Anda di halaman 1dari 3

Tetangga Sebelah

Cerpen Karangan: Zlf


Kategori: Cerpen Cinta Romantis
Lolos moderasi pada: 10 February 2019

Namaku Zahra.
Aku ingin menceritakan sedikit kisah membosankanku kepada kalian, aku harap kalian
menyukainya.

Siang itu, seorang pengamen bernyanyi di depan rumahku. Penampilan yang cukup keren untuk
seorang pengamen, dan masih sangat muda. Suaranya juga cukup bagus.
Aku memberikan ia uang lebih untuknya, namun ia menolak dan pergi. Ini pertama kalinya
untukku melihat pengamen aneh seperti dirinya. ‘Untuk apa ia mengamen jika tidak mau diberikan
uang?’ Pikirku.

Dua hari kemudian, pengamen itu datang lagi. Kali ini dengan lagu yang berbeda, ia masih
menyanyikannya dengan suara merdu. Namun dengan tetap dengan kebiasaan anehnya, ia tetap
tidak mau diberikan uang.

Ketiga kalinya pengamen itu datang kembali seminggu setelahnya. Untuk kali ini aku bertekad
untuk bertanya padanya mengenai uangku yang selalu ditolaknya. Seperti biasa, setelah selesai
bernyanyi, aku memberikan uang kepadanya, namun dia tersenyum dan kemudian pergi.

“Bukankah kau mencari rezeki?” Pengamen itu terhenti.


Ia mematung di tempatnya ia terhenti. Aku menghampirinya dan berdiri tepat di hadapannya.
“Aku benar-benar ikhlas memberikan uang ini.” Ucapku.
Aku mengambil tangan kanannya yang kosong, dan meletakkan uangku di tangannya. Sekarang
aku yang bergegas langsung melangkah pergi, aku tak ingin uangku dikembalikan lagi. Namun, ia
berhasil meraih pundakku, dan spontan saja aku berhenti.
Aku hanya menoleh.
“Kau tidak perlu mengembalikannya, aku benar-benar…” Ucapanku terhenti ketika sang pengamen
mencium pipiku.
Aku sangat kesal, dan langsung menamparnya. Namun yang kutampar hanya udara kosong. Dia
sudah berlari dan menghilang dibalik tikungan.

Keesokan harinya, setelah pulang dari bekerja, aku melihat sosok pengamen kemarin tepat di
sebelah rumahku. Namun ia sedang tidak memegang gitarnya, melainkan sebuah spons penuh
sabun untuk membersihkan sepeda motor di hadapannya.
Aku memandanginya hingga ia sadar adanya diriku yang sedang berdiri di dekatnya.
Ia terbelalak.
Ia berdiri dari posisi sebelumnya, dan menghampiriku. “Ha, hai..” Suaranya melemah.
“Kau tinggal di sini?” Tanyaku.
“Hmm, ya. Ini rumah pamanku, aku…”
“Jadi selama ini kau tetangga sebelahku?” Aku memotong perkataannya.
“Iya, aku tetanggamu. Maaf soal…”
“Bagaimana bisa aku tidak pernah melihatmu? Dan kau bisa mengenalku?” Aku memotongnya
kembali.
“Aku benar-benar…”

“Arka, Makan dulu! Lho? Ada nak Zahra? Hai, Zahra!” Paman Sar menyapaku diambang pintu.
“Hai, paman! Aku masuk dulu.” Sahutku.
Aku pergi meninggalkan Arka alias Pengamen kemarin tanpa mengucapkan apapun. Aku benar-
benar kesal, bahkan kata-kata kasarpun tak dapat keluar dari mulutku karena terlalu kaget.

“Bagaimana bisa aku tak pernah belihatnya?”


Pertanyaan itu terus berulang-ulang ada di kepalaku. Aku ingin mandi, makan yang banyak, dan
baca banyak komik untuk melupakannya.
Malam pukul 8, kami menimati makan malam keluarga yang sederhana dan nyaman.
‘Tok-tok-tok’
“Ra, tolong buka pintunya ya.” Perintah Ibu.
Tanpa banyak bicara aku membuka pintu, lalu menutupnya kembali setelah aku tahu orang yang
berada di balik pintu. ‘Kenapa dia ke sini lagi?’ Bisikku. Aku bersandar di balik pintu, untuk
meredam suara ketukan pintu. Aku menarik nafas panjang, dan membuka pintunya lagi.
“Maaf, mau cari siapa?”
“Zahra, aku boleh bicara sebentar?” Tanya Arka sang pengamen gadungan.
“Tapi, aku sedang makan malam.” Aku berusaha tetap ramah.
“Oke, aku tunggu sampai selesai.”
Aku menarik nafas panjang lagi. “Ya sudah, sekarang saja. Silakan masuk!”

Arka duduk di sofa ruang tamu, tanpa aku persilakan lagi. Dan aku tinggal ke dapur untuk
mengambil minum. Setelah kembali, aku duduk tepat di seberangnya.
“Arka, boleh langsung saja?”
“Oh ya, baiklah. Sebelumnya aku minta maaf karena menciummu kemarin, itu benar-benar tidak
sengaja.”
“Ya, aku sudah lupakan hal itu.”
“Aku ingin menjawab semua pertanyaanmu tadi sore. Aku cukup sering melihatmu selama ini, tapi
kau tidak pernah melihatku bahkan mungkin tak tahu bahwa aku ada. Aku selalu
memperhatikanmu, mengagumimu, bahkan mencintaimu.”
“Hah? Bagaimana bisa? Kau bahkan tidak tahu tentang diriku.”
“Aku tahu. Kau tak pernah melihatku, karena kau cukup sibuk dengan pekerjaanmu sampai
akhirnya aku mencari cara agar kau tahu bahwa aku ada. Tapi, kau justru mengira aku seorang
pengamen. Aku tahu kau suka buku, aku tahu kau suka memakai dress, aku tahu kau orang yang
lembut, dan aku tahu kau adalah perempuan yang baik.”
“Kau benar-benar belum tahu semuanya Arka”
“Maka beritahulah aku, aku ingin mengenalmu lebih, aku ingin menjadi pasangan hidupmu.”
“Tunggu! Pasangan hidup?”
“Ya! Dengar, aku tidak pernah jatuh cinta dengan perempuan manapun sebelumnya, tapi aku
ingin kau…”
“Arka, dengar! Kau juga harus tahu…” Kataku terbata. “Aku bukan perempuan yang sempurna.”
“Tidak, kamu sangat sempurna Zahra.”

Aku menghela nafas. Aku mencoba mendekatinya. Aku benar-benar senang dengan
pernyataannya, aku sangat menyukai cinta kejutan seperti ini. Namun aku juga sedih, dengan
kenyataan yang harus aku bisikkan ke Arka, bahwa “Aku bukan seorang perawan lagi Arka.”

Arka, memandangiku beberapa saat setelah aku membisikannya rahasia terbesarku. Ia diam
seribu bahasa, dan pergi keluar rumahku tanpa pamit. Aku menutup kembali pintu, dan
melanjutkan makan malamku.
Aku tak pernah mengharapkan seorang laki-laki dalam hidupku karena aku punya rahasia terbesar
yang sulit diterima oleh calon pasanganku nantinya. Bahkan, jika aku mulai memikirkan seseorang
aku akan bergegas menyibukkan diri untuk tidak memikirkannya lagi.
Selesai makan, aku kembali ke kamar dan tidur. Besok hari Sabtu, aku ingin tidur cepat dan
bangun terlambat.

Esoknya, Ibu membangunkanku sangat pagi. Ibu bilang, ada orang penting yang akan datang ke
rumah. Aku sempat menolak karena kupikir aku tidak ada sangkut pautnya dengan orang penting
itu. Namun akhirnya aku mengikuti kemauan Ibu, aku pergi mandi dan berdandan seadanya.

Tepat pukul 9 pagi, ibu menyuruhku keluar kamar. Katanya para tamu pentingnya sudah datang.
Aku merapikan rambutku dan membuka pintu kamar lalu menutupnya lagi. Kali ini aku
membanting pintu kamar dengan sangat keras. Tamu penting itu benar-benar sangat penting
hingga membuat jantungku berdebar tidak karuan. Aku menarik napas panjang dan
menghembuskannya lagi.

Aku membuka pintu kamar lagi perlahan, Paman dan Tante Sar, dua orang paruh baya lainnya
dan Arka bangkit dari posisi duduknya. Aku mendekati ibu, “Bu, sebenarnya mereka ini tamu
penting siapa?”
“Mereka tamu pentingmu, Zahra.”
“Hah? Tapi aku tidak merasa…”
“Zahra!” Arka memotong perkataanku. Ia mendekat ke arahku dan Ibu.
Ia menggenggam kedua tanganku, dan tersenyum pada Ibu kemudian menatapku.

“Aku ingin melamarmu, maukah kamu menikah denganku?”

Anda mungkin juga menyukai