Anda di halaman 1dari 9

Nama: Nayla Fadilla An-nuha

Tuhan Punya Cara Tersendiri

Dan lagi, air mata Alena mengalir deras di malam ini. Kembali otaknya memutar apa saja hal
yang sudah dia lakukan dan semua itu terbuang sia-sia.
“Hentikan. Aku harus bisa. Ayolah Al, kamu pasti bisa. Hanya segitu. Hanya berubah.
Merubah hati kan tidak sulit. Berbagai rangkaian kata dia ucapkan untuk mengobati sedikit
luka hatinya. Dengan percaya diri Alena menghapus air matanya, mencoba tersenyum. Tapi,
tanpa disuruh otaknya kembali memutar kejadian beberapa tahun lalu saat dia melihat
seorang lelaki datang ke kelasnya, kemudian dia memenangkan suara saat pemilihan ketua
kelas. Tanpa dia sadari, dia juga sudah memenangkan hati Alena saat pertama kali dia
menginjakkan kakinya di kelas X-6.

Dia Aldiano Rahardian. Cowok jangkung dengan kulit putih dan lesung pipit yang
membuatnya semakin terlihat tampan. Ditambah lagi dengan satu tahi lalat di bawah mata
kirinya yang semakin meningkatkan pesonanya. Bukan hanya Alena saja yang terpesona,
hampir semua murid perempuan SMA Barawijaya mengidolakan Aldi. Kemudian otaknya
beralih memutar kejadian beberapa jam yang lalu saat dia melihat Aldi berpelukan dengan
Dhea, sahabat dekatnya. Ingatan yang terakhir itu membuat air mata Alena kembali turun,
bahkan mengalir sangat deras.

“Al, kemarin kenapa pulang cepat? Sakit?” tanya Dhea sahabat Alena. Memang setelah
kejadian Aldi berpelukan dengan Dhea, Alena langsung pamit pulang cepat.
“Ah enggak, Dhe. Kemarin ada acara aja.” Alena memaksakan senyumnya.
“Oh aku kira sakit. Eh Al, tau nggak? Aku kemarin jadian sama Aldi. Oh My God, aku nggak
nyangka aku bakalan bisa jadian sama Aldi. Bayangin Al, ya ampun.” cerocos Dhea panjang
lebar, tanpa dia sadari bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya sangat melukai Alena.
Mati-matian Alena menahan air matanya agar tidak jatuh.
“Oh ya? Ya ampun selamat ya, Dhe. Aku ikut seneng deh.” ucap Alena dengan suara yang
sedikit serak menahan tangis.
“Kemarin Aldi juga meluk aku, Al. Rasanya tu kayak dicintai banget gitu.” ungkap Dhea
lagi.
“Ya Aldi sosweet banget ya.” sahut Alena pelan. Air matanya siap tumpah kapan saja.
“Oh iya aku ke toilet dulu ya, Dhe.” pamit Alena

Sampai di toilet, tangis Alena pecah. Tidak semudah itu menghilangkan perasaannya pada
Aldi. Tidak semudah itu merelakan orang yang dia cintai untuk sahabatnya. Tidak semudah
itu menerima kenyataan dengan lapang dada. Alena menangis memeluk dirinya. Seandainya,
dia segera mengungkapkan perasaannya ke Aldi. Seandainya, dia lebih dekat dengan Aldi.
Seandainya Aldi tidak pacaran dengan Dhea. Seandainya bukan Dhea. Seandainya dia tidak
memendam perasaannya. Segala kemungkinan Alena mainkan di dalam otaknya. Kepalanya
penuh dengan kata, seandainya. Sudah hampir setengah jam Alena mengurung dirinya di
toilet. Sudah terlalu lama untuk ukuran seorang yang pamit ke toilet, akhirnya dia menyudahi
kegiatannya menangisi kebodohannya. Tak lupa Alena memoleskan sedikit make up tipis
untuk menyamarkan bekas sembab di matanya.
“Eh, Al lama banget di toiletnya. Dicariin Dhea tuh.” ucap Dina yang tidak sengaja lewat di
dekat toilet.
“Iya? Tau dimana Dhea sekarang?” tanya Alena
“Iya tau. Tadi sih duduk di dekat kelas 12 IPA 6. Samperin aja kesana.” jawab Dina
“Okay deh. Makasih ya, Din.” ucap Alena sambil memamerkan senyum manisnya.

Sekarang dia sudah kelas 12 jadi awal semua kesedihannya adalah 2 tahun yang lalu. Alena
kemudian menghampiri Dhea ke depan kelas 12 IPA 6. Dhea tidak sendiri disana. Ada
seorang yang sangat Alena kenal, baik dari penglihatan Alena ataupun dari hati Alena dia
sangat mengenal seorang itu. ALDIANO RAHARDIAN. Melihat ada Aldi disana membuat
langkah Alena terhenti sejenak. Ragu akan meneruskan langkahnya atau berbalik untuk
pulang.
“Harus dihadapi kan. Toh kalau bukan sekarang pasti juga besok-besok terjadi. Nggak
mungkin bisa lari terus.” pikir Alena. Kalimat itu terus dia tanamkan di pikiran maupun
hatinya. Akhirnya kakinya meneruskan langkahnya.

“Hai, Al.” sapa Aldi ramah


“Hai, Di. Dhea mana?” tanya Alena
“Tadi baru beli makanan sama Lisa. Nggak tau sih beli dimana. Tapi lama banget.” keluh
Aldi

Alena terdiam. Seperti inikah perhatian seorang Aldi? Tanpa dia sadari, matanya menelusuri
lekuk wajah Aldi. Dari rambutnya yang berwarna hitam legam sangat kontras dengan kulit
putihnya. Menuju ke dahinya yang rata. Turun ke matanya yang berwarna coklat. Mata yang
selalu menatap dalam seakan bisa masuk dan melihat ke dalam mata lawan bicaranya.
Kemudian tahi lalat di bawah mata Aldi, Alena paling suka dengan tahi lalat itu. Lalu hidung
Aldi yang tidak begitu mancung tapi bagi Alena itu indah. Dan bibir Aldi yang selalu
tersenyum dan akan memperlihatkan lesung pipitnya. Hampir sempurna, karena memang
tidak ada yang sempurna di dunia ini.

“Hei, Al. Hoi!” panggil Aldi seraya menepuk pipi Alena pelan.
“Eh apa, Di?” jawab Alena tergagap menanggapi perlakuan Aldi tadi
“Aku tanya, kamu mau masuk mana besok kuliah? Udah nentuin jurusan kan? Apa cita-
citamu?” tanya Aldi
“Udah. Tapi masih ragu.” jawab Alena pelan
“Apa?”
“Kedokteran Umum.” ‘kamu tau perasaanku ke kamu, itu mimpiku, Di.’ 2 kalimat berbeda
yang Alena jawab. Yang satu keluar dari mulutnya dan yang satunya hanya di hatinya.
“Wah. Terus ngapain ragu? Kejar impianmu dong, Al. Jangan ragu, oke? Kamu pasti bisa.”
ucap Aldi menyemangati Alena
“Begitu ya? Aku harus berjuang untuk mengejar mimpiku? Tapi apa masih bisa?” tanya
Alena entah ditujukan untuk Aldi atau dirinya sendiri.
“Apa masih bisa apa? Kamu pasti bisa lah, Al. Percaya deh sama aku.” jawab Aldi yakin
“Apa masih bisa aku meraih mimpiku? Apa masih ada tempat untukku?” tanya Alena lagi-
lagi dengan angan yang melayang jauh
“Pasti, Al. Kamu kan pinter. Kamu pasti bisa lah. Tempat buat kamu pasti masih tersedia.”
“Tapi itu salah satu yang jadi favorit. Salah satu yang disukai orang banyak. Salah satu yang
akan dipilih banyak orang.” ucap Alena pesimis. Untuk jurusan juga perasaannya.
“Percaya deh sama aku. Kalau kamu berusaha keras pasti kamu bisa meraih cita-cita dan
mimpimu.” sahut Aldi meyakinkan Alena.
“Eh Di, aku pulang dulu ya. Ada jadwal les. Bye, Di.”
Tidak tahan dengan segala sandiwara hatinya, Alena memutuskan untuk pamit pulang. Les?
Tidak. Tidak ada jadwal les hari ini, Alena hanya beralasan pada Aldi. Baginya, berlama-
lama dekat Aldi membuat jantungnya sangat tidak normal. Bukan hanya jantungnya, hatinya
pun juga sangat terluka saat ingat siapa yang ada di depannya.

Setelah kejadian ngobrol dengan Aldi beberapa hari yang lalu, Alena tetap menjaga dirinya
agar tidak berurusan lagi dengan Aldi. Untuk seorang Alena, berurusan dengan Aldi adalah
mimpi buruk yang sangat menyakitkan. Alena sangat menarik dirinya dari hadapan orang-
orang bahkan dari Dhea, sahabatnya. Seperti yang sedang dia lakukan sekarang. Mengurung
diri di perpustakaan sekolah dengan bertameng tugas dari Bu Ida.

“Alena!” seru Dani dari arah pintu yang berhasil mendapat perhatian, bukan hanya Alena saja
tapi semua yang sedang ada di perpustakaan.
“Ih apaan sih, Dan. Jangan teriak-teriak bisa kali.” sindir Alena dengan berbisik
“Hehe ya gimana kamu udah aku panggil dari tadi tapi nggak jawab-jawab sih. Dasar bolot.”
elak Dani
“Sekarang menghina lagi. Udah lah. Mau ngapain kesini?” tanya Alena malas
“Dicari Dhea sama Aldi tuh.” untuk kalimat Dani yang terakhir ini benar-benar membuat
tubuh Alena menegang. Bagaimana tidak, mati-matian Alena menghindar dari pasangan itu,
tapi malah sekarang mereka mencarinya.
“Aku lagi sibuk ngerjain tugas dari Bu Ida.” jawab Alena pelan sambil melirik ke arah Dani
“Tapi, Len….”
“Bisa pergi nggak sih, Dan? Aku harus ngumpulin tugas ini sekarang.” potong Alena yang
kembali terfokus ke coretan-coretan tangannya.
“Tugas apa? Tugas memikirkan Aldi seharian dan mengurung diri di perpustakaan?” sindir
Dani
“D-darimana kamu tahu kalau…”
“Menurutmu selama ini aku nggak perhatiin kamu, Len? Setiap gerak-gerik kamu setiap
sama Aldi. Tatapan kamu ke Aldi. Ucapanmu yang sangat lembut ke Aldi. Menurutmu aku
nggak tahu semua itu?” tanya Dani yang sudah tersulut emosi.
“Terus kenapa? Nggak ada hubungannya sama kamu.” ucap Alena kemudian meninggalkan
Dani dan ke luar dari perpustakaan. Dani pun menyusul Alena segera.
“Len. Tunggu.” panggil Dani. Alena berhenti dan berbalik.
“Dan berhenti panggil aku ‘Len’.” ucap Alena menegaskan. Emosinya juga sudah
memuncak. Dia tidak suka panggilan itu. Dia muak dengan panggilan itu.
“Kenapa? Kenapa aku nggak boleh panggil kamu Len? Karena Aldi manggil kamu Al? Biar
kamu sama Aldi sama-sama bisa dipanggil Al? Cih.” Dani melemparkan tatapan jijik ke arah
Alena. Sedikitpun tidak, bukan alasan itu yang menyebabkan Alena tidak suka dipanggil Len.
Bahkan dia tidak terpikirkan alasan Dani itu.
“Itu semua bukan urusanmu.” ucap Alena terisak, air matanya turun deras. Sudah hampir
seminggu dia mempertahankan agar tidak ada air mata lagi yang tumpah. Kini, detik ini,
karena panggilan yang memuakkan itu, karena Dani, pertahanan Alena runtuh. Semua rasa
sakit yang dia rasakan, yang dia tahan selama ini larut bersama air matanya.
“Eh. Bukan itu maksud aku, Len.” Dani melunak, bukan hanya melunak lagi perasaan
bersalah kini menggantikan semua emosinya. Emosi yang menggebu tadi terganti oleh
perasaan bersalah dan kesakitan melihat perempuan yang dia sayang menangis.
“Maaf. Aku minta maaf.” ucap Dani sungguh-sungguh.
“Kamu jahat, Dan. Menurutmu selama ini aku serendah itu? Semua karena Aldi? Bahkan
panggilan, kebiasaan, semua itu karena Aldi? Enggak Dan bukan itu. Mama aku, sebelum dia
pergi dia selalu manggil aku Len. Dan sekarang mama pergi, memilih hidup dengan orang
lain. Karena itu aku benci panggilan itu. Aku muak dengernya.” ungkap Alena. Dia sangat
sangat sangat sedih saat ini. Entah apa yang di pikirannya. Dia bahkan memendam cerita ini
dalam-dalam. Bukan hanya pada orang lain, sahabatnya pun tidak tahu menahu tentang mama
Alena. Tapi saat ini dia menceritakan semuanya pada Dani, seorang yang hanya dia anggap
sebagai teman.
“Maaf, Len eh Al.” ucap Dani merasa bersalah. Alena masih menangis. Dan Danu
memberanikan diri untuk mendekati Alena, memeluk perempuan itu erat-erat.
Ingin menunjukkan seberapa sayang dan bersalahnya dia saat ini.
“Oke. Udah nggak papa. Kamu toh kan nggak tahu tentang itu.” ucap Alena seraya
menghapus air matanya dan berusaha tersenyum kemudian melepaskan diri dari pelukan
hangat Dani.
“Tapi tetep aja, maafin aku karena udah kasar sama kamu tadi.” ucap Dani menundukkan
pandangannya.
“Hei hei. Nggak apa apa, Dan. Serius deh.” ucap Alena kemudian tersenyum manis, dia
merasa seakan setengah dari bebannya terangkat
“Tapi tadi kok kamu langsung meluk-meluk sih? Dasar.” nyinyir Alena
“Eh itu…” Dani terdiam sebentar bingung apa yang harus dia jawab kemudian akhirnya
menyahut lagi
“Refleks.” singkat, padat, dan jelas. Alena hanya mendengus geli
“Udah deh ayo anterin aku pulang karena kamu udah buat aku nangis tadi. Itu hukuman ya,
Dan. Jangan melarikan diri” ancam Alena. Dani terkekeh. Bahkan walaupun itu hukuman
tapi terasa seperti hadiah bagi Dani.
“Mari pulang, tuan putri.” ajak Dani bergaya bak sang pangeran dari negeri dongeng. Alena
tertawa melihat Dani dan Dani pun ikut tersenyum melihat Alena tertawa. Mereka kemudian
pulang. Tanpa mereka sadari, dibalik tembok ada seorang yang bersembunyi dan terkejut
dengan apa yang baru saja dia dengarkan. Kemudian seorang itu tertawa sinis. Segala rencana
jahat sudah dia siapkan untuk membuat Alena menderita.

Pagi hari di sekolah, saat Alena sampai di sekolah, semua yang ia lihat diperjalanan
menatapnya dengan berbagai arti. Jijik, iba, merendahkan, dan yang lainnya. Alena merasa
aneh dengan semua yang terjadi. Sampai di kelas,
“Dasar murahan!”
“Dasar penghianat!”
“Munafik!”
Segala teriakan lainnya yang menyambut Alena saat memasuki kelas membuat Alena
terkejut. Dia mematung di depan pintu saat melihat teman-temannya memandangnya dengan
pandangan bermusuhan. ‘Apa yang terjadi?’ hanya pertanyaan itu yang ada di otak Alena
sekarang.
“Heh pengkhianat, udah deh jangan sok alim lagi. Pacar sahabat sendiri diembat. Iuh banget
nggak sih.” begitulah kira-kira kalimat pedas yang dilontarkan seisi kelas. Semua
memandang Alena seperti kotoran yang harus dimusnahkan saat ini juga. Telinga Alena
berhenti menjalankan fungsinya. Hanya ada 3 kata yang meresap sampai di otaknya.
Penghianat. Sahabat. Pacar. Apa maksud semua itu?

Krrriiiggg…
Bel masuk berbunyi menyadarkan Alena bahwa sebentar lagi hidupnya akan berubah. Tidak
akan setenang dulu.
“Untung ada bel. Selamat deh hidupmu.” ucap salah seorang perempuan bernama Helen.

Kemudian seorang guru memasuki kelas. Alena duduk di bangkunya biasa. Palajaran terasa
sangat mengerikan bagi Alena. Tapi lebih mengerikan lagi saat tidak ada guru di kelas.
Kemudian tanpa dia duga, Rani, mendekatinya.
“Al, kamu gila banget.” ucap Rani
“Gila apa sih, Ran? Aku nggak ngerti kenapa temen-temen jadi kayak gini.” sahut Alena
jujur.
“Kamu nggak tahu? Ada rekaman pembicaraanmu sama seorang cowok. Intinya kamu suka
sama Aldi padahal Aldi itu pacar Dhea, sahabatmu sendiri.” ucapan Rani seakan memberikan
pukulan di dada Alena. ‘Siapa yang merekam? Seorang cowok? Apa itu Dani?’ pertanyaan
demi pertanyaan muncul di otak Alena.
Melihat Alena yang hanya terdiam akhirnya Rani meninggalkan Alena. Setidaknya Rani
sudah memberitahu apa yang ingin Alena ketahui.

Jam pelajaran berlangsung sangat lama bagi Alena, sampai akhirnya bel pulang sekolah
berbunyi. Disaat ingin berberes buru kemudian pulang, Alena merasa sakit di bagian
belakang kepalanya. Rambutnya dijambak oleh Seira, dengan senyum kemenangan Seira
terus memaki Alena.
“Ini pembalasan bagi pengkhianat.” ucap Seira sinis.
“Seira stop!” suara familiar segera masuk ke telinga Alena. Suara dia. Orang yang ingin dia
hindari. Saat Alena lihat, memang benar dia ada disana, dengan pacarnya tentu saja. Aldi.
“Apa sih, Di. Lihat nih, aku lagi ngasih pembalasan ke orang yang mau ngerusak hubungan
kalian.” Seira jengkel karena kesenangannya baru saja diganggu. Sedangkan Dhea, dia
menghampiri Alena. Saat sampai didepan Alena, dia diam sejenak.
PLAAAKKKK
Tamparan Dhea sukses mengenai pipi Alena. Mata Alena kebas, ingin segera mengeluarkan
air matanya. Tamparan itu seakan membuktikan seberapa tidak pantasnya dia dan seberapa
buruknya dia di hadapan orang lain. Tamparan dari sahabatnya sendiri.
“Dhea!” tegur Aldi
“Kamu tu sahabat aku, Al. Kamu tega ngelakuin itu ke aku, sahabatmu sendiri? Atau kamu
emang nggak pernah nganggep aku sebagai sahabatmu?” Dhea terisak
“Bukan gitu, Dhe. Aku nganggap kamu sahabat aku, bahkan udah kayak keluarga.” jawab
Alena
“Kamu mau ngerebut Aldi dari aku? Tidak akan bisa! Aldi milikku.” terang Dhea yang
membuat hati Alena melilit. Alena tahu fakta itu, tapi diucapkan secara gamblang oleh Dhea
membuat Alena semakin menciut.
“Kamu salah, Dhe!” suara bariton seorang memecah semua emosi yang tercipta.
“Dani.” gumam Alena
“Apa maksud kamu, Dan?” tanya Dhea bingung
“Kamu salah, Dhe. Dalam hal ini, kamu yang salah. Kamu yang merebut Aldi dari Alena.”
semua ketidakadilan yang dialami Alena diucapkan oleh Dani
“Ma-maksud kamu?” tanya Dhea ragu
“Sejak awal, Aldi memang sudah dekat dengan Alena. Kamu tahu, sejak awal pun Alena juga
sudah menyukai Aldi. Kamu yang tiba-tiba datang dan mendekati Aldi. Mengambil semua
harapan yang Alena punya. Itu fakta yang selama ini tidak kamu lihat.” ungkap Dani dengan
emosi saat harus menjelaskan secara rinci apa saja yang Alena alami. Sedangkan Dhea, dia
menegang. Tidak percaya dengan apa yang dia dengarkan. Dan yang dirasakan Aldi adalah
penyesalan, ketakutan, dan harapan yang menguap. Perasaan yang selama ini dia pendam
ternyata terbalaskan. Seandainya saja dia lebih bisa bersabar. Seandainya saja dia lebih bisa
mengerti dan terus mengharapkan Alena. Mungkin semua ini tidak akan terjadi.
“Sekarang kamu bisa berpikir, Dhe. Siapa yang menjadi tokoh antagonis di dalam cerita ini.
Alena bahkan tidak pernah sedikitpun menuntut agar Aldi membalas perasaannya. Dia hanya
memendam, yang dilakukannya selama ini hanya memendam perasaannya dalam-dalam dan
menekannya sebisa mungkin. Karena dia tahu, Aldi itu milikmu!” Dani menjelaskan
semuanya dengan lebih tenang. Bukan hanya Dhea yang meresapi kata-kata Dani, tapi Dani
pun juga begitu. Menegaskan pada dirinya sendiri bahwa Alena bukan miliknya dan tidak
pernah menjadi miliknya.
“Tapi kenapa Alena tidak mengatakannya padaku?” tanya Dhea yang masih saja mengelak
kenyataan
“Sadar, Dhe. Ini semua buat kamu. Karena Alena tidak mau kamu tersakiti, dia tidak mau
kamu menangis karena cinta. Dia merelakan cintanya untuk sahabatnya. Dia membuang jauh
perasaannya untuk sahabatnya.” Dani menekankan kata demi kata agar Dhea sadar, disini
bukan hanya Dhea yang tersakiti. Alena pun lebih tersakiti.
“Sejak kapan kamu suka sama dia?” tanya Dhea yang ditujukan ke Alena. Dhea masih
menunduk, seakan takut untuk melihat Alena.
Melihat Alena yang bungkam, Dani mengambil alih pertanyaan itu
“Apa kamu mau aku yang jawab, Al?” tanya Dani
“Tidak. Biar aku yang jawab.”
Setelah Alena menghela nafas dan yakin bahwa dirinya siap, kemudian rentetan kata demi
kata kejujuran keluar dari Alena
“Sejak pertama kali masuk kelas 10. Eh bukan, bahkan sebelum itu. Waktu kelas 9, temanku
berbicara tentang seorang cowok yang menjadi THE MOST WANTED di sekolahnya.
Orangnya tinggi, semua olahraga dia mampu, dengan fisik yang hampir sempurna. Aldiano
Rahardian. Sebelum masuk SMA aku sudah tahu seorang yang bernama Aldiano Rahardian.
Tanpa pernah terpikirkan, dia masuk kekelas dimana aku juga ada didalamnya. Saat dia
memperkenalkan diri, aku ingat apa yang dikatakan temanku lalu aku bertanya dalam hati ‘oh
jadi ini yang bernama Aldi.’. Aku juga tidak pernah meminta untuk diberikan perasaan ke
Aldi. Perasaan itu datang dengan sendirinya. Saat kita dekat, aku merasa sangat nyaman. Aku
minta maaf, Dhe. Tapi aku harus mengakhiri semuanya. Dan saat kamu memberitahuku kalau
kamu juga menyukainya, bisa kamu bayangkan perasaanku? Tapi aku tidak mau menjadi
egois, melihat Aldi bahagia dari jauh saja sudah cukup untukku. Tidak perlu sampai dia balik
menyukaiku. Dan ternyata dia juga menyukaimu bahkan sekarang kalian sampai berpacaran.
Aku sudah baik-baik saja sekarang. Aku meminta maaf karena aku tidak jujur ke kamu, Dhe.
Dan maaf aku sudah membuatmu sakit, Dhe. Maaf. Tapi aku benar-benar baik sekarang
setelah mengatakan semuanya. Jadi kalian bisa berpacaran seperti biasa dan kita bisa
berteman seperti biasa.” Alena menjelaskan semuanya ke Dhea. Alena menundukkan
kepalanya. Air matanya sudah menetes dari tadi, tapi dia tetap mencoba tersenyum.
“Kenapa kamu meminta maaf?” tanya Dhea pelan. Alena hanya menggelengkan kepalanya,
air mata terus turun dari mata indahnya.
“Aku yang salah, Al. Aku yang egois, aku nggak sadar apa yang udah kamu lalui. Aku yang
hanya peduli dengan urusanku sendiri.” tangis Dhea pecah saat itu juga.
“Enggak, Dhe. Kamu nggak salah kok. Maafin aku ya, Dhe.” kemudian mereka saling
memeluk, menyampaikan rasa bersalah mereka masing-masing. Aldi? Dia masih bungkam
melihat Dhea dan Alena. Dani? Dia lega karena dia tidak harus melihat penderitaan Alena
lagi. Sudah cukup beberapa tahun ini saja.

Setelah kejadian saling berpelukan dan meminta maaf, Alena dan Dhea kembali merajut
hubungan mereka yang sempat retak. Memperbaiki hubungan agar tercipta persahabatan
yang lebih erat lagi. Dhea sudah berhenti berpacaran dengan Aldi, tanpa dipaksa pun Aldi
juga sudah menyetujuinya. Karena memang pada dasarnya Alena lah cinta pertamanya yang
kemudian datanglah Dhea sebagai pengganti Alena, meski sekarang Aldi sadar Dhea
bukanlah pengganti Alena. Dhea ya hanyalah Dhea, sahabatnya yang dia sukai. Bukan dalam
artian yang lebih dalam. Alena? Dia lah yang tetap menjadi pemilik hati Aldi. Sejak saat itu,
semua menjadi berbeda, memang tidak semua anak yang berteman dengan Alena bahkan
beberapa anak masih mengusiknya. Tapi, Alena merasa sudah lebih dari cukup, diberikan
sahabatnya kembali saja sudah cukup apalagi dia sudah mengungkapkan semuanya ke Aldi.
Serasa semua beban yang Alena tanggung selama ini hilang. Alena tetap seperti biasa, hanya
saja Aldi yang menjauh. Aldi merasa bersalah, karena dia hubungan Alena dan Dhea menjadi
tidak baik, dia selalu menghindari hal-hal yang berbau Alena apalagi Dhea. Karena perasaan
dia sadar ternyata perasaannya pada Dhea bukan seperti yang dia pikirkan.

Tiga tahun lamanya setelah peristiwa itu, kini mereka sudah lulus. Nilai mereka pun sangat
memuaskan. Alena bisa masuk ke universitas dan fakultas yang dia impikan, Dhea menjadi model
yang sedang naik daun karena kesempurnaannya dalam berkerja, sedangkan Aldi dia kuliah di
universitas terbaik di New York mengambil jurusan managemen. Hidup mereka sudah kembali
tertata rapi sesuai dengan yang mereka mau. Suatu malam ketika Alena pulang kuliah,
dia menemukan suatu amplop undangan. Mata Alena membulat seketika saat melihat kata yang
tersusun di dalam amplop itu. “Undangan Reuni SMA Brantawijaya angkatan 62” sebuah undangan
yang langsung membawa Alena kembali ke masa lalu. Ke masa-masa sekolahnya yang penuh
suka dan duka. Alena setengah tersenyum saat mengingat kenangan-kenangan itu. Sampai saat
dia jujur akan perasaannya di depan Aldi, dan jika disuruh berkata dengan jujur sampai saat ini
dia masih menggenggam erat perasaan itu. Perasaan itu yang selalu menemani Alena disaat-saat
yang membuatnya kesusahan. Perasaan itu menjadi motivasi nyata yang tersimpan selalu diotak
Alena. Alena bimbang akan datang atau tidak, sebenarnya dia tidak terlalu sibuk pada hari itu tapi
menyadari bahwa ada kemungkinan Aldi datang membuat Alena sedikit mengurungkan niatnya.
“Halo Ale sayang, ikut reuni kan? Harus ya. Besok jam 5 aku jemput, bye.” sebuah pesan masuk
ke ponsel Alena membuat Alena tersenyum-senyum sendiri. Kemudian segera mengetik pesan
balasan “Okay sayang. Besok aku tunggu jemputnya ya, bye:*” begitulah sekiranya balasan yang
Alena ketik kemudian Alena mengirimkan pesan itu.
Kembali lah semangatnya yang tadi mulai mengendur, dia akan datang ke undangan itu. Toh
kalau Aldi ada juga tidak apa-apa, Alena belum tahu kalau Aldi kuliah di luar negeri.

Pukul lima tepat Alena sudah selesai berdandan, dia tidak mau membuat seseorang menunggunya
terlalu lama. Dia cukup mengenakan dress selutut berwarna soft pink, dipadukan dengan
memoleskan make up yang natural juga rambut panjangnya yang digerai, Alena tampak lebih
memukau malam ini.
“Alena sayang, aku masuk ya.” seru seseorang dari balik pintu.
‘Itu dia’ batin Alena. Lalu munculah sesosok perempuan cantik mengenakan dress selutut
berwarna hitam, hampir sama dengan punya Alena hanya saja lebih glamour. Rambut panjangnya
yang diberi warna dark brown itu dikepang sangat rapi dan elegan. Dhea.
“Ale ya ampun, cantik banget sayang.” pekik Dhea yang terdengar sangat histeris
“Ya ampun, Dhe udah deh. Kamu juga cantik banget kok, serius.” puji Alena yang berhasil
membuat Dhea tersenyum simpul.
“Yuk berangkat. Udah jam segini, nanti telat loh.” ajak Dhea kemudian menarik tangan Alena
pelan hanya dibalas dengan anggukan dari Alena.
Mereka menghabiskan waktu di mobil dengan bercerita dan bernostalgia.

“Eh tau nggak sih, Al? Aldi sekarang kuliah di New York loh, jadi mungkin dia nggak akan datang.”
ucap Dhea kehilangan kontrol akan arah pembicaraannya. Alena hanya terdiam dia tidak tahu
berita itu, tidak ada yang memberitahunya kalau Aldi ternyata kuliah di luar negeri. Hatinya
merasa lega sekaligus kecewa. Melihat Alena yang hanya terdiam membuat Dhea sadar kalau itu
adalah pembicaraan yang harus dihindari.
“Eh maaf Al, udah lah nggak usah dipikirin lagi.” ucap Dhea mencoba memecahkan keheningan
“Santai, Dhe. Nggak apa-apa kok.” sahut Alena kemudian tersenyum kecut. Selanjutnya dalam
perjalanan sampai ke tujuan, mereka hanya diam. Larut dalan pemikiran masing-masing.
“Udah sampai, Al. Yuk turun.” ajak Dhea yang sudah ke luar mobil duluan kemudian disusul Alena
“Wah kok meriah banget ya, Dhe.” ujar Alena takjub. Dhea terkekeh kemudian mengajak Alena
masuk.
Sampai didalam, Alena berpisah dengan Dhea. Dhea pamit ingin bertemu seseorang dan Alena
ditinggalkan sendirian. Alena hanya berdiri mematung mengulas semua kenangan yang pernah
tercipta dimasa itu.
“Hei.” sapa seorang yang langsung membuyarkan lamunan Alena.
“Oh hai, Dani?” tanya Alena lambat-lambat karena takut salah.
“Udah nggak ngenalin aja nih. Baru juga berapa tahun.” sindir Dani sambil tersenyum kecut, Alena
tertawa melihat ekspresi Dani.
“Maaf maaf, Dan. Kamu sih berubah banget gini, jadi nggak bisa diidentifikasi deh.” jawaban Alena
malah semakin membuat Dani menekuk mukanya, melihat Dani yang semakin menampilkan
ekspresi lucu tawa Alena semakin lepas. Sejenak mereka ngobrol dan mengenang masa SMA
sampai Reya selaku pembawa acara membuka acara itu.

“Ya pertama-tama aku ngucapin terimakasih ke temen-temen semuanya untuk kedatangannya.


Terutama nih buat yang bela-belain dateng dari belahan dunia seberang nih.” ucap Reya dengan
gembira, Alena masih belum sadar siapakah yang di maksud oleh Reya.
“Hai teman-teman.” suara bariton seseorang yang terdengar sangat familiar di telinga Alena
membuat Alena membeku, ini suara dia. Tapi Alena mengabaikannya karena menurut Alena tidak
mungkin seseorang yang ada di New York tiba-tiba berada di Indonesia. Tidak mungkin.
Karena letak Alena yang membelakangi panggung membuat Alena tidak melihat siapa orang yang
sedang berbicara di panggung.
“Ya dibalas dong sapaan dari cowok ganteng yang lagi berdiri di depan.” pinta Reya
“Halo, Aldi.” sapa semua orang serempak membuat Alena langsung membalikkan badannya.
Terlihat disana seseorang yang sangat dia kenal sedang berbisik kepada Reya dengan melihat ke
arah Alena. Melihat Aldi berdiri disana ada perasaan cemburu, kangen, kesal semuanya bercampur
menjadi satu.
Perasaan Alena menjadi tidak enak apalagi setelah Reya juga ikut melihat ke arah Alena.
“Ini ada permintaan khusus dari Aldi nih,” ucap Reya dengan riang, Aldi hanya tersenyum yang
membuat perasaan Alena semakin merasa aneh.
“Aldi ingin mendengarkan seseorang bernyanyi.” jantung Alena semakin bekerja tidak normal
“Sambutlah penyanyi kita, Alena Alicia Putri.”
Tuh kan.

Alena merasa jantungnya berhenti bekerja saat itu juga. Dan jika kalian pernah melihat tampang
seseorang yang lambungnya diambil, seperti itulah kira-kira ekspresi yang ditampilkan Alena.
Mukanya pucat, dia tidak pernah merasa percaya diri untuk bernyanyi walaupun dia sering
melakukannya, dengan catatan dia bernyanyi di kamar mandi.
Alena selalu merasa kecil jika disuruh bernyanyi dan sekarang dia harus menyanyi didepan semua
anak angkatannya ada Aldi pula. Reya kurang asem, umpat Alena dalam hati.

“Ayo naik ke atas panggung, Al. Lagunya sudah diputuskan, dan aku yakin kamu bisa
menyanyikannya.” ucap Reya yakin
“Re, ya ampun, aku nggak bisa nyanyi.” jawab Alena pasrah saat sudah diatas panggung.
“Ini permintaan khusus dari Aldi loh.” jawab Reya enteng.
Melihat banyak orang yang melihat dan menjadikannya pusat perhatian membuat badan Alena
menjadi panas dingin tidak karuan.
“Ayo Alena, hitung-hitung buat latihan percaya diri.” batin Alena menyemangatinya. Setelah
mengehela nafas berkali-kali akhirnya Alena memutuskan untuk menerima uluran microphone dari
Reya. Dan dengan menyebalkannya, Aldi berdiri tepat di barisan terdepan. Tapi anehnya bukannya
membuat Alena salah tingkah seperti dulu, tetapi malah membuat Alena lebih tenang. Dan lagu
When We Were Young milik Adele sudah mengalun dengan indahnya dari bibir mungil Alena.

“I was so scared to face my fears. Cause nobody told me that you’d be here. And I swore you
moves overseas. That’s what you said when you left me.” beberapa baris lagu memang berhasil
menyindir Alena, seakan lagu itu memang seharusnya dinyanyikan oleh Alena.
Alena berhasil menyanyikan lagu itu dengan indah dan sukses membuat pendengarnya tersentuh.
“When we were young.” lirik terakhir dari lagu tersebut dinyanyikan oleh Alena lambat lambat.
Perlahan, tepuk tangan mulai menggemuruh memenuhi telinga Alena, semua mata memandang
ke arah Alena terpesona tapi seorang Alena hanya akan memandang ke satu arah, Aldi. Aldi
tersenyum simpul yang dibalas senyuman juga oleh Alena.
“Wow, suaramu sangat indah, Al.” puji Reya
“Ah kamu bisa saja, Re.” pipi Alena merona karena pujian yang dilontarkan Reya. Tapi saat
melihat ke arah Aldi, sudah tidak ada Aldi disana,
“Oh iya sepertinya tadi kamu menghayati sekali. Memang itu lagu berkesan buat kamu?” tanya
Reya
“Iya iya enggak sih, Re. Tapi udah ah, aku turun ya.” pamit Alena yang kemudian terlonjak kaget
saat mendapati Aldi di belakangnya membawa se bucket bunga mawar putih.

“Buat kamu, Al.” ucap Aldi lembut, Alena yang masih tidak percaya dengan apa yang Aldi lakukan
hanya bisa mengambil alih bunga itu dari tangan Aldi.
Kemudian Aldi mulai berlutut dengan sebelah kakinya, dan mengeluarkan sesuatu dari kantongnya
“Al, jangan potong ucapanku dan dengarkan saja. Okay?” tanya Aldi dibalas dengan anggukan dari
Alena
“Sudah 6 tahun yang lalu, saat aku pertama kali melihatmu masuk sekolah. Pertama kali aku
merasa jantungku bekerja tidak normal, melihat kamu yang duduk di pojok ruangan dan tertawa
dengan teman-teman yang lain. Alena, sejak dulu aku menyukaimu, bahkan mencintaimu.
Perasaan bersalah karena membuat persahabatanmu dan Dhea berantakan menghantuiku, karena
itu aku mencoba kuliah diluar negeri, keberadaanku yang jauh bukan berarti aku bisa
menghapuskan perasaanku malah membuatnya semakin besar..
Aku mencintaimu Alena, setiap hari. Maukah kau menjadi pacarku?” ucap Aldi dengan
mengulurkan cincin bermata berlian yang sangat indah. Alena terkejut, ternyata selama ini Aldi
juga mempunyai perasaan yang sama kepadanya, dia senang akan hal itu. Tapi di sisi lain, Alena
merasa ragu karena takut Dhea masih memiliki perasaan pada Aldi. Alena bimbang dan hanya
bisa menatap mata Aldi yang sialnya tidak ada tanda-tanda kebohongan didalamnya. Sorot
matanya masih setajam dulu, hanya saja sekarang terlihat sangat meneduhkan.
Pelan Alena merasa ada yang menepuk bahunya
“Cepat, Al dijawab. Kasihan Aldinya posisi gitu nggak enak loh.” ucap Dhea bersemangat
“Dhe…”
“Udah, itu masa lalu. Aku tahu kamu sahabat yang baik dan sekarang aku minta kekamu,
berbahagialah Al. Kebahagiaanmu sudah menunggu. Jangan pernah ragu apalagi menyerah, terus
berjuang meskipun sulit. Aku akan selalu mendukungmu, sebagai teman, sahabat, saudara, dan
orang yang melihat perjalanan hidupmu selama ini.” Dhea berhasil mengungkapkan kata hatinya
dengan lancar tanpa ada gangguan. Dia ingin Alena berbahagia dengan Aldi.
Melihat Dhea yang bersungguh-sungguh, Alena akhirnya menyerah juga. Dia menatap Aldi dan
mengangguk.
“Iya, Di. Aku mau.” ucap Alena kemudian

Aldi yang mendengar jawaban Alena sama seperti yang dia inginkan merasa sangat senang.
Langsung direngkuhlah Alena menuju kepelukannya. Kini cinta antara mereka tidak akan mereka
batasi, apalagi mereka paksa untuk mati. Karena sejatinya, cinta tidak akan menuju orang yang
salah, setiap cinta yang diberikan pasti memiliki alasan. Persahabatan antara Dhea dan Alena
tetap berjalan seperti yang seharusnya tanpa adanya halangan lagi.

Alena yakin, bahwa Tuhan memiliki cara tersendiri dengan menghadirkan suatu konflik dalam
hidup hamba-Nya untuk mencapai suatu kebahagiaan.

Anda mungkin juga menyukai