Anda di halaman 1dari 3

Ayah Terhebat

Judul Cerpen Ayah Terhebat


Cerpen Karangan: Gufita Siti Amalia
Kategori: Cerpen Anak, Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 28 September 2016

Arin melangkah dengan cepat dan terburu-buru, dengan senyuman yang masih mengembang
di bibirnya karena Arin ingin segera sampai di rumah. Setelah sampai di rumah, Arin segera
masuk dan mengetuk pintu kamar Ayah.
Tok-tok-tok
“Masuk.” Kata Ayah. Arin segera membuka pintu dan menghampiri Ayah yang sedang
duduk di meja kerja sambil menatap layar laptopnya.
“Ayah, ada kabar gembira!” katanya dengan riang.
“Oya? Kabar apa?”
“Ng… tadi Bu Guru di sekolah bilang kalau besok ada pentas seni cilik, dan diwajibkan agar
semua murid datang ke sekolah bersama Orangtua mereka.”
“Lalu?”
“Arin… Mau… kalau Arin datang ke sekolah sama Ayah. Soalnya Arin kan bakal Nyanyi.”
Ucap Arin dengan perlahan-lahan. Ayah langsung menoleh dengan seriusnya.
“Ayah sedang sibuk, Arin! Apa Arin Nggak liat kalau Ayah sedang bekerja.” Ayah menunjuk
ke layar laptopnya.
“Tapi Yah, kan Bu Guru bilang kalau Murid-murid harus datang bersama Ayah atau Ibunya.
Kan cuman sehari Yah.”
“Arin… Walaupun cuman sehari tapi itu sama saja menyia-nyiakan waktu kerja Ayah!
Lagian Ayah besok akan berangkat ke Kota Bandung untuk menyelsaikan proyek pekerjaan.”
“Tapi Yah, teman-teman Arin semuanya bakal datang bersama Orangtuanya.”
“Arin kan bisa datang sama Bi Leli, dan Bi Leli pasti mau.”
“Arin maunya sama Ayah.” Arin mulai cemberut. Terlihat wajah Ayah yang marah.
“Arin! Ayah gak bisa datang! Arin gak bisa lihat ya kerjaan Ayah numpuk begini. Mending
sekarang Arin main saja sana sama teman-teman dan besok perginya sama Bi Leli.”
Mata Arin mulai berkaca-kaca dan meninggalkan Ayah yang masih berada di kamarnya. Arin
langsung masuk ke kamar dan menguncinya.
Kenapa sih Ayah selalu sibuk dengan pekerjaannya dan selalu menghiraukanku? Semenjak
Ibu pergi ke surga, Ayah jadi sering marah-marah kepadaku jika aku meminta Ayah
mengantarkanku pergi ke sekolah, padahal aku ingin seperti teman-teman lainnya. Gumam
Arin dalam hatinya sambil menangis.
Setelah itu Arin malah tertidur dengan pulasnya dan jam pun menunjukan pukul 15.30. Lalu
Arin terbangun dan merasakan bahwa perutnya kosong, Arin pun pergi ke dapur. Di dapur
terdapat Bi Leli yang sedang menyapu lantai.

“Eh, Arin udah bangun. Mau makan ya?” tebak Bi Leli.


“Iya.”
“Oya, besok Arin berangkat sama Bibi ya? Soalnya Tuan mau pergi ke Bandung.” Kata Bi
Leli.
“Arin gak mau berangkat sama Bibi! Arin maunya sama Ayah! Kalau misalnya Ayah gak
datang, Arin gak mau kenal lagi sama Ayah!” sentak Arin dan berlari ke kamarnya.

Keesokan harinya.
“Arin mana Ayah kamu?” tanya Ana yang sedang duduk di samping Arin. Arin menggeleng.
“Ayah gak bakal datang soalnya mau pergi ke Bandung.”
“Ih, Ayah kamu kok gitu ya? Padahal Ayahku juga yang tadinya mau pergi ke Bali terpaksa
membatalkannya, demi melihatku yang akan menari.”
Arin hanya terdiam mendengar perkataan Ana, dan Arin malah tertuju pada panggung yang
sedang menampilkan beberapa hiburan.

Ayah memang jahat! Aku jadi benci Ayah! Ayahnya Ana saja mau datang demi melihat Ana
menari. Tapi Ayah mementingkan pekerjaannya daripada melihatku bernyanyi di atas
panggung nanti.

Beberapa lama kemudian Arin pun dipanggil oleh Bu Guru untuk menyanyi di atas panggung
dan diiringi tepuk tangan yang sangat meriah dari seluruh murid. Dan Arin naik ke atas
panggung
Sebelum bernyanyi, Arin melirik ke kanan dan ke kiri. Semoga saja Ayahnya datang, namun
Arin tak melihat sosok Ayahnya. Arin mendengus kesal tapi Arin langsung saja bernyanyi.
Saat Arin bernyanyi, Ayah belum datang juga. Ternyata harapan Arin sia-sia karena lagu
yang dinyanyikan akan segera berakhir dan Ayahnya tak kunjung datang.
Ketika lagu yang Arin nyanyikan akan berakhir, Arin melihat dari ujung pintu terdapat
bayangan yang mirip Ayahnya. Arin bertanya-tanya apa itu Ayah? Atau hanya bayangannya
saja? Namun bayangan itu mirip Ayah dan malah tersenyum menatap Arin yang sedang
bernyanyi. Dan Arin yakin jika itu Ayahnya.
Lagu yang dibawakan Arin akhirnya selesai juga, dan Arin langsung turun sambil berlari ke
arah Ayahnya. Dan ternyata benar jika itu adalah Ayah.

“Ayah?” kata Arin sambil berlari dan memeluk Ayahnya.


“Maafkan Ayah ya Arin? Ayah malah sering mementingkan pekerjaan dari pada
mementingkan Arin.”
“Iya Yah, gak papa. Arin senang kok Ayah bisa datang. Terus Ayah gak jadi pergi ke
Bandung?”
“Ayah kan ingin lihat Arin menyanyi.” Ucap Ayah sambil tersenyum.
Seharusnya aku yang meminta maaf kepada Ayah karena telah membencinya, padahal jelas-
jelas jika Ayah datang juga demi melihatku bernyanyi. Dan Ayah ternyata rela meninggalkan
pekerjaan padahal setelah dipikir-pikir pekerjaan itu lebih penting. Terimakasih Ayah, Ayah
memang selalu menjadi Ayah terhebat dan menggantikan Ibu yang sedang berbahagia di atas
surga.

Cerpen Karangan: Gufita Siti Amalia


Facebook: gufita amalia

Anda mungkin juga menyukai