YANG DI
CARI
Ketika hati tak mampu mengungkapkan cinta. hingga
menyisakan kerinduan yang membara. Hanya goresan
tinta yang mampu melukiskannya. Namun, ia tetaplah
goresan tinta yang tak akan mampu menghapus rindu
itu. SHA
0
Sekapur Sirih
Salatiga-Juwangi, 2018
1
1
2
“Astaghfirullah, aku belum dhuhur,” gumamku
lalu bergegas mengambil air wudlu. Kejadian dikampus
tadi cukup membuatku terus kepikiran hingga tertidur, aku
sengaja tidak masuk kuliah karena percuma aku tidak akan
bisa konsentrasi, dan atas saran Fajar aku istirahat di
kamar kosnya sekaligus menenangkan pikiran.
~0~
5
Ulya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi aku
segera melangkahkan kakiku buru-buru. Hari ini aku ingin
segera pulang dan beristirahat, sejak tadi malam aku
belum tidur. Akhir-akhir ini aku memang serig begadang
untuk mengebut skripsiku. Aku ingin segera lulus.
6
ngeles ngaji anak-anak diperumahan sebelah.
Lumayanlah, setidaknya aku tidak perlu mengandalkan
kiriman ibu untuk memenuhi kebutuhanku.
7
Mas Ferdi meneguk air putih yang kusuguhkan
sebelum menjawab, “Saya dari rumah, tadinya mau ke
kampus tapi ternyata kosong ya udah aku belok kesini aja,
Habib nanti biar ke kampus sendiri”
8
Sejak saat itu hidupku mulai tertata, hatiku juga
terasa jauh lebih tenang. Aku mulai memperdalam ilmu
agama dari mas Alfan. Ilmu yang didapatkan Mas Alfan
ketika di pesantren sedikit demi sedikit ditularkan padaku.
Aku juga mulai mencoba memperbaiki bacaan al-
qur’anku. Atas saran Mas Alfan aku nyantri di Pondok
Pesantren Al-huda. Aku bahkan sudah mulai menghafal
al-Qur’an dua bulan setelah menjadi santri kalong1 disana.
1
Santri yang hanya ikut ngaji tetapi tidak tidur di asrama pondok
9
2
10
“Ngapain berhenti, cukup bunyikan klakson aku
juga udah tau kalau itu kamu?” tanyaku sambil setengah
tertawa,
“biasalah, ngadat,”
“Apanya?,”
11
“Motornya,”
12
tetap berjalan didepannya. Memang susah menjaga jarak
dengan kaum hawa di kampus umum seperti ini, tetapi aku
berusaha sebisa mungkin untuk menjaga pergaulanku
dengan perempuan, meski sering mendapat sambutan sinis
dari teman-teman, dan ledekan dari Fajar.
14
“Kamu memanggilku hanya untuk itu?” tanyaku
setelah beberapa saat kami terdiam, aku tidak nyaman jika
terus berjalan berdua dengan Ulya.
2
Komunitas Mahasiswa Muslim Universitas Gunadharma
15
jum’at di masjid tempat tinggalku, itupun karena terpaksa
menggantikan Khotib yang berhalangan hadir, sedangkan
Mas Alfan jum’atan di kampusnya. Aku bergegas menuju
kos-kosan Fajar.
~0~
16
“Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh,”
Jawab mereka serempak.
17
denganku, satu tingkat dibawahku. Beberapa kali kami
pernah sekelas.
18
“Atas dasar apa kamu mengusulkan aku?” tanyaku
kemudian,
19
Aku masih belum yakin dan percaya diri untuk
menerima tawaran mereka. Aku belum terbiasa
berceramah didepan umum. Kalaupun berbicara didepan
orang banyak, itu hanya terjadi dikelas ketika presentasi.
Selain itu, ilmu agamaku masih sangat sedikit, mau bicara
apa aku nanti didepan jama’ah pengajian.
20
“Anggota KMM, beberapa dosen pembina KMM,
pengasuh dan pengurus Panti Asuhan, dan anak yatim.
Kurang lebih dua ratusanlah. Kami megundang anak yatim
dari 3 panti asuhan” terang Ilham yang sepertinya optimis
aku akan menyanggupinya mengisi pengajian itu.
21
3
23
Aku menghela nafas sambil memejamkan mata.
Aku jadi teringat nasehat seorang ulama’ modern ternama
di Indonesia, Aagym, bahwa nasehat yang disampaikan
dari hati akan lebih mudah diterima. Aku membaca fatihah
dan ayat kursi. Setelah itu hatiku mulai agak tenang,
Percaya diriku perlahan mulai muncul. Syafiq bersama
seorang perempuan sedang membuka acara. Aku meneguk
air putih yang disuguhkan.
~0~
24
inayah, wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh,”
kataku mengakhiri ceramah.
25
~0~
26
“Vina cukup. Kamu keterlaluan,” gadis itu
mengangkat mukanya dan membentak temannya itu
dengan suara serak,
~0~
27
Vina dan teman-temannya lalu beranjak. Vina
sempat melihatku sekilas dan tersenyum, aku
membalasnya. Tidak ada raut terkejut atau kaget dari
wajahnya, tampaknya dia sudah tau kalau aku mengisi
acara ini. Aku berbincang dengan Ilham, Syabiq dan Rudi
sambil menunggu masuk waktu Ashar. Panitia yang lain
sedang membereskan aula yang baru saja dipakai untuk
pengajian. Diam-diam aku mencari-cari sosok temannya
Vina yang belum kuketahui namanya.
28
“Tadi bagus kok. Aku bahkan nggak nyangka
kalau mas Fikri pandai ceramah, sudah kaya penceramah
profesional.” Ujar Rudi tampak berterus terang,
29
memberikan paperbag kepadaku, aku menerimanya
meskipun sebenarnya aku tidak suka dengan beginian.
30
“Ok. Memang motormu kemana?” tanyaku
mencoba sebiasa mungkin,
31
4
32
Mobil kami terus menesuri Jalan Solo Klaten
dengan kecepatan sedang. Aku memanaatkan waktu luang
itu dengan memuraja’ah hafalanku yang baru aku hafal
tadi pagi. Halaman terakhir Juz 20, sesekali aku membuka
alqur’an digital di hpku untuk mengingat ayat yang
terlupa, aku mengulangnya tidak kurang dari 5 kali
sehingga lancar.
“Boleh Pak,”
35
Pak Sidiq melihat jam tangannya, “Belum jam dua,
ayo,” ajak Pak Sidiq lalu mendahuluiku berjalan menuju
mobil,
~0~
38
memikirkan bagaimana kerja kerasnya orang tuaku
membiayai kuliahku. Aku hanya tahu kuliah dan main.
Tapi saat Ibu memintaku untuk berhenti kuliah aku baru
tahu, betapa sulitnya waktu itu Ayah membanting tulang
untuk menafkahi kami.
39
sundanya masih terpancar dari wajahnya dan menurun ke
anak-anaknya termasuk aku.
40
peduli dengan adik-adikku. Meskipun tidak bisa
menafkahi mereka sepenuhnya, setidaknya aku bisa
menjadi sandaran bagi mereka. Terutama sandaran bagi
Ibu ketika susah.
~0~
42
“Ayo masuk. Mari Pak silahkan masuk,” ujar Ibu
ketika puas mengomeliku, padahal intinya sama dengan
yang disampaikan setiap aku menelponnya.
44
mubaligh. Panitianya juga teman Fikri sendiri kok Bu,”
jawabku merendah, karena memang begitu faktanya.
45
5
46
Meskipun kelihatnnya hanya marbot masjid, mas
Alfan lebih dari itu. Bahkan kalau mas Alfan mau dia bisa
mengajar dipesantren dan bisa tinggal di asrama dengan
fasilitas yang lebih baik. Tapi mas Alfan melihat kampung
Melayu lebih membutuhkannya. Karena mas Alfan juga,
Pak Sidiq yang sebelumnya memilih tinggal di Semarang
memboyong keluarganya ke tempat kelahirannya untuk
menghidupkan masjid yang tepat berada di depan
rumahnya. Konon, masjid itu dulu hanya digunakan ketika
bulan Ramadhan. PADAHAL Masjid itu lumayan besar,
ada 2 lantai.
47
terdengar suara sesuatu terjatuh. Beberapa jama’ah
membatalkan sholatnya. Usai sholat seluruh perhatian
menuju jama’ah putri. Tiga orang Ibu-ibu sedang
mengerumuni salah satu jama’ah, yang ternyata Ibu Nur,
Istri Pak Sidiq, kepalaku seperti tersengat listrik. Pak Sidiq
langsung berlari mendekati Bu Nur, aku hendak
mengikutinya tetapi mas Alfan memberi isyarat agar
melanjutkan dzikir, sedangkan ia menyusul Pak Sidiq
yang membopong istrinya ke rumah. Jama’ah yang lain
juga kembali tenang dan melanjutkan dzikirnya.
48
“Sudah selesai kok mas, tinggal ngprint. Nanti bisa
sambil jalan ke kampus.” Jawabku,
~0~
50
Maaf telat mas Fikri. Saya lagi perjalanan tunggu
10 menit. Balas Pak Raja melalui WA.
51
“Bab 3 sudah mulai diketik?” tanya Pak Raja
setelah selasai mengoreksi tulisanku,
52
kan dekat semua kan, nggak ada yang di luar kota?” jelas
Pak Raja,
54
dibicarakan Ulya sangat penting. Tiba-tiba hp-ku
berdering. Telpon dari mas Alfan, aku mengangkatnya di
depan Ulya, agar nanti kalau ada hal yang harus
membuatku segera pergi, Ulya bisa memahami.
“Assalamu’alaikum mas?”,
55
“Ya sudah, kalau begitu setelah makan kamu
langsung kesana saja, aku bisa lain kali.”
57
“Aku harus gimana Fik?” Tanya Ulya lagi, ia
menenggelamkan wajah ayunya ke dalam kedua
tangannya yang sedeku diatas meja,
58
6
59
“Jam setengah 9 tadi sampai dirumah sakit. Terus
ini juga baru sampai disini,” Jawab Mas Fahri,
“Masih,”
62
“Seenak apapun makannanya, kalau di rumah sakit
itu rasanya nggak enak Fik.” Kata mas Alfan ditengah
perjalanan.
63
“Aku mau jemput Farida dulu dipondoknya. Kamu
bawa ini ke rumah sakit, sekalian gantiin Pak Sidiq jagain
Bu Nur. Biar Pak Sidiq sholat dan cari makan siang dulu,”
kata mas Alfan sambil meminta kunci motornya.
~0~
65
“Lho, bukannya di Tulungagung?” tanyaku lagi,
sedikit terkejut,
66
“Ya begitulah Ida.Kalau sudah kErasan di satu
tempat ya susah kalau disuruh pindah meskipun
dirumahnya sendiri,” Jelas Pak Sidiq,
68
“Assalamualaikum,” ucap seseorang dari ambang
pintu yang telah terbuka, dua orang muda-mudi telah
berada di ambang pintu.
70
7
71
“kabarnya udah mulai skripsi nih?” Tanya Ruli
mengalihkan pembicaraan,
72
“Suka banget sama huruf P,” sambil mengeklik
tempat-tempat yang di pilih Ulya,
73
“Wah bagus dong, berarti dia benar-benar serius,”
jawabku serius,
74
aku menghela nafas panjang.Aku semakin jengkel
dibuatnya, perempuan itu memang aneh.Dia
mengundangku kesini lalu marah-marah nggak jelas dan
meninggalkanku begitu saja.
75
“Mas Fikri kok sudah lama sekali tidak kesini sih,”
sapanya,
~0~
78
“Sudah, tidak usah bangun,” cegah Bu Nur, aku
lalu kembali berbaring,
80
apapun yang ia perintahkan akan kulakukan jika mas
Alfan mau melakukan itu.
81
sakit. Aku mleihat bahu kiriku, tampak kain kasa melilit
bagian atas tanganku itu. dan aku sadar tadi hanyalah
mimpi, tapi sangat kelihatan seperti nyata.
82
Ya Allah bagaimana mungkin Bu Nur memintaku
untuk menikahi Ida, perempuan yang jelas-jelas sudah
dijodohkan dengan Mas Alfan, orang yang sangat
kuhormati.
83
Terdengar Mas Alfan menatapku sambil istighfar,
aku juga melakukan yang sama. Mas Alfan lalu
mengambil gelas berisi air puti, lalu menyodorkannya
kepadaku.aku beristighfar berkali-kali hingga aku merasa
tenang.
84
8
“Lumayan mas,”jawabku,
85
“sebenarnya Bu Nur Sakit apa Mas?” tanyaku,
~0~
87
Aku terbangun ketika Ilham, Rudi dan beberapa
teman-teman KMM datang menjengukku. Aku terharu,
ternyata mereka masih mengingatku.aku memperkenalkan
Ilham, Rudi dan Fahri kepada Ibu. Hanya mereka bertiga
yang aku kenal, lainnya aku lupa namanya.
88
“Aku malah mau tanya sama kamu kemarin Rud.
sudah seminggunan aku nggak tau kabarnya,” Jawab
Ilham,
89
cukup lama teman-teman KMM berada disana,
hamper 1 jam. mereka pamit ketika adzan ashar
berkumandang. Rudi dan Ilham pamit belakangan, mereka
pamit untuk sholat ashar dan janji akan kembali lagi.
mereka bilang akan menemaniku dan Ibu malamini di
rumah sakit.aku merasa senang akanada teman ngobrol
malamini.Ibu pasti lelah karena sudah menjagaku
seharian, belum lagi mondar-mandir mencari sesuatu yang
kuperlukan.
90
Tiba-tiba aku teringat mimpiku yang bertemu
dengan Bu Nur.Mimpi itu seperti benar-benar nyata.tapi
kenapa Bu Nur tiba-tiba memintaku menikahi Ida, padahal
ia sudah dijodohkan dengan Mas Alfan. laki-laki yang
jelas lebih baik dariku.
~0~
91
“Gimana Fik, sudah bisa digerakkan?”, tanya mas
Fikri,
92
“Itu dia Bu, saya kesini juga mau minta tolong,
mohon doanya untuk Bu Nur, semoga segera sadar,”
93
“Ya sudah sekarang saja mas,” ucapku sambil
beranjak, semua yang berada di situ segera mencegahku,
94
Aku terdiam, semua terdiam tapi mata kami tak
lepas dari tubuh yang terbaring tak bergerak itu, berharap
ada reaksi darinya. Tapi tak ada reaksi sedikitpun.
“Tolong...”ucapnya lemah,
96
“Alhamdulillah, keadaannya sudah lebih stabil.
Beliau sudah melewati masa kritisnya, tapi karena berhari-
hari hanya dibantu infus tanpa ada makanan yang masuk
Bu Nur kehabisan tenaga sehingga akhirnya pingsan,”
Jelas Dokter lagi,
97
“Fik, 4 hari lagi aku wisuda. Aku sih berharap
kamu sudah sembuh dan bisa hadir,” Ucap mas Alfan
sebelum aku pergi,
98
sakit tempatku di rawat. Laila tak sengaja melihat
kearahku, ia lalu tampak memanggil dan berbicara kepada
Ibu dan Ayahnya sambil menunjuk ke arah kami. Mereka
lalu menunggu kami.
100
9
101
sudah tidak tahan lagi menyimpan perasaan itu sendiri. Ibu
menyarankan aku berbicara dari hati ke hati dengan Mas
Alfan, karena Ibu juga melihat ada gelagat Mas Alfan
yang seolah sudah tahu apa yang ada dipikiranku.
rencana awal.”
berangkat,”
102
“Masya Allah. Alhamdulillah,” lirihku,
berhenti sejenak,
103
“Tapi aku nggak yakin Ida bisa melakukan itu Fik.
104
“Oh, tahu sepertinya mas,”
ditekan,
105
“Tapi faktanya, Ida mengumbar cintanya yang
lagi,
sahutku spontan,
lidahku.
mas, ...”
106
“Sudah kuduga,” sahut Mas Alfan, aku tidak tahu
memohon,
tidur.
107
Ternyata Mas Alfan sedang menenangkan diri
aku hanya emosi dan jengkel saja sama Ida. Aku pergi
dengan Ida ketika dirumah sakit, saat itu juga aku baru
109
Hampir satu jam aku bicara dengan Mas Alfan.
penjelasanku.
~0~
110
Sebenarnya aku ingin cepat menyelesaikan
tawar menawar.
pelan.
111
Aku menggeleng, “Aku nggak setuju Mas.
tegas,
112
“Apa Mas Alfan ragu dengan Ida?”, tanyaku,
Ida,”
Fik,”,
memberinya semangat.
113
ekonomi. Meskipun, dari segi fisik aku lebih unggul
sedikit, he..he...
114
11
membawa handuk.
menyenggol lengannya
menuju belakang,
116
“Memang menurutmu yang mau jadi calon kakak
menghangatkan suasana,
117
Aku melihat raut wajah Ulya yang masih kaku dan
118
“Kan kamu sudah tahu aku udah bisa masuk kuliah
ujar Ulya,
119
“Fikri,” seru Ulya sambil mengangkat gelas
didepannya,
120
“Ini temen-temennya Fikri?dari mana neng?”
nggak salah?”
tepat dihadapannya,
121
“Anak-anaknya itu kerja di Jakarta semua.pulang
kemudian,
menerangkan,
122
berisi makanan dan satunya membawa payung. hujan
ruang tamu,
Fathimah bergantian.
123
“Laila mau minum-minum dulu?” tawar Ibu sambil
singkong keju,
124
“Kok masih sering kesini.kalian masih
sahut Ulya sedikit ketus, ini salah satu bagian dari Ulya
125
“Segala sesuatu itu dicari tahu dulu sebab
~0~
126
berjalankearah kami.Sampai Ibu dan kedua adikku ikut
dari jauh.
kepada Ulya,
ini tidak tahu kalau halaman itu punya Ibu. Dia kira itu
127
ayah yang mengurusi tanah itu untuk dibeli oleh warga
masih hujan,”terangku,
buronan.
128
Aku, Ulya dan Fathimah dan juga Bu Rukayah
nyaman.
130
11
masih lemah.
Ida.
131
Aku mulai membukakotak kado itu. kudapati
sebuah jam tangan anti air dan selembar surat. Aku segera
Pagi itu,
merahnya
terpaut
132
Berharap kelak aku menjadi bulan yang akan
perasaan itu sudah lenyap dari hati Ida. Aku lalu beranjak
133
“Mas Fikri, bisa bicara sebentar?” sapa Ida begitu
bersiap TPA.
Ida,”lanjutnya lagi,
134
“Ida mau bicara apa?”
Aku mengangguk.
Alfan
Alfan?”tanyaku lagi,
jika...”
135
aku nggak mungkin menjadi penyebab gagalnya
Alfan.
menurunkan nadaku,
136
Ida mengangguk, matanya masih basah,” maafkan
aku mas,”
berharap lagi.
mengurungkan langkahku,
dari segi agama dan ilmu. Hanya ada hal yang membuatku
137
berpenampilan lebih baik, seperti Mas Fikri,” jelas Ida
terus terang,
lamaran mereka.
~0~
138
Esok pagi resepsi digelar. Pak Sidiq memintaku
139
langganan Pak Sidiq, beserta romobngannya sudah berada
dihadapanku.
disampingku,
140
Dan akupun baru mengerti kalau Ulya itu anaknya
bidadari.
141
dengan persaannya dan juga cemburunya. Jodoh pasti
akan bertemu.
142
Profil Penulis
143