Anda di halaman 1dari 10

Judul Cerpen Arti Hijabers Sejati

Cerpen Karangan: Syarifa Khamila


Kategori: Cerpen Islami (Religi)
Lolos moderasi pada: 19 November 2016
Aliya memandangi sosok yang kini ada di cermin kamarnya, persis berhadapan
dengannya. Di sana, di cermin kamar kosnya, terbentuk sebuah siluet wanita yang amat
anggun dengan balutan hijab rapat yang menutupi seluruh tubuhnya.
Sangat cantik, sungguh.
Yaah itu adalah dirinya sendiri. Aliya anastasya Nadia dengan penampilannya yang
baru.
Perasaannya campur aduk antara bahagia, haru, cemas, takut dan juga ragu. Ragu, apakah
ia pantas mengenakan pakaian seperti ini setelah apa yang ia lakukan?
Aliya menggelengkan kepalanya kuat kuat, ia tak pantas dengan pakaian serapi ini. Tapi,
kembali terngiang ucapan mbak Hana, senior sekaligus guru ngajinya saat ini kamu tak
perlu memantaskan diri dengan cara memperbaiki dulu prilakumu. Tapi perbaiki
penampilan sekaligus prilakumu. Jangan menunggu diri merasa pantas untuk berhijab,
tapi berhijablah dan jadikan dirimu pantas. Tutur mbak Hana saat ia mengadukan
masalah keraguannya untuk berhijab.
Berhijab memang tidak membuatmu jadi baik, tapi sudah jelas membuatmu lebih baik.
Berhijab juga tidak mengecualikanmu dari kesalahan, namun jelas menjadi salah satu
jalan meniti kebaikan. Apa pendapat manusia tentang hijabmu tidak masalah, jika engkau
sudah melabuhkannya karena Allah taala tutur mbak Hana panjang lebar.
Akhirnya, ia memantapkan diri dan perlahan berjalan ke arah pintu kosnya dan ke luar
dari sana. Seketika, cahaya matahari menerpa tubuhnya yang kini terbalut pakaian
muslimah super rapat. Ini adalah hari pertamanya mengenakan hijab. Ia tak tau harus
berbuat seperti apa. Akhirnya ia hanya duduk dan berdiam diri sambil menunggu bus
menuju kampusnya datang.
Beberapa menit kemudian, bus rute kampusnya datang, kini ia tidak bersikap grasak
grusuk seperti biasanya, ia kini bersikap anggun, dan sabar layaknya seorang hijabers
untuk mendapat giliran masuk ke dalam bus yang penuh sesak.

Setelah berada di dalam, ia memang tidak mendapat tempat duduk, sehingga ia harus
sabar berdiri kurang lebih 15 menit kedepan hingga sampai di kampusnya. Kalau ia tidak
ingat janjinya untuk mempertahankan hijabnya, ia pasti merasa sangat tersiksa.
Bayangkan saja, berdiri di antara desakan orang orang, Dalam cuaca yang panas seperti
sekarang, ditambah Dengan pakaian muslimah yang kini ia kenakan.
Sabar.. sabar.. Aliya mencoba menyemangati dan menguatkan hati dan diri dengan
keadaan ini.
Ia menguatkan hati dan berpikir mbak Hana aja yang tiap hari ngejalanin rutinitas kayak
gini tampak baik baik aja, aku pun pasti bisa!! tekadnya dalam hati.
Selama 15 menit perjalanan, Aliya terus menerus memikirkan akan seperti apa reaksi
teman teman dan sahabat gengnya saat mereka melihat Aliya dengan pakaian seperti ini.
Setibanya di kampus, ia benar benar merasa nervous, ia sampai gemetar dan sempat ragu
untuk melangkahkan kaki memasuki gerbang, hingga sebuah sapaan lembut
membuyarkan lamunannya.
Assalamualaikum ukhti Aliya..? subhanallah.. anti cantik sekali.. tutur mbak Nana
-sahabat mbak Hana di rohis- sambil menatapnya lekat lekat.
Aliya hanya tersenyum malu mendapat perkataan sarat kekaguman dalam nada bicara
mbak Nana.
Mari ukhti, kita masuk ajak mbak Nana sambil menggamit lengannya. Sehingga mau
tak mau Aliya terbawa memasuki gerbang, dan benar saja, semua mata kini tertuju
padanya.
Tak usah hiraukan mereka ukhti.. jalan terus saja, tapi sekali kali tebarkan senyuman
ramah. Bisik mbak Nana di telinga Aliya.
Aliya mengikuti saran mbak Nana berpura pura cuek dengan keadaan sekitar.
Hingga..
Eh buset dah.. Aliya, ni lo kan? ya ampun.. lo kemasukan jin apaan..? tumben banget
pake pakaian kayak gini.? Teriak Arya -sahabat gengnya- sambil mendekatinya.
Aliya hanya terdiam melihat reaksi dari Arya yang pastinya merasa kaget dengan
perubahan style Aliya yang notabene seorang ketua geng motor di kampus mereka.
Tiba tiba sebuah tangan lainnya menarik Aliya dan membawanya ke gudang basecamp
mereka dulu. Ternyata yang membawanya adalah Aurel -salah satu sahabatnya yang lain-.
Lalu ia didudukan di sebuah kursi, langsung saja mereka menanyakan alasan kemana saja
Aliya selama beberapa minggu ini dan juga kenapa ia mengubah penampilannya.
Akhirnya mau tak mau Aliya menjelaskan alasan hijrahnya.
Flash back on
Aliya sedang berada di sebuah Padang rumput hang gersang dan panas, tak ada siapa
siapa di sana. Aliya hanya sendiri. Tiba tiba dari kejauhan, ia melihat segerombolan
makhluk mengerikan dan menjijikan berlari ke arahnya. Sepertinya mereka sangat
bernafsu untuk segera memakan habis tubuhnya. Lalu datanglah seorang kakek tua di
hadapannya dan menghadang langkah makhluk tersebut, lalu kakek tersebut berkata
Rubahlah kebiasaan burukmu sebelum kamu benar benar hancur dimakan oleh mereka

ucap kakek tersebut seraya menunjuk makhluk tersebut. Lalu kakek dan makhluk tersebut
hilang.
Kini Aliya berada di sebuah jalan yang di samping kanan dan kirinya terdapat jurang
amat dalam yang dipenuhi api yang berkobar begitu ganas. Di dalamnya, ia melihat
banyak jenis manusia yang sedang mengalami siksa sangat dahsyat, ada yang digantung
dengan rambutnya, ditusuk -maaf- kemaluan hingga menembus ke mulutnya, dan
berbagai jenis siksaan lain yang sangat menyeramkan.
Dari arah depannya muncul kakek kakek tadi dan berkata Ketahuilah, semua siksaan itu
akan kau alami jika kau tak segera memperbaiki diri dan meninggalkan semua kebiasaan
burukmu. Ucap kakek tersebut.
Kau mungkin tak tau, bahwa sebab prilaku bejatmu, ayah dan ibumu sengsara di kubur
mereka. Lanjut kakek tersebut tajam dan dalam.
Aliya terhenyak mendengar kenyataan itu, ia tidak akan tega membiarkan ayah dan
ibunya menanggung kesalahnnya.
Sekilas, ia diperlihatkan siksaan yang sedang dialami orangtuanya, ia merasa sangat
terpukul. Ia memanggil manggil ayah dan ibunya, tetapi mereka hanya sanggup
memperlihatkan wajah memohon supaya Aliya berhenti dari segala kebiasaan buruknya.
Ia terbangun dari mimpi buruk tersebut dalam keadaan bercucuran keringat di seluruh
tubuhnya.
Keesokan harinya, ia bertekad untuk berhijrah menuju jalan yang diridhoi Allah, ia tidak
akan bisa membiarkan orangtuanya yang telah tiada menanggung siksa atas segala
kebiasaan buruknya.
Siang harinya, ia mendatangi kos-an tempat tinggal mbak Hana, ketua rohis Putri di
kampusnya. Ia mengeluarkan segala unek uneknya dan meminta masukan dari mbak
Hana. Mbak Hana bilang Niatmu sudah baik untuk memperbaiki diri kamu, menjadi
muslimah yang baik memang tak mudah awalnya, apalagi bagi seseorang yang
keseharianya penuh dengan hura hura. Tapi, tak ada kata tidak mungkin untuk berubah ke
jalan yang lebih baik, walaupun sekarang kamu mungkin motivasimu berubah karena
orangtuamu, percayalah, suatu saat nanti kau akan merasa bahwa kau berubah karena
Allah semata, mbak akan dukung penuh pilihan hijrahmu. ujar mbak Hana panjang
lebar.
Jadi begitu ceritanya, selama seminggu ini aku belajar memantapkan diri dan mengikuti
berbagai seminar tentang hijrah dan memcoba memperkuat akidah dan keimananku, maaf
kawan kawan, aku tidak akan pernah lagi melakukan hal hal seperti dulu, aku merasa
nyaman dengan keadaan dan pilihan hidupku saat ini, walaupun aku belum baik. Tapi,
dengan memakai hijab ini, aku merasa termotivasi untuk menjadi pribadi lebih baik.
tutur Aliya mengakhiri ceritanya.
Selama sesaat, teman temannya termenung, dan tak lama kemudian, mereka serentak
menyatakan bahwa mereka akan mengikuti jejak hijrah yang telah dilalui oleh Aliya.
Selesai

Judul Cerpen Liburan di Yogyakarta


Cerpen Karangan: Sanita Chairunnisa
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Liburan
Lolos moderasi pada: 13 November 2016
Sinar mentari telah cukup tinggi untuk dapat mengintip menembus jendela kamar
Senna. Ia terbangun dari tidur dan bergegas bangkit dari ranjang. Raut muka
bahagia terpancar menyapa liburan kali ini. Hari kemarin, ia telah menyiapkan
kebutuhan sandang untuk beberapa hari kedepan. Senna, Ibu, dan kedua kakaknya
akan beranjak dari kota ini untuk menjejakkan kaki di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Setelah selesai mempersiapkan diri, Senna segera menghampiri keluarga yang
telah menunggu di meja makan.
Ayo, cepat makan agar kita tidak ketinggalan kereta, perintah Ibu yang
disambut dengan anggukan tanda setuju sebagai jawaban.
Tepat pada pukul 7 pagi, Senna dan keluarganya berangkat ke tempat singgahnya
kereta yang akan ditumpangi, Stasiun Sudimara. Sebelum tiba di Yogyakarta,
mereka singgah di Stasiun Senen, Jakarta untuk berpindah ke kereta yang akan
melaju ke tujuan mereka. Sudah menunggu sekian jam, kereta belum datang juga.
Hal itu sedikit mematahkan semangat liburan Senna.
Kapan, kereta kita datang, bu? Tanya Senna yang mulai tidak sabar.
Menurut jadwal, kita akan berangkat dari sini pukul 12, jawab Ibu yang
disambut dengan helaan napas dari Senna.
Sabar Senna, kami tahu kamu sudah tidak sabar. Balas kakak Senna. Senna
hanya membalasnya dengan anggukan malas.
Saat matahari berada sejajar dengan kepala, kereta tujuan Yogyakarta datang.
Seketika semangat Senna membuncah kembali saat kakinya menyentuh lantai
kereta. Senyumnya mengembang tak terbendung disertai mata yang berbinar.

Di perjalanan, mata Senna tak henti-hentinya memandang menembus jendela.


Sejak dulu, Senna sangat mengagumi keindahan alam ciptaan Tuhan. Tak jarang
pula, kedua kakaknya mengajak Senna bersenda gurau. Mereka sangat menikmati
perjalanan mereka menuju Yogyakarta.
Tak terasa, mentari mulai menyembunyikan sinarnya. Pemandangan terbenamnya
sang surya yang dihiasi dengan semburat gradasi jingga kemerahan di ufuk barat
kini telah berubah menjadi hitam kelam. Jarum jam telah menunjukkan pukul 8.00
malam.
Selamat Malam, untuk penumpang kereta tujuan Stasiun Lempuyangan
diharapkan untuk segera memeriksa barang bawaan anda dan hati-hati melangkah.
Terimakasih, suara dari pusat informasi telah menyebut stasiun yang dituju
Senna.
Senna, tolong bantu bawa tas yang ini, perintah Ibu sembari menunjuk tas yang
berukuran lebih kecil dari yang lainnya. Kedua kakak Senna juga membantu
membawa tas bawaan mereka.
Senna berjalan di belakang Ibu dan kedua kakaknya menuruni kereta. Mereka
berjalan ke luar stasiun. Senna menaruh pandang ke sekitar stasiun yang tidak
terlalu ramai malam itu.
Aku mau membeli minum di sana dulu, ya! Seru kakak pertama Senna, Mbak
Kintan yang sepertinya telah menahan dahaganya sejak saat di kereta.
Kita titip teh botolan, ya, mbak! Kini mbak Tasya yang membalas.
Sembari menunggu minuman, Senna mengeluarkan telepon genggam dan
mengupdate media sosialnya. Hal itu menuai banyak komentar dari teman-teman
Senna. Mulai dari yang mengingatkan Senna untuk hati-hati, hingga yang menanti
buah tangan khas Yogyakarta dari Senna.
Ini Senna minuman kamu, Mbak Kintan menghampirinya dan memberikan satu
botol teh.
Ayo kita langsung panggil taksi dan mencari hotel! Ajak Ibu sembari berdiri dan
langsung berjalan ke luar stasiun diikuti oleh ketiga anaknya.
Senna, Ibu, Mbak Kintan, dan Mbak Tasya menaiki taksi untuk menuju hotel.
Mereka akan bermalam di Hasian Hotel. Hotel yang berposisi tidak jauh dari Jl.
Malioboro itu adalah hotel pilihan Mbak Tasya.
Sesampainya di hotel, Mbak Kintan memesan kamar untuknya, Ibu, dan adik
adiknya. Senna dan kedua kakaknya lalu membantu Ibu merapikan barang-barang
bawaan mereka di kamar yang akan menjadi tempat beristirahat selama berada di
Kota Gudeg ini.

Bagaimana kalau setelah ini kita jalan-jalan ke Malioboro? usul Senna penuh
semangat.
Ibu pikir kita harus istirahat sekarang, Senna. Ini sudah pukul 8.30, lho, balas
Ibu.
Mbak Tasya ikut membuka suara, Menurutku usul Senna bagus, Bu. Kita, kan
belum makan malam. Kita bisa mencari makan malam sekaligus menikmati Jalan
Malioboro malam hari, Bu.
Ibu terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya menganggukan kepalanya seraya
mengangkat ujung-ujung bibirnya,
Baiklah, mandilah dulu baru kita bisa pergi. Ucap Ibu yang disambut gerakan
cepat ketiga anaknya menuju kamar mandi.
Setelah semua siap, mereka meninggalkan hotel dan bergegas ke Jalan Malioboro.
Mereka pergi dengan berjalan kaki karena Hotel Hasian dengan Jalan yang paling
diminati para wisatawan itu hanya berjarak kurang lebih 50 meter.
Setelah sedikit berjalan, Senna akhirnya melihat papan nama Jalan Malioboro. Ia
mengajak keluarganya mengambil beberapa gambar mereka berada di depan
papan nama jalan tersebut. mereka lalu melanjutkan mencari kudapan makan
malam dan memilih nasi kucing di warung kecil sekitar Jalan Malioboro.
Santapan malam telah habis dimakan. Senna dan keluarganya menyusuri Jalan
Malioboro sembari melihat-lihat dagangan yang dijajakan penjual dengan harga
yang sangat miring. Senna menaruh perhatiannya ke tas berwarna cokelat yang
memiliki desain sederhana dan santai.
Tas ini berapaan, Bu? Tanya Senna saat dirinya telah berada di depan berbagai
macam tas yang dijual.
Lima puluh rIbu, jawab sang penjual dengan logat medok.
Tiga puluh, boleh? Senna berusaha bernegosiasi harga dengan penjual.
Penjaja tas tersebut berpikir sesaat sebelum akhirnya menyetujui kesepakatan
harga yang ditawar Senna,
Ya, ya sudah, boleh, dik.
Senna lalu merogoh saku celananya dan meraih tiga lembar uang kertas sepuluh
ribu dan memberikannya ke penjual. Setelah mendapatkan tas tersebut, ia
langsung menghampiri keluarganya dengan gembira. Senna memperlihatkan tas
yang baru didapatkannya. Kedua kakaknya juga menunjukkan barang yang baru
dibeli kepada Senna. Saat dirasa penat, Senna dan keluarganya kembali menuju
hotel untuk mengistirahatkan tubuh mereka guna menyambut hari esok.
Di awal keesokan hari, Ibu membangunkan ketiga buah hatinya untuk bersiapsiap pergi ke destinasi wisata selanjutnya, Candi Borobudur. Mereka sangat
senang dan bersemangat untuk mengunjungi candi. Memang, kali ini bukan yang
pertama untuk ketiga bersaudara itu. Akan tetapi, antusias mereka tidak berkurang
sedikitpun.

Sebelumnya, Ibu telah menyewa mobil dan supir yang akan mengantar mereka
hari ini. Ya, Ibu memang sosok yang sangat memperhatikan segala sesuatu dengan
detail. Mereka berangkat dari hotel pada pukul 7 pagi agar dapat menikmati
suasana candi sebelum manfaat mentari pagi yang memiliki berbagai khasiat
hilang sudah.
Sesampainya di sana, Senna dan kedua kakaknya langsung menuju candi dan
mengambil gambar stupa-stupa Candi Prambanan. Senna sangat menikmati
keindahan seni relief yang terpampang di dinding candi. Ia merasa sedang
mengikuti suatu cerita dari gambar gambar pada relief tersebut.
Senna, ayo ke bagian sana! Seru Mbak Tasya yang sedang menyusul ibu dan
kakaknya ke bagian lain candi.
Iya, sebentar, Senna kembali mengikuti alur cerita sejarah Hindu-Buddha yang
ada. Ia terus memperhatikan gambar-gambar tersebut hingga saat tersadar, mata
Senna tidak dapat menangkap sosok Ibu dan kedua kakaknya. Rasa panik
menjalar di tubuh Senna. Ia mencoba berjalan ke bagian lain candi tetapi
keluarganya tidak juga ia temukan.
Di sisi lain, Ibu dan kedua kakak Senna juga tengah mencarinya. Mereka
mendatangi tempat terakhir bersama Senna, tetapi Senna sudah tak lagi berada di
sana. Takut nantinya semakin terpecah, mereka memutuskan untuk tidak
berpencar. Telah dicarinya ke seluruh penjuru candi, Senna tak juga ditemukan.
Ibu menemukan ide untuk memanggil Senna dari pusat informasi agar lebih
mudah menemukannya. Mereka pun menuju pusat informasi yang berada di luar
bagian candi.
Mas, saya terpisah dengan anak saya, Senna. Apa bisa minta tolong melakukan
panggilan dari pusat informasi? Tanya ibu kepada pengawas yang berada di
ruang pusat informasi.
Oh, iya boleh bu. Silahkan ditulis nama anak ibu, jawab petugas ramah.
Sementara itu, Senna yang lelah sudah karena mengelilingi candi duduk di tepian
candi. Ia sangat bingung harus bagaimana. Air mata yang sedari tadi berusaha
dibendungnya, tak tertahan lagi sudah. Senna meneteskan air mata dan segera
mengelapnya dengan punggung tangan.
tes.. tes..
wah, Bu, maaf sepertinya ada kendala teknis. Mic kami sedang tidak bekerja.
Saya akan mengirim informasi ke bagian sarana prasarana untuk mengecek dan
mebenarkannyya dengan segera. Petugas terlihat langsung menelepon seseorang
setelah member kabar buruk itu kepada Ibu.
Kekhawatiran Ibu memuncak sudah. Sedari tadi, Ibu dan kedua kakak Senna
berdoa agar mereka dapat bertemu kembali dengan Senna.

tes.. tes.. terdengar suara menggema dari dalam ruang informasi diikuti oleh
speaker.
Kepada Senna Putri untuk menuju ruang pusat informasi barat. Sekali lagi,
kepada Senna Putri untuk segera menuju ruang pusat informasi karena keluarga
menunggu. Terima kasih.
Micnya sudah bekerja, Bu. Senna pasti akan mendengarnya. Seru Mbak Kintan
kegirangan.
Senna yang sedang duduk di pinggiran candi segera menuju ke tempat yang telah
disebutkan dengan kecepatan tinggi setelah mendengar pengumuman tersebut.
Sesampainya di sana, ia malah semakin dibuat heran karena keluarganya tidak
terlihat barang sedikit. Dengan masih berharap akan bertemu keluarganya di sana,
ia bertanya kepada salah satu petugas.
Mas, saya Senna Putri yang tadi dipanggil ke ruang pusat informasi. Dimana
keluarga saya, ya mas?
Kalau saya tidak salah, adik dipanggil ke ruang pusat informasi Barat, ya? Di sini
adalah ruang pusat informasi Timur. Jelas petugas tersebut.
Senna mengucap terima kasih dan langsung kembali berlari ke tempat yang
berseberangan menembus candi. Rasa penat hilang sudah setelah ruang pusat
informasi terlihat. Dilihatnya pula keluarganya yang sedang duduk menunggu
kedatangannya. Senna langsung menghampiri mereka dan memeluk Ibu terlebih
dahulu, dilanjutkan dengan memeluk kedua kakaknya.
Senna, maaf ya, kami tidak seharusnya meninggalkanmu tadi. Kami seharusnya
menunggumu, Ucap Mbak Tasya saat memeluk Senna. Ia sangat merasa bersalah
karena tidak menunggunya terlebih dahulu untuk menyusuk Ibu dan kakaknya.
Maafin Senna juga Bu, mbak. Senna sudah menyusahkan. Senna seharusnya
tidak memisahkan diri seperti ini, Balas Senna yang juga merasa bersalah kepada
Ibu dan saudara-saudaranya.
Sudah, kita tidak perlu menyalahkan diri sendiri. Kita ambil hikmahnya saja dari
kejadian ini, ibu menasihati mereka.
Ayo, kita sebaiknya kembali ke hotel, Mbak Kintan berniat menyudahi
perjalanan wisata hari ini. Ia mengkhawatirkan kejadian lain-lain akan terjadi.
Selain itu, sinar mentari sudah mulai terasa panas di kulit.
Usul Mbak Kintan disetujui seluruh anggota keluarga. Mereka berjalan
berdekatan satu sama lain menuju mobil.
Perjalanan kembali menuju hotel terasa sunyi. Semua kelelahan akibat kejadian
yang tidak begitu mengenakkan hari ini. Senna dan Ibu tertidur di kursi tengah
sedangkan kedua kakak Senna duduk dalam diam menatap ke luar jendela.
Sesampainya di hotel, mereka merencanakan ulang jadwal mereka hari ini.
Tadinya, Ibu akan mengajak mereka ke pantai. Tetapi, mereka memikirkan ulang
rencana itu.
Sebaiknya kita ke Malioboro lagi saja, ucap Senna.
Atau kita tetap di hotel untuk sisa hari ini, Mbak Kintan berusul

Baiklah, kita akan tetap di hotel dan ke Jalan Malioboro malam nanti, Ibu
akhirnya membuat keputusan yang langsung disetujui ketiga anaknya.
Semenjak kejadian itu, Senna tidak lagi suka mengunjungi candi. Ia akan melihat
gambar-gambar candi di buku atau internet untuk mengetahui kisah sejarah masa
Hindu-Buddha.
Cerpen Karangan: Sanita Chairunnisa

Anda mungkin juga menyukai