Anda di halaman 1dari 9

CERPEN

Ibu Tercinta

Hujan rintik membasahi belahan bumi yang aku tinggali. Langit menangis,
mengiringi perih yang aku rasakan. Kilat menyambar, gemuruh menggelegar.
Suasana sangat kacau.

Aku mendekap kedua kaki yang tak terasa dingin. Hatiku bergejolak seperti lautan
yang dilanda badai. Tak ada air disana, air mataku telah lama mengering, sejak
terakhir kali kulihat bayangan itu.

Tak ada yang lebih besar dari hati seorang ibu. Pasti. Setidaknya itu yang terjadi di
duniaku. Sebuah keputusan besar, yang menghanguskan seluruh sisa hidupnya di
dunia, dengan gagah ia ambi.
Aku tahu, jauh dilubuk hatinya ia tak rela meninggalkan kami; aku, adikku dan
bahkan ayahku yang bajingan.

“Ibu… jangan pergi! Jangan tinggalkan kami…” akutak dapat menahan air mata
kala itu. “Tenanglah nak, kalian akan baik-baik saja… maafkan ibu”

Hati siapa yang tak hancur melihat ibunya minggat dari rumah menerjang rintik
hujan. Bukan salah ayah, tapi bukan salah ibu semata.

Meski ibu hina tapi ia adalah sosok pahlawan yang tak akan pernah membiarkan
buah hatinya menderita.

Aku hanya bisa menangis. Hanya bisa menangis. Aku belum bisa menangkap
secara sempurna apa yang terjadi. “Ibu…” aku hanya bisa berteriak, menangis
melepas ibu yang aku cinta.
Yang aku tahu, ibu sempat sampai berdarah-darah, memohon agar tidak diusir dan
dipisahkan dari anak-anaknya.

“Kamu tidak perlu menghawatirkan anak-anak, mereka akan lebih baik tanpa
dirimu!”, aku sempat mendengar kalimat tersebut terucap dari bibir ayah.

Tak mengerti, aku sungguh tak mengerti. Aku hanya bisa mendekap perih,
merindukan ibu. Ibu yang aku cinta, kini entah ada dimana.

---oOo---
CERPEN

Muara Kasih Bunda

Magrib menjelang dan ufuk menggaris begitu indahnya, orang-orang berdatangan


ke masjid untuk menunaikan ibadah sholat. Sementara aku masih di rumah
mengunyah suapan dari ibu tercinta.

Ibu yang tak pernah lelah memperhatikanku, meskipun aku pun terkadang sering
lebih peduli dengan orang lain dari pada ibu. Padahal apa yang dikerjakan ibu
semuanya untukku dan demi kebahagiaanku.

Aku pun berangkat ke masjid usai menghabiskan suapan terakhir dari ibuku. Aku
pun berjalan bersama ibuku yang selalu setia menuntunku sampai ke masjid.

Sesampainya di masjid ibuku berkata,”Ayok solat, dek, dipakai mukenahnya”, kata


bunda. Namun aku pun memakainya meskipun aku pun belum mengerti betul untuk
apa aku sholat.

Ibuku berkata,”Dibuka tangannya dan bilang amin”, mendengarkan imam yang


sedang berdoa usai sholat. Aku pun mengucap amin dipangkuan ibuku dan sambil
melihat kekanan dan kekiri. Usai berdoa bunda berkata,”Usapkan tanganmu
kemuka”. Aku pun mengikutinya apa yang disampaikan ibuku.

Sholat berjamaahpun selesai, aku pun tidak sabar untuk pulang,”Ayo buk,.. ayok
cepat”, sambil menarik tangan ibuku.

“Iya nak, sebentar ya, pakai sendal dulu”. Aku pun berlari menuju pulang dan
berkata,”Ayok buk kejar aku”. “Jangan lari-lari nak, banyak kendaraan”,
ungkapnya sambil mengejarnya.

Aku tidak melihat kekanan dan kekiri ketika menyebrang dan aku pun tertabrak
motor dan tidak sadarkan diri. Aku terbangun namun di tempat yang gelap sekali
dan hanya ada satu cahaya.

Aku mengikuti cahaya tersebut namun cahaya itu semakin menjauh. Aku pun
berlari mengejar cahaya tersebut, namun cahaya tersebut hilang.
Tempat tersebut semakin gelap dan sangat gelap dan bahkan membuat sesak dada.
Aku berjalan terus berharap ada sebuah cahaya, di tengah perjalanku aku
mendengar tangisan dari ibu. Aku berteriak,”Ibu..!, ibu dimana, tolong aku bu aku
sendirian”, ungkapku dengan lantangnya.

Sementara suara ibuku terdengar semakin kencang namun aku tidak tahu dari mana
suara ibuku berasal. Suara ibuku menggema dan tidak bisa terdeteksi
keberadaannya.
Di tengah kegelapanku ada sosok mahluk terbang yang tidak kuketahui wujudnya,
membawaku terbang. Aku berteriak dan memejamkan mata.

“Nak,.. Nak,.. ini ibu Nak, Allhamdulillah kamu sudah sadar”, memeluku yang
sedang terbaring di rumah sakit dengan kepala yang terjahit.

Aku pun memandangi satu-persatu orang-orang yang ada di ruangan medis


tersebut, dan belum sanggup berkata-kata. "Kenapa ibu menangis ?", ungkapku
sambil menatap ibu.

“Ibu gak nagis kok Nak”.


“Itu ada air matanya”.
“Ibu khawatir dengan keadaan kamu nak”.
“Aku gak papa kok, ini aku sudah sehat”.
“Iya nak, ibu bersyukur banget”.

--- oOo ---


CERPEN

Cerpen Persahabatan

Salah satu hal yang bisa membuat seseorang lupa akan segalanya yaitu Cinta. Cinta
membuat kita rela berkorban apapun yang kita miliki. Untuk wanita, menurutku
lebih baik mencintai daripada dicintai. Jangan berharap seseorang yang belum tentu
mencintai kita, tetapi terima orang yang mencintai kita apa adanya.

Karena mencintai tanpa dicintai seperti olahraga dengan jangka waktu lama tetapi
tidak membuat kurus. Karena itu belajarlah mencintai diri sendiri sebelum
mencintai orang lain. Itu sedikit basa-basi dariku.
Aku Amel, siswa kelas XI. Dulu aku selalu menolak dan mengabaikan orang-orang
yang menyatakan cintanya kepadaku. Tetapi sekarang justru aku yang selalu
diabadikan oleh orang yang aku cintai.

Aku suka dengan teman sekelasku, namanya Ferdin , dia merupakan sahabat
dekatku sejak lama. Awal diriku suka dengannya berawal saat aku kenalan
dengannya dan berteman cukup akrab dan lama-lama dekat, sehingga sekarang
diriku jatuh cinta.
Oh iya, aku punya teman bernama Afni, dia temanku sejak SMP. Sedangkan Aku,
Afni, dan Ferdin sudah berteman dekat sejak masuk SMA.

Suatu waktu aku melihat Afni dan Ferdin bercanda bersama dan mereka terlihat
akrab seperti orang pacaran. Jujur, akupun cemburu melihatnya tetapi aku masih
menyembunyikan kecemburuan itu didepan Afni.

Tetapi lama-lama rasa yang terpendam ini ingin dikeluarkan, akhirnya aku
memutuskan untuk cerita ke Afni tentang perasaanku ke Ferdin.
“Af, aku mau ngomong sesuatu nih, tapi jangan ngomong ke siapa-siapa ya”
“Kamu mau ngomong apa mel?” tanya Afni.

“Jujur aku suka dengan Ferdin sejak lama, dan aku cemburu saat kamu dekat sama
Ferdin!” Jawabku.
“Kamu suka sama Ferdin? Serius mel?” Tanya Afni.
“Iya, tapi kamu jangan bilang ke Ferdin ya” Ucapku.
“Iya, maaf sebelumnya kalau aku udah bikin kamu cemburu” Jawab Afni.

“Oke” Jawabku.
Semakin lama aku semakin dekat dengan Ferdin, tetapi aku perhatikan bahwa
Ferdin tidak akan pernah jatuh cinta denganku. Walau seperti itu, aku tetap berjuang
sepenuh hati. Dan ternyata Afni juga suka dengan Ferdin.

Aku mengetahui kalau Afni suka dengan Ferdin ketika aku membaca buku diary
Afni. Disana tertulis curhatan Afni tentang perasaannya ke Ferdin.

Akupun merasa kecewa setelah membaca buku diary tersebut, karena sahabat
baikku ternyata suka dengan cowok yang sama denganku. Tetapi aku berfikir, rasa
suka itu berhak untuk siapapun.

Saat di taman sekolah, aku melihat Afni dan Ferdin sedang mengobrol. Mereka
terlihat lebih serius daripada biasanya, akupun penasaran dan menguping
percakapan mereka dibalik pohon.
“Afni, aku suka sama kamu, kamu mau ngga jadi pacarku?” Tanya Ferdin.

Afni kaget sekaligus bingung mendengar pertanyaan itu. Tetapi pada akhirnya Afni
menerima tawaran itu dan mulai menjadi pacar Ferdin tanpa memikirkan
perasaanku, sahabatnya sendiri.
“Iya aku mau” Jawab Afni.

Aku yang mendengarkan jawaban Afni langsung kaget dan keluar dari balik pohon,
karena aku tak menyangka sahabatku akan tega melakukan hal itu.
“Af, kamu pacaran sama Ferdin? Selamat ya kamu udah bikin aku sakit hati”

Afni dan Ferdin kaget karena aku keluar dari balik pohon secara tiba-tiba dan
langsung berkata seperti itu.
“Maafin aku mel, tapi aku jujur cinta banget sama Ferdin” Jawab Afni.
“Yaudahlah”, aku pergi meninggalkan Afni dan Ferdin.

Aku pergi dengan perasaan campur aduk tidak karuan dan masih berpikir mengapa
sahabatnya sendiri tega melakukan hal itu. Padahal afni tahu kalau diriku sudah
lama mengejar Ferdin.

Maka persahabatanku dengan mereka berdua hancur karena cinta. Disini aku
memberi amanat bahwa utamakanlah sahabatmu daripada pacarmu, karena orang
yang selalu hadir disaat kamu senang dan susah itu sahabat.
CERPEN

PERTANYAAN MISTERIUS AYAH


Hari ini ayah tidak pergi kerja, saya pun sedang libur sekolah. Kulihat ayah sedang
sibuk membenarkan sepeda motornya. Lantas kudekati ayah, “butuh bantuan,
Yah?”, tanyaku polos.

Saat itu saya masih kecil dan duduk di bangku SD. “eh, tersedia dede’ kecil. Boleh-
boleh”, jawab ayah. Kami banyak berbincang selama membenarkan sepeda motor
ayah.

Ayah banyak bercerita perihal sepeda motor padaku, saya menikmatinya. “kalo
dede’ udah besar nanti sudi jadi apa?’, tanya ayah padaku. “dede’ mengidamkan
jadi pembalap yah, layaknya Valentino Rossi”, jawabku secara spontan. “oh ya?,
wah hebat.

Tapi pembalap mesti mengerti anggota yang terpenting berasal dari motor, dede’
tahu?”, tanya ayah padaku. Aku pun berfikir, apa ya yang paling penting?.

Keesokan harinya kala sarapan, saya menjawab pertanyan ayah kemarin. Bagian
terpenting berasal dari sepeda motor adalah roda, karena tanpa roda motor tidak
mampu berjalan.

Mendengar jawabanku ayah berkata: “wah pintarnya, namun sayangnya bukan itu
sayang”, jawab ayah. Aku pun tidak menyerah, tiap-tiap hari saya senantiasa
mencoba menjawabnya.
Mungkin jawabannya adalah kunci, karena tanpa kunci motor tidak bakal mampu
menyala dan diamankan. Tapi ayah senantiasa berkata: “smakin hari dede’ smakin
pintar ya, namun jawabannya masih belum tepat”.

Aku belum menyerah. Sampai saya duduk SMP pun, Sesekali ayah bertanya
pertanyaan jaman kecilku itu, dan tiap-tiap ku jawab pasti ayah berkata: “kamu
benar-benar cerdas, namun bukan itu jawaban yang tepat, konsisten mencoba ya”.
Karena konsisten layaknya itu, lama-kelamaan saya jadi bosan. Karena jawabanku
senantiasa belum tepat.

Sejak kecil sampai sekarang, ayah tak pernah sudi memberikanku jawaban yang
sebenarnya. “jangan anda suntuk mencoba menjawabnya, karena ini pertanyaan
yang benar-benar mudah, teruslah berusaha”, kata ayah tiap-tiap kali saya
mengeluh.

Sesudah lulus SMP, saya melanjutkan ke MA dan saya menyita jurusan otomotif.
Kutanyakan pada guruku, anggota terpenting berasal dari sepeda motor itu apa.
Jawaban guruku adalah Accu, karena motor takkan mampu menyala tanpa Accu.
Aku percaya jawaban kali ini pasti benar.

Sepulang sekolah sambil menunggu ayah menjemputku. Ku tanyakan pada teman-


temanku, apa yang paling penting berasal dari sepeda motor. Bermacam-macam
jawaban kudapatkan berasal dari mereka, jadi berasal dari mesin, busi, rem, lampu,
sampai bensin dan oli.

Saat diperjalanan saya menjawab pertanyaan ayah, satu persatu jawaban yang ku
dapat, kuceritakan pada ayah, dan hasilnya senantiasa saja “coba lagi”.

Aku jadi berpikir ayah pasti mempermainkan aku. Selama perjalanan saya tak
berkata sepatah katapun padanya. Sampai disebuah lampu merah, kami melihat
seorang nenek tua bersama dengan cucunya sedang mengemis ditepi jalan.

Ayah merogoh kantongnya, mengimbuhkan sejumlah duwit dan berkata: “tolong


berikan ini pada mereka, senyampang kami masih diberi rezeki, kami mesti saling
menopang dan berbagi”. Kuberikan duwit itu pada nenek yang sedang memelas dan
mengemis itu. Hatiku tersentuh melihatnya.

Malam harinya diruang tamu, ayah menyuruhku duduk disampingnya. Beliau


menasehatiku sehingga saya jadi anak yang baik dan ramah sepertinya.

Akupun mendengarkan bersama dengan cermat. “jadi kau benar-benar


mengidamkan mengerti jawaban berasal dari pertanyaan ayah?”, kata Ayah secara
tiba-tiba. Aku yang sedikit bingung mengangguk, karena saya udah menyerah dan
suntuk dihatui pertanyaan misterius ayah.
“kau tahu, di antara seluruh jawaban yang kau berikan pada ayah, sebenarnya tidak
tersedia satupun yang salah. namun ayah mengidamkan kau studi suatu hal berasal
dari pertanyaan ini. Kau tahu, anggota yang paling penting berasal dari sepeda
motor adalah ‘Sadel’ “, jawab ayah. Aku sedikit terkejut. “apa alasannya yah?”,
tanyaku penasaran.

Ayah tersenyum kearahku dan berkata: “kau mengerti kenapa?, karena bersama
dengan sadel, kami mampu membonceng dan kami mampu sharing kebahagiaan
bersama dengan siapa saja diatas sepeda motor kita. Seperti itu pula harusnya kami
hidup, senantiasa sharing dan berikan selama kami masih diberi kala dan rezeki
untuk hidup diatas bumi ini “
CERPEN

Judul: Takdirlah Sutradaranya

Andai kau menyatukan sepasang kasih, ga ada luka menyayat lara, ga ada puitis
punya kandungan dusta ga ada air mata terbuang percuma, ga ada hidup berakhir
sia. Tidakkah kau dengar rengkuhan doa memanggil cinta?

Takdir, kutulis kisahku menyentuh ibamu, menghendaki kau satukanku bersama


dengan kasihku.

Disepertiga malam, jaman seakan berhenti. Seakan semua terkesima mendengar


munajatku yang memohon bakal cinta.

Kasihku berawal berasal dari perjumpaanku bersama dengan Rahman, saat ia jadi
guru ngajiku.

Rahman istimewa. Ia tuli berasal dari konsonan kata tak bermakna, ia bisu berasal
dari ucapan kotor berasal dari bibirnya, ia lumpuh berasal dari jalur mungkar. Ia
hafidz. Ia nyaris sempurna. Namun, penglihatan diambilNya, supaya ia tak terlena
oleh kegelimangan dunia fana.

Aku mencintainya.

Suatu hari, Rahman meminagku. Aku bahagia, sampai aku lelah sendiri supaya
semesta tau tentang bahagiaku.

Namun kenyataan menumbuhkan ego, saat orangtuaku menampik Rahman, bahkan


mencacinya.

“Dasar orang buta! Mau kau kasih makan apa anakku. Hidupmu saja di panti
asuhan. Mau kau ajak ngemis nantinya he…”

Cinta. Aku kalap. Orang tuaku murka sampai menumbuhkan penyakit ginjal
didalam diriku.

“Jika kita berjodoh, Insyaallah kita bakal bertemu sebagai pasangan yang hahal La.”
Ingin hati memeluknya. Menangis, bercerita bakal hidupku yang rapuh digerogoti
asa yang terlanjur bahagia.

“Aku mencintaimu Mas.”

“Aku pun tetap mencintaimu La. Tapi, simpanlah cinta itu untuk pasangan kita
kelak.”

“Mas…” aku menunduk. Pandanganku kabur. Gelap.


Nyeri menusuk igaku. Tarikan nafas seakan mencekikku. Setelah operasi ginjal tiga
hari lalu, aku siuman.

Sebuah mukena dan tape recorder ada di sebelah daerah tidurku.

“Laila terkasih…

Telah kuterima ketulusanmu bersama dengan cintaku. Jaga ginjalku Lalila.


Perkenalan denganmu adalah bahagiaku, aku pergi bersama dengan tenang,
kutunggu kau di surga, bersama dengan kebahagiaan cinta kita. Insyaallah.”
Aku terseok mengejar saat membawa Rahman pergi. Menghampiri hujan duwit
serasa menjahit kulitku.

Kejam!! Takdir… Kemana kau bawa Rahman? Aku mendambakan kebersamaan,


bukan ginjal…
Sebuah truk melaju kencang. Aku mematung di sedang jalan. Biar kuakhiri semua
disini. Aku siap. Rodanya melaju semakin dekat. Aku memejamkan mata dan…
trus itu menembus tubuhku.

Tubuhku terlihat samar. Terasa mudah terangkat ke udara. “Kau tak harus
melakukan itu Ukhti.” nada Rahman lembut, selanjutnya menggandeng tanganku
menuju titik terang.

Siti menangis tersedu di atas makam putrinya, Laila. Operasi yang dijalani anaknya
gagal. Penyesalannya adalah anaknya meninggal didalam suasana kecewa bakal
cinta yang ditentangnya. Ia hanya sanggup meratap penuh penyesalan.
“Maafkan ibu nak. Semoga kau suka di surga bersama dengan Rahman…” doanya.

Anda mungkin juga menyukai