saya Amat Mpok.

019. TUKANG JAHIT :

Tadi Saudara mengatakan, mungkin saudara Lugu melihat orang yang membawa bungkus
pakaian itu bukan?

020. AMAT :

Ya.

021. TUKANG JAHIT :

Yang Lugu, eh yang Amat itu yang .... Aduh saya bingung, mumet ini (memukul pelipisnya).

022. AMAT :

Saya bingung Mpok.

023. TUKANG JAHIT :

Aduh mencari keterangan saja begitu sukar, apalagi mencari pencuri. Dasar nasib orang kecil,
baru dapat pakaian kebesaran sekali saja sudah blingsatan begini.

024. AMAT :

Oh, jadi Mpok bingung karena pakaian kebesaran?

025. TUKANG JAHIT :

Ya, saudara Lugu, eh saudara Amat, eh saudara Lugu .... Yang mana sih saudara itu.

026. AMAT :

(Menunjuk ke dadanya) Yang ini Mpok.

027. AMAT :

Kalau pakaian kebesaran mengapa tidak dikecilkan. Daripada lari-lari sana sini mencari
saudara Lugu, mendingan mengecilkan pakaian yang kebesaran itu.

028. TUKANG JAHIT :

(Bingung sedih, memukul pelipisnya kembali) Tak ada pakaian yang kebesaran Pak, yang ada
pakaian yang hilang.

029. AMAT :

(Bingung) Lugu kalau ada tentu tidak hilang Mpok.


030. TUKANG JAHIT :

(Duduk di bangku bagai karung setengah isi) Saya pusing apa saudara Lugu itu ada... Apa
ada air ?

031. AMAT :

Saudara Lugu tidak ada. Kalau teh ada (Amat masuk dan kembali membawa segelas teh)

032. TUKANG JAHIT :

Dasar nasib orang kecil.

033. AMAT :

Orang kecil yang perutnya buncit itu Mpok?

034. TUKANG JAHIT :

Bukan. Saya, sayalah orang kecil itu, sedang orang yang saya cari itu orangnya kecil....
(Rupanya menyadari bahwa sukar sekali baginya untuk memberi penjelasan. Ia
menggelengkan kepalanya dengan lesu)

035. AMAT :

Saya tidak mengerti Mpok, mengapa pagi-pagi begini Mpok sudah kepayahan dan tampaknya
susah sekali?

036. TUKANG JAHIT :

Orang itu kecil, buncit, gagah, saudara Lugu. Ia lewat di depan rumah saya dan pakaian
Jendral itu “Ples!” hilang.

037. AMAT :

(Kepada dirinya) Keil, buncit, gagah, lugu, Jendral, pakaian, ples! Apa artinya itu?

038. TUKANG JAHIT :

Saya sudah bilang, cari keterangan begini susah apalagi cari pencurinya.

039. AMAT :

Pencuri apa, Mpok?

040. TUKANG JAHIT :

Pencuri pakaian.
041. AMAT :

Pakaian siapa?

042. TUKANG JAHIT :

Pakaian Jendral.

043. AMAT :

Apa Mpok ini Jendral ?

044. TUKANG JAHIT :

(Terkejut karena disangka Jendral) Yang betul saja saudara Lugu, masa tampang begini
Jendral. Saya ini orang kecil saja. (Menunjuk dirinya) Kalau saya Jendral masa saya harus
lari-lari kehabisan nafas seperti ini.

045. AMAT :

O, jadi Mpok ini Prajurit?

046. TUKANG JAHIT :

Ya Tuhan, bagaimana bisa saudara berpikir begitu?

047. AMAT :

Yang suka lari-lari pagi begini biasanya prajurit kan Mpok.

048. TUKANG JAHIT :

Saya lari bukan latihan. Saya mengejar pakaian Jendral yang dicuri dari rumah saya.

049. AMAT :

(Mengerti) O.... Tapi mengapa pakaian Jendral ada di rumah Mpok?

050. TUKANG JAHIT :

Saya ini kan tukang jahit.

051. AMAT :

O.... Jelas Mpok, jelas.

052. TUKANG JAHIT :

(Harapannya timbul kembali) Apa saudara Lugu, eh Amat, eh Lugu melihat orang buncit,
perawakannya kecil, gayanya gagah lewat sini?
053. AMAT :

(Menyesal karena tidak dapat membantu) Tidak Mpok. Saya kesiangan, tadi malam sudah
larut sekali baru saya tidur. Saya nonton sirkus Mpok.

054. TUKANG JAHIT :

(Sedih) Keramaian ini, sirkus-sirkusan ini memang banyak mengundang orang jahat ke
daerah kita ini.

055. AMAT :

(Agak melamun) Memang ramai sekali Mpok. Bukan yang nonton saja, pedagang pun banyak
sekali. Lapangan kecil di depan Rumah Gila itu penuh dengan warung-warung.

056. TUKANG JAHIT :

Maksud saudara Rumah Sakit Gila, bukan Rumah Gila.

057. AMAT :

(Termenung, sungguh-sungguh) Memang, maksud saya Rumah Sakit untuk orang gila.
Rumahnya sih tidak gila, isinya yang sinting.

058. TUKANG JAHIT :

Baiklah saudara Lugu, eh saudara Amat, eh.... (Memukul pelipisnya lagi) Baiklah,
terimakasih atas tehnya. Saya kira lebih baik saya pergi ke pos Hansip.

059. AMAT :

Cuma teh kok Mpok. Jadi Mpok mau pergi ke pos Hansip?

060. TUKANG JAHIT :

Ya. Mudah-mudahan mereka sudah bangun. Maklum mereka berjaga sepanjang malam,
mana ada sirkus-sirkusan itu lagi. (Ia pergi ke sebelah kiri, Amat kemudian menyimpan
gelasnya ke dalam kios).
ADEGAN II

MUNCUL SEORANG LAKI-LAKI DARI KANAN. RAMBUTNYA YANG PANJANG


DISASAK BAGIAN ATASNYA, SEDANG BAWAHNYA DI IKAT DALAM BENTUK
BUNTUT KUDA. POTONGAN MAUPUN WARNA PAKAIANNYA SERBA
MENCOLOK. BAGIAN DEPAN KEMEJANYA TERDAPAT TULISAN “LOVE, NOT
WAR”, SEDANG BAGIAN BELAKANGNYA TERDAPAT TULISAN “VITA BREVIS,
ARS LONGA”.

CELANANYA PUN MENDAPAT HIASAN-HIASAN TAMBAHAN. DI PAHA DEPAN


TERDAPAT GAMBAR HATI BERGAGANG, SEPERTI YANG BIASA DILIHAT PADA
KARTU. DI BAGIAN LAIN TERDAPAT PULA HIASAN, DISAMPING GELANG,
KALUNG, KACAMATA JENGKOL, DSB, YANG MEMBERIKAN KESAN
KARIKATURAL TENTANG ORANG YANG SOK EKSENTRIK.

LAKI-LAKI ITU BERJALAN BARANG DUA KALI SAMBIL MEMANDANG DAN


MEMATUT-MATUTKAN PAKAIAN SERTA RAMBUTNYA. AMAT
MEMPERHATIKANNYA DENGAN KEHERANAN DAN HASRAT INGIN TAHU
YANG BESAR. TAMPAKNYA IA BERUSAHA MENGIDENTIFIKASIKAN ORANG
ITU. KETIKA ORANG ITU SADAR BAHWA DIPERHATIKAN, IA MELOTOT
KEPADA AMAT. AMAT MENGKERUT KETAKUTAN, LALU PURA-PURA
MEMBENAHI BARANG DAGANGANNYA. HINGGA SUATU KETIKA LAKI-LAKI
ITU BERHENTI DI DEPAN KIOS ROKOK AMAT. IA BERTOLAK PINGGANG,
MELIRIK KE ARAH RUMAH DI SEBELAH KANAN, KEMUDIAN KE ARAH ROKOK.

061. AMAT :

Selamat Pagi, Oom.

062. SI BUNTUT KUDA :

Pagi. Hei, apa bung lihat kawan saya, wartawan?

063. AMAT :

Tukang jahit baru saja pergi, Oom. Apa nama tukang jahit itu Pak Wartawan?

064. SI BUNTUT KUDA :

Tukang jahit?

065. AMAT :

Ya, tukang jahit itu, Oom.


066. SI BUNTUT KUDA :

Bagaimana kamu beranggapan saya cari tukang jahit?

067. AMAT :

(Berfikir polos) Saya kira Oom mau memperbaiki pakaian itu.

068. SI BUNTUT KUDA :

(Marah) Sembarangan! Kamu kira saya ini siapa?

069. AMAT :

(Bingung) Apa Oom salah seorang dari pemain sirkus itu?

070. SI BUNTUT KUDA :

(Saking marahnya ia gemetar. Ia bergerak hendak memukul Amat, tapi menahan dirinya. Ia
terengah-engah, lalu diam dan menampakkan kelelahan) Kalau tidak karena takut kumat
ayanku, kamu sudah jadi bubur aku labrak!

071. AMAT :

Maaf Oom, jangan marah, saya ini orang bodoh.

072. SI BUNTUT KUDA :

(Kelelahan) Kamu bikin saya capek.

073. AMAT :

(Kasihan melihat laki-laki itu kepayahan) Oom sakit? Duduklah Oom, saya ambilkan teh.

074. SI BUNTUT KUDA :

Ada bir ?

075. AMAT :

(Melongo Sejenak) Sayang sekali, Oom. Tidak ada.


ADEGAN III

SAYUP-SAYUP TERDENGAR MUSIK YANG MERDU, TAK LAMA KEMUDIAN


MUNCULAH TIGA ORANG LAKI-LAKI BERPAKAIAN PEREMPUAN DAN BERIAS
MUKA SERTA BERPERHIASAN PEREMPUAN PULA. DUA ORANG MEMBAWA
REBANA, YANG SATU TANPA KULIT TAPI DILENGKAPI GENTA-GENTA. YANG
SEORANG LAGI MEMBAWA KOTAK BERLUBANG DIBENTANGI KARET BAN
DALAM SEBAGAI DAWAI. MEREKA BERMAIN MUSIK DAN BERNYANYI
MENUJU KE DEPAN KIOS ROKOK. AMAT MUNCUL MEMBAWA TEH BAGI SI
BUNTUT KUDA. TAMPAK IA TELAH MENGENAL PEMAIN MUSIK ITU. IA
TAMPAK SENANG DAN MULAI MENIKMATI MUSIK MEREKA YANG MEMANG
BAGUS.

NYANYIAN :

Berpura-pura, ya Tuan, berpura-pura

Berpura-pura, ya Tuan, hati tak rindu

Berpura-pura, ya Tuan, berpura-pura

Kalbu di dalam, ya Tuan, hancurkan sendu

Buat apa, ya Nona, bersandiwara

Anak wayang, malang nasibnya

Buat apa, ya Nona, gelak tertawa

Hati di dalam, pedih jadinya.

076. SI BUNTUT KUDA :

(Yang sejak semula memperlihatkan kemarahan dan kemuakkan dan tiba-tiba tidak dapat
menahan diri) Sudah! (Ia mengambil uang lima ratus Rupiah dari sakunya, lalu
melemparkan ke tanah).

077. PEMAIN MUSIK :

(Setelah mereka terkejut dan berhenti main) Kalau Oom tidak suka tidak usye kasyih uang
(Suara wanita).
078. SI BUNTUT KUDA :

(Mengejek) Katanya jangan pura-pura. Ambillah dan cepat pergi dari sini.

079. PEMAIN MUSIK :

(Dengan suara wanita) Kite-kite nyanyi bukan buat Oom. Jangan salah sangke. Kite nyanyi
buat Oom Amat.

080. SI BUNTUT KUDA :

(Setelah memandang dengan muak, meledak) Pergi, cepat pergi!

081. PEMAIN MUSIK :

(Dengan suara asli, suara laki-laki) Eee kurang ajar kamu (Menggulung lengan bajunya, Si
Buntut Kuda tampaknya sadar, bahwa yang ia hadapi bukan wanita, ia tampak mengkerut
menghadapi Pemain Musik yang siap mengeroyoknya).

082. AMAT :

(Dengan cepat melompat diantara Si Buntut Kuda dan Pemain Musik, tangannya
dibentangkan lebar-lebar, ia melompat kekiri-kekanan, kekiri lagi, kekanan lagi, seakan-
akan sedang ikut permainan anak-anak Sunda yang disebut galah) Sabar-sabar, Oom ini
kurang sehat, penyakitan. Tadi juga hampir kumat, kasihan.

083. PEMAIN MUSIK :

(Suara Wanita) Kalau bukan karena Oom Amat (Ganti suara laki-laki) sudah kita hajar orang
itu.

084. AMAT :

Sabar, sabar, sudahlah. Oh, ya, ini uang buat nyanyiannya. (Memberikan uang dalam jumlah
yang agak banyak)

085. PEMAIN MUSIK :

(Dengan suara wanita) Terimakasih banyak, Oom, terimakasih banyak. (mereka memberikan
penghormatan dengan cara membungkuk sambil memegang rok masing-masing, sambil
meninggalkan pentas. Tapi di dekat batas pentas mereka berpaling dan mendelik pada Si
Buntut Kuda).

086. PEMAIN MUSIK :

(Dengan suara laki-laki yang jantan) Lain kali aku hajar kamu! (Mereka keluar dari pentas)
087. SI BUNTUT KUDA :

Sialan! (Mengambil uang dari tanah, memandang kearah perginya Pemain Musik) Dasar
Ben Go Pek, merendahkan martabat seniman.

088. AMAT :

(Berpaling pada Si Buntut Kuda) Nyanyian mereka merdu sekali kan Oom? Memang mereka
seniman, seperti Oom bilang.

089. SI BUNTUT KUDA :

Puah, seniman! Kalau mau angkat topi bukan pada seniman macam begitu!

090. AMAT :

(Memegang kepalanya; lugu) Oom lihat saya tidak pakai topi, dan memang tidak pernah
pakai topi (Si Buntut Kuda merasa dipermainkan, bangkit lagi kemarahannya, akan tetapi ia
gemetar lagi dan tangannya bergerak-gerak tidak wajar. Ia menahan diri, menenangkan
jantungnya) Apa musik suka membikin ayan Oom kumat lagi? (Dengan simpati yang tulus).

091. SI BUNTUT KUDA :

(Setelah mengistirahatkan dirinya beberapa lama) Apa kau sebut musik yang kayak begitu?

092. AMAT :

(Melongo sejenak) Saya kira... Saya kira, ya, Oom. Mereka seniman bukan Oom?

093. SI BUNTUT KUDA :

(Mengejek) Puah, Seniman; Menguak lalu mengemis, Seniman!

094. AMAT :

(Sedih karena menurut pendapatnya Si Buntut Kuda tidak adil) Saya kira mereka tidak
mengemis, Oom. Mereka menyenangkan hati orang dan menerima upah sekedarnya.

095. SI BUNTUT KUDA :

Oo Tuan, Harga seniman tidak cuma Go Pek! Puah!

096. AMAT :

Mengapa Oom tadi tiba-tiba marah sama mereka?

097. SI BUNTUT KUDA :

Oo Tuan, seniman dijual Go Pek, Sialan!


098. AMAT :

(Sedih dan tidak mengerti) Tapi, bukankah mereka menyanyi bagus, Oom?

099. SI BUNTUT KUDA :

Go Tun! Nyanyian Go Pek!

100. AMAT :

(Sedih, putus asa) Habis mereka harus bagaimana, Oom. Daripada mengemis....

101. SI BUNTUT KUDA :

Lebih hina daripada mengemis (Kemarahannya terhadap Pemain Musik diarahkan kepada
Amat).

102. AMAT :

(Tampak ia menderita) Habis harus bagaimana itu, Oom?

103. SI BUNTUT KUDA :

(Bersemangat) Seniman tidak boleh kalah oleh Dokter, Insinyur, Menteri, ya oleh Presiden
sekalipun! Seniman harus sama kuat, sama hebat, dengan mereka.

104. AMAT :

(Bingung) Maksud Oom bagaimana?

105. SI BUNTUT KUDA :

Seniman jangan mau kalah sama mereka.

106. AMAT :

Apakah mereka bermusuhan.... Suka bertengkar.... Berkelahi.... Ah.... Dengan Dokter,


Menteri....

107. SI BUNTUT KUDA :

(Mula-mula tampak marah, akan tetapi kemudia seperti mendapat ilham) Memang, seniman
berjuang, bertempur, berkelahi melawan Menteri, melawan Presiden!

108. AMAT :

(Heran) Bertempur?
109. SI BUNTUT KUDA :

Ya, Saya pun sering berdemontrasi mengadakan protes terhadap mereka (Mengacungkan
tinju).

110. AMAT :

Protes apa itu?

111. SI BUNTUT KUDA :

(Salah tafsir terhadap pertanyaan Amat) Tergantung pada musimnya. Pemerintah bikin
jembatan kita protes. Kita bilang Masjid lebih penting, karena masjid adalah jembatan ke
sorga.

112. SI BUNTUT KUDA :

Kalau pemerintah bikin jalan, kita protes, kita bilang sekolah lebih penting, karena
pendidikan adalah jalan lurus ke masa depan. Kalau tidak musim protes-protesan, kita bikin
pertunjukan yang aneh-aneh. Yang menggegerkan, lebih menggegerkan dari statement
Menteri atau Presiden, biar berdrum-drum tinta wartawan tumpah di koran-koran dan
majalah-majalah mereka.

113. AMAT :

(Melongo karena heran) Pertunjukan aneh macam apa?

114. SI BUNTUT KUDA :

(Hampir berteriak karena semangatnya bangkit) Pertunjukkan edan-edanan. Musik edan,


drama edan, tari edan, tarikan kata-kata cabul di panggung, jangan takut telanjang bulat di
pentas. Pokoknya edan dan menggegerkan!

115. AMAT :

(Setelah termenung sejenak) Ooo... Begitu. Lalu, kalau sudah main gila, kapan main
keseniannya, Oom?

116. SI BUNTUT KUDA :

(Berpaling kepada Amat dan memandang dengan muak dan lelah) Sudahlah, kau tidak
mengerti. Kau perlu lebih banyak berpikir dan termenung (Menunjuk ke pelipisnya).

117. AMAT :

(Lugu) Saya sibuk Oom. Paling-paling saya termenung kalau saya sedang buang air besar.
ADEGAN IV

MENDENGAR PERKATAAN AMAT YANG TERAKHIR SI BUNTUT KUDA SEPERTI


AKAN MARAH LAGI, AKAN TETAPI KEMUDIAN PERHATIANNYA TERTARIK
UNTUK MELIHAT KE SEBELAH KANAN.

118. SI BUNTUT KUDA :

Itu Dia!

119. AMAT :

(Memanjangkan lehernya ikut melhat) Siapa Oom?

120. SI BUNTUT KUDA :

Kalaupun saya terangkan, kau tidak akan mengerti.

MUNCUL SEORANG LAKI-LAKI BERKEMEJA BATIK, DI TUBUHNYA


BERGANTUNG BEBERAPA BUAH KAMERA. PADA TOPI OLAHRAGA YANG
DIKENAKANNYA, DIBAGIAN DEPAN TERTULIS DENGAN HURUF-HURUF BESAR
KATA “PERS”. DI DADA KIRINYA TERPAMPANG PULA LENCANA BESAR
BERTULISKAN SAMA.

121. SI KEMEJA BATIK :

Heh, Sudah lama menunggu?

122. SI BUNTUT KUDA :

Wajah you cerah seperti fajar, rupanya sudah banyak dapat amplop nih?

123. SI KEMEJA BATIK :

Lumayan deh.

124. AMAT :

Apa Oom ini pegawai kantor pos?

125. SI KEMEJA BATIK :

(Terperanjat dan mendelik) Jangan sembarangan kamu.

126. AMAT :

Maaf Oom. Atau barangkali Oom punya usaha percetakan yang bisa membuat amplop.
127. SI KEMEJA BATIK :

(Menunjuk ke dadanya, ke huruf Pers) Baca ini apa?

128. AMAT :

Pe... Pe... Peras (Si Kemeja Batik naik pitam sampai gemetar, Si Buntut Kuda memegang
pundaknya)

129. SI KEMEJA BATIK :

(Masih marah) Buta huruf kali!

130. SI BUNTUT KUDA :

(Menariknya ketempat lain) Sudahlah. Mari kita mulai dengan rencana kita.

131. SI KEMEJA BATIK :

(Setelah memandang kearah Amat) Baiklah, mari kita bicarakan disini sambil menunggu dia
muncul. (Mereka duduk dibangku kios Amat. Amat masuk ke dalam kiosnya akan tetapi terus
memperhatikan kedua orang itu dengan hasrat ingin tahu yang besar) Begini, seperti telah
saya terangkan kemarin, tokoh kita itu mengaku sebagai seorang istri bekas pejuang yang
berjasa dalam masa perang kemerdekaan. Ia mengatakan almarhum suaminya mempunyai
beberapa bekas luka dipaha dan didadanya setelah masa perang itu. Dulu, waktu saya
wawancarai, dia memperlihatkan foto-foto bekas luka suaminya, bahkan ia pun meminta
foto-foto bekas luka itu untuk saya bawa. Saya membawanya, tapi Pemimpin Redaksi
menolak memuatnya, katanya itu tak senonoh, melanggar kode etik jurnalistik, Sayang, tapi
baiklah, kita kembali pada rencana kita itu. Begini, nanti saya akan perlihatkan hasil
wawancara saya kemarin dulu itu (Si Kemeja Batik mengeluarkan koran). Saya akan
membacakannya di depannya. Ia senang dan akan memberi uang yang lebih besar jumlahnya
daripada yang saya ceritakan kepada you.

132. SI BUNTUT KUDA :

Bagaimana kalau dia tidak memberi uang lagi?

133. SI KEMEJA BATIK :

Saya tidak akan bangkit dari kursi sampai ia mengerti.

134. SI BUNTUT KUDA :

Kapan saya bertindak?


135. SI KEMEJA BATIK :

You bertindak setelah saya panggil. Tunggu saja sampai saya diberi uang lagi, lalu you
bersiap-siap. Nah, kalau saya sudah mendapat uang lagi, kita akan melaksanakan rencana
yang kedua. Saya akan mengatakan kepadanya bahwa ada wartawan yang mendapat fakta
lain tentang dia. Fakta yang tidak menyenangkan dan merusak nama baiknya. Dia tentu akan
terkejut dan ketakutan. Lalu saya akan berpura-pura menolongnya, yaitu dengan jalan
menyarankan agar berita jelek itu dibeli dari wartawannya sebelum diberitahukan ke koran-
koran. Ketika itulah saya akan memanggil you. You bacakan tulisan itu agar didengar
olehnya. Dia tentu bersedia membeli tulisan itu. You ternyata harus jual mahal.

136. SI BUNTUT KUDA :

Kalau tidak salah kemarin you mengatakan agar kertas itu jangan diberikan kalau tidak dibeli
Lima Juta, apakah itu tidak terlalu tinggi? Cuma dua halaman saja kok.

137. SI KEMEJA BATIK :

Dia tidak membeli kertas, dia membeli nama baiknya. Sekarang, laksanakanlah. Ingatlah kita
saling membutuhkan. Saya membutuhkan you hari ini, you sebagai seniman akan
membutuhkan saya. Disamping itu you akan mendapat bagian.

138. SI BUNTUT KUDA :

Memang kita harus saling membantu. (Salaman).

139. SI KEMEJA BATIK :

Sekarang tunggulah dulu di sini, saya akan menemani dia. (Berjalan kearah beranda sebelah
kanan pentas). Salamlaikum!

ADEGAN V

DARI DALAM RUMAH TERDENGAR JAWABAN “LAIKUMSALAM” DAN


MUNCULLAH SEORANG WANITA SETENGAH BAYA, BERKERUDUNG BAK
SEORANG ISTRI PEJABAT, BERJALAN DENGAN GAYA MEGAH.

140. IBU JOHAN BUDIMAN :

Selamat pagi, anak muda, mari duduk, minum apa? Kopi susu, jeruk panas?
141. SI KEMEJA BATIK :

Kopi susu, Bu. Soalnya sampai jam dua malam tadi saya berdebat dengan Pimpinan Redaksi.
Majikan saya itu mula-mula menolak memuat wawancara kita itu. Setelah itu korektor mau
ikut-ikutan memotong wawancara, bagian yang pentingnya lagi. Setelah saya pukul dia dan
saya lempar ke atas mesin cetak, baru dia mau menurut. Ternyata sulit juga kita hendak
mengajukan fakta yang sebenarnya dan sesuai dengan semangat 45.

142. IBU JOHAN BUDIMAN :

Jadi wawancara itu sudah dimuat?

143. SI KEMEJA BATIK :

Sudah Bu, lengkap dengan foto-foto Ibu dan juga almarhum Bapak. (Mengeluarkan koran).
Mari saya bacakan.

144. IBU JOHAN BUDIMAN :

(Merebut koran) biar nak, biar Ibu yang baca kisah bapak, suamiku yang membanggakan ini.
(Berdiri seraya memegang dan memandangi koran, tertawa dengan senang lalu membaca).
Setelah “Tidak Bang Johan…” Kata Toha. “Perjuangan kulanjutkan, sampai akhir jaman.
Kalau kelak akan gugur selimutilah hendaknya badanku dengan Sang Merah Putih. Selamat
tinggal, sekali merdeka tetap merdeka”, katanya. “Selamat jalan, Bandung Selatan jangan
dilupakan”, kata suami saya terharu. Lalu dia dengan lantang maju terus, meninggalkan
suami saya yang membalut luka dengan selendang sutera yang ia terima dari seorang gadis
anggota PMI sebelum mereka berangkat ke garis depan.

145. SI KEMEJA BATIK :

Bagian mana dalam wawancara di koran ini yang menjadi favorit Ibu? Pasti bagian sewaktu
suami Ibu bahu-membahu dalam medan perang dengan arek-arek Suroboyo kan?

146. IBU JOHAN BUDIMAN :

Benar sekali. Bagian itu. Suami saya seringkali menceritakannya. (Bercerita dengan
bersemangat diiringi dengan gerakan-gerakan untuk menggambarkan situasi yang terjadi
didalam cerita) “Ketika saya menembak Jendral Mallaby, Jendral Inggris itu. Saya bersama
beberapa arek Suroboyo berdampingan dan menembak serentak kearah Jendral itu. Karena
saya yang paling mahir dalam menembak, saya yakin peluru sayalah yang menghabisi
riwayat jendral itu.” (Ibu Johan tertawa kegirangan).
147. SI KEMEJA BATIK :

(Ragu, ingin berbicara tetapi menunggu Ibu Johan selesai tertawa, namun kemudian
memutuskan untuk berbicara) Bagaimana Ibu Johan ?

148. IBU JOHAN BUDIMAN :

Bagus, bagus, bagus sekali! (mengacungkan jari jempolnya ) sebenarnya saudara dapat
menambahkan kesan-kesan yang lain tentang pertempuran-pertempuran lainnya juga. Bahkan
saudara dapat menulis tentang pengalaman-pengalaman suami saya sebagai anggota
pergerakan nasional atau ketika suami saya ikut bergerak di bawah tanah melawan tentara
pendudukan Jepang.

149. SI KEMEJA BATIK :

Itu bisa kita lakukan nanti Bu.

150. IBU JOHAN BUDIMAN :

Ya, untuk itu perlu wawancara khusus di tempat yang tenang.

151. SI KEMEJA BATIK :

Sebetulnya saya harus sudah berada di kantor redaksi lagi Bu.

152. IBU JOHAN BUDIMAN:

Mengapa tergesa-gesa? Minum dulu lah.

153. SI KEMEJA BATIK :

Betul bu, saya harus sudah berada di kantor redaksi saat ini.

154. IBU JOHAN BUDIMAN :

Santai-santailah, mengapa harus tergesa-gesa?

155. SI KEMEJA BATIK :

Saya bermaksud mengajukan usul permintaan biaya pengobatan Bu. Tapi saya tak yakin
apakah kantor mau menanggung atau tidak, biasanya tidak.

156. IBU JOHAN BUDIMAN :

Siapa yang sakit?

157. SI KEMEJA BATIK :

Saya Bu, agar wawancara itu bisa terbit, saya berdebat dengan Pemimpin Redaksi sampai
jam dua malam. Kemudian saya terpaksa berkelahi dengan korektor yang mau menyabot
wawancara itu. Saya melemparkannya ke atas mesin cetak, tapi ia berhasil menendang perut
saya. Mungkin saya kena sakit liver karenanya Bu.

158. IBU JOHAN BUDIMAN :

Sakit liver itu berbahaya, saudara harus cepat-cepat ke Dokter.

159. SI KEMEJA BATIK :

Saya juga tahu Bu, tapi saya ragu apakah kantor mau menanggungnya. (Tidak ada yang
bicara untuk beberapa lama). Sebenarnya saya harus cepat-cepat pergi Bu.

160. IBU JOHAN BUDIMAN :

(Akhirnya ia mengerti maksud Si Kemeja Batik) Ini lumayan untuk tambahan ongkos Dokter.
(Merogoh saku memberikan uang).

161. SI KEMEJA BATIK :

Terima kasih Bu, (Berwajah cerah) Permisi Bu, sampai jumpa di wawancara yang akan
datang.

ADEGAN VI

SI KEMEJA BATIK BERJALAN MENUJU KEARAH KIOS TEMPAT SI BUNTUT


KUDA MENUNGGU. IA TERSENYUM DAN MENEPUK SAKU KEMEJANYA YANG
MENGGEMBUNG BERISI UANG. SI BUNTUT KUDA MENYAMBUTNYA. DI
BERANDA TAMPAK IBU JOHAN BUDIMAN MASUK KE DALAM RUMAH SAMBIL
MEMBACA KORAN LAGI.

162. SI BUNTUT KUDA :

Sekarang bagaimana?

163. SI KEMEJA BATIK :

Sebentar lagi saya akan kembali kesana. You siap di depan rumah seraya melambaikan kertas
itu.

164. SI BUNTUT KUDA :

Lalu bagaimana?

165. SI KEMEJA BATIK :

Nanti saya panggil. Siap ?


166. SI BUNTUT KUDA :

ya siap. (sebelum dialog ini berlangsung, Amat terus memperhatikan dan tampak dari
wajahnya bahwa ia mencoba mengerti apa yang sedang terjadi).

ADEGAN VII

SI KEMEJA BATIK BERJALAN KEARAH RUMAH IBU JOHAN BUDIMAN, IA


LANGSUNG NAIK KE SERAMBI. SEMENTARA ITU DI DEPAN RUMAH SI BUNTUT
KUDA MULAI MELAMBAI-LAMBAIKAN DUA HELAI KERTAS, SEAKAN-AKAN
DIA MELAMBAIKAN BENDERA ISYARAT. BAGAIKAN KAPAL TERBANG YANG
AKAN TURUN.

167. SI KEMEJA BATIK :

Salamlaikum.

168. IBU JOHAN BUDIMAN :

Lakumsalam! Mari, silahkan duduk. Apa sudah siap dengan wawancara baru?

169. SI KEMEJA BATIK :

Begini Bu, ada persoalan ini.

170. IBU JOHAN BUDIMAN :

Mau menebus resep Dokternya?

171. SI KEMEJA BATIK :

Bukan, Bu, begini, begitu saya keluar dari sini saya bertemu dengan seorang wartawan dari
koran lain. Ternyata ia punya fakta-fakta lain tentang bapak, suami Ibu. Fakta- fakta itu lain
sekali dengan yang Ibu wawancarakan kepada saya.

172. IBU JOHAN BUDIMAN :

(Terperanjat) Fakta lain?

173. SI KEMEJA BATIK :

Lain sekali Bu. Bertolak belakang.

174. IBU JOHAN BUDIMAN :

Bertolak belakang ?
175. SI KEMEJA BATIK :

Seperti bumi dengan langit. Fakta itu menyatakan bahwa suami Ibu sama sekali bukan
pahlawan.

176. IBU JOHAN BUDIMAN :

Ya Tuhan!

177. SI KEMEJA BATIK :

Bahwa bapak tidak pernah bertempur. Sebaliknya, justru bapak dicurigai menjadi kolaborator
Belanda. Suami Ibu lah tokoh yang pertama-tama turun ke kota, ke daerah pendudukan.
Kalau bapak tidak mendaftarkan diri sebagai veteran perang, itu memang bukan karena bapak
tulus ikhlas berjuang, melainkan karena bapak tidak ada bukti-bukti, malahan saksi-saksi
yang menguatkan suami Ibu sebagai penghianat, cukup banyak.

178. IBU JOHAN BUDIMAN :

(Betul betul terpukul dan hamper pingsan) Ya Tuhan, Tolonglah anak muda.

179. SI KEMEJA BATIK :

Barangkali kita dapat mengusahakan agar fakta-fakta itu tidak diberitakan di Koran-koran,
Bu.

180. IBU JOHAN BUDIMAN :

Usahakan anak muda, bagaimana caranya? Anak muda, tolonglah. (Berlutut di hadapan Si
Kemeja Batik).

181. SI KEMEJA BATIK :

Tidak perlu berlutut, Bu. Saya kikuk jadinya. Siap-siap saja dengan segala daya dan dana.
Sekali lagi dengan segala daya dan dana. Mudah-mudahan dalam persoalan ini dapat diatasi.

182. IBU JOHAN BUDIMAN :

Usahakanlah agar fakta-fakta itu dimusnahkan sebelum dapat diterbitkan di koran-koran,


anak muda.

183. SI KEMEJA BATIK :

Sekarang juga pemegang fakta itu dapat dipanggil, Bu.

184. IBU JOHAN BUDIMAN :

Dimana rumahnya, anak muda itu?


185. SI KEMEJA BATIK :

Itu dia, Bu, dari tadi sudah ada di sana.

186. IBU JOHAN BUDIMAN :

(Hampir pingsan karena ngeri) Aduh!! Aduh!! Aduhduhduhduhduhduh, jangan di lambai-


lambaikan begitu.

187. SI KEMEJA BATIK :

Hai, Bung wartawan, kemarilah, mari kita berunding (Si Buntut Kuda dengan bimbang
berjalan ke serambi lalu duduk di salah satu kursi ) Begini, Bung wartawan, kami, Ibu Johan
dengan saya telah memutuskan untuk mengganti ongkos anda mengetik berita itu. Sekarang
begini, berapa anda mau kami bayar?

188. SI BUNTUT KUDA :

(Gugup bingung ) Tadi… Tadi…. Bagaimana rencananya sih?

189. IBU JOHAN BUDIMAN :

(Mendekat terbungkuk-bungkuk ke hadapan Si Buntut Kuda) Bagaimana kalau saya bayar


Dua Puluh Juta.

190. IBU JOHAN BUDIMAN :

(mendengar itu Si Buntut Kuda terlonjak dari duduknya, lalu berdiri, kaku, lantas gemetar,
kemudian duduk terkulai sambil mengeluarkan suara menggeram-ngeram karena ayannya
kumat). Hai, kenapa dia?

191. SI KEMEJA BATIK :

(mula-mula terkejut, lalu bingung dan gelagapan) Air! Air! (Si Buntut Kuda diperciki air
dari gelas minuman).

192. IBU JOHAN BUDIMAN :

Kenapa dia, nak?

193. SI KEMEJA BATIK :

(Untuk beberapa lama tidak menjawab) Mungkin dia…………… marah, Bu.

194. IBU JOHAN BUDIMAN :

Marah?
195. SI KEMEJA BATIK :

ya, ya….. karena tawaran Ibu terlalu rendah. Biasanya dua halaman ketik sedikitnya Lima
Puluh Juta.

196. IBU JOHAN BUDIMAN :

Lima Puluh Juta, Ya Tuhan! (Lesu tertunduk di kursinya).

197. SI KEMEJA BATIK :

Kita bisa berunding, Bu. Saya khawatir begitu siuman dia akan langsung mencetak fakta-
fakta itu……. Atau langsung ke pengadilan mendakwa Ibu.

198. IBU JOHAN BUDIMAN :

(terlonjak dari tempat duduknya, melompat ke hadapan Si Kemeja Batik. Menyembah-


nyembah sambil berlutut) Jangan, jangan anak muda, tolong sadarkan dia, tolong!

199. SI KEMEJA BATIK :

Nanti saya rundingkan dengan dia, Bu. Nah, dia siuman rupanya. Hai Bung wartawan,
bangun, bangun.

200. IBU JOHAN BUDIMAN :

Ya, sadarlah, saudara. Maaf saya telah membikin saudara marah. Jangan beritakan fakta-fakta
itu, jangan.

201. SI KEMEJA BATIK :

Begini saja Bu. Kami akan mencari tempat yang tenang dan baik untuk berunding. Saya akan
mengembalikan kesadarannya dulu, meredakan kemarahannya dan setelah berunding akan
kembali kesini.

202. IBU JOHAN BUDIMAN :

Kalau begitu baiklah, silakan, anak muda. Cepat-cepatlah minta berita itu darinya, agar saya
dapat segera membakarnya.

203. SI KEMEJA BATIK :

Baiklah, Bu (kepada Si Buntut Kuda) Mari Bung wartawan, sadarlah kita cari tempat
berunding (Si Kemeja Batik menuntun Si Buntut Kuda meninggalkan serambi. Ibu Johan
Budiman sempoyongan masuk ke dalam rumah).
204. SI BUNTUT KUDA :

Tawarannya melebihi apa yang di rencanakan itu. Saya terkejut dan ayan saya kumat.
Untung tidak parah.

205. SI KEMEJA BATIK :

Menggeledek, siapa yang tidak terkejut oleh geledek. (Tertawa) Ini rejeki nomplok namanya.
Mari kita cari tempat yang baik untuk berunding.

206. SI BUNTUT KUDA :

Kalau bisa kita berunding di sini saja, lutut saya masih gemetar ini.

207. SI KEMEJA BATIK :

Oke, mari di sini saja. Duduklah. (Duduk di kios toko Amat) tenanglah dulu, tariklah nafas
dalam-dalam, agar cepat sehat kembali. Seandainya serangan ayan itu tidak datang, kita
sudah jadi orang kaya sekarang.

208. SI BUNTUT KUDA :

A……Apakah tawarannya tidak terlalu besar? Ngeri juga rasanya.

209. SI KEMEJA BATIK :

Terlalu besar? Mengapa terlalu besar? Tidakkah you senang? Mestinya you senang dan
bukannya semaput.

210. SI BUNTUT KUDA :

Memeras juga kalau sedikit sih tidak apa. Tapi kalau terlalu besar ngeri juga.

211. SI KEMEJA BATIK :

(Marah, Berdiri) Jangan ucapkan kata memeras itu. Saudara menghina profesi saya. Saudara
kira seniman itu hebat? Cih, tukang gunjing, tukang cari nama sambil menjelek-jelekkan
nama kawan-kawannya sendiri. Seniman, Cih. Tanpa mass media saudara itu apa? Di
samping itu tingkah polah saudara-saudara, maka kata seniman dihubungkan masyarakat
dengan kesintingan. Seniman identik dengan senewen. (Si Buntut Kuda mulai bangkit
walaupun masih lemah) Seniman adalah kelompok orang-orang yang perlu dimaklumi, dan
masyarakat tersenyum kembali sambil maklum tentang tingkah polah saudara-saudara yang
memang sinting. Tapi kalau keterlaluan, kami tidak bisa maklum lagi. Saudara harus tahu,
waktu saudara minta dipotret setengah telanjang dengan pakaian tarzan itu, dan minta saya
memuatnya di koran saya, saya hampir saja dipecat. Memang ketika itu saudara sudah
keterlaluan dan saya terlalu maklum. Sedang Pemimpin Redaksi sebagai orang awam
beranggapan bahwa polah tingkah seperti itu sudah cukup untuk mengirimkan saudara ke
Pusat Kesehatan Jiwa.

212. SI BUNTUT KUDA :

(Kelelahannya terdesak oleh kemarahannya, ia bangkit berdiri, menghadap dan menunjuk-


nunjuk kepada Si Kemeja Batik) Saudara jangan menghina! Gajah di pelupuk mata tidak
tampak, kutu di seberang lautan kelihatan!

213. SI BUNTUT KUDA :

Kalau kami tidak bergunjing, kalau kami tidak nyentrik, kalau kami tidak buat sensasi, kalau
kami tidak berbuat yang berani, yang nekat, yang hebat, koran saudara akan kosong,
sedikitnya kehilangan garam. Kami juga punya kebanggaan profesi. Saudara tidak perlu
menghina.

214. AMAT :

(Melompat dari dalam kiosnya lalu membentangkan tangan di antara kedua orang yang
mulai seperti akan terkam itu) Sabar Oom, kalian berdua kan sahabat karib, mengapa harus
bertengkar?

215. SI KEMEJA BATIK :

(Sadar bahwa kalau mereka bertengkar rejeki yang sudah hampir berada di tangan akan
lenyap). Oke deh, kita sama-sama punya kelemahan, seharusnya kita saling maklum dan
kerjasama. Dan memang kita telah biasa kerjasama.

216. SI BUNTUT KUDA :

(Juga tampak cenderung untuk berdamai) Oke, mengapa tidak kerjasama?

217. SI KEMEJA BATIK :

Lebih baik kita kerjasama. Bersatu kita teguh. Kita saling membutuhkan. Mari kita salaman.
(Mereka salaman dengan hangat)

218. AMAT :

(Senang) Nah begitulah.

219. SI BUNTUT KUDA :

Bagaimana kalau kita rayakan kerjasama ini dengan minum bir?


220. SI KEMEJA BATIK :

Setuju! Mari, dan kita berunding di sana. (Mereka meninggalkan pentas berpeluk bahu)

ADEGAN VIII

DARI ARAH RUMAH IBU JOHAN BUDIMAN MUNCULAH BANEN, PELAYAN. IA


BERJALAN KEARAH KIOS ROKOK AMAT DENGAN WAJAH MENAMPAKKAN
KESUSAHAN. AMAT KELUAR DARI KIOSNYA MENYAMBUT BANEN.

221. AMAT :

Kemana Teh? Mengapa merengut, sakit perut lagi?

222. BANEN :

Apa dunia yang sakit perut atau saya yang sudah gila, Jang Amat?

223. AMAT :

Lha, kenapa tanya sama saya, Teh?

224. BANEN :

(Duduk dibangku dan menepuknya) kalau bangku ini bisa bicara saya bertanya padanya?

225. AMAT :

(Lugu) kenapa tidak bertanya ke Rumah Sakit Orang Gila, Teh?

226. BANEN :

(Terkejut) Eh, Jang Amat, Apa Ujang lihat saya ini sudah gila?

227. AMAT :

(Lugu) mungkin saja, Teh, Kalau emang diperiksa oleh dokter-dokter di rumah sakit gila itu.
Kawan saya juga, mula-mula sering termenung-menung. Ketika dibawa ke rumah sakit, ia
dioper ke rumah sakit orang gila. Eh, tahu-tahu ia tidak kembali ke kampung, malah
terpenjara di sana. (Banen benar-benar terkejut dan cemas, ia mendekat kepada Amat, Amat
memperhatikan). Tapi Teteh tidak semurung kawan saya itu. (Banen lega).

228. BANEN :

Kalaupun saya gila, saya tidak bakalan pergi ke rumah sakit gila itu.
229. AMAT :

(Ingin tahu) Kenapa?

230. BANEN :

(Tertawa) Saya bakalan keliling-keliling kota saja, makan sisa sisa bakmi pemberian pelayan
restoran. Yang jadi persoalan cumalah saya harus berusaha tidak telanjang bulat. Biar gila
juga malu kalau sampai telanjang bulat di jalan. Saya kira kalau saya gila tidak akan sampai
telanjang bulat.

231. AMAT :

Sayapun tidak akan sampai hati Teteh telanjang bulat. Saya tidak akan membiarkan Teteh
begitu. Kalaupun misalnya hanya punya dua pasang pakaian pasti sepasang saya berikan
kepada Teteh.

232. BANEN :

(Terharu) Terima kasih Jang Amat, saya akan memelihara pakaian itu sebaik-baiknya, agar
awet.

233. AMAT :

Yang susah caranya menyampaikan pakaian itu, The. Tadi Teteh bilang Teteh akan keliling-
keliling kota. Kemana saya harus mencari Teteh?

234. BANEN :

(Tersadar dan terkejut) Jang Amat! Astaga! Apa memang saya sudah kelihatan ada tanda-
tanda akan menjadi orang gila?

235. AMAT :

(Lugu) Orang yang mau gila itu ciri-cirinya bagaimana?

236. BANEN :

Apakah Jang Amat misalnya melihat adanya perubahan-perubahan pada diri saya? Apakah
saya kemarin berbeda dengan saya sekarang?

237. AMAT :

(Tidak langsung menjawab akan tetapi berjalan mengelilingi Banen sambil mengamat-amati)
Rasanya tidak ada perubahan Teh.
238. BANEN :

(Lega) Syukurlah kalau begitu Jang Amat. Walaupun begitu saya cemas dan bingung.
Rasanya bukan saya lagi.

239. AMAT :

Kenapa, Teh?

240. BANEN :

Begini Jang Amat. Apakah Jang Amat pernah disembah orang?

241. AMAT :

Pernah.

242. BANEN :

(Terkejut) Pernah?

243. AMAT :

Ya, ketika main sandiwara dikampung dan saya jadi raja di sana.

244. BANEN :

(Menarik nafas panjang) Oo……. Maksud saya di sembah sungguhan, diluar sandiwara.

245. AMAT :

Belum, Teh.

246. BANEN :

Nah, tadi saya di sembah, oleh siapa? Coba tebak. Oleh juragan, Ibu Johan Budiman, majikan
saya. Jangan percaya, jangan percaya Jang Amat. Kalau percaya, Ujang juga ikut gila.

247. AMAT :

Ikut gila pada siapa?

248. BANEN :

Pada Sa…….eh, kan saya belum gila, ya Jang Amat?

249. AMAT :

Menurut pembicaraan kita tadi memang belum.

250. BANEN :

Jadi Jang Amat boleh percaya.


251. AMAT :

Percaya apa?

252. BANEN :

Bahwa saya disembah, oleh siapa? Oleh juragan, Ibu Johan Budiman!

253. AMAT :

Cerita sandiwaranya cerita apa?

254. BANEN :

(Tertegun lalu kesal) Kenapa tanya cerita sandiwara segala?

255. AMAT :

Juragan menyembah kepada Teteh sebagai apa? Sebagai Menteri kepada Rajanya?

256. BANEN :

(Seperti lelah) Jang Amat, dengar Jang Amat. Ini bukan sandiwara. Ini sungguhan.

257. AMAT :

Mengapa juragan Johan menyembah segala?

258. BANEN :

Itulah soalnya. Juragan Johan berlutut dan sambil menangis bicara padaku, “Banen” katanya,
“kau adalah pelayanku yang paling setia. Kau ikut aku sejak aku baru punya warung kecil,
jauh sebelum aku dan almarhum suamiku menjadi memimpin beberapa perusahaan besar
seperti sekarang. Sekarang janganlah kepalang tanggung kesetiaanmu itu. Carilah dukun
yang paling sakti, bawakan dia kesini dalam waktu yang sesingkat – singkatnya, kalau
mungkin dalam waktu lima belas menit, selambat – lambatnya dalam waktu setengah jam.”
Ketika sambil bilang, bahwa saya bukannya tidak setia akan tetapi tidak sanggup, juragan
menyembah saya sampai tiga kali, catat itu, Jang Amat, tiga kali.

259. AMAT :

(Lugu) Saya tidak punya buku catatan Teh.

260. BANEN :

Biarlah, tapi ingat, saya disembah tiga kali oleh majikan saya. Apa itu tidak bikin pusing
kepala orang? (Menunjuk kepalanya).
261. AMAT :

Tidak, Teh.

262. BANEN :

Tidak?

263. AMAT :

Kan dia cuma minta tolong kepada Teteh?

264. BANEN :

Benar juga. Dan saya tidak gila kan?

265. AMAT :

Tampaknya tidak, Teh. Tentang dukun itu bagaimana?

266. BANEN :

(Tiba – tiba lesu. Hilang semangatnya) Itulah soalnya, Jang Amat, rasanya lebih baik
menjadi orang gila saja, bebas berbuat semaunya dan tidak bakalan disuruh mencari dukun.

267. AMAT :

Apa susah bener mencari dukun disini, Teh?

268. BANEN :

(Kesal) Ini kota besar, Jang Amat. Bagaimana kita cari dukun disini? Kalau Dokter masih
banyak, juga Dokter gila. Seratus langkah dari sini kalau mau kita bisa dapat tiga Dokter gila.

269. AMAT :

Dokter orang gila, Teh.

270. BANEN :

O, ya, maaf Dokter. Tapi dukun, bagaimana cari dukun?

271. AMAT :

(Termenung) Waktu saya masih di kampung, justru di kotalah dukun-dukun yang hebat
berada.

272. BANEN :

(Mulai timbul harapannya) Apa betul?


273. AMAT :

Saya dengar begitu.

274. BANEN :

Tapi kan kota ini luas sekali, Jang Amat. Bagaimana mungkin saya dapat menemukan
seorang dukun ditengah berjuta-juta orang dalam kota seluas ini?

275. AMAT :

(Termenung sebentar) Mengapa Teteh tidak pergi ke pasar?

276. BANEN :

(Kesal) Jang Amat, Jang Amat, dukun tidak dijual di pasar. Kalau dukun dijual di sana dan
seandainya ada orang jualan dukun, berapa harganya?

277. AMAT :

Memang saya menyarankan Teteh beli dukun?

278. BANEN :

Jadi?

279. AMAT :

Teteh pergi ke pasar, lalu teriak – teriak disana. “Apa di sini ada dukun sakti? Yang tidak
sakti tidak perlu menyahut!“

280. BANEN :

(Tertegun. Lalu tersenyum dan memukulkan tinju tangan kanannya ke telapak tangan
kirinya). Boleh juga. Kalau tidak ada yang menyahut bagaimana?

281. AMAT :

Kan pasar itu banyak. Atau, Teteh bisa pergi ke terminal misalnya.

282. BANEN :

Y a h u i! Jang Amat. Terimakasih atas nasehatnya. Saya pergi sekarang juga agar Juragan
tidak terlalu gelisah. Saya harus dapat dukun itu, Jang Amat, agar tidak sia-sia juragan
menyembah. Terimakasih, yahui! (Berlari dengan cepat meninggalkan Pentas)
ADEGAN IX

MUNCUL PEMUDA BERAMBUT GONDRONG. JAKETNYA TIDAK


DIKANCINGKAN DAN DI KAOS OBLONGNYA TERLUKIS GAMBAR PENYANYI
POP. PEMUDA ITU MEMBAWA KANTONG DARI KARUNG GONI, YANG
DISELENDANGKAN SECARA LONGAR. DI PUNGGUNG JAKETNYA TAMPAK
PULA LAMBANG, SEPERTI LAMBANG SUATU UNIVERSITAS. DARI GERAK-
GERIKNYA PEMUDA ITU MEMBERIKAN KESAN ANAK YANG SOK MAHASISWA.

283. PEMUDA :

(Berjalan ke kedepan kios. Amat menyambut dari depan kiosnya) Ada barang?

284. AMAT :

(Tidak mengerti. Bingung) barang?

285. PEMUDA :

Pesawat udara Bang! Biar ngefly!

286. AMAT :

(Lebih heran) Wah, Oom lihat disini jualan rokok bukan jualan pesawat.

287. PEMUDA :

Si Abang ini benar benar tidak ilmiah. Ada Ganja?

288. AMAT :

(Terpukau) Ganja?

289. PEMUDA :

(Teriak) G a n j a!

290. AMAT :

(Terkejut, ngeri) Jangan teriak. Oom ! Kan saya tidak buta, eh, tuli!

291. PEMUDA :

Jangan pura-pura, lho. Saya bukan Intel …

292. AMAT :

(Gugup, Takut , Tidak mengerti) Saya….. Saya tidak jual, Oom.


293. PEMUDA :

Ayo, jangan pura-pura, ganja, ganja, ganja, G a n j a , GANJA!

294. AMAT :

(Menutup telinga) Aduh, mengapa minta ganja segala?

295. PEMUDA :

Bukan minta, beli!

296. AMAT :

Maksud saya, mengapa ngisep ganja segala? Kan itu berbahaya?

297. PEMUDA :

(Bangga dan mengejek) Berbahaya? Saya sudah menghisap yang lebih berbahaya dari itu.
Othalidon, Megadon, Cosadon, Mandrax, Nembatal, LSD, Heroin! Saya ini veteran candu,
biasa diuber-uber polisi. Kalau mau kenal pemadat kawakan, inilah dia! (Menunjuk
kedadanya).

298. AMAT :

(Lugu) Itu, yang gambarnya di sana? (Menunjuk kearah gambar penyanyi pop di kaos oblong
si Pemuda).

299. PEMUDA :

(Mula-mula melongo, kemudian meletakkan telunjuknya, miring di keningnya) Rupanya


waktu dilahirkan kepala Abang kebentur besi ranjang ya.

300. AMAT :

(Lugu) Saya tidak ingat. Oom.

301. PEMUDA :

Sudahlah, cepat, ganja!

302. AMAT :

Di sini tidak jual ganja, Oom. Kan itu barang terlarang.

303. PEMUDA :

Kenapa tidak bilang dari tadi ?


304. AMAT :

Oomnya sih, keburu berteriak teriak. Kenapasih Oomnya ngisep ganja segala?

305. PEMUDA :

Aaaaaah, macam Abang ini ngerti apa?

306. AMAT :

Makanya saya tanya, Oom.

307. PEMUDA :

(Duduk di bangku, menggeliat) Saya ini Frustrasi Generation Gap. Orang–orang tua munafik.
Itu yang bikin saya frustrasi.

308. AMAT :

Oom orang pinter, ya. Bahasa asing melulu!

309. PEMUDA :

Pinter seperti Einstein pun masa depan tetap suram. Sebetulnya saya bisa jadi Professor, tapi
saya frutrasi.

310. AMAT :

Fulus- terasi itu apa sih, Oom?

311. PEMUDA :

(Memandang kearah Amat dengan kesal) kalau fulus dan aksi barangkali mode.

312. AMAT :

Mode itu kan pakaian, ya Oom?

313. PEMUDA :

Nah, mengerti rupanya si Abang, frustrasi itu seperti pakaian, kalau kita tidak ikut kita
ketinggalan jaman. Tidak frustrasi-frustrasian, protes-protesan, morfin-morfinan, kita
ketinggalan mode.

314. AMAT :

Oh, Jadi Oom juga ikut pro setan?

315. PEMUDA :

Hah?
316. AMAT :

Pro… Pres… Prot…

317. PEMUDA :

Protes!

318. AMAT :

Ya… itu.

319. PEMUDA :

Memangnya kenapa?

320. AMAT :

Tadi ada Oom lain, katanya dia juga suka itu....itu...

321. PEMUDA :

Protes?

322. AMAT :

Ya.

323. PEMUDA :

(Terkejut, marah) Tahu apa dia tentang protes?

324. AMAT :

Entahlah Oom, tapi dia bilang begitu. Sering lagi katanya.

325. PEMUDA :

(Marah) Omong Kosong! Kayak tahu saja apa itu protes. Cuma mahasiswa yang tahu
caranya bagaimana bikin protes.

326. AMAT :

O…… Jadi ada caranya, ya Oom.

327. PEMUDA :

Protes pun harus ilmiah. Kita harus tau psikologi masa. Kita harus peka terhadap saat-saat
psikologis. Pada saat yang tepat kita turun seperti koboy menumpas. Kalau momentum sudah
tercapai dan masyarakat bergerak , kita kembali ke kampus. Back to campus as heroes.
328. AMAT :

Jempolan Oom! (mengacungkan jempol).

329. PEMUDA :

Apa yang jempolan?

330. AMAT :

Oom bicara seperti koboy di pelem itu sampai saya tidak mengerti.

331. PEMUDA :

Sambal!

ADEGAN X

BANEN MUNCUL DIIRINGI OLEH SEORANG PEREMPUAN SETENGAH BAYA


TAPI TAMPAK SEHAT. BANEN TERSENYUM KEPADA AMAT SERAYA
MENGACUNGKAN JEMPOLNYA. AMAT MINGGAT.

332. BANEN :

Kita sampai, Madam, ini rumah Juragan.

333. MADAM :

(Melihat kearah kios, kearah Amat kemudian ke arah Pemuda itu) Silahkan duluan, saya beli
rokok dulu (Banen masuk).

334. AMAT :

Silahkan, Tante, rokok apa?

335. MADAM :

Saya tidak perlu rokok, tapi perlu bantuan. (Mendekat pada Pemuda). Maukah kau
membantu, nak?

335. PEMUDA :

Tidak. (Tegas).

336. MADAM :

(Heran, melirik kearah Amat, lalu melihat pada Pemuda lagi ). Baiklah, saya tidak minta
bantuan. Saya menawarkan Kerjasama.
337. PEMUDA :

Saya sudah putuskan, tanpa kompromi dengan generasi tua. Membuat jembatan untuk
menutup generation gap sia-sia belaka. “Make War, Not Love, Even Again at Your Parents!”

338. MADAM :

(Heran, akan tetapi tetap tenang) Daripada termenung disini lebih baik melakukan sesuatu
yang ada hasilnya.

339. PEMUDA :

(Tertarik) Hasil apa?

340. MADAM :

(Wajah cerah) Kertas warna biru, merah, (Menggerak-gerakkan jari tangan seolah-olah
sedang menghitung uang).

341. PEMUDA :

Bisnis?

342. MADAM :

Bisnis!

343. PEMUDA :

Baiklah, Bu. Tapi hendaknya ibu mengerti, bahwa saya mau bekerja sama dengan ibu sekedar
melaksanakan taktik saja.

344. MADAM :

Saya tidak peduli, saya perlu bantuan. Satu hal lagi, panggil saya Madam, jangan Ibu.

345. PEMUDA :

Ya, ya, ya Terserah. Tapi nanti dulu, Madam. Dalam melaksanakan taktik ini,kalau saya
melakukan commitment, saya harus memperkirakan consequence yang menguntungkan
pihak saya.

346. MADAM :

Menguntungkan.

347. PEMUDA :

Madam harus menjelaskannya kepada saya, supaya kita dapat merundingkan aturan
permainannya, rules of the game nya.
348. MADAM :

Begini nak. Nanti Madam akan mengadakan pembicaraan dengan Nyonya Johan Budiman.
Nah, kira-kira setengah jam setelah Madam berbicara dengan dia, datanglah ke sana.

349. PEMUDA :

Buat apa?

350. MADAM :

Buat membantuku tentunya. Kau katakan kepada Madam, bahwa Presiden Direktur
Perusahaan Multinasional Brithish Indonesia Industry Co memanggil Madam, karena
putrinya sakit.

351. PEMUDA :

Lalu?

352. MADAM :

Hanya itu. Atau, kalau ditanya oleh tuan rumah, katakan bahwa Madam dipanggil saat itu
juga.

353. PEMUDA :

Kalau sudah ada hubungannya dengan Perusahaan apalagi perusahaan asing, saya harus
tegas, harus zakelijk, bukan?

354. MADAM :

Jangan takut, Nak. Industri perdukunan bangkit kembali di masa pembangunan ini.

355. PEMUDA :

Sebentar, Madam. Siapa yang menjadi klien Madam?

356. MADAM :

Nyonya Johan Budiman, seorang istri dari tokoh perang kemerdekaan, pemuda angkatan
empat lima itu. Tidaklah anak membaca wawancaranya dikoran hari ini?

357. PEMUDA :

(Bersemangat) Bagus, bagus kalau begitu. Saatnya sekarang bukan soal taktik melulu, atau
soal bisnis melulu. Sekarang jadi soal prinsip, soal pejuang antar generasi. Bagus, ia adalah
seorang di antara tokoh generasi tua yang harus saya lawan, dan juga saya harus turunkan
dari tahtanya.
358. MADAM :

Bagus, bagus (Menepuk-nepuk pundak pemuda) Sekarang bersiaplah, Madam akan pergi
kesana, nanti Madam akan beri isyarat dan kemudian masuklah dengan gagah.

359. PEMUDA :

Ok, Madam.

ADEGAN XI

MADAM BERJALAN KE ARAH RUMAH IBU JOHAN BUDIMAN, LALU BERSERU.

360. MADAM :

Selamat pagi, Nyonya! Apakah Nyonya Johan Budiaman ada?

361. IBU JOHAN BUDIMAN :

(Menghabur ke luar dari pintu). selamat pagi! Apakah Ibu calon penolong saya, penyelamat
saya, yang pernah menyembuhkan tujuh orang gila, berpuluh orang lumpuh, tiga orang buta,
dan hampir menghidupkan lagi orang mati?

362. MADAM :

Yah, itu berita di sebesar-besarkan, Nyonya Johan. Dan, jangan panggil saya Ibu, tetapi
panggil saya Madam.

363. IBU JOHAN BUDIMAN :

Baik Madam, baik. Tetapi Banen, Banen pelayan saya yang bilang begitu tentang riwayat
kesaktian Madam, dan saya percaya pada Banen. Ia pelayan yang setia.

364. MADAM :

Tapi, pelayan Nyonya membesar-besarkan kemampuan saya.

365. IBU JOHAN BUDIMAN :

Tapi, bukankah Madam hampir menghidupkan orang mati kalau tidak ada orang bersin waktu
Madam sedang berdoa?

366. MADAM :

Kalau Nyonya Johan mau percaya, silahkan. Kalau tidak, tidak apa.
367. IBU JOHAN BUDIMAN :

Kalau begitu, betul, betul, kebetulan, kebetulan. Aduh, Madam, tewas, Madam, tewas.
Tolonglah saya.

368. MADAM :

Tenang Nyonya, tenanglah. Kenapa sih?

369. IBU JOHAN BUDIMAN :

Begini Madam. Lebih baik tidak keras – keras, Madam.

(Mereka duduk saling mendekat, lalu berbisik satu sama lain sambil kadang –kadang
menggerakkan tangan masing – masing untuk menegaskan arti kata masing masing. Amat
mengawasi mereka dengan teliti serta tidak habis habisnya merasa penasaran. Sementara
adegan itu sedang berlangsung, munculah Si Kemeja Batik diikuti oleh Si Buntut Kuda.
Mereka segera melihat kearah Ibu Johan Budiman dan Madam yang sedang sibuk dengan
tangannya masing- masing yang simpang siur.

370. SI KEMEJA BATIK :

Ssssssssst (Berjalan kearah pentas bagian depan diikuti oleh Si Buntut Kuda).

371. SI BUNTUT KUDA :

Ada apa? Mengapa tidak langsung saja kita minta uang itu? Kita bisa permisi dulu pada
tamunya itu.

372. SI KEMEJA BATIK :

Mungkin bukan tamunya. Siapa tau backingnya. Kita harus hati-hati, kita bisa terpeleset nih.

373. SI BUNTUT KUDA :

Jadi sekarang bagaimana?

374. SI KEMEJA BATIK :

Kita harus mendengar percakapan mereka.

375. SI BUNTUT KUDA :

Bagaimana kita mendengarkannya?

376. SI KEMEJA BATIK :

Kita merangkak dan bersembunyi dibawah teras itu.


377. SI BUNTUT KUDA :

Merangkak?

378. SI KEMEJA BATIK :

Untuk uang Tiga Puluh Juta tidak rugi kita merangkak. Mari!

(Keduanya merangkak kearah teras, lalu meniarap dan berusaha mendengarkan percakapan
Ibu Johan Budiman dan Madam. Sementara itu Amat dan Si Pemuda tampak tidak mengerti,
akan tetapi mereka tidak berbuat apa-apa, cuman melongo saja. Tak lama kemudian Madam
memberi isyarat kepada Si Pemuda berjalan kearah serambi dan berdiri di ambang pintu.
Dengan gaya yang jelek dan dan tidak meyakinkan dia berkata)

379. PEMUDA :

Anak perempuan perusahaan Multi Nasional British Indonesia Industri Co, maksud saya,
president direkturnya, eh anak President Direktur, eh kenapa jadi kacau begini .

380. MADAM :

Maksudnya mungkin, Putri Presiden Direktur sakit?

381. PEMUDA :

Memang tadi saya mau bilang begitu.

382. MADAM :

Nyonya Johan, ternyata saya sibuk seperti biasa.

383. IBU JOHAN BUDIMAN :

Jadi Madam mau pergi sekarang, meninggalkan saya?

384. MADAM :

Apa boleh buat, dia langganan lama saya, Nyonya. ketika Presiden Direkturnya sendiri kena
penyakit kanker, sayalah yang menyembuhkannya.

385. IBU JOHAN BUDIMAN :

Aduh, Madam. Tolonglah saya. Biar saya penuhi syarat-syarat itu.

386. MADAM :

Syaratnya Cuma yang saya kemukakan tadi itu. Kain putih tetoron satu gablok. Ayam hitam
lima ekor, putih lima ekor. Karangan bunga satu pot besar, bunganya bukan bunga sungguhan
,tapi bunga-bungaan dari uang kertas. Daunnya dari uang kertas warna hijau, biru juga boleh.
Bunga–bungaan dari kertas merah, sedikitnya seratus kuntum tidak termasuk kuncup.

387. PEMUDA :

Madam, apakah tugas saya selesai?

388. MADAM :

Nanti dulu, Nyonya Johan belum ambil keputusan.

389. IBU JOHAN BUDIMAN :

Saya penuhi syarat-syarat itu, Madam. Dengan jaminan wartawan itu tiba-tiba akan lumpuh
dan tidak bisa pergi ke percetakan bukan?

390. MADAM :

Tapi syarat-syarat itu harus saya terima siang ini juga, di depan toko “Sobat” di pasar baru.
kepada tukang-tukang peras itu katakanlah, Nyonya Johan bersedia membayar. Itu hanya
taktik untuk mengulur waktu, sebelum mantera-mantera saya makan. (Berpaling pada
Pemuda itu) Mari nak, kita segera ke Presiden Direktur itu. Selamat siang, Nyonya Johan.

ADEGAN XII

KETIKA MEREKA MENINGGALKAN SERAMBI, MADAM LANGSUNG MELIHAT


DUA ORANG YANG MENIARAP DI BAWAH TERAS

391. MADAM :

Hai, kamu apa apaan kamu, hah? Mengapa mengintip begitu? Dasar pemuda luntang-
luntung!

392. SI KEMEJA BATIK :

(Marah) Sembarangan kamu, menghina profesi! Dukun penipu mestinya kamu masuk
penjara!

393. MADAM :

(Mulai marah) Eeee, berani kamu?

(Mengambil topi dari kepala Si Kemeja Batik, melemparnya ke tanah lalu menginjak
injaknya. Sementara itu Si Buntut Kuda dengan Si Pemuda saling mendelik dan saling
berkeliling dalam gaya dua orang petinju dan tidak bertekad berkelahi, gerak – gerik mereka
lebih mendekati dua orang yang sedang menari japin).

394. SI KEMEJA BATIK :

Itu topi wartawan, kamu menghina corps! Kamu melanggar Kode Etik Jurnalistik!

(Mengambil topi Madam, melempar ketanah dan menginjak–injaknya. Madam


memandangnya saja, dan setelah Si Kemeja Batik puas, Madam mengambil notes dari saku
si Kemeja Batik, melemparnya ke tanah dan menginjak-nginjaknya sambil diperhatikan oleh
Si Kemeja Batik. Si Kemeja Batik ingin membalas mengambil sesuatu dari saku Madam,
tetapi ia teringat akan resiko dituduh sebagai seorang yang mesum mengingat saku Madam
berada tepat di dadanya. Madam pun tak hanya diam melihat Si Kemeja Batik yang ragu
ingin membalasnya, ia memegang tangannya. Lalu terjadi tarik – menarik. Nyonya Johan
Budiman turun hendak membantu Madam).

ADEGAN XIII

TERDENGAR ABA-ABA BARIS-BERBARIS DAN DERAP LANGKAH. MASUKLAH


SEORANG LAKI-LAKI BERPAKAIAN MILITER. IA KECIL, PERUTNYA BUNCIT,
WAJAH DAN GERAK GERIKNYA MENGINGATKAN PADA NAPOLEON
BONAPARTE. IA DIIRINGI OLEH BEBERAPA ORANG HANSIP YANG BERBARIS
DENGAN LANGKAH TEGAP. KETIKA SI PAKAIAN MILITER MELIHAT ORANG-
ORANG YANG TENGAH BERGUMUL, IA BERTERIAK :

395. SI PAKAIAN MILITER :

Angkat tangan, angkat tangan!

(Amat, Madam, Si Kemeja Batik, Si Buntut Kuda, dan Si Pemuda mengangkat tangan
mereka. Hansip segera mengelilingi mereka dengan pentung siap di tangan masing-masing.
Si Pakaian Militer mendatangi serambi, mengambil kursi, lalu duduk dengan gaya
Napoleon.)

396. SI PAKAIAN MILITER :

Angkat tangan tinggi-tinggi ! (Banen menyelinap dan berdiri dekat Amat. Ketika melihat
Amat mengacungkan tangan, ia ikut mengacungkan tangan) Tinggi, Tinggi ! (Karena merasa
tidak dapat mengacungkan tangan lebih tinggi, Amat naik keatas bangku dan berdiri
diatasnya. Banen mengikuti perbuatan itu. Hal itu menarik perhatian Si Pakaian Militer.
Yang kemudian berkata lagi) Kau dan kau tidak usah angkat tangan, turunlah dan dekatlah
kesini.

397. AMAT :

Terima kasih, Pak.

398. BANEN :

Terima kasih, Pak.

399. SI PAKAIAN MILITER :

Pak Jendral.

400. AMAT DAN BANEN :

Terima kasih, Pak Jendral.

401. SI PAKAIAN MILITER :

Bagus, justru kalian harus menjadi saksi. Terangkan pelaku, mengapa orang-orang ini bikin
onar disini.

402. AMAT :

Baik, Pak Jendral. Ibu ini Bu Johan Budiman, pemilik pabrik dan toko besar di pasar,
mungkin bapak pernah belanja disana. Entah bagaimana asal mulanya Bu Johan ini mau
diminta uang oleh Oom wartawan dan Oom seniman ini. Besar lagi uangnya, Pak Jendral.
Pak Wartawan ini kalau tak salah suka membuat amplop atau membeli amplop.

403. BANEN :

Kedua orang itu tukang peras, Pak Jendral!

404. SI PAKAIAN MILITER :

Diam! Teruskan, warga negara.

405. AMAT :

Saya Amat, Pak.

406. SI PAKAIAN MILITER:

Baiklah, Teruskan.
407. AMAT :

Baik, Pak Jendral. Ini Tante dukun, ini Oom Mahasiswa, Ini... ia tadi anu, beli ganja dan ia
juga senang ngisep frustasi dan pakai baju model protes (Termenung sejenak) Begitu kalau
tidak salah. Tante dukun dan Oom Mahasiswa ini mau membantu Bu Johan dan minta upah
lima ekor ayam goreng dan kain kafan hitam. (kepada Banen) Benar begitu kan, Teh?

408. BANEN :

Saya tidak tahu upahnya Jang Amat, tapi (Kepada Si Pakaian Militer) kepada saya si Madam
bilang, ia hampir saja berhasil menghidupkan orang mati kalau tidak ada yang bersin waktu
dia baca mantera.

409. AMAT :

Pak Jendral, mau tahu mengapa mereka mau berkelahi disini, Teh.

410. BANEN :

Saya tidak tahu.

411. SI KEMEJA BATIK :

(Menunjuk kepada Si Madam) Dia penipu! Dia pura-pura jadi dukun, tapi dia penipu, saya
berani taruhan.

412. MADAM :

Dia mau memeras Nyonya Johan, Pak Jendral, dan saya datang untuk menolong orang yang
akan menjadi korban itu.

413. SI KEMEJA BATIK :

Nyonya Johan Budiman itu pendusta, dia mau memamerkan nama-nama pahlawan–pahlawan
bangsa untuk kepentingannya!

414. SI PAKAIAN MILITER :

Diam! Kamu semua orang jahat, Ayo berlutut! (Si Buntut Kuda ragu-ragu berlutut) Pukul!
(Hansip dengan senang mempergunakan pentungnya kearah pundak Si Buntut Kuda yang
langsung berlutut) Hei, Kamu! (Menunjuk ke Ibu Johan Budiman) Mengaku! (Johan gemetar
tapi tidak segera bicara) Kalau tidak saya suruh Hansip itu untuk memukulmu juga! (Hansip
melakukan pemanasan dengan gembira)

415. IBU JOHAN BUDIMAN :

(Ketakutan) Baik, Tuan. Oh, Pak Jendral, Saya mengaku.


416. SI PAKAIAN MILITER :

Mengaku apa?

417. IBU JOHAN BUDIMAN :

Saya bukan istri pejuang, bukan juga istri veteran.

418. SI PAKAIAN MILITER :

Ayo terus mengaku! (Si Ibu Johan Budiman ragu-ragu) Hansip! (Hansip-hansip kembali
melakukan pemanasan)

419. IBU JOHAN BUDIMAN :

Ampun! Ampun! Saya mengaku! Saya bukan istri pejuang. Suami saya paling dulu masuk
kota dan bekerja sama dengan Belanda waktu kawan-kawannya bergerilya.

420. SI PAKAIAN MILITER :

Suamimu bekerja sama dengan Belanda? Kamu anjing NICA ya? (Hansip-hansip dengan
gembira melakukan pemanasan dengan lebih ekstrem)

421. IBU JOHAN BUDIMAN :

Ampun, Ampun! Aduh, adudududuh, jangan, saya tidak ingin dipukul. Saya ingin mengaku,
luka yang didapat suami saya di dada dan di paha digigit itu bukan karena luka perang,
melainkan karena digigit anjing Van Lienwetbook. Ketika gerilya menyerang kota, suami
saya lari ke rumahnya, minta ikut bersembunyi, ia tidak mau menerima sumai saya, dan
suami saya terpaksa masuk kandang anjing herdernya. Anjing herdernya marah dan
menggigit paha dan dada suami saya.

422. SI PAKAIAN MILITER :

Bajingan, suamimu bukan patriot, ya? Suamimu tidak setia pada revolusi. Kau dan suamimu
orang jahat, Sujud!

423. IBU JOHAN BUDIMAN :

Kepala di tanah Pak Jendral?

424. SI PAKAIAN MILITER :

Di Tanah! (Ibu Johan Budiman ragu-ragu, Hansip-hansip memanggil untuk menakut-nakuti


Ibu Johan Budiman dengan siulan. Ibu Johan terpaksa sujud. Lalu perhatian Jendral beralih
kepada si Kemeja Batik) Sekarang kamu! Ayo mengaku! Kamu memeras, ya?
425. SI KEMEJA BATIK :

Saya mengaku Pak Jendral. Saya mau memeras Ibu Johan tapi belum.

426. SI PAKAIAN MILITER :

Hanya itu, Heh? (Karena Si Kemeja Batik ragu-ragu Hansip-hansip berebutan memukulnya)

427. SI KEMEJA BATIK :

Ampun, Saya mengaku saya juga menulis cerita-cerita porno (Diam, Hansip memukulnya
lagi) Ampun! Saya juga mengasuh majalah gunjingan. (Diam, Hansip gembira dan
memukulnya lagi) Kalau tidak ada bahan tulisan saya bisa mengada-ada dan menulis
seenaknya, asal majalah saya penuh Pak Jendral.

428. SI PAKAIAN MILITER :

Hayo, Apa lagi! (Hansip-hansip berebutan hendak memukul Si Kemeja Batik tergesa-gesa
menjawab)

429. SI KEMEJA BATIK :

Kalau saya pergi ke luar kota, saya suka minta uang kepada pejabat-pejabat dengan alasan
kehabisan ongkos di jalan. Saya pun suka berjanji bahwa saya akan menulis yang baik-baik
saja tentang daerah mereka. Kadang-kadang saya tulis, kadang-kadang tidak saya tulis.

430. SI PAKAIAN MILITER :

Cukup! Saya pernah mengatakan bahwa saya lebih takut oleh satu pena pengarang dari pada
seribu pucuk senapan. Tapi tentu bukan oleh pena orang semacam kamu! Sujud! (Si Kemeja
Batik buru-buru sujud disamping si Ibu Johan Budiman) Sekarang kamu, Ayo mengaku,
Orang Jahat!

431. MADAM :

Saya Madam, Pak Jendral. Saya dukun.

432. SI PAKAIAN MILITER :

Bohong! Kamu Penipu!

433. MADAM :

Tapi, Pak Jendral.... (Mendengar Madam itu berani menantang, dengan geram hansip-hansip
itu bersiul dan melakukan pemanasan untuk menakutinya) Ampun, Pak, Ampun, Memang
saya Penipu. Tapi mereka yang saya tipu memang minta ditipu! Walaupun saya tidak bisa
apa-apa, cuma bisa satu mantera, mereka percaya pada saya.
434. SI PAKAIAN MILITER :

Dan kau tipu juga mereka, ya? (Hansip menggerak-gerakkan pentung)

435. MADAM :

Ampun, Pak, Mengaku, Pak Jendral, Saya Mengaku.

436. SI PAKAIAN MILITER :

Sujud! (Si Madam sujud mencium Tanah). Sekarang kamu, Anak Ingusan, Kamu jahat, ya?
(Menunjuk kepada pemuda) Ayo mengaku, Pemadat. (Hansip-hansip mendekat kearah
pemuda itu. Pemuda itu mulai menangis)

437. PEMUDA :

Kalau ganja sudah menghisap, Pak. Tapi yang lain yang lebih keras belum pernah. (Melirik
kearah Amat) Kalau tadi saya mengatakan kepada tukang jualan rokok itu bahwa saya
morfinis kawakan itu cuma berlagak saja pak. Maklumlah saya anak muda pak. Sungguh
saya berjanji tidak akan sekali-kali lagi menghisap ganja. Soal protes-protesan, saya hanya
ikut-ikutan saja pak. Soalnya kawan saya mengatakan generasi kami ini generasi protes, jadi
saya ikut. Biar disambar geledek, pak, saya cuma ikut-ikutan.

438. SI PAKAIAN MILITER :

Seharusnya sekarang kamu kuliah dan tidak bolos keluyuran. Belajar itu protes, protes
kepada kebodohan!

439. PEMUDA :

Saya memang Drop Out, Pak Jendral.

440. SI PAKAIAN MILITER :

Kamu suka bolos ya? Ngaku.

441. PEMUDA :

Mengaku pak, saya minta ampun, pak.

442. SI PAKAIAN MILITER :

Sujud! (Berpaling pada Si Buntut Kuda) Sekarang Kamu, Hei penghalau burung! Ayo ngaku!

443. SI BUNTUT KUDA :

(Tidak segera menjawab, walaupun seluruh tubuhnya gemetar) Tuhan, Minta kumat, Tuhan,
mengapa ayanku tidak kumat?
444. SI PAKAIAN MILITER :

Sinting rupanya orang ini! Ayo mengaku! (Melihat Si Buntut Kuda tidak dapat berkata,
Hansip itu senang dan segera mendekat).

445. HANSIP :

Yahuy!

446. HANSIP :

Yiiiiiheeee!

447. SI BUNTUT KUDA :

Tuhan, mengapa ayanku tidak kumat?

448. SI PAKAIAN MILITER :

Pukul! (Dengan senang Hansip-hansip itu bertubi-tubi menghantam Si Buntut Kuda)

449. SI BUNTUT KUDA :

Ampun! Ampun! Ampun!

450. SI PAKAIAN MILITER :

Ayo, Sekarang ngaku!

451. SI BUNTUT KUDA :

Mengaku, Jendral, Mengaku. Jangan pukul!

452. SI PAKAIAN MILITER :

Mengaku apa? Ayo bilang! (Hansip siap kembali).

453. SI BUNTUT KUDA :

Seperti Mahasiswa itu, Pak.

454. SI PAKAIAN MILITER :

Apa?

455. SI BUNTUT KUDA :

Saya Cuma ikut-ikutan saja, Pak. Orang lain mengadakan pementasan aneh-aneh dan edan-
edanan, saya ikut-ikutan. Cuma supaya beken saja, Pak. Orang lain meneriakkan kata-kata
kotor di pentas, saya ikut juga. Saya juga mempergunakan Slogan-slogan pak. Dulu kesenian
saya, saya namakan “Kesenian Teroris”, Semboyan kesenian kami ialah “Seni sama dengan
kentut”. Sekarang saya namakan kesenian saya aliran seni langit lapis ketujuh, dan saya
proklamasikan diri saya sebagai nabi zaman ini. (Si buntut Kuda Seperti Kehabisan nafas).

456. SI PAKAIAN MILITER :

Cuma itu? Cuma kentut saja? (Hansip-hansip maju, Ketika Si Buntut Kuda tidak cepat
menjawab pentung berjatuhan di pundak dan kepalanya)

457. SI BUNTUT KUDA :

Saya juga ikut-ikutan protes, juga ikut mengadakan pekan caci-maki. Tapi tidak dari dalam
hati, Pak. Saya sendiri tidak mengerti tentang apa maksud semua itu. Numpang beken saja
Pak.

458. SI PAKAIAN MILITER :

Sujud! Cium itu pertiwi yang sudah lama kamu injak-injak! Mencipta karya-karya seni
adalah protes, protes terhadap kejelekan, kekacauan, ketanpa maknaan. Seandainya
Rebespierre masih berkuasa, kepala kalian sudah lama dalam keranjang, tapi saya bukanlah
Jendral macam itu. Saya adalah Jendral yang tidak hanya menciptakan strategi yang
membikin kekuatan-kekuatan reaksi Eropa tidak berdaya, tapi juga adalah pencipta hukum.
Sampai sekarang Eropa masih berpedoman pada hukum yang dasar-dasarnya saya letakkan.
Saya akan menghukum kalian semua, tapi bukan hukuman yang sewenang-wenang,
melainkan hukuman dari seorang Jendral Negarawan.

ADEGAN XIV

DARI LUAR TERDENGAR SUARA ABA-ABA BARIS BERBARIS. SI PAKAIAN


MILITER BEFDIRI, BERSIKAP TEGA DAN MEGAH. HANSIP-HANSIP IKUT-
IKUTAN, MUNCULLAH TIGA ORANG BERPAKAIAN PERAWAT. DI BELAKANG
MEREKA IKUT BARIS BERBARIS DENGAN SUNGGUH-SUNGGUH SI TUKANG
JAHIT, MEREKA DATANG DENGAN LANGKAH TEGAP. MEREKA BERHENTI DI
DEPAN SERAMBI, BALIK KIRI MENGHADAP SI PAKAIAN MILITER LALU
MEMBERI HORMAT. SI PAKAIAN MILITER MEMBALAS DENGAN MEGAH.

459. PERAWAT :

Laporan. Kendaraan sudah siap, waktu minum sudah tiba. Putri Josephine de Beauhannais
menunggu paduka.
460. SI PAKAIAN MILITER :

Bagus. (Ia berpaling kepada Hansip). Jaga orang-orang ini selagi saya kemarkas besar.

461. SEMUA HANSIP :

(Menderapkan sepatu mereka) Siap, Pak.

(Si Pakaian Militer meninggalkan pentas, diiringi oleh dua orang diantara Perawat. Perawat
yangsatu lagi menarik nafas panjang. Berdiri tukang jahit)

462. PERAWAT :

Ya, Tuhan, Syukurlah, kami sudah benar-benar mumet. (Melihat ke kios rokok) Ah,
kebetulan ada warung. Minum pun saya tak sempat. (Berjalan kearah kios diikuti oleh Si
Tukang Jahit sementara yang lain plonga-plongo)

463. SI TUKANG JAHIT :

Bagaimana pakaian itu?

464. PERAWAT :

Tanggung beres Bu, jangan khawatir.

465. SI TUKANG JAHIT :

Tapi nanti sore yang empunya akan mengambilnya.

466. PERAWAT :

Tenang saja Bu, nanti ada yang mengantarkannya dari rumah sakit.

467. AMAT :

Pak Jendral itu mau kemana?

468. PERAWAT :

(Tertawa) Siapa bilang dia Jendral?

469. AMAT :

Jadi, siapa pak Jendral tadi?

470. PERAWAT :

Itu kan pasien dari Pusat Kesehatan Jiwa dari Rumah Sakit Jiwa. Sejak sore kemarin dia
lolos. Memang sudah biasa dia lolos. Karena ada sirkus ini kami sukar menemukannya
walaupun kami semalaman tidak bisa tidur.
471. SI TUKANG JAHIT :

Itulah orang yang mencuri pakaian kebesaran dari rumah saya itu, saudara Lugu.

472. AMAT :

Nama saya Amat, Mpok.

473. PERAWAT :

(Baru melihat ada orang-orang bersujud, ia melihat kearah Hansip) Ini apa-apaan? (Tertawa
geli) Sudahlah, Pasiennya juga sudah pergi.

474. HANSIP :

Jadi.... jadi dia itu orang gila?

475. PERAWAT :

Katakanlah begitu.

476. HANSIP :

Tapi mengapa pakaiannya benar-benar pakaian Jendral?

477. PERAWAT :

Kan ia mencuri dari toko Ibu ini. (Menunjuk pada Si Tukang Jahit)

478. AMAT :

Heran, mengapa ambil pakaian itu dan begitu persis Jendral?

479. PERAWAT :

Memang dalam sakitnya selalu menghayalkan dirinya sebagai seorang Jendral, Jendral tidak
kepala tanggung pula, Napoleon Bonaparte. Bayangkan! (Ketika itu orang-orang yang
bersujud mulai bangkit dan plonga-plongo. Perawat berpaling kepada Hansip). Bagaimana
saudara-saudara bisa sampai terkecoh?

480. HANSIP :

Kami kesiangan bangun karena semalaman jaga di tempat sirkus itu. Tahu-tahu dia teriak :
Bangun! Bangun! Desertir, Ayo ikut patrol! Karuan saja kami terkejut dan gemetar. Mana
masih setengah bangun lagi.

481. IBU JOHAN BUDIMAN :

Ya Tuhan
482. SI KEMEJA BATIK :

Sialan!

483. PEMUDA :

Samber geledek!

484. SI BUNTUT KUDA :

(Bangkit, gemetar karena marah,berteriak keras,tanpa kejelasan apa yang diteriakkan,


kemudian jatuh kejang).

485. PERAWAT :

Hai, Kenapa dia?

486. AMAT :

Ayannya kumat!

(Amat lari kedalam kios dan kembali membawa ember. Si Buntut Kuda disembur air satu
ember lalu siuman dan dipapah, didudukkan diatas bangku. Selagi orang-orang itu
mengelilingi Si Buntut Kuda, terdengarlah sayup-sayup suara musik yang merdu, makin
lama makin dekat. Tak lama kemudian munculah para rombongan musik itu.)

487. ROMBONGAN MUSIK :

Hujan emas di negeri orang

Hujan batu di negeri sendiri

Hujan emas memang tak mungkin

Hujan Batu bikinlah gedung

(Bersama)

Hujan batu cepatlah berlindung

Ke kerunci ke negeri Cina

Tanah Subur di Mongolia

Biar dibenci biar dihina

Main Musik lebih mulia

(Bersama)

Main music habis suara


Walaupun banyak pohon kelapa

Kita pilih Markisa saja

Walau masih ingin bercanda

Sekarang kita berpisah saja

(Bersama)

Semoga bertemu lagi

-SELESAI-

Anda mungkin juga menyukai