Anda di halaman 1dari 3

Ana Uhibbu Ilaik

Judul Cerpen Ana Uhibbu Ilaik


Cerpen Karangan: Sari Suci Handayani
Kategori: Cerpen Cinta Islami
Lolos moderasi pada: 30 November 2016

Pagi hari yang sangat sejuk, matahari mulai menampakkan sinarnya. Sinar kekuningan mulai
muncul di sebelah timur. Saat ini aku sedang menyiram tanaman yang ada di pekarangan
samping rumahku. Sungguh indah bunga-bunga ini pasti Ibu menjaganya dengan baik.
Walaupun sudah hampir 1 tahun aku tidak pulang ke sini, tapi bunga-bunga ini tetap indah,
tetap terawat. Bisa dikatakan sekarang adalah hari pertamaku di desa ini. Setelah sekian lama
aku tidak pulang. Aku kuliah di salah satu Universitas yang ada di Bangkalan, jadi aku jarang
pulang. Karena kalau aku terlalu sering pulang maka sia-sia saja aku memilih tinggal jauh
dari orangtuaku. Yaa walaupun sebenarnya aku masih tinggal bersama dengan saudara dari
ibuku.

“Sari, kamu ada dimana nak?”


“Sari, ada di pekarangan samping Bu”. Beberapa saat kemudian Ibu datang menghampiriku
sambil membawa sesuatu.
“Ini tolong antarkan ke rumah Ibu Indah. Kemarin dia memberi Ibu kue lapis”
“Jadi cuma ngembaliin doang nih. Nggak dikasih apa?”, kataku sambil tersenyum pada Ibu.
“Ya iyalah sayang. Habisnya Ibu nggak punya apa-apa yang mau dikasih. Nanti deh kalau
Ibu punya akan Ibu kasih. Sudah sana cepat nanti keburu siang katanya mau ikut ke Pasar”
“Ya sudah. Asssalamualaikum”
“Waalaikum Salam”

Di jalan aku bertemu dengan teman-temanku semasa SD dulu. Mereka ada yang masih ingat
kepadaku ada yang sudah tidak ingat. Maklumlah dulu kan aku nggak pakai hijab, sedangkan
sekarang aku sudah memakai hijab.
“Assalamualaikum wahai kekasihku. Masih ingatkah kamu akan diriku?”
Ya Allah suara siapa itu, apa mungkin dia menyapaku. Tapi, sepertinya aku kenal suaranya.
Kemudian aku membalikkan badanku.
“Ya ampun ternyata kamu Fahri. Kamu itu bikin aku terkejut tau. Waalaikum Salam”
“Kamu tambah cantik ya. Mau kemana?”
“Mau ke rumahnya Tante Indah”
“Mau saya antar?”
“Tidak usah”, kataku sambil menunduk.

Setelah itu aku melanjutkan perjalananku ke rumah Tante Indah. Sungguh Desa ini tak
banyak berubah, masih seperti satu tahun yang lalu. Oh ya Desaku bernama Desa Montok
Kecamatan Larangan Kabupaten Pamekasan. Memang sih Desaku itu bukan Desa yang
sangat terpencil. Penduduknya saja sudah banyak yang bekerja di kantor. Ada yang menjadi
anggota DPR lagi. Sepertinya ini rumahnya Tante Indah.
“Assalamualaikum”
“Walaikum Salam”, jawab suara dari dalam. Ya Allah sepertinya aku mengenal suara itu.
“Sari”. Tuh kan bener dia yang keluar.
“Siapa yang datang Dimas?”, kemudian kulihat Tante Indah melihat kearahku.
“Oh Sari. Ayo masuk nak. Kamu ini gimana sih Dimas ada tamu kok malah dilihat saja”
“Ini mau di suruh masuk eh Mama udah muncul duluan”, kata Dimas pada Mamanya.
Kemudian aku masuk ke rumah Tante Indah. Tapi, tiba di dekat pintu masuk aku kembali
dihadang oleh anaknya.
“Kamu apa kabar? Kamu tambah cantik ya kalau make hijab”
“Maaf saya mau lewat”, kataku masih menundukkan kepalaku. Ya Allah bukannya aku tidak
mau melihat wajahnya. Tapi, kalau aku melihanya, aku takut malah terkesima dengan
makhluk ciptaanMu. Aku takut tidak bisa memalingkan wajahku dari wajah dia, dan akhirnya
akan menjadi zina mata.
“Dimas kok malah ngalangin pintu. Kalau mau ngobrol, jangan di luar. Sini di dalam saja”,
teriak Mama Dimas dari dalam rumah.
“Iya Ma, aku Cuma mau memastikan dia Sari yang aku kenal selama ini atau bukan”. Setelah
itu Dimas memberikan jalan untukku masuk ke dalam rumahnya.
“Silahkan duduk Sari. Kamu apa kabar? Lama Tante nggak ngelihat kamu”, kata Tante Indah
kepadaku. Kulihat anaknya duduk di samping Tante Indah.
“Alhamdulillah baik Tante. Kebetulan saya baru tiba di sini kemarin”
“Kamu tambah cantik dengan memakai hijab. Nggak nyangka Tante kamu bisa pakai hijab,
padahal dulu kamu tomboy banget ya”
“Alhamdulillah Tante mungkin ini hikmah saya tinggal di Bangkalan dengan saudara Ibu.
Dia yang mengajarkan saya tentang agama, dan segala hal mengenai aurat seorang wanita.
Makanya saya memakai hijab, agar saya bisa menjaga aurat saya untuk suami saya kelak”
“Ya memang seharusnya seperti itu. Sekarang itu banyak anak muda yang tak peduli terhadap
auratnya. Pada diumbar semua, katanya biar kelihatan sexylah apalah”. Aku hanya tersenyum
menanggapi perkataan Tante Indah. Tiba-tiba suara anaknya menarikku untuk menatap dia.
“Ma katanya mau nelfon Om Indra?”, katanya dengan masih memandangku, dan saat itu
pandanganku bertemu dengan dia. Segara aku menundukkan kepalaku dan mnegucapkan
Istighfar.
“Oh iya Mama lupa. Aduh kok pikun ya. Oh ya Mama juga lupa ngebuatin Sari minuman.
Sebentar ya Tante tinggal dulu. Kamu ngobrol saja sama anak Tante”
“Iya Tante”. Tante Indah meninggalkan aku dengan Dimas anaknya.

Seorang pemuda yang mempunyai nama lengkap Dimas Prasetyo. Sekarang dia kuliah di
salah satu Universitas yang ada di Jakarta yang bernama STAN. Dia yang dulu sempat
membuat hatiku dag dig dug disaat aku menatapnya, mendengar suaranya. Dia juga yang
pernah menyatakan cintanya kepadaku sekitar 1 tahun yang lalu sebelum aku berangkat ke
Bangkalan. Dia juga yang berjanji kepadaku bahwa akan mengkhitbahku. Tapi, aku hanya
menganggap perkataannya sebagai bualan semata. Karena memang dia sering sekali
menjahiliku.

“Hai Sar, kamu belum menjawab pertanyaanku yang tadi”, katanya sambil duduk di
sampingku. Kebetulan aku duduk di kursi panjang di rumahnya. Aku bergeser lebih menjauh
dari dia.
“Maaf pertanyaan yang mana ya?”. Aku masih saja menunduk tanpa menoleh kepada dia.
“Oke aku ulangi lagi. Kamu apa kabar?”
“Alhamdulillah aku baik. Kamu bagaimana?”
“Alhamdulillah aku baik juga. Kamu makin cantik ya kalau pakek hijab”
“Terima kasih atas pujiannya. Tapi aku fikir kamu terlalu berlebihan”
“Aku nggak bercanda kok, beneran nih suer. Aku sudah bukan Dimas yang dulu yang sering
menjahili kamu. Dimas yang sekarang itu bisa dipercaya, nggak kayak dulu”
“Alhamdulillah kalau kamu sudah berubah”
“Ngomong-ngomong kamu sudah punya pacar?”. Aku hanya menanggapinya dengan
gelengan kepala.
“Aku mau mengingatkan kamu akan janjiku satu tahun yang lalu sebelum kamu berangkat ke
Bangkalan. Ketika kamu masih menjadi seorang perempuan yang tomboy yang tak memakai
hijab”
“Memangnya kamu punya janji apa sama aku?”
“Ana Uhibbu Ilaik”. Seketika aku langsung menatap ke arahnya. Dia hanya tersenyum
dengan sangat manisnya. Apakah dia sadar akan apa yang baru saja dia ucapkan. Aku
langsung tersadar dan menundukkan kembali kepalaku.
“Kamu sadar apa yang kamu katakan tadi?”
“Ya aku sangat sadar. Aku tau kata-kata itu dari salah satu temanku yang alumni pondok
pesantren. Dan aku serius. Aku ingin melamarmu menjadi istriku, menjadi ibu dari anak-
anakku”
“Tidakkah ini terlalu cepat. Kita masih sama-sama berstatus sebagai seorang mahasiswa.
Tidakkah kamu ingin menyelesaikan kuliahmu terlebih dahulu?”
“Tentu saja. Aku ingin menyelesaikan kuliahku terlebih dahulu. Aku akan melamarmu
sekitar 3 tahun lagi. Sekarang aku hanya meminta pendapatmu. Apakah kamu mau jika aku
melamarmu 3 tahun lagi? Jika kamu mau, maka berjanjilah kepadaku kamu akan
menungguku sampai aku menyelesaikan kuliahku dan mungkin aku akan menunggu
menempatan kerjaku. Setelah itu akan melamarmu”
“Apakah kamu serius dengan ucapanmu?”
“Insya Allah aku serius”. Dia mengucapkannya dengan sangat tegas. Ya Allah ternyata dia
serius dengan ucapannya. Kalau dia serius kenapa aku harus ragu. Bismillah semoga ini
adalah yang terbaik. Dan semoga dia adalah jodoh yang dikirimkan Allah kepadaku.
“Baiklah aku mau. Aku akan menunggumu sambil aku menyelesaikan kuliahku”
“Alhamdulillah. Berjanjilah kepadaku untuk tidak menerima lamaran dari pria manapun”
“Insya Allah aku tidak akan menerima lamaran dari pria manapun. Kamu juga harus berjanji
untuk tidak melamar perempuan manapun”
“Insya Allah aku juga berjanji”
Setelah itu aku menatap dia. Tanpa sengaja pandangan kita kembali bertemu lagi. Tapi aku
kembali menundukkan kepalaku. Kemudian Tante Indah datang menemui kita. Aku langsung
berpamitan kepadanya dan memberikan titipan dari Ibu. Tante Indah menyuruh Dimas untuk
mengantarku ke depan rumahnya.

“Mau aku antar?”, kata dia ketika kami sudah ada di depan rumahnya.
“Tidak usah. Aku permisi dulu. Assalamualaikum”
“Waalaikum Salam. Sar, tunggu dulu, ini buwat kamu”, kata dia sambil memberikan sebuah
kado kepadaku.
“Apa ini?”, kataku sambil menerima kado itu.
“Bukalah”. Kemudian aku membukanya. Ternyata isinya adalah sebuah hiasan dinding yang
berbentuk hati dan bertuliskan ‘Ana Uhibbu Ilaik’ sedangkan di bagian belakangnya terdapat
namaku dan namanya yaitu ‘Dimas Prasetyo’ kemudian di bawahnya Sari Handayani.
“Kamu suka? Ya walaupun harganya tidak terlalu mahal tapi aku berharap kamu suka”
“Terima Kasih. Aku permisi sampai ketemu di rumahku, saat kamu melamarku kepada
orangtuaku”
Setelah itu aku pergi meninggalkan pekarangan rumahnya.
“Ya Habibi. Aku juga mencintaimu”

With Love,

Anda mungkin juga menyukai