Anda di halaman 1dari 5

JANGAN LUPAKAN IDENTITASMU

NAZILA CHOIRUN NISA / 7I / 18

Siang itu, ketika bel tanda istirahat berbunyi, kelas segera dibubarkan. Para siswa
berbondong-bondong mengemasi alat tulis dan bersiap mengisi perut yang keroncongan di
kantin sebelum azan zuhur berkumandang.

Suara riuh teriakan disertai gedebuk langkah sepatu saling susul menyusul membuat kelas
ramai, belum lagi suara murid lain di luar kelas yang bergema di sepanjang koridor. Ada
yang berlari, berjalan bergandengan bahkan ada yang tetap sibuk dengan gadget di tangan
sembari berjalan santai menuju kantin di antara remaja berseragam yang kelaparan.

Jika kantin tempat pertama untuk remaja masa kini makan bersama, maka tempat kedua bagi
sebagian remaja berseragam di kelas Alena, adalah kelas itu sendiri. Alena dan teman-
temannya terbiasa membawa bekal, saling berbagi dan bercerita mengenai hal lucu di rumah
ataupun di kelas hari itu. Biasanya Syeira, Nia, dan Adel akan berkumpul di barisan bangku
Alena sebelum makan bekal, tetapi hari ini alih-alih membuka bekal justru mereka saling
memamerkan foto di handphone masing-masing. Hingga Gibran yang melihat kumpulan
gadis yang dengan tuma'ninahnya terus memantau handphone di tangan masing-masing
tersebut merasa heran.

"Woiy! Cepat ke kantin, makan dulu sebelum azan zuhur biar bisa salat berjamaah. Cepat, ya
anak gadis!" seruan Gibran membuat mereka serempak menoleh padanya.

"Ciyeee ... perhatian banget sih Gibran," goda Syeira sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Iya. Sebentar lagi makan, kok," jawab Alena setelah melihat jam di layar handphonenya.

Bukan Gibran si ketua kelas namanya kalau ia tidak penasaran. Ia pun mendekat sambil
sesekali melirik layar handphone Adel yang dekat dengannya. "Emang lagi bahas apa sih
kalian?" tanyanya penasaran.

"Ini, loh. Jeon Jungkook lagi trending di FIFA World Cup." Adel tersenyum manis bak
mendapat sekardus permen kesukaannya lalu menunjukkan isi artikel pada Gibran. "Kamu
anak cowok suka sepak bola, kan? Masa belum tahu berita FIFA?"
Gibran mengangguk mafhum, menghela napas lalu beristigfar. "Masih juga gantengan aku."

"Aduh, Gibran. Jangan besar kepala," ujar Adel cemberut.

"Sudah-sudah, makan yuk. Daripada debat terus sama Gibran," ujar Alena menengahi
sebelum azan benar-benar berkumandang.

"Ya sudah, buruan. Selesai makan nanti langsung ke mushola biar bisa salat zuhur
berjamaah," ingat Gibran sekali lagi sambil tersenyum pada Alena.

Mereka pun bubar, berhenti sejenak membicarakan trending sepak bola dan segera menuju
kantin.

Dalam perjalanan ke kantin, Alena dan ketiga temannya melihat beberapa kakak kelas sedang
menghadang jalan. Rupanya mereka dengan beraninya berkata penuh rayuan untuk meminta
uang jajan pada salah satu teman Alena, Adam. Alena dan Adel pun memutuskan untuk
menghampiri Adam sedangkan Nia dan Syeira lebih dulu pergi ke kantin. Kakak kelas
melihat mereka berdua sambil tersenyum manis lalu bertanya apakah mereka punya uang
saku lebih?

"Buat apa Kak? Kakaknya mau amal di mushola?" tanya Alena ramah, tak lupa tersenyum
manis.

"Kalau bukan, aku laporin kakak-kakaknya ke guru BK, loh. Minta uang saku buat beli jajan
di kantin ke kita," tegas Adel di samping Adam yang terdiam lesuh.

"Eh, kita cuma bercanda, kok. Lagian guru BK lagi istirahat." Salah satu dari mereka
tersenyum canggung lalu pamit sembari mengatakan lelucon yang sebenarnya tak lucu.

"Makasih Alena, Adel," ucap Adam lega lalu bertanya lagi, "kalian enggak takut sama
mereka?"

"Kamu lebih takut mereka apa sama guru BK?" tanya Adel mendelik, membuat Alena
menahan tawa tapi gagal. Justru ia tertawa dan Adam menggaruk kepalanya, ikut tertawa.
"Lain kali kalau mereka minta uang kamu, jangan di kasih Adam. Kalau kamu kasih, mereka
enggak akan jerah, laporin ke guru BK segera."

Adam mengangguk mantap dan mengajak kedua gadis tersebut ke mushola karena azan
zuhur telah berkumandang dengan mantap menyerukan perintah salat.
Beberapa jam setelah mendinginkan badan dan pikiran dari banyaknya tuntutan tugas, murid
kelas 7A berkumpul di ruangan eskul karena mendapat kesempatan menjadi grup paduan
suara. Seperti biasa, mereka ramai dengan kelompok masing-masing. Entah membicarakan
artikel FIFA World Cup 2022, mendiskusikan rencana jalan-jalan atau membuat konten tik-
tok hingga saling menjahili.

"Eh, ternyata Alena hampir enggak pernah posting foto muka atau konten gitu di
instagramnya. Iya, kan?" celetuk Nia sambil memperlihatkan akun Alena pada Syeira dan
Adam yang ikut duduk di barisan bangku milik Nia.

"Iya, dia enggak pernah posting apapun kecuali kalau ada tugas," jawab Syeira setuju lalu
menambahkan, "terus dia juga tertutup banget, contoh seorang ukhti banget." Adel
menyentuh jilbabnya, terkesan heran dengan Alena yang bisa memakai jilbab panjang hingga
menutupi dada dan punggung.

"Kita kalau pakai jilbab juga enggak begitu panjang. Kayak sok alim gitu." Nia melirik Alena
yang diam-diam juga mendengar percakapan mereka tapi dia tetap diam.

Brian yang menyadari percakapan sinis Nia dan Syeira merasa tidak enak pada Alena padahal
bukan dia yang menjadi obrolan utama. "Ya, kalian juga coba pakai jilbab Alena biar jadi
muslim modern. Enggak ada salahnya, kan?" ucap Brian mengalihkan topik. Mereka pun
diam, tetapi tetap berbisik-bisik hingga kelas eskul selesai.

Keesokan harinya, Alena masuk kelas dan disambut dengan suasana suram bahkan beberapa
temannya meliriknya heran. Ia menjadi tak nyaman tapi berusaha tersenyum. Adel tersenyum,
menyuruh Alena segera duduk di sampingnya untuk membahas berita terbaru terutama sikap
Nia yang tiba-tiba menjauh.

"Apa aku buat salah sama Nia?" tanya Alena ragu-ragu.

Adel menggeleng tegas, "enggak, Alena. Mereka cuman iri sama kamu, enggak perlu
didengarkan, ya."

"Tapi memangnya aku aneh ya?" Alena semakin sedih.

"Kamu Islam, sudah sewajarnya kamu menutup aurat seperti yang guru agama ajarkan.
Enggak ada yang salah, Alena. Aku kalau ke gereja juga akan pakai pakaian yang terbaik."
Brian menyambung dengan tegas, ia tersenyum dan berusaha menyemangati Alena.
Adel mengangguk setuju seraya mengacungkan jempol. "Brian saja masih bisa toleransi.
Jangan mau kalah sama mereka, Alena. Aku juga kayak kamu, kok. Sama-sama Islamnya,"
ucap Adel cengengesan.

"Alena, kamu enggak gerah pakai jilbab sepanjang itu apalagi kamu jadi pusat perhatian
karena persis kayak udah jadi Bunda, kenapa enggak jadi anak pesantren?" Nia mendekat,
memandangnya penasaran disusul Adam dan Syeira.

"Iya, kamu juga cuma pura-pura peduli sama aku, kan?" ucap Adam lesuh.

"Enggak. Aku memang mau bantu kamu," jawab Alena.

"Jujur ya, 'Sebaik-baik manusia adalah yang terbaik budi pekertinya dan yang paling
bermanfaat bagi manusia lainnya.' Bukannya guru kita pernah bilang gitu? Kok kalian jadi
kasar, begini?" Adel membela Alena, tak mau kalah dengan pertanyaan Adam.

"Nah, berarti kan kita harus saling membantu, wajar kalau Alena kemarin bantu kamu,
Adam." Brian menengahi dengan halus.

"Iya, sih. Tapi Alena sok centil hanya karena dia lebih disiplin, lebih tertutup dan lebih
pokoknya," balas Nia masih memandang Alena dengan sinis.

Gibran yang mendengar perdebatan tersebut segera menengahi, berusaha meluruskan


permasalahannya. "Bukannya Islam memang menyuruh kaum hawa untuk menutupi auratnya,
Nia? Kamu kaum Adam atau kaum Hawa?" tanya Gibran yang tiba-tiba muncul,
mengagetkan Nia. "Itu perintah Allah di surat Al Ahzab ayat 59, kurang lebih, 'Wahai Nabi!
Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin,
"Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar
mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha
Pengampun, Maha Penyayang'." Gibran tersenyum kemudian memandang Alena yang
mengangguk setuju.

"Iya. Karena aku perempuan dan Islam, jadi kewajibanku untuk menutup aurat. Aku juga
masih berusaha istikamah, kok. Meski zaman sudah modern dengan banyak aplikasi dan
konten, bukankah kita harus tetap taat? Dengan saling peduli, toleransi seperti Brian dan kita
yang berbeda agama, juga tetap disiplin." Alena menjelaskan dengan pelan agar tak
menyinggung perasaan Nia.
"Hanya karena zaman sudah begitu maju, kita sebagai generasi muda jangan sampai
kehilangan identitas masing-masing. Jangan lupa kalau kita ini beragama Islam yang punya
kewajiban menutup aurat, menjalankan salat dan saling membantu. Banyak lagi, sih, kita juga
pelajar yang harus belajar untuk masa depan, menghormati guru dan mengerjakan tugas,"
sambung Adel sambil sesekali mendelik.

"Jangan juga sampai tertukar identitas. Buat Adam, nih, jangan cuma rajin salat Jumat. Nanti
kuajak salat tiap hari Minggu, mau?" goda Brian menasehati Adam yang cengengesan karena
malu.

Akhirnya Nia, Syeira dan Adam meminta maaf pada Alena karena menjauhinya tanpa sebab
bahkan berusaha membuatnya tampak aneh. Mereka bertujuh pun mulai berbaur kembali,
bercanda dengan teman sekelas lainnya juga meminta maaf karena bersikap berlebihan pada
teman sekelas.

Anda mungkin juga menyukai