Anda di halaman 1dari 144

BIDADARI

YANG DI
CARI
Ketika hati tak mampu mengungkapkan cinta. hingga
menyisakan kerinduan yang membara. Hanya goresan
tinta yang mampu melukiskannya. Namun, ia tetaplah
goresan tinta yang tak akan mampu menghapus rindu
itu. SHA

0
Sekapur Sirih

Ketika hati tak mampu mengungkapkan cinta.


hingga menyisakan kerinduan yang membara. Hanya
goresan tinta yang mampu melukiskannya. Namun, ia
tetaplah goresan tinta yang tak akan mampu menghapus
rindu itu.

Karya ini hanyalah sebuah coretan tinta dari


seorang perindu yang tak kunjung terobati. Tetapi
harapannya kepada ke-Maha Rahman-an dari sang
Khaliqmembuatnya untuk bertahan dan bersabar. Berharap
cinta dan rindunya berbuah kemanisan dan kebahagiaan
tiada tara di dunia dan akhirat.

Teruntuk kamu yang kurindu. Allah memang tak


menjanjikan kita berjodoh. Aku hanya ingin berjalan dan
berjuang menujumu. Goresan tinta yang lahir dari rindu
yang kau ciptakan ini kupersembahkan untukmu. Semoga
akulah Bidadari Yang Kau Cari.

Salatiga-Juwangi, 2018

1
1

Sekilas kulihat mata gadis itu berkaca-kaca, lalu


dengan cepat wajahnya menunduk. Beberapa saat
kemudian ia membalikkan badan dan bergegas
menjauhiku usai mengatakan ‘maaf’ yang hampir tak
terdengar. Aku melihat sekelilingku, kami telah menjadi
pusat perhatian. Fajar menepuk pundakku dan mengajakku
beranjak. Sebenarnya masih ada satu mata kuliah lagi hari
ini, tapi kejadian tadi membuat pikiranku keruh. Aku
merasa iba dengan gadis itu, seandainya aku berada
diposisinya pastilah aku malu menampakkan mukaku di
kampus.

Aku sudah tidak mood lagi untuk kuliah dan


memutuskan untuk istirahat di kamar kos Fajar.
Kurebahkan tubuhku di kasur.

Aku terbangun dan beranjak membuka pintu ketika


mendengar suara Fajar dari luar . Fajar menaruh tasnya di
atas meja belajarnya yang penuh dengan tumpukan buku.
Kulihat jam dinding yang menunjuk angka dua.

2
“Astaghfirullah, aku belum dhuhur,” gumamku
lalu bergegas mengambil air wudlu. Kejadian dikampus
tadi cukup membuatku terus kepikiran hingga tertidur, aku
sengaja tidak masuk kuliah karena percuma aku tidak akan
bisa konsentrasi, dan atas saran Fajar aku istirahat di
kamar kosnya sekaligus menenangkan pikiran.

“Masih rajin sholat aja bro, pantes aja jadi cowok


idaman di kampus,” ujar Fajar setengah meledek.

Aku melipat sarung yang kugunakan untuk sajadah


lalu meletakkan di atas lemari pakaian. Meskipun seorang
muslim Fajar nggak pernah sholat, terkadang aja kulihat
dia sholat Jum’at. Jangankan sajadah sarung aja aku bawa
dari rumah.

“Kamu kenal gadis tadi bro?” tanyaku sambil


membuka al-qur’an digital di hp,

“Emang kamu nggak kenal?” tanya Fajar dari balik


komik Conan-nya. Aku menggeleng.

“Ya udahlah nggak usah dipikirin. Kan sudah biasa


kamu di teror penggemar-penggemarmu.” Jawab Fajar
enteng.
3
Jawaban Fajar membuatku teringat miscall
seseorang yang sering membuatku terbangun ditengah
malam beberapa waktu lalu. Aku kemudian mencari
nomornya di panggilan masuk lalu ku-save nomornya.
Aku lihat di kontak wa-ku, nomornya masuk lalu kulihat
foto profilnya tetapi tidak ada fotonya, hanya gambar
mawar merah dengan tulisan I LOVE MUHAMMAD.

“Kasihan dia Jar,” ucapku pelan, “dia pasti malu


banget dengan kejadian tadi,”,

“Tumben kamu mikirin penggemarmu,” sahut


Fajar setengah acuh, matanya masih tidak lepas dari
komiknya dengan tubuh bersandar di dinding dengan
posisi setengah tidur.

Fajar benar, selama ini aku memang tidak pernah


mempedulikan para perempuan-perempuan yang
mengumbar dan berterus terang mengungkapkan perasaan
cinta palsunya padaku. Karena, kupikir cinta mereka
hanya nafsu sesaat belaka. Tapi gadis tadi berbeda, dia
sepertinya sangat kecewa rahasia hatinya diketahui banyak
orang. Dari raut wajahnya ia sangat terpukul dan merasa
hina, ia bahkan meminta maaf padaku.
4
~0~

Satu bulan telah berlalu dari kejadian siang itu, aku


tak lagi melihat gadis itu di kampus, pun sebelum kejadian
itu. Dia seperti hantu yang datang tiba-tiba lalu pergi entah
kemana. Jangan-jangn dia memang bukan manusia.

Ah, sudahlah. Aku berusaha melupakan kejadian


itu. Meskipun dalam hati aku masih berharap bertemu
dengannya untuk minta maaf. Ya, walaupun aku tidak tau
salahku apa tapi aku tetap ingin meminta maaf.

~0~

“Fik, jangan lupa nanti sore ngerjain tugas makul


etika penyiaran.” Kata Ulya yang sudah berada
disampingku bersama Amri. Aku mengangguk, sedikit
tergagap karena terkejut.

“Kita ngumpul dikontrakan Amri ya,” lanjut Ulya


lagi,

“Hah,” aku masih gagap,

“oh, oke.” lanjutku cepat sambil hendak berlalu.

5
Ulya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi aku
segera melangkahkan kakiku buru-buru. Hari ini aku ingin
segera pulang dan beristirahat, sejak tadi malam aku
belum tidur. Akhir-akhir ini aku memang serig begadang
untuk mengebut skripsiku. Aku ingin segera lulus.

Aku memacu astreaku menelusuri Jalan Raya,


kemudian berbelok memasuki kawasan UIN Sunan
Kalijaga, terus menelusuri jalan aspal itu lalu berbelok
kanan memasuki gang kecil tak lama kemudian aku
sampai di jalanan aspal kemudian berbelok kanan lagi, aku
mengurangi kecepatan motorku meskipun kecepatan
maksimalnya hanya 60 Km/Jam. aku menembus pagar
besi berwarna hijau, lalu kuparkirkan motorku didepan
bangunan yang menyatu dengan masjid. Disinilah tempat
tinggalku. Aku dan Mas Alfan menyebutnya Jannati.

Sudah dua tahun aku menjadi marbot masjid


bersama Mas Alfan, kakak kelasku waktu SMP. Lumayan,
setidaknya aku sudah tidak pusing lagi memikirkan uang
makan dan bulanan buat bayar kos. Meskipun tidak
seberapa setidaknya uang hasil jadi marbot bisa untuk
mengisi perut. Atas bantuan Mas Alfan aku juga bisa

6
ngeles ngaji anak-anak diperumahan sebelah.
Lumayanlah, setidaknya aku tidak perlu mengandalkan
kiriman ibu untuk memenuhi kebutuhanku.

Aku tiba di Masjid Al-Muhajirin bersamaan


dengan dua orang laki-laki, mereka memarkir motornya
tepat disebelah motorku.

“Oh, Mas Ferdi dan Habib” Sapaku ketika mereka


membuka helmnya. Keduanya adalah teman sekampus
Mas Alfan. Aku segera mempersilahkan mereka masuk.

Aku mempersilahkan mereka duduk diruangan


5X5 itu, tempat tidur sekaligus ruang tamu. Sebenarnya di
depan ada semacam pendopo yang biasa digunakan untuk
anak TPQ. Aku dan mas Alfan biasa menggunakannya
untuk menerima tamu-tamu kami. Tetapi Mas Ferdi dan
Habib sudah biasa kesini, sekedar mampir, numpang
sholat, sesekali juga nginep. Jadi langsung saja aku
persilahkan masuk ke kamar kami.

“Kok nggak bareng Mas Alfan?”, tanyaku sambil


menyuguhkan 2 gelas air putih,

7
Mas Ferdi meneguk air putih yang kusuguhkan
sebelum menjawab, “Saya dari rumah, tadinya mau ke
kampus tapi ternyata kosong ya udah aku belok kesini aja,
Habib nanti biar ke kampus sendiri”

Mas Ferdi dan Mas Alfan adalah kakak tingkatku,


Habib, adik Mas Ferdi satu angkatan denganku, hanya saja
mereka kuliah di UIN sedangkan aku di Universitas
swasta yayasan Budha tak jauh dari UIN. Dulu aku ragu
mau masuk UIN, aku merasa minder sekaligus kurang
tertarik belajar ilmu agama. Beruntung, aku bertemu mas
Alfan ketika aku sedang kebingungan mencari kerja untuk
menyambung hidup dan kuliahku. Sejak Ayah meninggal,
aku tidak bisa terus menerus mengandalkan kiriman dari
rumah. Aku masih mempunyai dua adik yang masih
sekolah, aku tidak mau meambah beban Ibu.

Ibu sempat memintaku berhenti. Penghasilannya


dari jualan sate, meneruskan profesi Ayah, tidak cukup
membiayaiku dan kedua adikku. Tetapi waktu itu aku
sudah mau masuk semester 4, sayang kalau tidak
dilanjutkan, akhirnya kuputuskan untuk mencari kerja
sampingan. Jadilah aku marbot masjid bersama mas Alfan.

8
Sejak saat itu hidupku mulai tertata, hatiku juga
terasa jauh lebih tenang. Aku mulai memperdalam ilmu
agama dari mas Alfan. Ilmu yang didapatkan Mas Alfan
ketika di pesantren sedikit demi sedikit ditularkan padaku.
Aku juga mulai mencoba memperbaiki bacaan al-
qur’anku. Atas saran Mas Alfan aku nyantri di Pondok
Pesantren Al-huda. Aku bahkan sudah mulai menghafal
al-Qur’an dua bulan setelah menjadi santri kalong1 disana.

1
Santri yang hanya ikut ngaji tetapi tidak tidur di asrama pondok
9
2

Aku menengok jam ditangan kananku untuk


kesekian kali, peluhku mulai membanjiri kening dan
leherku, pukul 10.00 matahari memang lagi panas-
panasnya ditambah lagi tenagaku sudah terkuras
memancal pedal motor yang tak kunjung nyala. Kakiku
mulai lelah, aku menghela napas sebentar sambil
mengucap istighfar berkali-kali, aku duduk sebentar
menenangkan hatiku yang mulai jengkel, apalagi ujian
akan dimulai dua puluh menit lagi. Aku mengambil botol
minum dari tasku, setelah meminum beberapa teguk aku
mulai mencoba menyalakannya lagi.

“Bismillahirrahminirrahim,” gumamku sambil


mencoba menyalakn motor lagi,

“Fikri!,” suara tidak asing itu memanggilku,


terdengar motor mendekat menuju halaman masjid,

Aku menoleh heran, “Ul, ngapain kesini?”

“tadinya sih Cuma lewat, tapi aku lihat kamu


belum berangkat jadi aku berhenti,”

10
“Ngapain berhenti, cukup bunyikan klakson aku
juga udah tau kalau itu kamu?” tanyaku sambil setengah
tertawa,

“Cuma pengen nyapa aja, tapi kayaknya kamu lagi


ada kesulitan,”

“biasalah, ngadat,”

“Ya, sudah bareng aku aja,” ujar Ulya lalu turun


dari motornya, maksudnya mempersilahkan aku untuk
menyetir. Aku menengok jam.

“Udah buruan, sudah nggak kekejar nih waktunya,


sepuluh menit lagi,”

Tanpa pikir panjang aku langsung naik di atas


motor Ulya, aku sedikit ngebut, Ulya tidak bersuara. Aku
terus berusaha untuk sampai kampus secepatnya,
meskipun aku tahu kami pasti telat, aku hanya berdoa,
semoga masih diijinkan untuk ikut ujian.

“Kenapa nggak ganti baru aja sih, Fik,?” tanya


Ulya sambil memegang helmnya yang tertimpa angin,

“Apanya?,”
11
“Motornya,”

“Itu bukan punyaku Ul, itu punya pak Sidiq, yang


rumahnya disamping masjid persis. Kata beliau sih
sebagai fasilitas buat marbot,” terangku sambil terus
berkonsentrasi di jalan.

Tidak lebih dari lima belas menit kami telah


sampai dikampus. Aku bergegas menuju kelas, Aku tidak
ingin menjelang liburan masih disibukkan dengan tugas-
tugas tambahan apalagi harus mengulang gara-gara nggak
bisa ikut ujian karena telat. Aku sudah menargetkan harus
lulus di semester tujuh. Aku sudah sangat ingin bekerja
dan kembali ke kampung halaman, tinggal bersama Ibu
dan adik-adikku. Meskipun aku sangat ingin lanjut S2, tapi
itu bisa kuwujudkan suatu saat, yang penting sekarang,
aku lulus dan bisa meringankan beban Ibu.

“Eh, Fik tungguin,” seru Ulya yang sedang


menaruh helm di jok motornya, aku memperlambat
langkahku.

Aku terus berjalan tanpa mempedulikan Ulya yang


berusaha menjajariku. Sebisa mungkin aku berusaha untuk

12
tetap berjalan didepannya. Memang susah menjaga jarak
dengan kaum hawa di kampus umum seperti ini, tetapi aku
berusaha sebisa mungkin untuk menjaga pergaulanku
dengan perempuan, meski sering mendapat sambutan sinis
dari teman-teman, dan ledekan dari Fajar.

Aku menengok arlojiku sebelum masuk ke kelas,


telat sepuluh menit. Beruntung aku dan Ulya masih
diijinkan masuk. Aku berjalan menuju meja pengawas
untuk mengambil soal dan lembar jawaban lalu berjalan
menuju kursi kosong di sebelah kanan deretan nomor dua.
Suasana hening kembali, masing-masing mahasiswa sibuk
dengan kertas didepannya. Sedangkan kedua pengawas
sibuk dengan gadget masing-masing, sambil sesekali
mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan
ujian.

Kurang lebih satu jam, satu persatu mahasiswa


telah selesai dan keluar meninggalkan ruang ujian.
Sepuluh menit kemudian aku menyusul beberapa
mahasiswa yang telah keluar.

Kembali aku menengok jam tangan, pukul 11.30,


hampir masuk waktu dhuhur. Aku bergegas menuju
13
parkiran dan bergegas menuju masjid terdekat. Kampusku
yayasan Budha, tidak ada masjid di kampus padahal
meskipun yayasan Budha sebagian besar mahasiswanya
muslim. Ulya memanggil ketika aku menuruni anak
tangga aku berhenti, aku mendengar langkah kaki yang
mendekatiku. Aku menepuk jidatku, aku lupa hari ini
nggak bawa motor.

“Ada apa Ul?” tanyaku ketika Ulya sudah dekat,

Ulya menjajariku, kali ini aku tidak berjalan


didepannya tetapi tetap menjaga jarak. Tampaknya Ulya
ingin menyampaikan sesuatu. Aku menunggunya bicara
sambil terus berjalan.

“Mau ke masjid? Ini pakai motorku dulu aja,” kata


Ulya sambil menyodorkan kunci motornya,

Aku menggeleng, “tidak usah, aku sholat di kosnya


Fajar aja,”

Ulya mengangguk lalu memasukkan kuncinya ke


saku celana. Lalu diam.

14
“Kamu memanggilku hanya untuk itu?” tanyaku
setelah beberapa saat kami terdiam, aku tidak nyaman jika
terus berjalan berdua dengan Ulya.

“Oh iya. Sebenarnya tadi aku mau menyampaikan


pesan dari Ilham. Dia minta nomor telpon kamu.” Jawab
Ulya yang seolah hampir lupa keperluannya menemuiku,

“Kamu kan punya nomorku,”

“Iya, tapikan aku harus ijin dulu sama kamu,”

“Bisa lewat sms atau WA kan Ul,”

“Sebenarnya dia sekaligus nitip pesan, apakah


kamu bisa mengisi pengajian di KMMUG 2 pekan depan?”
jawab Ulya,

“Hah? Aduh Ul, aku nggak bisa,” jawabku tegas,

“Soal itu nanti kamu bicarakan sama Ilham ya,”

Ulya lalu pamit meninggalkanku, aku masih shock


mendengar tawaran itu. seumur-umur aku belum pernah
ceramah. hanya sekali seumur hidup mengisi khotbah

2
Komunitas Mahasiswa Muslim Universitas Gunadharma
15
jum’at di masjid tempat tinggalku, itupun karena terpaksa
menggantikan Khotib yang berhalangan hadir, sedangkan
Mas Alfan jum’atan di kampusnya. Aku bergegas menuju
kos-kosan Fajar.

~0~

Dua hari setelah Ulya menyampaikan pesannya,


Ilham menghubungiku dan memintaku untuk menemuinya
di kontrakannya. Aku memenuhi undangannya. Aku tidak
begitu mengenalnya, aku hanya tahu dia teman dekat Ulya
sejak SMA. Dan dari Ulya aku sedikit mengenalnya.

Sekitar pukul 2 siang aku sampai dikontrakan,


diteras sudah ada beberapa orang salah satunya adalah
Ilham. Di depan di samping pintu masuk terdapat sebuah
banner betuliskan Komunitas Mahasiswa Muslim
Universitas Gunadharma beserta logo segi lima
ditengahnya terdapat gambar alqur’an, diatasnya terdapat
kaligrafi bertuliskan ‘Islam’ dengan hurus arab. Aku
memarkirkan motorku lalu masuk dan mengucapkan
salam.

16
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,”
Jawab mereka serempak.

“Langsung gabung aja Fik,” ujar Fahri sambil


berdiri menyalamiku, aku menyambutnya. Lalu
menyalami beberapa orang lainnya disana. Dan memberi
isyarat dengan menelungkupkan tanganku didepan dada
kearah gerombolan putri.

Ilham lalu keluar sambil membawa satu gelas, lalu


menuangkan es teh di depannya dan menyodorkannya
padaku. Aku mengucapkan terimakasih padanya.

“Nah, perkenalkan teman-teman, ini Fikri dari


Fakultas Ilmu Sosial semester 7. Dia yang aku usulkan
kemarin,” Fikri membuka pembicaraan setelah memberiku
kesmpatan beberapa saat untuk istirahat.

“Tetapi aku memang belum memintanya secara


langsung. Makanya aku mengundangnya kesini, supaya
kita semua tahu. Meskipun ada beberapa dari kalian
mungkin sudah ada yang megenalnya,” lanjut Ilham, aku
melihat Rudi mengangguk-angguk, dia satu jurusan

17
denganku, satu tingkat dibawahku. Beberapa kali kami
pernah sekelas.

“Oh, saya pernah ikut jama’ah Jum’at di masjid di


daerah kalasan dan kebetulan Mas Fikri ini yang jadi
khotib, ya?” tanya salah seorang dari mereka memastikan,

“Panggil Fikri aja.” Sahutku, “Tunggu sebentar


sebenarnya ini ada apa Ham?” tanyaku pada Ilham,
meskipun Ulya sudah menyampaikan padaku, tapi aku
ingin memastikannya.

“Jadi begini Fik. Minggu depan, tepatnya tanggal


22 September nanti KMMUG dalam rangka memperingati
hari santr ingin mengadakan pengajian sekaligus santunan
anak yatim bersama anak yatim. Dan dari rapat kemarin
saya mengusulkan kamu untuk mengisi mauidhoh
hasanahnya, dan kami semua setuju,”

Aku terdiam, memikirkan kata-kata sekaligus


mencari alasan yang tepat untuk menolaknya. Aku
mengedarkan pandanganku kesemua yang hadir. Rapat
yang dihadiri oleh 11 orang termasuk aku itu sunyi sesaat.
Aku menghela napas.

18
“Atas dasar apa kamu mengusulkan aku?” tanyaku
kemudian,

“Aku tahu banyak tentang kamu dari Ulya. Dan


Ulya sempat merekomendasikan kamu ketika aku
memintanya untuk mencarikan mahasiswa yang panda
berceramah.” Jelas Ilham terang-terangan. Aku jadi tahu,
Ulya sering membicarakanku kepada orang lain.

“Tapi aku belum pernah ceramah,” keluhku


memberi alasan,

“Tapi dulu saya lihat Khotbahmu bagus kok, udah


sepertih khotib profesional,” puji salah seorang yang tadi
mengaku pernah melihatku khotbah. Belakangan
kuketahui namanya Ahmad.

“Ayolah mas, tolong bantu kami. Acaranya tinggal


satu minggu lagi,” sambung Rudi yang duduk
diseberangku,

“Tuh, kasihan adik kelasmu. Dia ketua panitia


acara ini. Bantu dia dan kami.” Ujar Ilham menambahi
Rudi.

19
Aku masih belum yakin dan percaya diri untuk
menerima tawaran mereka. Aku belum terbiasa
berceramah didepan umum. Kalaupun berbicara didepan
orang banyak, itu hanya terjadi dikelas ketika presentasi.
Selain itu, ilmu agamaku masih sangat sedikit, mau bicara
apa aku nanti didepan jama’ah pengajian.

“Bukannya aku menolak, tapi sungguh aku belum


pernah ceramah. aku takut nanti malah membuat kalian
kecewa”, ujarku memberi alasan

“Begini saja. Aku punya rekomendasi, dia teman


sekamarku, dia mahasiswa UIN. Nanti coba saya
bicarakan sama dia.” Setelah kupikir-pikir mas Alfan
tampaknya lebih pantas mengisi pengajian itu.

“Kita butuh kepastian sekarang juga Akh,” sahut


anggota perempuan berjilbab lebar merah marun.

Aku menghela nafas dan mengusap wajahku. Jujur,


aku merasa berat untuk menerima tawaran ini. Aku belum
memiliki keeranian untuk ceramah.

“Siapa saja yang akan hadir?” tanyaku kemudian,

20
“Anggota KMM, beberapa dosen pembina KMM,
pengasuh dan pengurus Panti Asuhan, dan anak yatim.
Kurang lebih dua ratusanlah. Kami megundang anak yatim
dari 3 panti asuhan” terang Ilham yang sepertinya optimis
aku akan menyanggupinya mengisi pengajian itu.

“Ok. Kalau kalian memang percaya sama saya.


Bismillah, Insya Allah saya akan berusaha semaksimal
mungkin,” jawabku menyerah,

“Makasih Fik,” Ilham merangkul pundakku.


Menjelang ashar aku pamit undur diri. Dan bergegas
menuju tempat tinggalku. Ba’da Ashar aku ada jadwal
mengajar di TPA Darul ‘Ilm, tidak jauh dari masjid
tempatku tinggal.

21
3

Pukul 10.30 aku keluar dari ruangan Pak Raja,


kaprodiku. Aku melangkah dengan hati yang lega. Setelah
beberapa kali merevisi judul dan proposal, akhirnya Aku
bisa melnjutkan skripsiku yang akan dibimbing langsung
oleh Pak Raja sendiri. Aku berjalan menuju parkiran dan
bergegas pulang bersiap-siap untuk mengisi di acara
KMM.

Tepat setelah sholat dhuhur aku langsung


berangkat menuju tempat pengajian. Acara baru akan
dimulai pukul 13.00, aku sengaja berangkat lebih awal
supaya tidak gugup. Beberapa hari sebelumnya, aku telah
meminta Mas Alfan untuk menyimak latihan pidatoku dan
memintanya untuk memberi masukan. Sepanjang
perjalanan aku tidak berhenti membaca sholawat untuk
menenangkan hatiku. Aku harus bisa menguasai diriku
agar nanti tidak gagap dan gemetar.

Kurang lebih lima belas menit aku sampai di Aula


masjid At-Thariq yang terletak di pinggir Malioboro. Rudi
langsung menghampiriku begitu melihatku datang, bahkan
dia menghampiriku sampai parkiran.
22
“Ahlan wa sahlan Ustadz,” sambutnya setengah
menggoda,

Wajah Rudi tampak bahagia dan semangat. Aku


tersenyum melihatnya, tampak tidak ada beban pada
dirinya.

“Sekali lagi makasih ya Mas, sudah mau bantu


saya,” ucapnya lagi,

“Udah biasa aja,” jawabku pendek, jujur sampai


saat ini hatiku masih gemeteran, bibirku masih terus
menggumamkan sholawat.

Rudi mengajakku ke sebuah ruang transit di


sebelah kanan gedung. Aku sempat melihat sekilas ke
dalam gedung. Tampak beberapa rombongan anak kecil
dipandu oleh pengasuhnya mengambil tempat duduk
dengan berbaris rapi.

Di dalam ruang transit aku ditemani oleh Ilham


dan Rudi, serta Syafiq yang bertugas memandu acara.

“dua puluh menit lagi dimulai ya Mas,” Syafiq


mengabarkan pada kami bertiga,

23
Aku menghela nafas sambil memejamkan mata.
Aku jadi teringat nasehat seorang ulama’ modern ternama
di Indonesia, Aagym, bahwa nasehat yang disampaikan
dari hati akan lebih mudah diterima. Aku membaca fatihah
dan ayat kursi. Setelah itu hatiku mulai agak tenang,
Percaya diriku perlahan mulai muncul. Syafiq bersama
seorang perempuan sedang membuka acara. Aku meneguk
air putih yang disuguhkan.

~0~

Kurang lebih setengah jam aku berbicara di atas


mimbar. Syukur, Alhamdulillah aku bisa menguasai diri
dan dapat menyampaikan isi ceramah dengan baik,
menurutku. Sebelum kuakhiri ceramahku, ku ajak jama’ah
membaca istighfar. Lalu aku mengulas kembali isi
ceramah secara singkat.

“Demikian sedikit ilmu yang dapat saya


sampaikan, semoga dapat bermanfaat untuk kita semua.
Selanjutnya waktu saya kembali kepada pembawa acara.
dari saya, apabila ada kesalahan saya mohon maaf yang
sebsar-besarnya. Wabilahitauiq wal hidayah, wa ridho wal

24
inayah, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,”
kataku mengakhiri ceramah.

Seorang panitia mnghampiriku ketika aku hendak


turun dari mimbar,

“Mas tolong sekalian pimpin do’a, maa tadi panitia


lupa menyampaikan” bisiknya begitu dekat denganku, aku
mengangguk sudah tidak ada waktu lagi untuk
menolaknya.

Aku kembali ke mimbar, lalu mengajak hadirin


untuk beristighfar dan bersholawat kemudian membaca
surat al-fatihah satu kali, lalu aku mula membaca do’a dan
diamini oleh hadirin. Kuucapkan salam sekali lagi lalu
turun dari mimbar dan menuju ruang transate. Aku
terhenyak ketika sampai diambang pintu ruang transate
yang terletas tepat di sebelah gedung.

Aku hampir lupa dengan kejadian beberapa bulan


lalu, ketika seorang gadis tiba-tiba muncul di depan
kelasku ketika kuliah baru saja selesai, tangannya
memegang erat tangan seorang gadis lainnya yang
mencoba meronta dan terus menunduk.

25
~0~

“Mas Fikri, temanku mau ngomong sama mas


Fikri,” katanya tepat dihadapanku, aku terkejut dan benar-
benar tidak sadar apa yang sedang terjadi.

Mahasiswa yang baru saja keluar dari kelas


berhenti, ingin tahu apa yang terjadi. Aku terdiam, aku
benar-benar bingung, tidak mengerti apa yang terjadi. Aku
melihat gadis dibelakangnya yang terus menunduk.

“Ayo, bilang saja” kata gadis yang ada dihapanku


itu setengah memaksa temannya, temannya terus
menunduk dan meneteskan air mata tangannya tidak
berhenti meronta.

Aku ingin membantunya melepaskan tangannya


tapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada
mereka berdua.

“Ah, kamu lama.” Gadis itu mulai jengkel, lalu


mengambil sesuatu dari tas gadis dibelakangnya,

“Mas Fikri, teman saya mau ngasih hadiah ini


sama mas Fikri tapi dia tidak berani. Sebenarnya dia...”

26
“Vina cukup. Kamu keterlaluan,” gadis itu
mengangkat mukanya dan membentak temannya itu
dengan suara serak,

Ia lalu maju kehadapanku, matanya berkaca-kaca,


wajahnya menunduk. Perlahan ia mengambil kotak kecil
yang ada ditanganku.

“Maaf,” ucapnya pelan, lalu beranjak pergi dengan


hati hancur.

Vina, gadis yang menyeretnya tadi mengejarnya.

~0~

Dan setelah beberapa bulan aku tak melihat


mereka, kini Vina ada di ruang transit bersama beberapa
paniyia lainnya. Aku masuk dan duduk dikursiku semula.
Nampaknya Vina belum menyadari kedatanganku, ia
sedang sibuk memindah file foto dari DSLRnya ke
Laptop. Aku baru menyadari bahwa yang tadi mondar-
mandir bawa kamera adalah Vina.

“Eh tolong pindah diruang sebelah,” Bisik Rudi


agak keras, sehingga terdengar olehku.

27
Vina dan teman-temannya lalu beranjak. Vina
sempat melihatku sekilas dan tersenyum, aku
membalasnya. Tidak ada raut terkejut atau kaget dari
wajahnya, tampaknya dia sudah tau kalau aku mengisi
acara ini. Aku berbincang dengan Ilham, Syabiq dan Rudi
sambil menunggu masuk waktu Ashar. Panitia yang lain
sedang membereskan aula yang baru saja dipakai untuk
pengajian. Diam-diam aku mencari-cari sosok temannya
Vina yang belum kuketahui namanya.

Usai sholat Ashar aku langsung menuju parkiran.


Rudi yang sejak tadi membersamaiku entah sudah berapa
kali mengucapkan terimakasih.

“Mas sekali lagi makasih ya, aku nggak tahu


bagaimana jadinya kalau mas Fikri tidak bisa mengisi
acara ini,” Ucap Fikri entah yang keberapa kali. Rudi
mengantarkanku sampai parkiran.

Kali ini aku tersenyum agak lebar menanggapinya,


“Sudah berapa kali sih Rud. Biasa aja, maaf ya, Cuma
segitu kemampuanku berceramah,” kataku sambil bersiap
menaiki motor butut pinjaman Pak Sidiq,

28
“Tadi bagus kok. Aku bahkan nggak nyangka
kalau mas Fikri pandai ceramah, sudah kaya penceramah
profesional.” Ujar Rudi tampak berterus terang,

“Dan mas Fikri sudah sangat membantuku.


Sebelum Mas Ilham mengusulkan Mas Fikri untuk
mengisi ceramah aku tidak bisa tidur nyenyak mas. Ini
pertama kalinya aku jadi panitia, dan pertama kalinya
kami kesulitan mendapatkan penceramah. Dan
Alhamdulillah ceramah mas Fikri tadi benar-benar diluar
dugaan kami,” imbuhnya lagi,

“memangnya dugaan kalian ceramahku gimana?”


tanyaku sok serius, Rudi tersenyum dan bersiap menjawab

“Fik, udah mau pulang?” tanya Ulya yang tiba-tiba


sudah di samping kami berdua, aku mengangguk.

Kulihat Ilham dari menghampiri kami sambil


berjalan setengah lari.

“Fik, tolong diterima ya, sedikit oleh-oleh dan


kenang-kenangan dari KMM. Tolog jangan ditolak, ini
sudah masuk anggaran Panitia acara,” kata Ilham sambil

29
memberikan paperbag kepadaku, aku menerimanya
meskipun sebenarnya aku tidak suka dengan beginian.

“Ul, pulangnya nanti aku antar ya, tapi nunggu


bentar” Ujar Ilham ke arah Ulya,

“aku bareng Fikri aja,” kata Ulya, aku melirik


Ilham yang tampak kecewa meskipun ia bersikap seolah
biasa saja, tapi aku dapat melihat dari sorot matanya.

“Eh, tapi aku harus jemput mas Alfan dulu Ul,”


jawabku memberi alasan, aku memang sudah janji
menjemput mas Alfan di kampusnya karena motornya
sedang dipinjam adik sepupunya seminar di Surakarta.

“Oh, ya sudah. Nanti aku bareng Ilham aja,” jawab


Ulya pelan, nampaknya dia juga kecewa, aku jadi serba
salah.

“Tapi kalau kamu mau menunggu sebentar di UIN


ya nggak masalah sih. Nanti aku jemput setelah aku
mengantar mas Alfan” kataku kemudian, aku merasa tidak
enak dengan Ulya,

“nanti bareng Ilham aja,” jawab Ulya,

30
“Ok. Memang motormu kemana?” tanyaku
mencoba sebiasa mungkin,

“Kemarin dipinjam Fathimah dan jatuh jadi harus


di bawa kebengkel, tapi untungnya hanya motornya yang
rusak,” jelas Ulya, aku mengangguk,

“Syukurlah kalau begitu, ini beneran mau bareng


Ilham aja,”kataku memastikan, Ulya mengangguk dan
tersenyum lega,

“aku duluan ya, makasih ya Rud, Il, buat oleh-


olehnya,”

“kita yang makasih mas, sudah dibantu”

“Aku senang bisa membantu kalian,


Assalamualaikum”

31
4

Matahari tampak ingin melelehkan apa saja yang


bertebaran di muka bumi ini. Peluhku telah membanjiri
tubuh, aku membuka sedikit kaca mobil disampingku.
Aku membayangkan kalau tadi kami memutuskan
membawa sepeda motor mungkin kami sudah meleleh.
Dari kejauhan sepanjang jalan Klaten-Jogja seperti berair
akibat pantulan atmosfer. Bu Nur, istri Pak Sidiq tadi
sebenarnya sudah mengingatkan kami agar berangkat
lebih pagi. Seandainya tadi kami mendengarnya mungkin
kami tidak akan kepanasan. Aku melirik jam beker
didepanku yang menunjukkan pukul 10.20, aku menyeka
peluhku dengan tissue, Pak Sidiq yang mengemudi juga
menyeka keringatnya berkali-kali.

“Nyari es teh dulu gimana Fik?” ujarnya ketika


kami keluar dari perbatasan Klaten,

“Apa nggak nanti aja Pak, nanggung setengah jam


lagi juga sampai,” jawabku mengusulkan, Pak Sidiq
menyetujuinya lalu kembali fokus pada jalanan yang
ramai.

32
Mobil kami terus menesuri Jalan Solo Klaten
dengan kecepatan sedang. Aku memanaatkan waktu luang
itu dengan memuraja’ah hafalanku yang baru aku hafal
tadi pagi. Halaman terakhir Juz 20, sesekali aku membuka
alqur’an digital di hpku untuk mengingat ayat yang
terlupa, aku mengulangnya tidak kurang dari 5 kali
sehingga lancar.

“Kita parkir dimana Fik enaknya?” tanya Pak Sidiq


begitu sampai di kawasan pasar Klewer Solo,

Aku melihat-lihat sekitar, “toko karpetnya dimana


Pak?” tanyaku ketika tidak menemukan toko penjual
karpet,

“Di sebelah utara tapi agak di dalam,”

“Ya sudah kita parkir di sebelah utara saja biar


nanti dekat bawanya,”

Pak Sidiq mengiyakan lalu mengarahkan mobilnya


ke parkiran sebelah utara. Aku dan Pak Sidiq kemudian
masuk ke pasar lantai dua, meskipun aku orang Solo tapi
aku tidak begitu hafal dengan pasar klewer, bisa dihitung
jari berapa kali aku masuk pasar ini.kami menaiki tangga
33
menuju lantai dua lalu belok kiri, Pak Sidiq mengajakku
berhenti pada sebuah toko karpet deret kedua dari pojok.
Seorang laki-laki berkacamata seumuran Pak Sidiq keluar
dan menyambut kami dengan sangat ramah, nampaknya ia
sudah sangat akrab dengan Pak Sidiq. Beliau mengajak
kami masuk untuk melihat-lihat karpet.

Dua hari yang lalu ada seorang yang ingin sedekah


atas nama almarhum ayahnya. Ia sebenarnya ingin
membelikan karpet, nampaknya orang itu sudah beberapa
kali jama’ah dimasjid Al-Muhajirin dan dengan terang-
terangan beliau mengatakan bahwa karpet di masjid itu
masih kurang, di serambi masjid dan sebagian di jama’ah
putri memang belum ada karpetnya. Karpet yang lama pun
sudah ada beberapa yang sudah tidak layak pakai. Hanya
saja ia harus segera kembali ke Jakarta untuk kembali
bekerja, maka beliau menyerahkan sejumlah uang dan
meminta Pak Sidiq untuk membelikannya.

“Alfan sama Sobri sudah lulus Diq?” tanya orang


itu pada pak Sidiq,

“Oh, Sobri sudah. Alfan baru sidang skripsi hari


ini, makanya saya ngajak Fikri. Dia adik kelasnya Alfan
34
waktu SMP ya Fik?” Pak Fikri menoleh ke arahku aku
mengangguk,

“Dia masih kuliah juga, semester 7,” lanjut Pak


Sidiq,

“Nah Fik, Toko Pak Zein ini langganan sudah jadi


langganan saya, tiap beli karpet untuk masjid pasti
kesini,”Pak Sidiq memperkenalkanku dengan pemilik
Toko karpet itu, aku menyalaminya.

Pak Zein lalu meminta salah satu pegawainya


untuk melayani kami. Tidak butuh waktu lama bagi Sidiq
untuk memilih karpet, setengah jam kemudian kami telah
sampai di mobil lagi. Pak Sidiq lalu mengajakku mencari
makan siang sebelum melaksanakan sholat dhuhur.
Karena memang beribadah dalam keadaan lapar akan
membuat ibadah tidak khusyuk.

“mau mampir rumah dulu nggak Fik?” tanya Pak


Sidiq usai sholat dhuhur,

“Boleh Pak,”

35
Pak Sidiq melihat jam tangannya, “Belum jam dua,
ayo,” ajak Pak Sidiq lalu mendahuluiku berjalan menuju
mobil,

Sinar matahari masih menyengat, aku dan Pak


Sidiq menyusuri pasar yang masih sangat ramai. Di blok
pusat batik kulihat banyak turis yang sedang memilih
baju,, aku jadi teringat cerita Ibu yang Fadlan, adikku
minta di belikan baju batik untuk acara karnaval
sekolahnya. Aku pamit pada Pak Sidiq untuk membeli
baju sebentar. Pak Sidiq mengiyakan lalu menuju mobil
sedangkan aku berjalan menuju salah satu toko batik.

Sepuluh menit kemudian aku sudah sampai di


mobil. Pak Sidiq lalu mengendarai mobilnya memasuki
jalan raya.

“ke arah mana Fik?”

“ambil arah Karang anyar Pak, nanti setelah rel


ambil kiri, habis itu lurus terus”

Pak Sidiq kemudian berbelok kiri. Aku duduk


disamping pak Sidiq sambil mengulangi hafalanku lagi,
sesekali menunjukkan arah jalan kepada Pak Sidiq.
36
Seandainya aku bisa mengemudi mobil mungkin aku akan
menggantikannya. Beberapa kali Pak Sidiq menawarkan
untuk mengajariku, tapi selalu ada saja halangan, kalau
bukan aku yang sibuk Pak Sidiq yang ada acara. Sudah
dua kali diajari Mas Alfan tapi belum berani mencoba
beneran.

Aku meminta Pak Sidiq memarkirkan mobilnya di


depan masjid yang terletak di depan rumah Pak Haji
Hasan. Halamnnya cukup luas.Tanah untuk mendirikan
masjidpun hibah dari Haji Hasan. Aku kemudian menuju
rumah Pak Haji untuk meminta ijin. Ketika aku mengetuk
pintu rumahnya ternyata Laila yang membuka pintu, ia
tampak sedikit kaget dan salah tingkah.

“oh, Mas Fikri. Ada apa?” tanyanya gugup,

“Pak Haji ada La?” tanyaku bersikap wajar,

“Bapak lagi mengantar mamak ke Pasar,” ucapnya


berusaha bersikap wajar juga, tapi aku bisa lihat pipinya
yang merah,

Laila langsung menunduk, tampaknya ia sadar aku


mengamatinya. Aku juga langsung menunduk saat sadar
37
dengan kelancanganku. Memang dulu sebelum aku pergi
ke Jogja untuk melanjutkan kuliah, Laila yang baru saja
mau masuk SMA mengirimiku sebuah surat cinta. Aku
pun menerimanya dan kami resmi pacaran. Tapi
komunikasi kami tidak lancar karena Laila tinggal di
Pesantren. Belum setahun akhirnya aku memutuskannya
melalu inbox di facebook. Saat itu aku sakit hati dengan
ucapan Ibu Laila ketika takziah kerumahku waktu Bapak
meninggal. Beliau merendahkan Ayahku yang hanya
tukang sate dan mengatakan tidak level dengan suaminya
yang guru PNS.

~0~

Saat itu memang hubunganku dengan Laila sudah


diketahui oleh orang-orang dikampung. Khususnya
dikalangan remaja dan keluargaku. Ibu yang saat itu tahu,
malam sebelum aku kembali ke Jogja usai 7 hari
meninggalnya Ayah, menangis dan memintaku menjauhi
Laila. Selain memintaku untuk berhenti kuliah. Musibah
yang menimpa keluargaku itu menjadi titik balik
kehidupanku. Aku mulai memikirkan masa depanku,
memang aku tidak terlalu nakal. Tapi dulu aku jarang

38
memikirkan bagaimana kerja kerasnya orang tuaku
membiayai kuliahku. Aku hanya tahu kuliah dan main.
Tapi saat Ibu memintaku untuk berhenti kuliah aku baru
tahu, betapa sulitnya waktu itu Ayah membanting tulang
untuk menafkahi kami.

“Bu, aku nggak mau berhenti kuliah. Ibu nggak


usah khawatir, Fikri udah besar, Fikri bisa kuliah dengan
biaya sendiri.” Kataku waktu itu, aku yang nggak pernah
sedih sebelumnya merasa terharu. Air mataku meleleh
begitu saja.

Ibu memelukku erat sambil menahan tangisnya.


Saat itu aku benar-benar merasakan beban yang
ditanggung Ibu.

“Besok aku berangkat ya Bu. Aku akan cari kerja


juga, Ibu tidak usah terlalu memikirkan aku. Ibu doakan
saja Fikri,” ucapku waktu itu sambil memegang erat
tangannya.

Kata-kata itu keluar begitu saja ketika aku


memandang wajah wanita 45 tahun itu. Di usianya yang
sudah tidak muda lagi, Ibu masih terlihat cantik, darah

39
sundanya masih terpancar dari wajahnya dan menurun ke
anak-anaknya termasuk aku.

Tangis ibu justru semakin keras dan langsung


memelukku lagi untuk meredam tangisnya agar Fadlan
dan Farid tidak mendengarnya.

“Maafkan Ibu nak, Ibu nggak bisa seperti Ayah.


Seharusnya Ibu tidak menghalangi cita-citamu,” ucapnya
setelah tangisnya mereda, aku mengangguk tersenyum,

“Sudah ya Bu, Fikri ngantuk. Ibu juga istirahat.”


Ibu mengangguk lalu beranjak dari duduknya setelah
mengusap kepalaku,

“Besok berangkat jam berapa?” tanya Ibu sebelum


melangkah ke kamarnya,

“Sore, habis Ashar Bu,”

Ibu lalu beranjak meninggalkanku diruang tamu.


Aku kemudian tidur di kursi panjang diruang tamu itu.
Aku tidak ingin membangunkan Farid dan Fadlan. Mulai
saat itu aku menjadi tempat Ibu mencurahkan segala isi
hatinya, hal itu juga membuatku semakin dewasa dan

40
peduli dengan adik-adikku. Meskipun tidak bisa
menafkahi mereka sepenuhnya, setidaknya aku bisa
menjadi sandaran bagi mereka. Terutama sandaran bagi
Ibu ketika susah.

~0~

“Oh, ya sudah. Aku titip parkir mobil ya,” kataku


masih berdiri di depan pintu karena tidak dipersilahkan
masuk. Kalaupun dipersilahkan aku juga tidak akan masuk
karena hanya sebentar. Laila mengangguk mengiyakan.

Aku kemudian mengajak Pak Sidiq berjalan


menuju rumahku. Kami memasuki gang yang hanya muat
untuk pejalan kaki dan motor. Gang itu sangat sempit, jika
ada pejalan kaki dan motor yang berpapasan salah satunya
harus mengalah dulu. Diujung gang ada lima rumah yang
salah satunya rumahku, rumah yang dibeli Ayah ketika
membawa kami pindah ke Solo dari Bandung 15 tahun
yang lalu. Ayah dan Ibu asli orang sunda, lalu Ayah
membawa keluarganya kesini ketika Ayahnya, orang tua
satu-satunya meninggal, dan Hartanya semua di ambil
oleh kakak bungsunya. Ayah sakit hati karena tidak
mendapat warisan sedikitpun.
41
Ibu sedang menyiapkan dagangannya di bakul
ketika aku dan Pak Sidiq datang.Farid yang sedang
membantu Ibu langsung lari menyambutku begitu
melihatku. Ibu langsung menoleh kearahku melihat Farid
yang heboh. Beliau langsung memelukku erat begitu aku
sampai dihadapannya.Sejak 40 hari kematian Ayah aku
belum pernah pulang. Aku hanya memberi kabar melalui
telepon. Dan Ibu menangis bahagia ketika aku meminta
ijin untuk menghafalkan al-Qur’an. Melebihi bahagianya
ketika mendengar aku menjadi marbot.

Memang sejak dulu, Ibu dan Ayah sangat


menginginkan aku mendalami ilmu agama, ketika lulus
SD Bapak mendaftarkanku di Pesantren Modern di
Tulungan, tapi aku tidak mau dan ngambek sampai sakit.
Akhirnya aku hanya didaftarkan di MTs-nya saja. Ketika
Lulus MTs Bapak mencoba memasukkan aku ke
Pesantren lagi, meskipun masih satu yayasan dengan MTs
aku tetap tidak mau aku lebih memilih di SMA N. Ayah
dan Ibu pasrah dan hanya bisa berdoa. Dan doa mereka
terkabul ketika aku menjadi marbot masjid.

42
“Ayo masuk. Mari Pak silahkan masuk,” ujar Ibu
ketika puas mengomeliku, padahal intinya sama dengan
yang disampaikan setiap aku menelponnya.

Aku dan Pak Sidiq masuk. Ibu masuk dan


langsung menuju dapur.

“Maaf, seperti inilah keadaanya rumah Fikri Pak.”


Kata Ibu lagi sambil membawa dua gelas teh. Pak Sidiq
menanggapi dengan senyum lebar.

“Ini Pak Sidiq Bu. Takmir masjid tempat Fikri


bekerja dan tinggal,” aku memperkenalkan Pak Sidiq
kepada Ibu,

Ibu lalu duduk di sampingku, “Oh, iya.


Terimakasih ya Pak. Sudah memberi tumpangan buat anak
saya. Maaf kalau anak saya sering merepotkan, kalau dia
macam-macam tolong ditegur ya Pak.” Katanya pada Pak
Sidiq,

“Biasa saja Bu, Fikri sudah dewasa kok. Nggak


merepotkan, malah sangat membantu. Lha ini, baru saja
saya minta untuk nemenin beli karpet buat masjid.” Jawab
Pak Sidiq tersenyum ramah,
43
“Hafalannya sudah sampai juz berapa Fik? Sejak
kamu bilang mau menghafal Al-Qur’an Ibu itu tidak
pernah berhenti mendoakan kamu. Kadang Ibu sampai
nangis,”

“Insya Allah kurang sepertiga lagi. Makasih Ibu,


doakan Fikri terus supaya lancar hafalannya dan
kuliahnya.”

“untuk siapa lagi do’a Ibu kalau bukan untuk anak-


anak Ibu,” jawabnya,

“saya malah baru tahu kalau Fikri menghafal Al-


Quran, menghafal sama siapa Fik?” tanya Pak Sidiq
terkejut,

“menghafal pada Kyai Badar Pak,”

“Masya Allah. Fikri ini memang luar biasa Bu.


Dulu waktu pertama kali saya kenal. Di suruh adzan aja
masih minder, tapi sekarang sudah bisa ceramah dimana-
mana,” puji Pak Sidiq,

“Pak Sidiq terlalu berlebihan. Baru juga sekali, itu


juga panitia terpaksa karena tidak sempat mencari

44
mubaligh. Panitianya juga teman Fikri sendiri kok Bu,”
jawabku merendah, karena memang begitu faktanya.

Mata Ibu berkaca-kaca. Seandainya tidak ada Pak


Sidiq mungkin beliau sudah menangis.

45
5

Pagi itu Pak Sidiq memintaku untuk mengimami


sholat. Sejak tahu aku mulai menghafal al-Qur’an beliau
sering memintaku menjadi imam. Awalnya aku merasa
tidak enak dengan mas Alfan karena biasanya Pak Sidiq
meminta mas Alfan untuk menjadi imam, tetapi mas Alfan
justru mendukungku. Bukan hanya soal menjadi imam,
tetapi dalam urusan masjid bahkan acara keluarga pun Pak
Sidiq lebih sering mengajakku.

“Kamu harus belajar menggantikanku Fik.


Sebentar lagi kuliahku selesai dan nggak mungkin aku
disini terus,” kata Mas Alfan ketika aku membicarakan hal
itu padanya,

“Justru itu, mumpung Mas Alfan masih disini,”


jawabku mengelak,

Mas Alfan meggeleng, “mumpung aku masih


disini, kamu harus mencoba. Kalau ada yang salah ada
yang mengingatkanmu,” aku hendak membantah lagi,
karena aku belum siap untuk seperti Mas Alfan.

46
Meskipun kelihatnnya hanya marbot masjid, mas
Alfan lebih dari itu. Bahkan kalau mas Alfan mau dia bisa
mengajar dipesantren dan bisa tinggal di asrama dengan
fasilitas yang lebih baik. Tapi mas Alfan melihat kampung
Melayu lebih membutuhkannya. Karena mas Alfan juga,
Pak Sidiq yang sebelumnya memilih tinggal di Semarang
memboyong keluarganya ke tempat kelahirannya untuk
menghidupkan masjid yang tepat berada di depan
rumahnya. Konon, masjid itu dulu hanya digunakan ketika
bulan Ramadhan. PADAHAL Masjid itu lumayan besar,
ada 2 lantai.

Mas Alfan sangat disegani oleh masyarakat


kampung Melayu. Termasuk aku. Aku belum bisa seperti
mas Alfan, apalagi harus menggantikan posisinya. Tetapi
jawaban Mas Alfan barusan membuatku sadar bahwa aku
tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan dan
keberadaannya untuk belajar.

Setelah memastikan shof jama’ah dibelakangku


rapi, aku membaca takbir. Aku membaca surat Ad-Dhuha
setelah al-fatihah, pada raka’at kedua aku membaca Al-
Insyirakh, ketika sampai pada ayat ketiga tiba-tiba

47
terdengar suara sesuatu terjatuh. Beberapa jama’ah
membatalkan sholatnya. Usai sholat seluruh perhatian
menuju jama’ah putri. Tiga orang Ibu-ibu sedang
mengerumuni salah satu jama’ah, yang ternyata Ibu Nur,
Istri Pak Sidiq, kepalaku seperti tersengat listrik. Pak Sidiq
langsung berlari mendekati Bu Nur, aku hendak
mengikutinya tetapi mas Alfan memberi isyarat agar
melanjutkan dzikir, sedangkan ia menyusul Pak Sidiq
yang membopong istrinya ke rumah. Jama’ah yang lain
juga kembali tenang dan melanjutkan dzikirnya.

“Mas gimana keadaan Bu Nur?” tanyaku pada mas


Alfan yang baru saja masuk, aku sedang merapikan Bab 2
ku yang rencananya akan aku konsultasikan hari ini.

“Mau di bawa ke rumah sakit. Badannya nggak


bisa digerakkan,” jelas mas Alfan mengganti sarungnya
dengan celana,

“Sekarang mas? Aku ikut,” kataku lalu menutup


laptopku,

“Kamu selesaikan dulu tulisanmu. Nanti siang


setelah bimbingan kamu menyusul ke rumah sakit,”

48
“Sudah selesai kok mas, tinggal ngprint. Nanti bisa
sambil jalan ke kampus.” Jawabku,

“Siapa tahu nanti butuh apa-apa, aku bisa bantu,”


lanjutku sambil mengambil air minum,

“Selesaikan dulu urusanmu Fik. Tadi Pak Sidiq


pesan begitu, nanti siang kamu menyusul,”

Aku tidak bisa memaksa untuk ikut. Akhirnya


dengan berat aku menuruti saran mas Alfan. Meskipun
aku juga khawatir dengan keadaan Bu Nur. Bagaimanapun
juga beliau sudah ku anggap sebagai Ibu ku sendiri. Aku
segera menyusul mas Alfan kerumah Pak Sidiq, disana
sudah banyak warga yang ingin melihat keadaan Bu Nur.
Kedua Ibu yang tadi menolongnya masih di sana. Aku
membantu membawa Bu Nur ke mobil.

“Fik nanti bawa motorku aja. Motormu itu sudah


waktunya masuk bengkel,” kata mas Alfan pelan sebelum
masuk mobil,

Setelah mobil berangkat aku bergegas mandi dan


hendak bersiap ke kampus.Tiba-tiba hp-ku berbunyi. Sms
dari Ulya, minta ketemuan jam 9. Aku mengiyakannya.
49
Aku melihat jam yang menunjukkan pukul 06.10, aku
beranjak ke kamar mandi. Setengah jam kemudian aku
sudah rapi. Aku kembali membuka laptopku dan
memeriksa kembali tulisanku. Setelah kupastikan tidak
ada kesalahan dalam penulisan aku mengcopy ke
flashdisk. Pukul 06.50 aku telah bersiap berangkat ke
kampus.

~0~

Di parkiran baru ada beberapa motor ketika aku


memarkirkan motor. Gedung Fakultas Ilmu Sosial
memang terletak agak berjauhan dengan Fakultas lain,
sehingga parkiran Fakultas dari 3 Prodi itu hanya khusus
Fakultas Sosial. Aku melihat jam tanganku yang
menunjukkan pukul 07.25, aku berjalan menuju ruang
kaprodi. Belum ada orang, aku menunggu sambil
mengecek kembali tulisan bab 2 ku. Sepuluh menit Pak
Raja belum datang juga,aku melanjutkan lagi dengan
membuka tulisanku untuk ke empat kalinya. Pak Raja
belum datang juga, aku mengeluarkan hp-ku dan
mengirim pesan padanya.

50
Maaf telat mas Fikri. Saya lagi perjalanan tunggu
10 menit. Balas Pak Raja melalui WA.

Aku menghela nafas dan melihat jarum jam yang


menunjuk angka 07.52.aku memuroja’ah satu halaman
hafalanku sebelum subuh tadi. sampai aku selesai Pak
Raja belum juga tampak. Aku menambah satu ayat hafalan
dengan membuka Qur,an digital di hp. Biasanya setelah
subuh aku menambah hafalan 1 halaman lagi, sehingga
dalam sehari bisa menghafal 2 sampai 3 halaman. Aku
menargetkan sudah hafal 30 juz sebelum wisuda.

“Maaf, lama ya mas Fikri?” sapa Pak Raja yang


sudah berada didepanku, aku langsung berdiri dan
menyimpan hp-ku,

“Lumayan Pak,” jawabku jujur sambil menyeringai


dengan senyum,

Aku mensilent hpku lalu mengikuti Pak Raja


memasuki ruangannya. Kurang lebih 20 menit aku berada
didalam ruangan itu, hanya beberapa tulisan yang perlu
diperbaiki dan paragraf yang dihilangkan.

51
“Bab 3 sudah mulai diketik?” tanya Pak Raja
setelah selasai mengoreksi tulisanku,

“Baru dua halaman Pak,” jawabku gugup, aku


tidak menduga Pak Raja akan menanyakan Bab 3.
Biasanya beliau akan menanyakan bab selanjutnya jika
bab sebelumnya sudah benar.

“empat hari lagi kita ketemu lagi. Kamu perbaiki


ini, sekaligus bawa bab 3 sekalian. Jamnya nanti saya
kabari,” kata Pak Raja,

Aku terkejut. Bab 3 adalah bab inti dari penelitian,


mana bisa selesai dalam 4 hari, belum merevisi bab 2.
Apalagi aku belum wawancara sumber penelitianku.

“Bagaimana Fik?” tanya Pak Raja melihatku


terdiam agak lama, aku tergagap,

“Kalau seminggu bagaimana Pak?” tanyaku


meminta tambahan waktu,

“Saya ada acara di Malang 10 hari. Makanya saya


minta kamu sekaligus membawa bab 3 supaya nanti kamu
tidak bingung mengerjakannya. Lagian ini sumber kamu

52
kan dekat semua kan, nggak ada yang di luar kota?” jelas
Pak Raja,

“Baik, Insya Allah bisa,” jawabku akhirnya, aku


tidak ingin skripsiku tertunda,

“Ya sudah, hari ini cukup. Ada yang perlu


ditanyakan?” tanya beliau lagi sebelum menutup
pertemuan kami,

“Oh, ya. Pendaftaran KKN sudah di buka. Silahkan


mendaftar lewat anjungan.” Imbuhnya lagi,

“Oh, ya Pak. Kalau Ujian kompre bulan apa ya


Pak?”

“Bulan Februari awal biasanya sudah dibuka,”

“Baik Pak, terimakasih,” kemudian saya pamit dan


beranjak dari ruang Kaprodi.

Aku segera menghubungi Ulya untuk bertemu


sekarang. Ternyata dia baru saja sampai diparkiran, aku
mengajaknya untuk ketemu di kantin Utara, sekalian
sarapan. Aku berjalan menuju kantin, ternyata Ulya sudah
menunggu disana.
53
“Cepet banget,” sapaku pada Ulya yang sedang
membuka laptop,

“Baru aja sampai. habis bimbingan?”, tanyanya,


aku mengangguk lalu meletakkan tasku di meja,

“Sudah pesan?” tanyaku, Ulya menggeleng,

“sama kaya’ kamu aja,” katanya kemudian.

Aku lalu menuju kasir dan memesan makanan


serta minuman, lalu kembali ke meja Ulya dan mengambil
tempat duduk di hadapan Ulya. Ulya masih sibuk dengan
laptopnya.

“Judulmu sudah di ACC?” tanyaku, Ulya


menyingkirkan laptopnya yang dibiarkan tetap menyala,

“Itu dia, aku butuh pendapatmu,” jawabnya,

“Selain ada hal yang lebih penting yang aku butuh


saranmu,” lanjutnya agak pelan,

Petugas kantin datang membawa pesanan, kami


berdua menikmatisarapan sebelum masuk ke inti
pembicaraan. Nampaknya hal kedua yang akan

54
dibicarakan Ulya sangat penting. Tiba-tiba hp-ku
berdering. Telpon dari mas Alfan, aku mengangkatnya di
depan Ulya, agar nanti kalau ada hal yang harus
membuatku segera pergi, Ulya bisa memahami.

“Assalamu’alaikum mas?”,

“Waalaikum salam. Kamusudah selesai Fik?”


tanya Mas Fikri dari seberang,

“Sudah Mas, ini lagi sarapan,” Jawabku,

“Ya sudah selesaikan dulu, nanti langsung ke


Rumah sakit Mulyono aja, di ruang Melati, nomor. 2,”

“baik mas,” jawabku lalu menutup telepon.

“Mas Alfan?” Ulya menebak, aku mengangguk,


“Ada apa?”, tanyanya lagi,

“Bu Nur masuk rumah sakit dan aku diminta


segera kesana,” aku menjelaskan,

“Bu Nur itu siapa?”,

“Istrinya Pak Sidiq,”

55
“Ya sudah, kalau begitu setelah makan kamu
langsung kesana saja, aku bisa lain kali.”

“nggak masalah, kamu sampaikan dulu aja. Sambil


kita makan,” jawabku,

Ulya lalu meneguk minumannya sebelum mulai


bicara.

“Untuk judul skripsi kita bicarakan lain kali saja,


aku juga bisa minta tolong Fathimah. Untuk hal yang
kedua ini aku sangat butuh saranmu,” kata Ulya memulai
percakapan yang tampaknya sangat penting, aku diam
mendengarkannya.

“Ilham kemarin menembakku,” aku hampir


tesedak mendengarnya, untungnya aku bisa menahannya,
aku mengambil air minum didepanku, aku menunggu Ulya
melanjutkan kalimatnya.

Ulya masih terdiam, ia menggeser es Jeruk yang


baru saja diseruputnya ke sebelah kanan.aku menatapnya
dan menunggunya melanjutkan kalimatnya, Ulya
menatapku, pandangan kami bertemu. aku segera
menunduk.
56
“Lalu?”, tanyaku sambil terus melanjutkan makan,

“Menurutmu aku harus gimana?”

“Maksudnya?” tanyaku meminta mengulangi


pertanyaannya,

“Aku harus menerimanya atau menolaknya?”


Tanya Ulya memperjelas pertanyaannya,

“Ya itu kembali ke kamu sendiri Ul. Kamu mau


nggak pacaran sama dia?” aku sedikit menekankan pada
kata pacaran,

“Sebenarnya aku sudah jatuh cinta sama orang


lain, tapi aku nggak tega menolak Ilham, dia sangat baik
dan perhatian sama aku Fik,”

Aku diam. Bingung mau bicara apa. Pikiranku


bukan lagi pada Ilham dan Ulya, tapi justru penasaran
siapa orang yang dicintai Ulya. Setahuku, laki-laki yang
dekat dengan Ulya hanya aku dan Ilham. Jujur ada sedikit
rasa cemburu menyelusup di hatiku, aku segera berusaha
menyingkirkannya dengan istighfar.

57
“Aku harus gimana Fik?” Tanya Ulya lagi, ia
menenggelamkan wajah ayunya ke dalam kedua
tangannya yang sedeku diatas meja,

Aku menghela nafas sebelum memberi solusi


untuk Ulya, “Sekarang begini. Kamu maunya gimana?
Menerima atau menolak?” tanyaku pada Ulya,

Ulya menunduk, “Sebenarnya aku ingin menolak.


Tapi aku takut itu akan membuat persahabatan kami
renggang,” jawabnya pelan,

“Aku bingung Fik,” katanya hampir menangis, kali


ini kedua tangannya menutup wajahnya,

“Begini ya Ul, Setahuku dalam islam itu nggak ada


istilah pacaran, yang ada adalah ta’aruf, yaitu masa
perkenalan sebelum menuju pernikahan. Sebagai aktivis
keagamaan Ilham pasti paham dengan hal itu. kalau kamu
menolaknya dengan alasan seperti itu, aku yakin dia bisa
menerima.” Ceramahku pada Ulya, Ulya mengangguk
paham.

58
6

Sekitar pukul sembilan aku langsung menuju


rumah sakit, tempat Bu Nur di rawat. Ketika sampai di
pertigaan UIN aku berhenti lalu mengambil ponselku
untuk menghubungi Mas Alfan. Barangkali ada sesuatu
yang perlu ku bawa dari rumah sebelum ke rumah sakit.
Mas Alfan memintaku untuk membawakan beberapa baju
dan peralantan mandi untuk Pak Sidiq dan Bu Nur. Aku
lalu berbelok kanan memasuki komplek UIN, lalu masuk
gang kecil dan belok kanan di jalan besar diujung gang.

Aku memarkirkan motorku di depan masjid


sekaligus halaman rumah Pak Sidiq. Ternyata mbak
Hikmah, putri sulung Pak Sidiq sudah disana bersama
anak dan suaminya. Aku lalu meminta tolong Mbak
Hikmah untuk menyiapkan pakaian. Sambil menggendong
Shiha mbak Hikmah menyiapkan keperluan yang aku
minta. Aku menunggu diruang tamu bersama Mas Fahri,
suami mbak Hikmah.

“Sampai sini jam berapa mas?” tanyaku membuka


percakapan,

59
“Jam setengah 9 tadi sampai dirumah sakit. Terus
ini juga baru sampai disini,” Jawab Mas Fahri,

Tidak lama kemudian Mbak Hikmah keluar


dengan membawa tas besar. Mbak Hikmah lalu duduk
disamping suaminya, kedua matanya masih sembab. Dari
raut wajah mbak Hikmah aku bisa menebak sakit Bu Nur
tidak bisa dianggap sepele. Aku segera pamit menuju
rumah sakit setelah menanyakan ruang rawat Bu Nur,
hanya untuk memastikan.

Pukul 11 kurang aku sudah berada di ruang ICU.


Ternyata Bu Nur belum bisa dipindah ke kamar rawat.
Kondisinya kritis. Setengah jam setelah di UGD Bu Nur
langsung koma dan langsung dibwa ke ICU. Di dalam
hanya ada aku dan Pak Sidiq yang tidak keluar sejak
masuk tadi. Setelah melihat kondisi Bu Nur aku kembali
menemui Mas Alfan diruang tunggu.

Mas Alfan sedang duduk dikursi yang berderetan


di lorong-lorong rumah sakit. Bahunya bersandar pada
kursi, sedangkan wajahnya sedikit menengadah. Aku
mendekatinya, Wajahnya kelihatan sangat letih. Wajahnya
yang terpejam segera terbuka begitu menyadari aku telah
60
duduk disampingnya. Mas Alfan menegakkan badannya
yang baru saja bersandar dikursi. Ia mengusap wajahnya
dengan kedua telapak tangan.

“Capek mas?” tanyaku, mas Alfan hanya


tersenyum, lalu melihat jam tangannya,

“Pak Sidiq masih didalam?” tanyanya kemudian,

“Masih,”

“Aku masuk sebentar,” katanya lalu beranjak dari


tempat duduknya,

Aku tak beranjak dari tempat dudukku,Mas Alfan


berada di dalam cukup lama, hampir satu jam. Sambil
menunggu mas Alfan aku mengamati sekeliling,
dibeberapa didinding rumah terdapat banyak gambar-
gambar medis. Hampir semua gambar itu merupakan
gambar otak, hanya berbeda bentuk. Aku selalu tertarik
dengan tulisan tulisan di mading. Selain singkat, juga
disertai gambar, jadi meskipun tulisannya bukan bidangku,
aku masih bisa berimajinasi. Aku tertarik pada gambar 5
otak yang masing-masing didalamnya berbeda warna. Dari
kejauhan aku sudah bisa menebak bahwa itu pasti gambar
61
tentang kanker otak. Aku beranjak mendekati gambar
tersebut dan membacanya. Aku semakin tertarik dengan
gambar-gambar lainnya. Barangkali jika Mas Alfan tidak
segera menghampiriku aku akan membaca seluruh tulisan
yang tertempel dinding-dinding rumah sakit itu.

“Sebentar lagi adzan dhuhur. Kita ke mushola


dulu, setelah itu cari makan siang,” kata Mas Alfan,
seperti biasa kata-kata Mas Alfan selalu bernada komando
dan jarang aku menolaknya.

Kami lalu berjalan menuju mushola di lantai 3


rumah sakit tersebut. Kami sampai dimushola tepat ketika
muadzin hendak mengumandangkan adzan. Aku dan mas
Alfan segera menuju tempat wudlu.

Usai sholat mas Alfan mengajakku mencari makan


siang. Sebenarnya dilantai 2 ada kantin yang cukup luas,
tetapi mas Alfan mengajak mencari makan di luar, aku
menurut. Kami lalu turun menggunakan lift lalu keluar
melalui pintu depan.

62
“Seenak apapun makannanya, kalau di rumah sakit
itu rasanya nggak enak Fik.” Kata mas Alfan ditengah
perjalanan.

“Nanti sekalian beli pampers buat Bu Nur di


supermarket terdekat,” lanjutnya,

Aku terus mengikuti langkah Mas Alfan. Begitu


sampai dipintu gerbang, aku dan Mas Alfan menyeberang
jalan. Diseberang jalan terdapat berbagai toko dan warung
makan yang berjajaran. Mas Alfan mengajakku masuk
warung makan Padang yang berada agak ujung. Tidak
lebih setengah jam kami makan di warung itu. Lalu mas
Alfan mengajakku ke minimarket yang terletak tepat
disamping warung makan Padang tersebut. Kemudian
kami kembali kerumah sakit. Aku heran ketika mas Alfan
justru menuju parkiran.

“Lho Mas, kenapa ke parkiran?” protesku, tetapi


aku tetap mengikutinya,

“Motornya kamu parkir dimana?” mas Alfan justru


tanya balik, aku menunjuk motor yang sudah ada
disamping kiri kami.

63
“Aku mau jemput Farida dulu dipondoknya. Kamu
bawa ini ke rumah sakit, sekalian gantiin Pak Sidiq jagain
Bu Nur. Biar Pak Sidiq sholat dan cari makan siang dulu,”
kata mas Alfan sambil meminta kunci motornya.

Aku baru ingat kalau Pak Sidiq punya dua anak


perempuan. Aku hampir tidak ingat dengan Farida, karena
selama aku tinggal di mushola Al-Muhajirin baru sekali
bertemu, itupun sudah 2 tahun yang lalu. Dia sangat jarang
pulang, karena dia mondok di Tulungagung. Sebenarnya
aku masih penasaran, kenapa tidak disuruh pulang sendiri
aja. Kan bisa naik kereta. Tapi tidak ada waktu untuk
mempermasalhkannya. Lagipula bukan hakku juga.

~0~

Aku masuk di ruang Bu Nur tepat ketika Pak Sidiq


mengucapkan salam. aku menunggunya selesai berzikir
dan berdoa, kuletakkan bungkusan plastik yang kubawa
diatas lemari disamping Bu Nur berbaring. Aku lalu duduk
di shofa di ruangan itu sambil menunggu Pak Sidiq
selesai.aku memandangi Bu Nur yang tak sadarkan
diri.berbagai selang menempel ditubuhnya.untuk
membantu pernapasan dan memasukkan makanan dan
64
juga infuse di tangan kirinya. aku sangat iba melihat
keadaan Bu Nur yang terbaring tak berdaya.

“Sudah sholat Fik?” Tanya Pak Sidiq setelah


selesai, beliau bangkit lalu menaruh sajadahnya di kursi.

“Alhamdulillah sudah Pak, tadi bareng mas Alfan


sekalian makan siang,” jawabku,

“Bapak kalau mau makan silahkan, biar saya yang


nunggu Bu Nur,” lanjutku,

Tapi Pak Sidiq justru duduk disampingku.ia


menyandarkan tubuhnya di shofa dengan posisi setengah
tidur.wajahnya tampak letih dan khawatir.beberapa kali
menarik napas panjang.

“Alfan sudah berangkat menjemput Ida?” tanyanya


setelah diam beberapa saat,

“Sudah, tadi habis makan siang langsung


berangkat.memangnya dijemput dimana Pak?” tanyaku
akhirnya,

“ke pondoknya di Sleman,”

65
“Lho, bukannya di Tulungagung?” tanyaku lagi,
sedikit terkejut,

Pak Sidiq menggeleng dan tersenyum, “kamu itu


apa to Fik.jangankan Ida yang nggak pernah di rumah. lha
wong sama Ulya yang temenmu sendiri aja kamu nggak
perhatian,” jawabnya dengan bibir masih menyungging
senyum,

“Ya kalau saya perhatian sama Ulya kan belum


halal pak.” balasku,

Dalam hati aku bertanya-tanya kenapa Pak Sidiq


menyinggung perhatianku pada Ulya. padahalmenurutku
hubunganku dengan Ulya biasa saja, dan kami tidak
pernah berjalan berdua-duaan saja kecuali di kampus,
itupun di tempat ramai.lagi pula Ulya sangat jarang main
ke masjid, bahkan baru dua kali ketemu Pak Sidiq.

“Tapi kok Ida jarang pulang ya Pak. padahalkan


masih dalam satu kota,” tanyaku tak bisa
menyembunyikan penasaranku,

66
“Ya begitulah Ida.Kalau sudah kErasan di satu
tempat ya susah kalau disuruh pindah meskipun
dirumahnya sendiri,” Jelas Pak Sidiq,

“Tadinya ibunya udah minta suruh dirumah


saja.lagian jarak UGM ke rumah kan nggak jauh,”
Imbuhnya yang membuat aku semakin malu, karena aku
sangat tidak tahu mengenai keluarga orang yang sudah aku
anggap orang tuaku sendiri itu,

“Loh, Ida sudah kuliah?,” tanyaku untuk kesekian


kali,

“Iya, baru semester 1 ini. Ida juga pernah cerita,


belum lama ini dia ikut pengajian yatiman yang kamu isi
itu,”

“wah, maaf pak saya jadi banyak Tanya. saya juga


malu, Orang yang sudah saya anggap orang tua sendiri
tapi saya malah nggak kenal keluarganya,” ucapku kikik,

“Bukan salahmu Fik.Justru itu tandanya kamu


fokus dan sungguh-sungguh dengan belajarmu, saya suka
pemuda seperti kamu.Jaman sekarang susah mencari
orang sepertimu”,
67
“Tapi Alfan sering saya ajak menjenguk Ida ke
pondoknya.memangnya dia tidak pernah cerita?” Tanya
Pak Sidiq lagi, aku menggeleng, Pak Sidiq mengangguk,

“Pak Sidiq tidak mau makan dulu?” tanyaku begitu


ingat tawaranku tadi untuk menjaga Bu Nur,

“Aku kok nggak tega ya Fik, ninggal Bune.Aku


minta tolong kamu beliin nasi bungkus saja, sekalian
pinjemin piringnya ya,”

Aku lalu beranjak keluar lagi menuju lantai dua


menuju kantin.tidak terlalu lama aku menunggunya,
kemudian aku telah berada di lift.10 menit kemudian aku
telah sampai di ruang Bu Nur lagi, aku memberikan
bungkusan nasi kepada Pak Sidiq.Aku lalu duduk
disamping pembaringan Bu Nur sambil membaca do’a
serta ayat-ayat al-Qur’an yang aku hafal.Tidak terasa air
mataku menetes.melihat Bu Nur terbaring seperti itu aku
seperti melihat Ibuku sendiri.Lalu aku mendoakan Ibuku
dirumah agar senantiasa diberi kesehatan.

68
“Assalamualaikum,” ucap seseorang dari ambang
pintu yang telah terbuka, dua orang muda-mudi telah
berada di ambang pintu.

Tanpa menunggu jawaban salam perempuan itu


langsung menyongsong Bu Nur sambil menangis tersedu-
sedu.Aku seperti tersengat listrik melihat perempuan
itu.Aku yang duduk tepat disamping Bu Nur berbaring
segera menyingkir dan memberi tempat untuk perempuan
itu sambil terus mengamatinya, untuk memastikan apakah
dia gadis temannya Vina yang menghampiriku di raung
kelasku waktu itu?

Setelah beberapa saat memeluk Ibunya gadis itu


mengangkat wajahnya dan memandang Ayahnya lalu
menatapku sekejap.dan aku sangat yakin sekarang, bahwa
dia gadis yang menagis waktu itu.

Aku menatap mas Alfan hendak menanyakannya,


tapi aku mengurungkannya, Mas Alfan juga tidak akan
paham karena aku memang tidak pernah cerita hal itu pada
mas Alfan.keherananku semakin bertambah dengan
penampilan mas Alfan yang lebih modis dari biasanya.
memakai celana jeans, kaos pollo dan jaket kulit. Jujur dia
69
terlihat lebih tampan dari biasanya.Apa karena akan
bertemu Ida? entahlah, tapi bukankan tadi Pak Sidiq
mengatakan bahwa beliau sering megajak mas Alfan
menyambangi Ida, dan aku belum pernah melihat Mas
Alfan dandan seperti itu setiap[ diajak pergi Pak Sidiq
maupun kuliah.

Ida masih duduk disamping Ibunya sambil terus


menunduk dan menangis.Pak Sidiq menghampiri putrinya
itu sambil mengatakan beberapa kalimat yang meminta
putrinya itu untuk tabah dan terus berdo’a.Aku dan Mas
Alfan keluar ruangan, untuk member waktu kepada
kelurga kecil itu berbicara.

70
7

Aku baru saja mau menghidupkan motorku ketika


hp-ku bergetar.Aku mengambilnya dari saku celana,
tertulis 1 pesan baru dari Ulya di layar lalu aku
membukanya.Aku kembali meletakkan motorku dan
kembali menuju kantin tempat kami bertemu terakhir kali
seminggu yang lalu.memang sejak tahun Bu Nur sakit
Ulya baru kali ini menghubungiku, dia orang yang peka.

Sesampai di kantin aku segera menghampiri Ulya


yang ternyata tidak sendiri.

“Hai Ruli, sudah sembuh? maaf ya nggak bisa


jenguk ke kerumah,” sapaku pada Ruli yang habis
kecelakaan motor sebulan lalu.

“Nggak apa-apa Fik.Aku tahu kamu sibuk, lagian


kan udah jenguk waktu di rumah sakit,”

“Iya tapikan baru sekali, habis Ulya kalau


kerumahmu nggak pernah ajak-ajak, main nyelonong
sendiri aja,” jawabku pura-pura menyalahkan Ulya,

“Habis situ sok sibuk sih,” serang Ulya,

71
“kabarnya udah mulai skripsi nih?” Tanya Ruli
mengalihkan pembicaraan,

“Alhamdulillah, doanya saja bisa lulus April.”


jawabku merendah,

“sudah sampai bab berapa Fik?” Tanya Ruli lagi,

“udah mau selesai. sudah bosan jadi mahasiswa


dia,” sahut Ulya,

“Minta doanya aja biar cepet selesai.oh ya, kalian


sudah daftar KKN?” Tanyaku lagi,

keduanya mengangguk, Ulya lalu menyodorkan


laptopnya padaku, “Nih daftar sekalian,” ujarnya,

aku lalu membuka anjunganku dan memilih tempat


KKN,

“Yang enak dimana Ul?” tanyaku,

“Nggak tahu,” jawab Ulya,

“Kamu pilih dimana?”

“Pleret, Playen dan Patuk,”

72
“Suka banget sama huruf P,” sambil mengeklik
tempat-tempat yang di pilih Ulya,

aku juga heran sama Ulya yang suka banget sama


huruf P. Padahal namanya tidak ada huruf P.nya sama
sekali, Ulya Fitriyani, kenapa bukan Y yang menjadi
unsure terbanyak dalam namanya.

“Eh, ini ada yang di Gunung Kidul juga?” tanyaku


begitu melihat pilihan di bawah, lalu aku menggantipilihan
pertamaku dengan Gunung Kidul,

Aku mengembalikan laptop itu pada Ulya, setelah


itu semua terdiam.aku memandangi Ruli dan Ulya
bergantian. keduanya juga terus memandangiku tampak
menungguku bicara.

“Jadi gimana Ul.Apa yang bisa saya bantu?”


tanyaku akhirnya, setelah beberapa saat kami hanya saling
memandang tanpa suara,

“Aku sudah memberi jawaban pada Ilham sesuai


yang kamu sarankan. Tapi dia malah mau langsung
melamarku,”

73
“Wah bagus dong, berarti dia benar-benar serius,”
jawabku serius,

Tak kusangka Ulya justru melayangkan tangannya


ke bahu kananku.aku meringis kesakitan.

“Kamu jahat banget sih Fik,” ujarnya cemberut,

Tiba-tiba hp Ruli berdering, gadis berambut


panjang dan berkacamata itu lalu ijin menjauh untuk
mengangkat telponnya.perhatianku dan Ulya beralih
sejenak ke Ruli.tiba-tiba Ulya mencubitku lagi begitu Ruli
menghilang dari hadapan kami.aku meringis lagi.

“Apa-apaan sih Ul,” keluhku agak marah,

“Habis kamu jawabannya begitu.kamu kan tahu,


aku tidak mau menikah sama Ilham,” Ujar Ulya tidak
kalah geram

Aku masih terdiam.Ulya terdiam.Aku


menunggunya bicara, tapi dia masih saja diam.

“Tau ah, kamu nggak peka,” kata Ulya lalu pergi


begitu saja di kantin,

74
aku menghela nafas panjang.Aku semakin jengkel
dibuatnya, perempuan itu memang aneh.Dia
mengundangku kesini lalu marah-marah nggak jelas dan
meninggalkanku begitu saja.

Aku akhirnya beranjak menuju kasir dan memesan


makanan dan minuman sambil menunggu Ruli.Tetapi
sampai aku selesai makan Ruli tak datang juga, akhirnya
aku pulang setelah membayar ke kasir.

“Tadi Mbak Ulya sama mbak Ruli belum bayar


mas,” kata penjaga kantin yang sudah hafal dengan aku
dan Ulya, bertambah kesal lagi aku sama Ulya. untung
mereka cuma pesan dua jus.

Sampai diparkiran aku jadi teringat Fajar yang


tidak ada kabar hampir 2 bulan.Sebelum pulang aku
mampir ke kos-kosan Fajar, kangen juga aku tidur siang di
kos-kosan bocah sableng itu, juga kangen sama orangnya.
meskipunugal-ugalan dia sangat setia kawan dan tidak
pilih-pilih teman.

Ibu pemilik kos langung menghampiriku begitu


melihatku .

75
“Mas Fikri kok sudah lama sekali tidak kesini sih,”
sapanya,

“Maaf bu, habis Fajar nggak ada, lha saya mau


main di kamar siapa,” balasku sambil tersenyum,

“Aku itu sudah menunggu mas Fikri sejak


lama.mau nelpon mas Fikri nggak punya nomornya. Fajar
juga tidak bisa di hubungi,” Ibu kos itu langsung
mencecarku.

“Berarti Fajar belum pernah kesini lagi dong Bu?”


tanyaku kemudian

“Sudah, buat ambil barang-barang,” jawab Ibu Siti,

“Ambil barang-barang?maksudnya? berarti Fajar


tidak disini lagi?”

“Memangnya dia nggak pernah ngasih kabar


samaMas Fikri?”

Aku menggeleng, aku kaget bukan


kepalang.Benar-benar nekat itu anak.Aku pikir ketika dia
bilang ingin putus kuliah hanya efek emosi sesaat karena
tugasnya tidak diterima oleh salah satu dosen.Aku lalu
76
mengambil hp-ku dan mencoba menghubungi Fajar tetapi
nihil.

“Percuma mas, dari kemarin saya hubungi dia juga


nggak di angkat,”

“Ibu ada kepentingan apa menghubungi Fajar?”


tanyaku sambil memasukkan hp-ku ke saku celana

Bu Siti lalu menyodorkan sebuah amplop coklat


panjang berlogo Universitasku, dada ku mencelos, aku
sudah menduga surat itu pasti surat DO.Tapi bukannya
baru dua bulan Fajar tidak kuliah.

Aku pulang dengan hati masygul. Tiba-tiba aku


merasa kangen dengan Fajar, semua bayang-bayangnya
satu persatu berkelebatan.Fajar orang yang baik hati,
meskipun masih sering melakukan kemaksiatan dan tidak
pernah sholat, tapi dia tidak pernah menyakiti orang lain.
Jujur aku sangat berharap Fajar bisa meninggalkan
kebiasaan buruknya. Fajar juga sahabat terdekatku
diantara semua teman-temanku.

Aku terkejut ketika tiba-tiba motorku oleng,


padahal waktu itu aku mengemudi dengan kecepatan agak
77
tinggi. Aku menginjak rem belakang dan depan tetapi ban
bagian belakang berbelok-belok, aku sudah tidak bisa
mengendalikan motorku lagi, aku melihat ada mobil sedan
menyalip bus dari arah berlawanan, sedangkan di depanku
ada sebuah batang pohon penanda jalan berlubang, aku
merasa badanku melayang lalu menghantam pembatas
jalan, terakhir aku melihat beberapa orang berlarian
menghampiriku, dan setelah itu semuanya gelap.

~0~

“Fik..Fikri, bangun Fik”, terdengar suara Bu Nur


membangunkanku,

Perlahan aku membuka mataku. Aku melihat


sekeliling, ternyata aku sudah terbaring di kasur lantai,
kamar marbot masjid Al-Muhajirin, tempat biasa aku dan
mas Alfan tidur. Aku melihat seluruh badanku yang tidak
ada luka sedikitpun, aku juga tidak merasakan sakit. Lalu
aku menoleh ke arah Bu Nur yang sedang duduk
bersimpuh di sampingku. Aku hendak bangun, tapi Bu
Nur mencegahku.

78
“Sudah, tidak usah bangun,” cegah Bu Nur, aku
lalu kembali berbaring,

Entah kenapa aku menurut saja, padahal aku bisa


bangun dan itu sangat tidak sopan. Aku kembali menatap
Bu Nur dengan penuh tanda tanya. Bu Nur kelihatan
sangat sehat, wajahnya cerah seperti biasa. Ia masih
memakai mukena, sajadahnya diletakkan
dipangkuannya.Padahal, tadi pagi sebelum aku berangkat
beliau masih terbaring di rumah sakit dengan tubuh yang
penuh dengan selang dan alat bantu. Dan tubuhku, tidak
terjadi apa-apa setelah kecelakaan tadi. Entah siapa yang
membawaku kesini. Aku ingin menanyakan banyak hal
kepada Bu Nur,tapi aku tak bisa berucap sepatah katapun.

“Fik, ibu mau pergi lama. Ibu nitip keluargaku ya,


termasuk Ida.” Ucap Bu Nur pelan, perlahan tampak
matanya berkaca-kaca,

“Kalau perlu dan jika kamu tidak keberatan, tolong


nikahi dia,” jantungku seperti mau copot mendengar
kalimatnya yang terakhir. Kenapa Bu Nur meminta aku
menikahi Ida, padahal tadi malam Mas Alfan cerita bahwa
sudah lama Pak Sidiq menjodohkannya dengan Ida,
79
meskipun keduanya, baik Mas Alfan maupun Ida belum
memberi jawaban, tapi aku bisa melihat mereka terutama
mas Alfan sedang membangun chemistry antara mereka.

Tapi lagi-lagi aku hanya bisa menatap Bu Nur


dengan penuh tanda tanya. Seperti tahu isi hatiku Bu Nur
melanjutkan kalimatnya.

“Ida sangat mencintaimu. Tidak lama setelah kamu


tinggal disini,”

Aku menggeleng keras, hanya itu yang bisa aku


lakukan.

“Tolong Fik. Ibu yakin kamu bisa menjaganya


dengan baik.Ibu juga percaya kamu tidak jauh baiknya
dengan Alfan. Ida memilihmu Fik,” Bu Nur akhirnya
menangis,

Tapi aku tetap bersikeras menolak. Tidak mungkin


aku menikahi gadis yang akan dinikahi mas Alfan, itu
sama saja aku menghinanya. Dan hal itu tidak akan pernah
kulakukan seumur hidup.Aku sangat menghormati mas
Alfan, ia sudah seperti kakak dan guru bagiku, bahkan

80
apapun yang ia perintahkan akan kulakukan jika mas
Alfan mau melakukan itu.

Aku berusaha keras untuk bicara. Bu Nur masih


terisak. Dan akhirnya,

“Maaf Bu, aku...” baru saja aku mulai bicara, tiba-


tiba Bu Nur hilang dari hadapanku, aku terkejut dan
berteriak memanggil-manggil namanya hingga terbangun
dari pembaringan.

“Astaghfirullah Fik,” terdengar suara mas Alfan


yang terkejut dan segera menghampiriku,

“Bu Nur mana mas, dimana?” tanyaku gelagapan,


kepalaku terasa pusing, bahu kiriku sangat nyeri,

mas Fikri memegang kepalaku dan


menghadapkanku ke wajahnya, “Istighfar Fik, tenang,”
ujarnya berkali-kali sambil terus memegang kepalaku
dengan kedua tangannya,

aku beristighfar berkali-kali, berangsur-angsur aku


mulai tenang. Kepalaku masih pening, aku melihat
sekeliling dan kali ini aku berada disebuah kamar rumah

81
sakit. Aku mleihat bahu kiriku, tampak kain kasa melilit
bagian atas tanganku itu. dan aku sadar tadi hanyalah
mimpi, tapi sangat kelihatan seperti nyata.

Aku memandang mas Alfan yang masih


memperhatikanku. Wajahnya tampak begitu letih, tapi
matanya tetap bersinar, menyiratkan kasih sayang.Mata
yang biasa membuat aku tenang itu kini tampak sangat
menyayat hati. Tak bisa kubayangkan jika apa yang
diminta Bu Nur itu terjadi. Sungguh dunia pasti akan
melaknatku.

Tanpa terasa air mataku menetes.

“Fik, kamu kenapa? Apa yang terjadi? Kamu baik-


baik saja?”, tanya mas Alfan, ia tampak begitu khawatir

Aku tak sanggup menjawab. Aku lalu


memeluknya. Rasa nyeri di bahu kiriku telah ku abaikan.
Mas Fikri menyambut pelukanku. Cukup lama aku tersedu
dibahunya.

“Fik, kamu baik-baik saja kan?” tanyanya lagi


dengan suara pelan, aku masih menangis,

82
Ya Allah bagaimana mungkin Bu Nur memintaku
untuk menikahi Ida, perempuan yang jelas-jelas sudah
dijodohkan dengan Mas Alfan, orang yang sangat
kuhormati.

“Mas aku minta maaf jika selama ini ada


perbuatanku yang menyakitimu,” kataku akhirnya,

“Nggak.kamu nggak pernah menyakitiku Fik,”

“Tolong, apapun yang terjadi nanti, Mas Alfan


tetap menganggapku adik, menganggap Fikri yang selama
ini,” lanjutku,

“Fik, kamu ngomong apa sih?”

aku tidak menghiraukan pertanyaan mas Alfan,


karena aku sendiri tidak bisa menjawabnya. aku terus
meracau, “seandainya nanti aku tidak sengaja menyakiti
mas, atau membuat mas Alfan marah, sungguh aku tidak
bermaksud berbuat seperti itu,”

“Sudah, Fik. Cukup, sudah.” ujar Mas Alfan agak


keras,

83
Terdengar Mas Alfan menatapku sambil istighfar,
aku juga melakukan yang sama. Mas Alfan lalu
mengambil gelas berisi air puti, lalu menyodorkannya
kepadaku.aku beristighfar berkali-kali hingga aku merasa
tenang.

84
8

Hari kedua dirumah sakit aku belum bisa beranjak


dari tempat tidur.Siang itu, sekitar jam sebelas aku merasa
sangat mengantuk.semalam aku tidak bisa tidur karena
badanku nyeris semua. ibu yang sudah di sana sejak sore
juga tidak bisa tidur karena ka uterus mengeluh.

Aku hampir terlelap ketika mendengar ibu


menjawab salam seseorang. kulihat mas Alfan telah
berdiri di ambang pintu, dibelakangnya kulihat ada Ida.
mereka lalu masuk.

“Gimana Fik, masih nyeri?” Tanya mas Fikri


sambil memijit kakiku,

“Lumayan mas,”jawabku,

“Gimana keadaan Bu Nur?” tanyaku kemudian

“Insya Allah, nanti sore akan di operasi. doakan


saja mudah-mudahan berhasil,” jawab Mas Alfan

“Amiin.mudah-mudahan mendapat yang terbaik


mas,” kataku,

85
“sebenarnya Bu Nur Sakit apa Mas?” tanyaku,

“Kanker otak stadium 1”

“Innalillah.Ida yang sabar ya,” kataku kepada Ida


yang sejak tadi menunduk,

gadis itu tampak sedikit terkejut, ia lalu menunduk


pelan. Raut wajahnya masih menampakkan kesedihan.

“Ibu sudah makan?” Tanya Mas Alfan pada Ibu,

“Insya Allah puasa Mas Alfan,” jawab Ibu

“Masya Allah, ya sudah.saya keluar dulu.nanti


kalau butuh bantuan telfon aja,”

Mas Alfan dan Ida lalu pamit.mereka tidak lama


disana.

“Bu Nur sakit apa Fik?” Tanya Ibu padaku,

“Kanker otak stadium 3 Bu,”

“Innalillah,” ucap Ibu pelan,

Ibu lalu mengipasiku lagi.AC ruangan sengaja aku


minta matikan, karena membuat aku tidak bisa tidur.Lebih
86
enak dikipasi Ibu.Perlahan aku tertidur. Menjelang dhuhur
Ibu membangunkanku, beliau lalu membantuku tayamum.
kemudian Ibu pergi ke kamar mandi mengambil wudllu,
lalu kami sholat berjama’ah.

begitulah Ibu, selalu tidak mau ketinggalan sholat


berjamaah denganku jika aku ada didekatnya. Dulu ketika
Ayah masih ada, Ibu juga sering begitu. Bahkan Ibu selalu
ikut jamaah ke masjid, jika Ayah sholat di masjid.

“Fik, Ibu jenguk Bu Nur dulu ya.mumpung belum


masuk ruang operasi,” kata Ibu usai sholat,

Aku mengangguk.Ibu lalu melangkahkeluar kamar


rawatku.aku hendak melanjutkan tidurku yang terputus,
tiba-tiba aku teringat kejadian sebelum kecelakaan.aku
meraih ponselku yang tergeletak di atas meja samping,
lalu memencet-mencet keypadmencari nama Fajar, hp-ku
masih hp lama, belum layar sentuh.hasilnya nihil, nomor
Fajar sudah tidak bisa dihubungi lagi.aku meletakkan hp-
ku lagi di meja lagi.

~0~

87
Aku terbangun ketika Ilham, Rudi dan beberapa
teman-teman KMM datang menjengukku. Aku terharu,
ternyata mereka masih mengingatku.aku memperkenalkan
Ilham, Rudi dan Fahri kepada Ibu. Hanya mereka bertiga
yang aku kenal, lainnya aku lupa namanya.

“kejadiannya gimana sih maskok bisa terjadi


seperti ini?”, Tanya Rudi yang berada tepat disampingku,

“Ya, namanya juga nasib Rud.Mungkin karena aku


kurang fokus aja,” jawabku pada Rudi,

“Memangnya mikirin apa Mas Fikri, kok bisa


sampai jatuh.apa mikirin temannya Vina ya Mas?” Goda
Rudi setengah berbisik,

aku hanya tersenyum sinis menanggapi ocehan


Rudi.

“Oh, ya Ham. gimana kabar Ulya?” tanyaku pada


Ilham yang masih terdiam sejak tadi,

Saat itu hanya Rudi dan Ilham yang mengobrol


denganku. Fahri sesekali juga menyahut.sedangkan yang
lain, yaitu para perempuan mengobrol dengan Ibu.

88
“Aku malah mau tanya sama kamu kemarin Rud.
sudah seminggunan aku nggak tau kabarnya,” Jawab
Ilham,

aku diam, semua akhirnya terdiam. aku menunggu


Ilham atau Rudi mencari topik pembicaraan lagi.

“Mas, kapan sembuh?” Tanya Rudi tiba-tiba,

aku dan Ilham melongo mendengar pertanyaan


konyolnya itu, tapi akhirnya kujawab juga.

“Sekarang aku juga mau Rud, kalau ditanya


sembuh kapan,” jawabku,

“Eh, serius mas.aku mau ngundang mas Fikri buat


ngisi pengajian lagi,” ujar Rudi terus terang,

Ilham menempeleng kepala Rudi pelan, “Kamu


itu.tunggu kek Fikri sembuh dulu, atau minimal sampai
dia keluar dari rumah sakit,”omel Ilham

aku tertawa kecil, begitu juga Rudi, tersenyum


dengan muka tak berdosa.

89
cukup lama teman-teman KMM berada disana,
hamper 1 jam. mereka pamit ketika adzan ashar
berkumandang. Rudi dan Ilham pamit belakangan, mereka
pamit untuk sholat ashar dan janji akan kembali lagi.
mereka bilang akan menemaniku dan Ibu malamini di
rumah sakit.aku merasa senang akanada teman ngobrol
malamini.Ibu pasti lelah karena sudah menjagaku
seharian, belum lagi mondar-mandir mencari sesuatu yang
kuperlukan.

Aku teringat Ulya.Seandainya dia tidak marah


kemarin, mungkin saat ini dia sudah ada disini sejak
kemarin.menemani Ibu ngobrol dan membantunya
mencarikan keperluanku.Ulya orang yang ramah dan
supel, dari dulu dia sangat ingin bertemu Ibu.Tapi aku
belum ada waktu untuk memenuhi
keinginannya.Seandainyapengetahuan Ulya tentang agama
itu memadai, dan pakaiannya ia perbaiki sedikit saja,
sudah barang tentu ia kujadikan targetku setelah lulus
nanti.Tapi, bukankah aku bisa mengajarinya setelah nikah
nanti?tiba-tiba terbesit sentilan kecil dihatiku.

90
Tiba-tiba aku teringat mimpiku yang bertemu
dengan Bu Nur.Mimpi itu seperti benar-benar nyata.tapi
kenapa Bu Nur tiba-tiba memintaku menikahi Ida, padahal
ia sudah dijodohkan dengan Mas Alfan. laki-laki yang
jelas lebih baik dariku.

Dan gadis yang menghampiriku didepan kelas


waku itu? apakah benar itu Ida? Apa benar Ida diam-diam
mencintaiku? Tapi atas dasar apa?

aku menghela napas panjang.


Berusahamenghilangkan perempuan-perempuan itu dari
pikiranku.bagiku wanita yang saat ini sedang merawatku
itulah yang harus kuperjuangkan saat ini.

Aku lalu mengingatkan Ibu untuk sholat


ashar.Seperti biasa Ibu membantuku untuk tayamum, lalu
kami berjamaah berdua.

~0~

Bakda maghrib Mas Alfan kembali melihat


keadaanku, aku mengenalkannya kepada Rudi dan Ilham
yang saat itu sedang disana.

91
“Gimana Fik, sudah bisa digerakkan?”, tanya mas
Fikri,

“Alhamdulillah sudah mas, tadi Dokter juga


menyuruh untuk sering-sering latihan bergerak supaya
tidak kaku,” Jelasku,

“Kakimu sudah dipastikan tidak bermasalah?


Kamu tidak merasakan sakit di bagian kaki?” tanyanya
lagi,

Aku mengangguk. Hatiku teriris mengingat


mimpiku kemarin. Dalam hati aku berdoa semoga mimpi
itu hanyalah bunga tidur. Meskipun ada hal lain yang
membuatku lebih khawatir, aku khawatir jika yang
bersama Vina itu benar-benar Ida, dan jika yang dikatakan
Vina waktu itu benar. aku segera menggeleng dan
berusaha membuang semua pikiran buruk itu.

“Fik, kamu kenapa?” tanya Mas Fikri lagi, aku


menggeleng,

“Bu Nur gimana keadaannya mas Fikri?” tanya


Ibu,

92
“Itu dia Bu, saya kesini juga mau minta tolong,
mohon doanya untuk Bu Nur, semoga segera sadar,”

“Kemarin belaiu sempat sadar, dia juga sempat


menyebut-nyebut Fikri. Maka dari itu kalau Ibu dan Fikri
tidak keberatan saya minta ijin untuk membawa Fikri
menemui Bu Nur. Siapa tahu dengan mendengar suara
Fikri Bu Nur bisa sadar,” ucap Mas Fikri lagi, membuat
jantungku berdegup kencang, tubuhku bergetar halus, aku
benar-benar khawatir jika mimpi itu benar-benar sebuah
isyarat,

“Aku sih mau banget mas. Dari kemarin aku


sangat ingin melihat keadaanya. Tapi aku nggak yakin
kalau aku bisa membuat Bu Nur sadar,” ucapku,

“Yang penting kita coba dulu,” Jawab Ibu, aku


menoleh heran kenapa Ibu berkata seperti itu seolah yakin
dengan apa yang diucapkan mas Alfan,

“Bukankah kamu sudah pernah bilang. Kalau


kamu sudah menganggap Bu Nur seperi orang tuamu
sendiri,” Ibu menjelaskan seolah tau keherananku,

93
“Ya sudah sekarang saja mas,” ucapku sambil
beranjak, semua yang berada di situ segera mencegahku,

“Kamu ini, sembarangan. Aku ijin dulu sama


dokter,” jelas Mas Alfan lalu keluar dari ruang rawatku,

Tidak lama kemudian Mas Alfan datang dengan


membawa kursi roda bersama seorang Dokter yang sedang
merawatku, Dokter memeriksa lukaku di beberapa bagian
tubuhku sebelum mengijinkanku keluar dari ruang rawat.
Mas Alfan lalu mendorongku menuju ruang ICU, tempat
Bu Nur dirawat. Ibu, Ilham, dan Rudi ikut serta.

Mas Alfan membawaku masuk ruang ICU


sedangkan Ibu, Ilham dan Rudi menunggu diluar, karena
hanya beberapa orang yang boleh masuk ke ruang ICU.
Saat ituPak Sidiq, Mbak Hikmah dan Ida sedang di dalam,
mereka menatapku lalu mempersilahkanku mendekati Bu
Nur. Mereka seolah sudah menungguku, aku jadi
canggung. Perlahan ku dekati Bu Nur yang terbaring tak
sadarkan diri.

“Bu. Bu Nur, ini Fikri Bu” ucapku didekat telinga


Bu Nur,

94
Aku terdiam, semua terdiam tapi mata kami tak
lepas dari tubuh yang terbaring tak bergerak itu, berharap
ada reaksi darinya. Tapi tak ada reaksi sedikitpun.

“Bu Nur, ini Fikri. Ibu bisa dengar saya?” ucapku


sedikit terbata, aku tak bisa menutupi kesedihanku. Aku
seolah sedang bicara dengan Ibuku sendiri.

“Bu..” ucapaku tak selesai, air mataku akhirnya


jatuh juga, aku terisak menahan tangis. Mbak Hikmah dan
Ida juga terisak.

“Fik..” mas Alfan menyentuh bahuku,

“Maaf mas,” ucapku,

Tiba-tiba Bu Nur menggera-gerakkan bibirnya.


Matanya masih tertutup tetapi air mata tampak merembes
dari matanya.

“Bu, Bu Nur bisa dengar saya,” kataku lagi lebih


semangat,

Cukup lama kami menunggu Bu Nur bisa sadar.


Hampir setengah jam kami berusaha menyemangatai Bu
Nur agar segera sadar akhirnya Bu Nur membuka mata.
95
“Fik...” ucapnya hampir tak terdengar, tapi bisa
kami pahami melalui gerak bibirnya,

“Iya Bu nur, Fikri disin,” jawabku masih


disamping Bu Nur,

“Tolong...”ucapnya lemah,

Pak Sidiq, Mbak Hikmah, Ida dan Mas Alfan


mendekat.

“Iya Bu, Fikri akan bantu Fikri sebisa Fikri. Bu


Nur minta tolong apa” tanyaku

“Ini ada mas Alfan juga,” kataku lagi,

“Fikri Tolong ...” ucapnya lagi tak selesai, “Ida...”


tiba-tiba Bu Nur kejang-kejang seperti kesulitan bernapas,
Mas Alfan segera memanggil dokter.

Kami semua menunggu dokter yang memeriksa Bu


Nur dengan was-was. Bibir kami tak berhenti berdoa.15
belas menit kemudian dokter keluar, kami langsung
menghampirinya, tidak sabar menanyakan keadaan Bu
Nur.

96
“Alhamdulillah, keadaannya sudah lebih stabil.
Beliau sudah melewati masa kritisnya, tapi karena berhari-
hari hanya dibantu infus tanpa ada makanan yang masuk
Bu Nur kehabisan tenaga sehingga akhirnya pingsan,”
Jelas Dokter lagi,

Kami menghela nafas lega. Dokter Leni lalu


berlalu meninggalkan kami.

“Ya Sudah sebaiknya Fikri kembali istirahat dulu,”


ucap Mas Alfan memecah kebekuan,

Pak Sidiq mengangguk. “Terimakasih Fik,” ucap


Mbak Hikmah, aku hanya mengangguk, aku masih syok
dengan kejadian barusan,

“Biar aku saja Mas yang ngantar Mas Fikri. Dari


pada mas Alfan bolak-balik,” Rudi akhirnya menawarkan
diri, mas Alfan mengangguk,

Aku sempat melirik Ida beberapa kali tadi, dan


memang kudapati dia sedang mengamatiku diam-diam.
Hatiku semakin cemas dan merasa durhaka kepada mas
Alfan.

97
“Fik, 4 hari lagi aku wisuda. Aku sih berharap
kamu sudah sembuh dan bisa hadir,” Ucap mas Alfan
sebelum aku pergi,

“Syukur-syukur Ibu masih disini dan bisa datang


juga,” lanjut mas Fikri kepada Ibu,

Aku mengangguk, “Akan kuusahan aku datang


Mas,” Ucapku mantap, ada rasa terharu dalam hati, betapa
Mas Alfan sangat menghargaiku dan Ibuku.

Ah, mas Alfan, apa jadinya jika apa yang aku


takutkan itu terjadi.

“Tidak usah dipaksakan kalau belum sembuh,”


jawabnya,

Aku mengangguk lagi. Lalu Rudi mendorongku


menjauh dari Mas Alfan dan keluarga Pak Sidiq. Ruang
rawatku dengan ruang rawat Bu Nurcukup jauh, beda
gedung. Untungnya ruang rawatku berada di lantai satu
sehingga cukup naik lift sekali.

Aku terkejut ketika melihat Laila, Haji Hasan


beserta Bu Rukayah berjalan memasuki gedung rumah

98
sakit tempatku di rawat. Laila tak sengaja melihat
kearahku, ia lalu tampak memanggil dan berbicara kepada
Ibu dan Ayahnya sambil menunjuk ke arah kami. Mereka
lalu menunggu kami.

“Kalian dari mana” tanya Haji Hasan,

“Dari menjenguk saudara Pak Haji,” Ibu


menjawab,

“Oh, ada saudara juga disini,” cetus Bu Rukayah,


Istri Pak Haji,

Seperti biasa pandangannya menyiratkan


ketidaksukaannya pada keluargaku. Aku terdiam.

“Pak Haji sekeluarga kok bisa disini,” tanyaku,

“Ya mau jenguk kamu ini. Tadi kami dari acara


walimahan di Nggiri terus Laila bilang kamu di jatuh
sampai di bawa ke rumah sakit, ya sudah kami mampir
sekalian,” Jelas Pak Haji, dalam hati aku bertanya dari
mana Laila tahu,

“Maaf, kamu Laila Fitri Rahayu bukan?” tanya


Rudi tiba-tiba,
99
Laila yang dari tadi menundukmendongak ke arah
Rudi.

“Oh, mas Rudi,” sapa Laila pada Rudi,

Kami akhirnya berjalan menuju ruang rawatku.


Ruang rawatku kelas menengah sehingga tidak dibatasi
berapa orang yang boleh masuk. Rudi dan Laila akhirnya
terlibat dengan percakapan mereka berdua, saling tukar
cerita masa lalu. Belakangan kuketahui, Laila adalah adik
kelas Rudi.

100
9

Lima hari dirawat dirumah sakit akhirnya aku


sudah diijinkan pulang. Awalnya Ibu ingin mengajakku
langsung pulang, tetapi aku bersikeras untuk menginap di
Jogja sehari karena mas Alfan wisuda. Akhirnya kami
pulang menuju Baiti-Jannati. Ayah mas Alfan juga tidur
bersama kami sedangkan Ibuku dan Ibu mas Alfan tinggal
di rumah Pak Sidiq menemani Mbak Hikmah, Ida tidak
ingin pulang kerumah sejak dirumah sakit. Mas Fahri
harus kembali lagi ke Klaten karena ada tanggungan
pekerjaan.

Saat itu aku hanya berdua dengan mas Alfan di


kamar. Ayah mas Alfan masih ngobrol diserambi masjid
dengan Pak Parmin, seorang penjaga kebun sekolah yag
rumahnya tepat disamping Pak Sidiq.

“Mas Alfan habis ini mau langsung nikah apa


gimana?” tanyaku membuka percakapan, sambil mencari
kesempatan untuk bicara dari hati kehati,

Esok hari setelah aku menemui Bu Nur waktu


dirumah sakit, aku langsung berbicara dengan Ibu. Aku

101
sudah tidak tahan lagi menyimpan perasaan itu sendiri. Ibu
menyarankan aku berbicara dari hati ke hati dengan Mas
Alfan, karena Ibu juga melihat ada gelagat Mas Alfan
yang seolah sudah tahu apa yang ada dipikiranku.

“Itu dia Fik. Rencana saya kemarin, dan aku sudah

membicarakannya dengan Bapak dan Pak Sidiq. Setelah

wisuda, lusa Bapak dan Ibu sekalian mau melamar Ida

untukku, tapi kamu kan tahu keadaan Bu Nur belum

memungkinkan. Sambil menunggu Ida selesai menghafal

Al-Qur’an aku lanjut S2 disini. Baru nanti setelah urusan

kami berdua lulus, Ida baru ku boyong ke Boyolali. itu

rencana awal.”

“Lalu, sekarang gimana Mas?”

“Entah Fik aku masih bingung. Aku dapat

beasiswa S2 di Kairo, 3 Bulan lagi Insya Allah

berangkat,”

102
“Masya Allah. Alhamdulillah,” lirihku,

“Rencananya sebelum berangkat Kairo aku ingin

menikahi Ida, biarpun nikah siri dulu nggak masalah yang

penting ikatan kami jelas dan halal,” Mas Alfan lalu

berhenti sejenak,

“Pak Sidiq dan Bapak sudah setuju, tapi Ida

nampaknya belum siap, meskipun dia hanya diam tapi

tampak sekali dia belum bisa mencintaiku,”

“Tapikan cinta bisa dihadirkan seiring berjalannya

waktu. Bukannya mas Alfan sendiri bilang, cinta yang

baik itu cinta yang tumbuh setelah nikah,” ujarku

menyemangati Mas Alfan

Mas Alfan diam, aku juga diam menunggunya

mengutarakan isi hatinya.

103
“Tapi aku nggak yakin Ida bisa melakukan itu Fik.

Sepertinya dia mencintai orang lain,”

“Aku yakin Ida bisa mas,dia tahu agama dia pasti

bisa menjadi istri yang baik,”

“Sudahlah Fik, tak usah menghiburku.”sahut Mas

Fikri putus asa, dengan nada seolah aku dilarang

mengguruinya, aku terdiam.

Suasana hening sesaat, suasana mulai tidak

nyaman. Aku sudah tidak ingin bicara lagi.

“Kamu kenal Vina Fik?”, tanya Mas Fikri tiba-

tiba, aku terkesiap mendengar pertanyaan mas Fikri,

“Vina siapa mas?” sahutku gugup,

“Dia mahasiswa Universitas Gunadharma juga.

Dia kenal kamu kok.”

104
“Oh, tahu sepertinya mas,”

“Dia pernah bilang kalau Ida pernah main ke

kampusnya dan nyamperin orang yang dia suka. Bahkan

Vina sendiri yang bantu Ida bicara dengan laki-laki itu di

depan banyak orang,” ucap Mas Alfan dengan nada yang

ditekan,

“Apakah perempuan seperti itu bisa menjaga

kehormatan suaminya. Menjaga kehormatan Ayahnya saja

tidak bisa,” lanjutnya, meski nadanya rendah tapi aku tahu

Mas Alfan sangat geram,

“Cinta itu bisa hadir kapan saja tanpa kita sadari

Mas, dan kita tidak bisa menghindar. Tinggal bagaimana

kita menyikapinya. Mungkin itu yang sedang dialami Ida

saat ini,” ucapku,

105
“Tapi faktanya, Ida mengumbar cintanya yang

belum tentu laki-laki itu mau menerimanya,” Jawabnya

lagi,

“Bukan seperti itu kejadian sebenarnya Mas,”

sahutku spontan,

Aku terkejut dengan ucapanku sendiri. Mas Alfan

menatapku heran. Aku menunduk, tak berani menatap

mata Mas Alfan yang seolah sudah siap menginterogasiku.

Tapi mau bagaimana lagi sudah kepalang basah. Mungkin

memang ini kehendak Allah dengan cara memelesetkan

lidahku.

Akhirnya ku beranikan menatap mas Alfan yang

masih menatapku, aku menghela napas dalam-dalam,

“Sebenarnya laki-laki yang dimaksud Vina itu aku

mas, ...”

106
“Sudah kuduga,” sahut Mas Alfan, aku tidak tahu

lagi bagaimana gemuruhnya dada Mas Alfan. Sungguh

ingin rasanya aku bersimpuh dihadapannya waktu itu,

“Mas tolong dengarkan aku dulu. Tolong beri aku

kesempatan untuk menjelaskannya Mas,” ucapku

memohon,

Mas Alfan langsung memberi isyarat agar aku

berhenti bicara. Tak terasa air mataku menetes. Belum

pernah aku menangis kecuali ketika Ayah meninggal dan

ketika melihat Ibu sedih.belum pernah aku sesedih ini

karena orang lain.

Mas Alfan lalu beranjak keluar. Sangat lama aku

menunggu Mas Alfan kembali ke kamar, sampai Ayahnya

masuk pun Mas Alfan belum juga kembali. Aku kemudian

pamit keluar kepada Ayah Mas Alfan yang sudah hendak

tidur.
107
Ternyata Mas Alfan sedang menenangkan diri

dimasjid. Aku lalu mengambil air wudlu lalu sholat taubat

di belakang Mas Alfan, tidak begitu dekat supaya mas

Alfan tidak terganggu. Usai sholat aku berzikir sambil

menunggu Mas Alfan. Hampir tiga jam aku menunggu

Mas Alfan akhirnya Mas Alfan bangkit juga dari

duduknya. Aku sedang berbaring di sudut belakang ketika

Mas Alfan menghampiriku.

“Fikri, ngapain kamu disini?” tanya Mas Alfan,

sepertinya dia baru menyadari aku disana sejak tadi,

Aku bangkit, “Tadi aku nyari mas Alfan, kulihat

Mas Alfan sedang disini yasudah aku ikut saja,” jawabku

lalu bersila, Mas Alfan lalu duduk dihadapanku,

“Maaf Fik, bukannya aku marah sama kamu. Tadi

aku hanya emosi dan jengkel saja sama Ida. Aku pergi

untuk menenangkan diri,” ucap Mas Alfan,


108
“Iya Mas aku ngerti,”Jawabku,

“Mas Alfan bersedia mendengar penjelesanku?”,

tanyaku setelah agak lama kami saling terdiam,

Mas Alfan mengangguk pelan, aku menghela nafas

dan mulai bercerita.

Kuceritakan awal mula pertemuanku dengan Vina

dan Ida yang muncul dihadapanku secara tiba-tiba. Tak

lupa kuceritakan Ida yang menangis dan terus menunduk

ketika Vina dengan lancangnya mengtakan padaku bahwa

Ida mencintaiku. Kukatakan pada Mas Alfan bahwa belum

pernah aku mendengar dari mulut Ida jika dia

mencintaiku. Dan sejak kejadian itu aku baru bertemu lagi

dengan Ida ketika dirumah sakit, saat itu juga aku baru

menyadari bahwa perempuan yang bersama Vina itu

adalah Farida, putri bungsu Pak Sidiq.

109
Hampir satu jam aku bicara dengan Mas Alfan.

Mas Alfan menyimak ceritaku tanpa menyela sekalipun.

Aku lega Mas Alfan akhirnya percaya dengan

penjelasanku.

“Sudah malam Mas, sebaiknya kita istirahat. Kan

nggak lucu kalau besok muka Mas Alfan kusut,” ucapku

mengakhiri pembicaraan malam itu,

Mas Alfan bangkit dari duduk, aku mengikutinnya,

kami beriringan menuju tempat tidur kami untuk

beristirahat, menyiapkan tenaga untuk esok hari.

~0~

“Fik, aku mau minta ijin,” ujar Mas Alfan usai

acara wisuda, siang itu pukul 2 aku bersiap untuk pulang.

110
Sebenarnya aku ingin cepat menyelesaikan

skripsiku. Sebulan lagi sudah KKN, aku ingin skripsiku

selesai sebelum KKN.

“Minta ijin apa Mas?” tanyaku penasaran, Mas

Alfan memang selalu begiti. Merendah, meskipun

kedudukannya lebih tinggi dari dalam urusan dunia dia

selalu meminta ijinku, tapi untuk urusan akhirat tidak ada

tawar menawar.

“Aku mau minta ijin, untuk memberi pilihan

kepada Ida. Aku tidak ingin dia terpaksa menikah

denganku nanti Fik,”

“Pilihan bagaimana maksud Mas Alfan?”

“Untuk memilih antara aku dan kamu,” ucapnya

pelan.

111
Aku menggeleng, “Aku nggak setuju Mas.

Sebaiknya Mas Alfan bicara dari hati ke hati dengan Ida.

Lagipula kalau seandainya Ida milih aku, aku nggak mau

dengannya, aku sudah ada pilihan lain Mas,” Jawabku

tegas,

Mas Alfan menunduk, aku terus membereskan

barang-barangku yang akan kutinggal seminggu ke depan.

Untuk beberapa hari kedepan kamarini akan kosong

karena besok Mas Alfan juga akan pulang ke Boyolali

untuk beberapa hari.

Syukur Mas Alfan memutuskan untuk tetap tinggal

disini sembari menyiapkan keperluannya untuk berangkat

ke Mesir. Sebenarnya Kyai Badar memintanya untuk

tinggal di Pesantrennya, tetapi dengan tanpa mengurangi

kehormatannya Mas Alfan menolaknya. Mas Alfan sudah

bertahun-tahun mengajar disana.

112
“Apa Mas Alfan ragu dengan Ida?”, tanyaku,

“Aku sih nggak Fik. Aku hanya kasihan dengan

Ida,”

“Lebih baik Mas Alfan bicara langsung dengan

Ida, minta jawaban yang tegas darinya Mas,”, saranku,

Mas Alfan mengangguk mantap, “Terimakasih

Fik,”,

“Sama-sama Mas. Aku pulang dulu. Kalau bisa

hari ini juga Mas bicara dengannya,” tambahku

memberinya semangat.

Aku sangat berharap perjodohan Mas Alfan

dengan Ida berjalan dengan lancar. Aku masih heran

kenapa Ida pernah mencintaiku, padahal Mas Alfan jauh

lebih baik dariku. Baik dari segi prestasi, ilmu, maupun

113
ekonomi. Meskipun, dari segi fisik aku lebih unggul

sedikit, he..he...

Tapi, masa’ seorang Ida calon hafidzah, anaknya

Pak Sidiq memilih pendamping hidup hanya memandang

dari segi fisik.

114
11

Musim hujan sudah mulai turun, meskipun baru

sesekali. Aku dan Farid sedang memberesi barang-barang

yang sudah tidak digunakan ketika dua orang wanita

sedang berlarian menuju rumahku. Aku segera membuka

begitu tahu siapa kedua wanita itu.

Fathimah dan Ulya segera mengibaskan pakaian

dan jilbabnyayang basah. Farid segera keluar dengan

membawa handuk.

“Ini mbak pakai handuk,” ujarnya sambil

mengulurkan handuknya kepada Fathimah dan Ulya,

“Makasih ya Dek,” Ujar Ulya,

“Masuk yuk,” ajakku kepada mereka,

Aku mempersilahkan mereka duduk dikursi ruang

tamu. Lalu aku ke belakang untuk membuat minuman.


115
“kalian suka jahe anget nggak?”, tanyaku pada

mereka, Ulya menggeleng,

“kalau susu jahe mau Fik,” sahut Fathimah, Ulya

menyenggol lengannya

“Oke, aku cek dulu ya,” jawabku sambil berjalan

menuju belakang,

“Biar aku saja Mas yang buat,” sahut Farid yang

sudah siap di dapur,

“Tumben banget,” ucapku, “Biar kelihatan baik

didepan calon kakak ipar,”godanya,

“Susu benderanya Fadlan masih?”

“Masih, itu dimeja dekat dispenser,” tunjuk Farid

sambil meracik jahe wanginya,

116
“Memang menurutmu yang mau jadi calon kakak

iparmu yang mana?” tanyaku pada Farid sambil

mencampur seduhan jahe wangi dengan susu kental putih

milik Fadlan, adik bungsuku yang masih SD.

“kalau menurut cantiknya sih, yang jilbab biru,”

jawab Farid jujur, aku hanya tersenyum lalu mebawa

kedua susu jahe itu ke ruang tamu.

Sejak kejadian bulan lalu aku dan Ulya belum

pernah berbicara lagi. Meskipun di beberapa mata kuliah

satu kelas, tapi aku melihat ia sering menghindar dariku.

Akupun tak ingin mencoba menegurnya, karena aku tidak

tahu apa salahku. Ini juga sekaligus untuk memberi

pelajaran untuknya, bahwa segala masalah itu seharusnya

dibicarakan dengan baik-baik.

“Kalian naik apa kesini?” tanyaku untuk

menghangatkan suasana,
117
Aku melihat raut wajah Ulya yang masih kaku dan

canggung. Aku tahu ia merasa bersalah karena telah

mendiamkanku selama sebulan lebih.

“Naik mobil,” Fathimah yang menjawab, padahal

aku berharap Ulya yang menjawabnya.

“Mobilnya parkir dimana?” tanyaku,

“Depan masjid,” sahut Fathimah lagi, Ulya masih

terdiam. Perasaanku tidak enak mendengar mereka parkir

mobil di depan rumah.

“Kamu baik-baik saja kan Ul,” tanyaku pada Ulya

yang masih saja diam,

Ulya sedikit tergagap, “Eh, Iya aku baik-baik saja

Fik.” Jawabnya kemudian,

“Lukamu udah sembuh kan?” tanyanya lagi,

118
“Kan kamu sudah tahu aku udah bisa masuk kuliah

kan kemarin,” jawabku, Ulya tersipu malu,

“Maaf Fik. Aku kemarin nggak menjenguk kamu,

bahkan aku malah menghindar dari kamu. Itu karena aku

sibuk mikirin perasaanku sendiri,”

“Ada kata-kataku yang menyinggung

perasaanmu?” tanyaku lagi,

suasana menjadi dingin. Fathimah yang tahu

situasi menyibukkan diri dengan hpnya.

“Nggak ada sama sekali Fik.ini murni salahku,

seharusnya aku lebih dewasa menghadapi masalah ini,”

ujar Ulya,

“Jadi gimana?sudah siap dinikahi Ilham?”, tanyaku

untuk mencairkan suasana,

119
“Fikri,” seru Ulya sambil mengangkat gelas

didepannya,

Aku tertawa melihat ekspresi Ulya.Fathimah yang

sejak tadi sibuk bermain hp ikut tertawa.

“Dasar nggak peka,” lanjut Ulya,

aku mengerutkan kening berharap Ulya

menjelaskan kata-kata terakhirnya.

“Aku nggak akan menerima Ilham sebelum kamu

benar-benar menolakku,” jelasnya kemudian.aku terkejut

dengan ucapnnya, aku tak bisa menjawab.

“Fikri kok nggak ngasih tahu Ibu kalau ada tamu,”

ujar Ibu tiba-tiba dari belakangku,

“Lupa Bu,” jawabku enteng,

120
“Ini temen-temennya Fikri?dari mana neng?”

Tanya Ibu dengan logat sundanya,

“Saya Ulya Bu, rumah saya Klaten. ini Fathimah

asli sini,” jelas Ulya,

“Oh, ini Fathimah temen SMP nya Fikri kalau

nggak salah?”

“Kok Ibu masih ingat aja?” jawab Fathimah,

“Ya, kan dulu sering belajar kesini.”

“Ibu dari mana?” Tanya Ulya pada Ibu yang duduk

tepat dihadapannya,

“Ini, Ibu dari tetangga sebelah.sudah tua, sakit.

nggak ada yang ngurusin jadi tadi Ibu kesana, ngasih

makanan,” jelas Ibu,

“Oh, nggak punya anak Bu?” Tanya Ulya lagi,

121
“Anak-anaknya itu kerja di Jakarta semua.pulang

kalau lebaran aja, ini kemarin dikabari kalau Ibunya sakit

sampai sekarang belum ada yang pulang,”

Ulya mengangguk-angguk.seperti Ulya

sebelumnya, ia sangat akrab dan supel. dalam sekejap ia

sudah sangat akrab dengan Ibu.

“Ulya sama Fathimah kesini naik apa?” Tanya Ibu

kemudian,

“Naik mobil Bu, diparkir didepan masjid,” Ulya

menerangkan,

Ibu mengangguk, “Ya sudah, dilanjutkan lagi

ngobrolnya.Ibu ke belakang dulu ya,” Ibu lalu bangkit dan

hendak beranjak ke dapur.

Langkah Ibu berhenti ketika melihat Laila berjalan

menuju rumah.tangan kanannya membawa sebuah piring

122
berisi makanan dan satunya membawa payung. hujan

memang masih turun dengan derasnya.

“Assalamualaikum,” ucap Laila dari depan rumah,

“Waalaikumsalam” jawab kami serempak,

“Masuk La. tumben hujan-hujan kesini ada apa?”

Tanya Ibu menyambut Laila,

“Oh, Ini Bu lek, ada singkong keju sedikit buatan

Laila.kemarinkan Bu lek yang ngajarin bikin. jadi Laila

kasih untuk dicicipi Bu Lek,” terang Laila masih berdiri di

ruang tamu,

“Duduk dulu La,” ucapku santai,

Laila mengangguk tanpa menoleh kearahku.ia

duduk berhadapan dengan Ulya, bekas tempat duduk

Ibu.sesekali kulihat Laila melirik kearah Ulya dan

Fathimah bergantian.
123
“Laila mau minum-minum dulu?” tawar Ibu sambil

membawa piring yang tadi dibawa Laila untuk membawa

singkong keju,

satu tangan Ibu membawa singkong kehu yang

sudah di taruh dipiring yang lain lalu menyuguhkan

kepada Ulya dn Fathimah

“Nggak usah Bu Lek.langsung pulang aja, nggak

pamit Ibu soalnya,” jawabnya lalu pamit.

Ibu lalu kembali ke dapur setelah mempersilahkan

tamunya untuk mencicipi singkong keju.

“Itu Laila mantan kamu Fik?” Tanya Fathimah

begitu Ibu berlalu,

aku mengangguk. mataku sempat melihat kearah

Ulya yang tampak terkejut.

124
“Kok masih sering kesini.kalian masih

dekat,”Tanya Ulya tak tahan dengan rasa ingin tahunya,

“Ya namanya juga tetangga.kemarin aja dia sempat

nengok aku ke rumah sakit,” jawabku sengaja

mengerjainnya, dan benar saja Ulya tampak muram, dalam

hati aku tersenyum senang,

“Oh. kamu kenal Vina Fik?” tanyanya lagi,

“Sekedar tahu sih,”

“Nih dapat titipan dari dia. katanya dari

temannya,” katanya lagi sambil memberiku sebuah kotak

kado berwarna merah, aku bisa menebak itu pasti dari

Ida.ternyata ia masih menyimpannya,

“Ternyata diam-diam kamu banyak gebetan ya,”

sahut Ulya sedikit ketus, ini salah satu bagian dari Ulya

yang kurang aku suka,

125
“Segala sesuatu itu dicari tahu dulu sebab

musababnya, jangan langsung sewot gitu,”jawabku sambil

menerima bungkusan kado itu, Fathimah terdiam.

“Padahal ketika aku dirumah sakit kemarin, aku

berharap banget kamu bisa nemenin Ibuku, biar nggak

kesepian nungguin aku sendirian,” ujarku polos,

“Maaf Fik. Aku sangat menyesal,” ujarnya luluh,

~0~

setelah Ashar Ulya dan Fathimah pamit. hujan

sudah reda, aku mengantar mereka sampai di parkiran

mobil mereka. aku khawatir Bu Rukayah akan menegur

mereka yang parker mobil dihalamannya tanpa ijin.

apalagi kalau Bu Rukayah tahu mereka adalah tamuku.

Benar saja, baru saja kami sampai di gang depan

rumah, terlihat Bu Rukayah sudah mencak-mencak sambil

126
berjalankearah kami.Sampai Ibu dan kedua adikku ikut

keluar rumah, beberapa tetangga juga mengamati kami

dari jauh.

“Mbak itu mobil didepan rumah saya itu

punyamu?” tanyanya pada Ulya dan Fathimah,

Ulya yang terkejut dan taku mengangguk pelan.

“Kalau parkir itu jangan sembarangan.Tamu

sayajadi nggak bisa parkir mobil.” bentak Bu Rukayah

kepada Ulya,

“Bu, maaf nggak usah bentak-bentak.teman saya

ini tidak tahu kalau halaman itu punya Ibu. Dia kira itu

halaman masjid.” jawabku sehalus mungkin, meskipun

hatiku sudah dongkol.

Aku tahu memang sebenarnya halaman itu milik

masjid.Karena aku masih ingat ketika Ayah masih hidup,

127
ayah yang mengurusi tanah itu untuk dibeli oleh warga

secara gotong royong.

“Makanya kasih tahu,” ujarnya ketus,

“Iya Bu, sekali lagi maaf. tadisaya mau kesana tapi

masih hujan,”terangku,

“Alesan.ya sudah sana segera pindahin, kasihan

tamu saya,” sahutnya lagi sambil menggiring kami seperti

buronan.

Mata Ulya berkaca-kaca. Aku meminta kunc

mobilnya untuk membantu mengeluarkan mobil Ulya dari

parkiran. Ulya memang belum pernah dibentak, orang

tuanya juga tampak sangat memanjakannya, meskipun aku

belum pernah bertemu langsung tapi aku bisa melihat

setiap kali Ayahnya telpon Ulya, apalagi ia anak bungsu.

128
Aku, Ulya dan Fathimah dan juga Bu Rukayah

berjalan menuju parkiran.Memang benar di ujung jalan

tampak sebuah mobil yang tak asing lagi.kedua

penumpang mobil itu segera menghampiri kami.

“Loh Fik. rumahmu disini juga?” sapa Ilham,

Kami bertiga terkejut, “Iya, dalam rangka apa

kesini?” tanyaku pada Ilham dan Rudi.Mobil tamunya Bu

Rukayah itu ternyata mobil Rudi.

“Main sekaligus silaturahmi ke rumah Laila.”

“Maaf mas, gara-gara mobilku mas Fikri jadi kena

semprot,” bisik Rudi, aku hanay tersenyum.aku tahu Rudi

sudah tahu sifat Bu Rukayah.

“Ya sudah nanti mampir kalau ada waktu.rumahku

masuk gang sini,”

“Iya. Insya Allah.”


129
aku lalu mengeluarkan mobil Ulya ke jalan

sehingga mobil Rudi bisa parkr dihalaman masjid dengan

nyaman.

130
11

Dua hari sebelum berangkat KKN aku sudah

berada di Jogja.Aku berada di kamar sendirian. Sudah dua

minggu Mas Alfan berada dirumahnya di Boyolali untuk

menyiapkan acara lamarannya minggu depan. Ida juga

sudah berada dirumah sejak tadi pagi. Bu Nur

kesehatannya juga sudah membaik meskipun kondisinya

masih lemah.

Aku beranjak mengambil sebuah kotak kado kecil

dari Ida yang dititipkan melalui Vina. Belakangan baru

kuketahui bahwa Vina sepupunya Ulya. Aku menimang-

nimang kotak itu, kecil namun lumayan berat. Sebenarnya

sejak tahu Ida bersedia dilamar Mas Alfan aku sudah

berniat untuk tidak membukanya, tapi setelah dipikir-pikir

tidak ada salahnya aku membukanya untuk menghargai

Ida.

131
Aku mulai membukakotak kado itu. kudapati

sebuah jam tangan anti air dan selembar surat. Aku segera

membuka surat itu.

Pagi itu,

saat fajar memamerkan semburat cahaya

merahnya

ketika embun pagi mulai tergantikan oleh

hangatnya sinar mentari

Sebuah bintang yang tertinggal membuat hatiku

terpaut

Namun hanya sesaat lalu bintang itu mulai

menghilang ditelan terangnya pagi

Sejak saat itu, aku terus mencari tetapi aku hanya

ampu memandangnya dari jauh dan

132
Berharap kelak aku menjadi bulan yang akan

selalu memantulkan cahaya bintang itu.

Mungkin aneh, seseorang jatuh cinta pada bintang

pada pagi hari

Tapi itulahkenyataannya Mas Fikri. Aku tahu mas

Fikri belum begitu mengenalku, tapi dari ceritaIbu dan

Ayah aku semakin jatuh cinta padamu.

Sepertinya surat itu belum selesai ditulis.

Aku mengela nafas panjang. Aku berharap

perasaan itu sudah lenyap dari hati Ida. Aku lalu beranjak

dari dudukku dan menuju tempat wudlu lalu

mengumandangan adzan ashar. Di luar anak-anak TPA

sudah berdatangan. Tampak Ida juga sudah berada disana

bercengerama dengan beberapa anak-anak lainnya di

serambi kiri masjid.

133
“Mas Fikri, bisa bicara sebentar?” sapa Ida begitu

usai jamaah sholat Ashar, aku mengangguk lalu duduk di

tangga samping masjid tak jauh dari anak-anak yang

bersiap TPA.

Aku menunggunya bicara tapi tak kunjung

kudengar suaranya. Memang baru kali ini kami terlibat

pembicaraan yang serius dan disengaja. Biasanya hanya

saling menyapa ketika tidak sengaja bertemu, atau hanya

lewat kontak mata. Seperti yang kami lakukan beberapa

waktu lalu dirumah sakit.

“Jamnya boleh saya pakai?” tanyaku setelah

menunggu sekian lama tak ada yang bicara,

”Eh, iya boleh Mas,” jawab Ida sedikit gugup,

“Terimakasih Mas Fikri mau menerima pemberian

Ida,”lanjutnya lagi,

134
“Ida mau bicara apa?”

“Mas Fikri sudah baca suratnya juga?”,

Aku mengangguk.

“Apa jawaban Mas Fikri?”,

“Jawaban?” tanyaku heran, aku mengira Ida sudah

melupakan surat itu, karenanya dia mau menerima Mas

Alfan

“Bukannya kamu sudah mau di lamar Mas

Alfan?”tanyaku lagi,

“Iya. Tapi aku belum tenang jika belum mendapat

kepastian dari mas Fikri. Aku bersedia menolak mas Alfan

jika...”

“Tidak perlu Da. Kamu tahu, Mas Alfan itu sudah

seperti kakakku sendiri, aku sangat menghormatinya. Dan

135
aku nggak mungkin menjadi penyebab gagalnya

pernikahannya. Dan kamu nggak bisa egois seperti ini,”

sahutku panjang lebar. Dadaku mendidih mendengar kata-

kata Ida terakhir, terkesan sekali ia mempermainkan Mas

Alfan.

“Asal kamu tahu Da. Mas Alfan itu sudah susah

payah berusaha mencintaimu, berusaha untuk

memantapkan hatinyamenikahimu. Lagipula kemarin

kamu sudah bicara dengan Mas Alfan bahwa kamu

bersedia menerima lamarannya kan.”

Ida hanya menunduk mendengar jawabanku yang

panjang lebar dan bernada sedikit tinggi. Air matanya

meleleh namun tak melunturkan kekesalanku padanya.

“Ida, percayalah. Mas Alfan itu jauh lebih baik

dariku. Ibarat aku ini hanyalah bayangan Mas Alfan,” aku

menurunkan nadaku,
136
Ida mengangguk, matanya masih basah,” maafkan

aku mas,”

“Aku harap Mas Alfan tidak pernah tahu hal ini.

Kita bersahabat saja,” ujarku

Aku lalu pamit hendak mengajar TPA, sengaja

kupertegas bahwa aku memilih wanita lain agar Ida tidak

berharap lagi.

“Mas, aku boleh minta tolong,” seru Ida

mengurungkan langkahku,

“Aku tahu, Mas Alfan memang nyaris sempurna

dari segi agama dan ilmu. Hanya ada hal yang membuatku

kurang suka. Jujur aku malu dengan teman-temanku jika

melihat suamiku berpakaian maaf ‘jadi’ seprti Mas Alfan.

Mungkin Mas Fikri bisa membantunya untuk

137
berpenampilan lebih baik, seperti Mas Fikri,” jelas Ida

terus terang,

Dalam hati aku lega mendengar ucapan Ida.

Akhirnya ia mau berusaha menerima Mas Alfan meskipun

dengan syarat. Sayang sekali aku tidak bisa hadir di acara

lamaran mereka.

~0~

H-1 pernikahan Mas Alfan aku sudah berada

dirumahnya di Boyolali. Mas Alfan memintaku untuk

menjadi pendamping dari pihak laki-laki di acara akad

nanti. Akhirnya aku ijin 3 hari kepada teman-teman KKN

ku. Sore setelah Ashar rombongan pengantin pria telah

berangkat dari Boyolali menuju Jogja. Akad nikah akan

dilaksanakan malam ini pukul 20.00, sedangkan resepsi

akan digelar esok hari dirumah pengantin wanita.

138
Esok pagi resepsi digelar. Pak Sidiq memintaku

untuk menjadi among tamu. Pukul setengah 10 pagi tamu

mulai berdatangan. Kulihat teman-teman Mas Alfan

banyak berdatangan, aku banyak yang kenal diantaranya

ada Mas Ferdi yang sering main ke tempat kami.

Aku terkejut ketika melihat Laila juga datang.

Apakah Ida mengundangnya? Atau Mas Alfan? Setahuku

Ida dan Mas Alfan tidak mengenal Laila.

Baru aku mengerti ketikaIlham menyusulnya dari

belakang. Ulya telah menolak Ilham tanpa merusak

hubungan persahabatan mereka. Beruntung ada

perempuan lain yang datang mnegobati luka Ilham,

sehingga tidak perlu ada tangis dan sakit hati antara

keduanya. Saking sibuknya mengamati Laila dan Ilham

aku tidak menyadari bahwa Pak Zein, pemilik toko karpet

139
langganan Pak Sidiq, beserta romobngannya sudah berada

dihadapanku.

Aku kembali terkejut ketika Ulya dan Vina berada

dirombongan Pak Zein.

“Wah, selamat Pak Sidiq sudah mantu lagi.

Anaknya masih muda sudah ada yang mau minang aja,”

ucap Pak Zein pada Pak Sidiq yang tepat berada

disampingku,

“Ya, semoga anakmu juga segera menyusul Pak,”

jawab Pak Sidiq mendoakan,

Pak Zein tersenyum lebar, lalu melirikku sebentar,

“Ulya itu sebenarnya sudah siap, tapi yang mau melamar

itu nggak merasa kalau bidadari kecilku itu sudah

menunggunya,” ucap Pak Zein seolah menyindirku,

140
Dan akupun baru mengerti kalau Ulya itu anaknya

Pak Zein, orang yang baru kukenal beberapa bulan lalu.

“Kapan menyusul Alfan Fik? Saya tunggu dirumah

selesai KKN,” bisik Pak Zein setengah menantang, aku

tidak tahu apa ekspresi waktu itu,

Yang aku tahu, aku merasa bunga-bunga

bermekaran dihatiku. Seolah ingin segera kuputar waktu

agar lebih cepat berlalu. Dan tiba saatnya kumeminang

Ulya. Aku semakin tidak sabar ketika melihat Ulya yang

berbalut jilbab coklat muda itu tampak anggun bak

bidadari.

Aku lalu menunduk sadar dengan apa yang aku

lakukan. Aku beristighfar berkali-kali. Dalam hati aku

berkata, biarlah kami bersabar dulu. Aku pun tak perlu

mengumbar cintaku saat ini. Biarkan Ulya bersabar

141
dengan persaannya dan juga cemburunya. Jodoh pasti

akan bertemu.

142
Profil Penulis

Shanty Hisbullah A. Begitu nama pena yang

dipilih penulis untuk memperkenalkan dirinya di dunia

literasi. Mahasiswa Sejarah Peradaban Islam IAIN

Salatiga yang sedang memperjuangkan gelar S.Hum nya

ini lahir di Boyolali, 12 Muharram 1416 H.Bercita-cita

untuk membahagiakan orang tua, menjadi kakak teladan

untuk adik-adik, istri yang sholehah, penurut, cerdas dan

mandiri serta menjadi penulis profesional yang bermanfaat

untuk orang lain.

143

Anda mungkin juga menyukai