Anda di halaman 1dari 3

Nama : Muhamad Raihan Rais

SIHIR PEREMPUAN DI BALIK TIRAI

Pagi di bulan ramadlan terasa indah ku rasakan. Di saat mentari masih terlelap juga
tiada pelita jingga yang membias, melukis hamparan cakrawala. Dan semua itu terasa begitu
sempurna ketika ku kembali dari jalan pagi. Ku coba menengok rumah yang di kontrakkan
ibuku. Aku kaget setengah mati, karena ku temui seorang perempuan sedang menyapu di
halaman. Ada tanda tanya besar dalam benakku, sejak kapan ibu menyewa pembantu secantik
itu?. "berapa ibu membayarnya tiap bulan?" sindirku pada ibu. "siapa maksudmu, ibu tak
pernah mempekerjakan orang untuk membantu ibu." "lantas, siapa yang tinggal di rumah
kontrakan itu?" "oh ... ada keluarga dari surabaya yang katanya mau sebulan tinggdi situ."

Malam pun tiba. Dan di saat inilah bagian yang membuatku gerah di bulan ramadan,
tarawih. Ya, tak jarang aku salat tarawih dua puluh rakaat tidak utuh semalam. Malah kadang
aku tak ikut berjama'ah. Ketika berjalan tiba-tiba langkahku terhenti sejenak. Seakan ku tak
percaya, gadis yang kulihat tadi pagi, kini ada di masjid. Sungguh cantik! Ku akui kenyataan
itu. Wajahnya yang hanya terkena sorot lampu, seakan berkilauan penuh cahaya yang
mungkin hanya memancar dalam perasaanku saja. Sejak kejadian itu, Bukan hanya tarawih
yang aku sempurnakan tiap malamnya, aku menjadi lebih rajin mendatangi masjid untuk
menunaikan kewjibanku kepadaNYA dalam lima waktu. Hingga suatu pagi aku tak
melihatnya lagi menyapu di halaman rumah kontrakan ibuku. Malampun begitu, ia tak
menampakkan batang hidungnya sedikitpun. "keluarga surabaya itu sudah balik ke
surabaya?"tanyaku pada ibu ketika sahur. "belum, masih di sini kok. Memangnya kenapa?."
"kenapa seharian aku nggak liat anaknya yang perempuan menyapu? Terus waktu tarawih ia
juga tak muncul. Memangya kenapa dia.." "owh, dia di rumah sakit. Katanya jantungnya
lemah. Kasihan ya."

Aku hanya mengangguk pelan. Pikiranku mulai di hantui bayangya. Ada rasa iba
dalam hatku meski ku tak tahu mengapa ku harus merasakannya. Da semangatku yang
sebelumnya tertanam kukuh, hilang seketika. Bahkan sudah tiga hari aku tak ke masjid,
apalagi tarawih.

Aku merasakan ketentraman yang tiada dua, walau senja tak terasa segar, aku
merasakan keesjukan di sisni. Karena sekarang aku ada di di sampingnya."mengapa kau
memutus jalanmu hanya demi aku? Harusnya kau tahu kalau itu salah." Ungkapnya
padaku.aku tersentak sekaligus bingung menerima pertanyaan itu. "kau tahu apa yang ku
pegang ini?!". Lanjutnya sembari mengangkat belati yang ada di tangannya. " lebih baik aku
menancapkan belati ini di dadaku dari pada kau tetap melakukan hal bodoh itu."Tak ku
sangka ternyata di benar-benar menusukkan belati itu di tepat di dadanya. Ia pun terkapar di
atas tanah, jilbab putihnya basah kuyub tersimbar darah segar. Badanku gemetaran melihat
kejadian itu. Ketika aku merasa akan jatuh pingsan, ada keanehan terjadi. Langit yang semula
di atasku, mendadak berubah menjadi ternid ternid putih. Dan pepohonan yang sebelumnya
mengelilingiku berubah menjadi bongkahan lemari.

Aku mulai sadar kalau aku baru saja bermimpi.Saat aku menengok jam, ia tunjukkan
pukul 03.30, sudah waktunya sahur, pikirku.Setelah sahur biasanya aku langsung terbaring di
pangkuan kasurku hingga jam setengah enam baru siuman. Kali ini lain, merapatkan kelopak
mata saja serasa menempelkan medan magnet selatan dan utara. Mimpiku semalam masih
mengendap dalam benakku. Aku tak kesalahan apa yang ku perbuat padanya hingga ia
sempasempatnya singgah dalam mimpiku. Pikiranku terus berlari menyusuri lembah
kerumitan yang tak pendek, yang akhirnya berlabuh pada jawaban bahwa aku menghapus
hidupku yang lalu hanya demi dia.mungkinkah, ia tak terima? Aku tak tahu, dan aku tak mau
memikirkannya. Kini tekadku hanyalah mengembalikan hidupku yang cerah bukan lagi pada
kehidupan temaram.29 Ramadhan 1430, aku berdiri mematung di depan rumah kontrakan
ibu. Aku hanya mampu melihat mereka mengusung barang-barangnya karena mau balik ke
Surabaya tanpa bisa ku mencegahnya. Namun, setidaknya aku bahagia.karena sebelum ia
naik ke mobil, ia sempat melemparkan senyumnya padaku, Ya Tuhan, betapa manisnya.Ku
lambaikan tangaku, ketika mobilnya beranjak pergi meski ku tak tahu apakah ia
membalasnya atau tidak.

Dalam hatiku memang terasa sedih karena ku menyesali kenapa kalau ada pertemuan
pasti ada perpisahan. Di pagi hari ketika ku beres-beres rumah kontrakan itu, aku menemukan
secarik kertas yang terselip di daun pintu lemari. Karena penasaran, aku lngsung
membukanya

Dear, pangerang istana ini Pada awalnya, ibu anda bilang kalau anda semakin
berkurang umrnya semakin berkurang semangat juangnya. Namun saya melihat dalam diri
anda masih ada nurani yang tertanam suci. Maka teruslah membangun pondasi yang telah
roboh walau itu memang sulit. Kelak anda akan merasakan buah dari keringat anda
sendiri.Ku titikkan air mataku. Seolah ia menjadi malaikat dalam mimpiku. Terima kasih
untuk sang penakluk jiwaku.

Anda mungkin juga menyukai