Anda di halaman 1dari 6

Karya : Helmi Nofiana

Kelas : XII Mia 2

LAUTAN & PEDIHNYA

“Akbar, buruan bangun, ini udah pagi kamu gak sekolah rupanya’’ teriakku membangunkan
anak laki-laki yang masih tertidur lelap di bentangkan tikar.

“Aduh Kak Lima menit lagi, Akbar masih ngantuk’’

“Astaga, bangun dek kamu mau nanti terlambat ke Sekolah, terus di hukum’’ Omelku sambil
mengguncang tubuh yang masih terbaring malas.

“Iya-iya aku bangun’’ Jawabnya mendudukkan diri mengumpulkan nyawa.

“Adek gak usah sekolah lagi aja ya Kak, Adek mau bantu kakak nyari uang, kasihan kakak
harus susah-susah nyari uang untuk sekolah adek’’. Ucapnya menatapku sayu

“Kamu ngomong apa sih dek, udah gak usah aneh-aneh, Kakak nyari uang biar kamu bisa
sekolah seperti teman seumuran kamu dan tugas kamu cuma sekolah bukan nyari uang. Udah
mending kamu siap-siap aja Kakak mau kedapur dulu’’. Jelasku Menasehati :

Hai, perkenalkan namaku Sari Saputri, aku anak sulung dari dua bersaudara, aku
tinggal hanya berdua dengan adik laki-laki, Akbar Mahesa. Semenjak meninggalnya kedua
orang tua kami dalam tragedi tanah longsor yang menimpa Desa, dan memporak-porandakan
seluruh isi desa. Saat ini kami hidup dan tinggal di pesisir pantai Desa yang saat itu menjadi
tempat pengungsian, akan tetapi sampai saat ini kami masih menetap dan mungkin akan
untuk seterusnya. Umurku yang saat ini baru 15 tahun, harus bekerja sebagai pencari teripang
untuk dijual ke pengepul. Agar dapat memberikan penghidupan untukku dan adikku.

Saat ini, aku harus bergegas ke pantai, mengejar waktu sebelum jam pasang air laut.
Satu kilo teripang dihargai enam ribu rupiah, jadi aku harus mendapatkan banyak teripang
agar banyak uang yang ku dapat. Tetapi takjarang juga aku harus berseteru untuk
mendapatkan tempat dengan pencari teripang lainnya. Yang selalu menganggapku
musuhnya, padahal aku hanya anak kecil yang berusaha bertahan hidup.

“Hah, akhirnya sampai rumah juga, Akbar pasti sudah pulang dari tadi’’ Ucapku pada diri
sendiri, mengingat ini sudah sore. Sudah pasti Sekolah Dasar sudah lama pulang sejak tadi
siang.
“Assalamualaikum, Akbar Kakak pulang, lihat ini apa cobak yang Kakak bawa” teriakku
memasuki rumah dan mencari keberadaan Adikku, Akbar.

“Akbar…dek Kakak pulang nih kamu dimana?’’

“Akbar’’

“Dek, Akbar…’’

Aku tidak menemukan nya, dimanapun didalam rumah, hari sudah mulai malam, tapi kemana
Akbar pergi…

Aku putuskan untuk keluar mencari Akbar dan bertanya kepada tetangganya, tetapi mereka
bilang Akbar belum ada pulang dari tadi siang. Oh ya Tuhan, kemana Adikku pergi.

Aku pergi kerumah Pak RT untuk meminta bantuan, untuk mencari Adikku akan tetapi
ternyata Pak RT tak dirumah. Jadi hanya istri’nyalah yang turut membantuku.

“Setahu kamu, Akbar sering main kemana aja, mana tahu dia main kerumah temannya”

Tanya Buk Saima Istri Pak RT.

“Enggak Buk, masalahnya teman-temannya Akbar yang biasa main bareng, mereka juga gak
tahu dimana Akbar “Ucapku mulai menangis, aku bingung harus apa dan bagaimana.

“Yasudah kalau gitu ayo Ibu bantu mencari Akbar, siap’’ Ucapan Ibu Saima terpotong

“Sari…ternyata kamu disini Bapak udah datang ke rumah tapi kamu tidak ada’’

“Ada apa ya Pak, saya lagi nyari Adik saya, dia belum dia belom pulang kerumah dari tadi
siang’’

“Ayo ikut saya ke pantai Sari, cepat !!’’ Ucap Pak Mul ia adalah nelayan di desaku.

Aku yang bingung hanya mengangguk dan ikut berlari mengikuti Pak Mul yang sudah
terlebih dahulu pergi.

Pantai ? Itulah pertanyaan di benakku saat aku mengikuti Pak Mul dan banyak warga
disana ada apa? Firasatku mulai buruk, semoga tidak ada hal yang tidak ku inginkan, apalagi
jika itu menyangkut adikku. Tapi semua hal yang kusangkai adalah sebuah kenyataan, aku
mematung melihat sosok pucat yang terbaring kaku di atas tandu, aku menggeleng untuk
meyakinkan bahwa ini semua hanyalah mimpi, tetapi tepukan pada pundak ku
menyadarkanku, ini adalah kenyataan ini benar-benar.
“Yang sabar ya Sari Ibu ada disini, Sudah sayang ini adalah takdir’’ Ibu Saima memelukku
dan tangisku pecah. Aku berlari menghampiri sosok pucat itu aku hampir pingsan, nafasku
terengsal-engsal.

“Enggak, enggak Akbar bangun Dek, Akbar kamu jangan bercanda’’

“Akbar bangun !’’

“Kakak bilang BANGUN’’ Teriakku memeluk tubuh kaku dan dingin itu

“Ayo kita pulang, Akbar kamu ngantukkan udah ayo bangun kita tidur dirumah’’

“Akbar’’

“Akbar !!’’

“Akbar… AAHHHH” Teriakku meraung histeris

Kulihat ada seember teripang didekat tasnya yang tergeletak di pasir, gak mungkin, gak
mungkin Akbar hanyut terbawa arus karena mencari teripang. Hingga sekilas percakapan
terakhir kami tadi pagi terputar di memoriku.

Aku hanya bisa menangis dan berteriak sampai zenajah Akbar dibawa ambulan.

Sudah satu tahun berlalu sejak kejadian itu, aku kini tinggal di panti asuhan

Sekarang ini aku menjadi pribadi yang pendiam dan tertutup, dan sekarang aku takut melihat
pantai walaupun dimata orang pantai itu indah, tetapi bagiku pantailah tempat mengerikan
dimataku. Tetapi kali ini aku ingin meluapkan semua kesedihan dan amarahku dan aku harus
kembali kepantai itu. Lautan yang sudah merenggut satu-satunya harta, saudara yang
kupunya.

“Huh, dibalik indahmu kau menyimpan sejuta luka untukku’’

“Kenapa, kenapa harus dia yang kau renggut dariku”

“Adik yang selama ini ku jaga dan ku rawat kenapa kau renggu dia dariku’’

Dosa apa yang ku perbuat sampai adikku yang kau ambil Tuhan…’’

Aku hanya bisa menangis di tempat dimana Adikku terbaring terbujur Kaku. Inilah

Indahnya Lautan setara dengan Kepedihannya.


Sekarang aku sudah mulai mengikhlaskan semua yang telah terjadi, dan aku mulai
belajar untuk membuka diri kembali dan melanjutkan kehidupanku.

Saat ini aku sudah berusia 20 tahun, tak terasa ternyata sudah 3 tahun berlalu sejak kematian
adikku Akbar.

Aku kini bekerja sebagai penjaga toko bunga di toko kepunyaan Ibu Panti, aku mulai menata
kembali kehidupanku yang kelam dan mengubah segalanya.

“ Selamat siang, silahkan di lihat-lihat bunga bunga koleksi toko kami” Ucapku menyambut
para pengunjung toko dengan senyum merekah.

“ Sari kamu sudah makan siang?” tanya Ridho, ia adalah keponakan dari Ibu Panti. Ia adalah
orang yang sangat baik dan ramah dan juga, tampan.

“ Eh, belum kak. Sari belum sempat makan soalnya gak ada yang jaga toko lagi, Widya hari
ini gak masuk, jadi gak ada yang gantiin buat jaga”. Jelasku kepada kak Ridho.

Aku memanggilnya kak, itu karna aku merasa tak pantas memanggilnya dengan
namanya langsung, rasa rasanya tak sopan.

“ kebetulan dong tadi aku beli bakso lebih juga, kamu mau kalau kita makan bareng disini?
Kamu tidak keberatankan?”

“ Oh, gak mungkin dong aku keberatan kak. Malah aku berterima kasih banget sudah
ditraltir”

Saat sedang asik makan, aku melihat gelagat aneh dari kak Ridho, karena penasaran
kuputuskan untuk bertanya.

“ emm, maaf kak, kakak kenapa kok kelihatannya resah begitu”, tanya ku menatapnya.

“ hah, gak papa Sar, aku cuma ada yang ingin kutanyakan ke kamu”, ujarnya menatapku.

Aku merasa ada getaran aneh di tubuhku, atau mungkin karena tatapan kak Ridho yang
menurutku tak seperti biasanya.

“ Iya kak mau nanyak apa?”

“ Jadi gini Sari, kamu sudah punya pacar?” tanyanya, lagi lagi tatapan itu membuat jantungku
berdetak tak karuan.

“ B-belum kak, Sari gak punya pacar” Jawabku jujur enggan menatapnya.
“ Sari tatap aku saat kamu bicara”

Aku pun mengangkat kepalaku untuk menatapnya dan lagi, ia tersenyum, ada apa ini pikirku.

“ bagus kalau gitu”, ia berujar dan bangkit dari duduknya. Kulihat ia mengambil setangkai
mawar putih lalu ia kembali dan berdiri dihadapanku.

“ Mawar ini putih suci, biarkan ia menjadi saksi diantara kita. Sari, maukah kamu jadi pacar
pertama dan terakhirku?”

Aku tercengang sekaligus kaget dengan pernyataannya, senyumku mengembang.


Sudah lama aku menyimpan rasa untuknya dan sekarang, ia menyatakan perasaannya.

“ Hiks, iya kak Sari mau”, ujarku terisak, aku terharu sampai-sampai tak mampu menahan
tangis.

“ Syukurlah, terima kasih Sari”. jawabnya memelukku.

Hari ini aku merencanakan untuk Ziarah kemakam Akbar, sudah lama aku tidak
mengunjungi makam adikku. Kali ini aku tidak sendiri, aku ditemani oleh Kak Ridho dan
Ibunya. Aku menabur bunga sembari berdo’a untuk mendiang adikku, Akbar Mahesa.

Sepulang dari pemakaman, Mama Rani ibunya Ridho mengajakku untuk berkunjung
ke rumahnya, katanya ia ingin makan malam bersamaku. Sesampainya dirumah aku
dipersilahkan duduk diruang tamu bersama dengan keluarga Kak Ridho.

“ anggap saja rumah sendiri Sari, gak perlu sungkan”, ujar mama Rani.

“ ia ma”, jawabku tersenyum kaku.

“ gimana hubungan kalian? Mama udah gak sabar lihat Ridho nikah, sudah lama mama ingin
melihat Ridho punya pasangan hidup”.

Aku menatap bingung mama Rani dan tak disangka Ridho lah yang menjawab
pertanyaan tersebut.

“ secepatnya ma, kalau Sari siap Ridho akan melamar Sari dan mempersiapkan pernikahan”.
jawab Ridho cepat dan menggenggam tanganku.

“ bagaimana Sari, kamu mau kan menikah dengan Ridho”.

Ditatap dan ditanyai hal seperti itu membuatku kembali nmenegang dan menatap
keduanya yang penuh harap. Aku bingung, tapi mengingat kebaikan keduanya selama ini aku
meyakinkan diriku untuk menerima lamaran tersebut. Aku mengangguk malu dan menjawab
“ Ia ma, kak. Sari mau”. jawabku tersenyum samar dan dibalas tersenyum merekah dari
keduanya serta pelukan hangat dari mama Rani.

Setelah semua rintangan yang kujalani dengan penuh kesedihan dan penderitaan,
semua telah terbayar. Aku tidak pernah menyesal merasakan semua kepedihan ini, tetapi aku
akan selalu rindu dengan adikku, Akbar. Ia adalah permata dihatiku dan aku akan selalu
mengingatnya.

Anda mungkin juga menyukai