Anda di halaman 1dari 11

Ketika Teduh Bertemu Terik

Oleh: Khalda Athia Elzahra

“Bang, bagaimana hasil pertemuan tadi?” tanyaku


kepada Bang Satria, setelah menunggunya menghadiri
pertemuan dengan atasan kami di sebuah kafe.
Bang Satria menghela napas. “Tidak begitu baik. Lagi-
lagi aku dituduh korupsi,”
Aku ikut menghela napas, walaupun sudah tidak
terkejut dengan jawaban itu. Dari raut wajah Bang Satria
sudah terlihat jelas bahwa masalah yang selama ini terjadi
terulang kembali.
Sementara itu, Bang Hari hanya mengambil
sebungkus rokok dan menyalakan satu putung.
“Lalu sekarang bagaimana?” tanyaku. Bang Satria
terdiam sejenak. Aku harap, dia akan mengizinkanku untuk
berhenti bekerja. Aku telah lelah dengan perusahaan abal-
abal beserta orang-orang serakah di dalamnya ini.
“Bertahanlah sebentar lagi. Kita masih butuh
makan.”
***
Setelah selesai berbincang, kami akhirnya
memisahkan diri. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan
mengelilingi kota sejenak dengan motor tuaku. Kota ini
memang tidak begitu besar, tetapi pohon-pohon dan lampu
jalan yang berjejer rapi sepanjang perjalanan cukup ampuh
untuk meneduhkan perasaanku yang sedang campur aduk
ini.
Aku terus melaju ke sana ke mari tanpa tujuan.
Biarlah angin yang membawaku.
Sampai kapan aku harus bekerja di perusahaan ini?
Sampai kapan kami harus kesusahan seperti ini? pikirku.
Andai saja aku berasal dari keluarga yang bercukupan, pasti
aku bisa memulai bisnis yang telah kuidam-idamkan sejak
dahulu.
Pikiran-pikiran itu terus melayang dalam otakku. Dari
kecil, hidupku memang seperti ini. Jangankan untuk membeli
mobil mewah atau rumah besar, untuk makan sehari-hari
pun masih susah. Kadang, aku berpuasa untuk berhemat.
Kadang pula, aku bekerja sampingan untuk mencari uang
tambahan.
Ketika kecil, kedua orang tuaku berjualan terompet
di pasar malam. Aku sering ikut mereka bekerja. Sebentar
membantu berjualan, kemudian dilepas bermain di sana. Di
rumah, ayahku sering mengajariku berbagai macam hal. Dari
cara membuat terompet yang akan dijual, hingga cara
memperbaiki motor yang mogok. Sementara itu, ibuku
mengajariku cara memasak. Akhirnya, aku memiliki banyak
kemampuan untuk bertahan hidup.
Ketika beranjak dewasa, kedua orang tuaku berhenti
bekerja. Aku dan kedua kakakkulah yang mencari nafkah.
Cita-cita kami bertiga sama; ingin membahagiakan kedua
orang tua kami. Sebelum kami memiliki keluarga sendiri,
akan kami pastikan bahwa kedua orang kami memiliki segala
yang mereka butuhkan dan inginkan.
Namun, kini aku semakin tidak yakin dapat
mewujudkannya.
Aku berbelok ke arah jembatan. Jembatan ini sepi
dan sunyi. Tidak ada suara lain selain suara deru motorku.
Sungai yang bersemayam di bawahnya pun membisu, sebisu
angin yang mampu membekukan tubuhku.
Aku memandangi sungai di sampingku sejenak, dan
tiba-tiba kulihat seorang wanita sedang berdiri di depan
pembatas. Ia menatap sungai dengan tatapan kosong. Tidak
ada kehidupan dalam matanya. Sejurus kemudian, ia
melangkah ke pembatas. Aku pun segera menghentikan
motorku, menghampirinya, dan menarik lengannya. Ia
terjatuh ke pelukanku.
Kulihat matanya yang telah memerah dan berair.
Kurasakan pula jantungnya yang berdetak kencang dan
tubuhnya yang sedingin angin malam ini.
“Apa kamu tidak apa-apa?” tanyaku sambil
membantunya berdiri. Ia menatapku, masih dengan tatapan
kosong.
Aku melepas jaket yang kukenakan dan
melingkarkannya pada tubuh wanita itu. Ia tidak melawan.
Tepatnya, tidak memberikan reaksi apa pun.
“Kumohon jangan lakukan itu,” ucapku lagi, mencoba
membuatnya berbicara. Perlahan, setes air mata jatuh dari
pelupuk matanya. Namun, ia masih bersikap seakan-akan
tidak merasakan apa pun.
“Memangnya kamu tahu apa?” Akhirnya ia berbicara.
“Aku tidak tahu apa-apa, tetapi aku tahu bahwa apa
yang akan kamu lakukan tidak akan menyelesaikan masalah,”
ucapku. Ia terdiam. “Yang akan kamu lakukan itu adalah
perbuatan egois. Apa kamu tidak memikirkan orang-orang
yang kamu tinggalkan? Mereka pasti akan sangat merasa
kehilangan.”
“Tidak akan ada yang merasa kehilangan. Mereka
terlalu sibuk dengan urusan mereka,” ucapnya sambil terus
menahan air mata. Ia pun memalingkan wajahnya dariku.
“Siapa yang kamu sebut dengan ‘mereka’?”
“Semuanya.”
“Kedua orang tuamu?”
“Semuanya.”
“Boleh aku tanya mengapa?”
Ia kembali menatapku. “Apanya?”
“Kenapa kamu mau melakukan itu?”
Ia terdiam.
“Baiklah. Lebih baik kita jalan-jalan dahulu.” Aku pun
mengajaknya naik ke motorku. Kembali, ia tidak menolak
tetapi tidak juga memberikan ekspresi apa pun. Aku pun
membawanya melaju, meski belum tahu akan ke mana.
Sekali lagi, biarlah angin yang membawa kami.
“Aku belum bertanya,” ucapku, “siapa namamu?”
“Panggil aku Terik,”
“Itu nama aslimu?”
“Bukan.”
Aku berpikir sejenak. “Kalau begitu, panggil aku
Teduh.”
“Aku tidak bertanya.”
“Aku tidak peduli.” Aku mencoba membuatnya
tersenyum. Usahaku sedikit berhasil, ada senyuman tipis
yang tersungging di bibirnya. Sangat tipis, hampir aku tidak
menyadarinya.
Hening sejenak. Aku ingin membiarkannya
menikmati angin dan langit malam. Mungkin dengan begitu,
ia dapat menyadari betapa indahnya bumi ini dan akhirnya
membatalkan niatnya.
Kami melewati sebuah pasar malam. Kulihat ia
memandangi tempat hiburan itu.
“Pernah ke sana?” tanyaku.
“Tidak.”
“Mengapa?”
“Tidak ada yang mengajak.”
“Orang tuamu?”
“Sudah kubilang, mereka terlalu sibuk dengan urusan
mereka.”
“Jadi ‘mereka’ itu orang tuamu, ya.”
Ia terdiam kembali.
“Teman-temanmu?” tanyaku lagi.
“Tidak punya.”
Aku manggut-manggut dan kembali diam untuk
beberapa saat, membiarkannya melihat-lihat pemandangan
kota. Ia memandang sana-sini, seakan belum pernah
melihatnya sebelumnya.
“Kamu tinggal di kota ini, ‘kan?” tanyaku.
“Ya. Mengapa?”
“Kamu seperti belum pernah melihat kota ini.”
“Memang belum pernah. Orang tuaku selalu
melarangku pergi keluar.”
“Lalu apa yang kamu lakukan sehari-hari?”
“Tidak ada. Hanya diam di rumah. Sendirian.”
“Orang tuamu?” Sebelum ia menjawab, aku langsung
melanjutkannya. “Sibuk, ya.”
“Aku tidak memiliki siapa-siapa di rumah, tetapi juga
dilarang untuk keluar rumah. Bukankah manusia sejatinya
adalah makhluk sosial?” ucapnya. Untuk pertama kalinya, ia
mengatakan dua kalimat panjang.
“Betul.”
“Aku memiliki segalanya. Rumah mewah, baju-baju
bermerk, barang-barang mahal. Namun, ada satu yang tidak
kumiliki. Kau tahu apa itu?”
“Apa itu?”
“Kehidupan.”
Aku terdiam, menunggunya melanjutkan ceritanya.
“Orang-orang mungkin iri denganku, tetapi mereka
tidak tahu apa yang kurasakan. Aku tenggelam dalam rasa
sepi, tanpa seorang pun yang mau mendengarkanku. Aku
berusaha keluar dari kegelapan ini, tetapi ia terus menarikku
kembali. Aku berpikir, akan lebih baik jika aku tidak ada lagi
di dunia ini.”
“Apakah kamu memiliki pekerjaan?” tanyaku.
“Tidak, tetapi aku menginginkannya. Setidaknya, aku
memiliki sesuatu yang bermakna jika aku bekerja. Namun,
orang tuaku melarangnya. Mereka mengurungku dalam
penjara.”
“Penjara yang terbuat dari emas.”
“Terbuat dari emas atau tanah liat, penjara tetaplah
penjara.”
Aku terdiam mendengar kata-kata itu.
“Kau memiliki pekerjaan?” Kini ia yang bertanya.
“Ya,” jawabku, “meski aku tidak menyukainya.”
“Mengapa?”
“Biasalah.”
“Percayalah, aku tidak tahu apa yang biasanya terjadi
dalam pekerjaan. Kamu mendengarkan ceritaku sebelumnya,
‘kan?”
Aku tertawa. “Atasanku sering menuduh keluargaku
korupsi, padahal mereka yang korupsi. Ia memperlakukan
aku dan kedua kakakku seenaknya, seperti pesuruh. Mending
jika gajinya setimpal,” jelasku. Aku jadi teringat masalahku.
“Seperti itu, ya, kehidupan.”
“Begitulah.”
“Bagaimana keluargamu?”
Aku pun menceritakan keluargaku. Tentang ayahku
yang selalu mengajarkan banyak hal, hingga ibuku yang selalu
memberikan kasih sayangnya. Meskipun perekonomian kami
sulit, tetapi keluarga kami sangat hangat. Terik
mendengarkannya dengan saksama. Sesekali ia
mengungkapkan keiriannya atas kehidupanku.
Setelah sekitar dua jam berkeliling, aku
mengantarkannya pulang.
“Terima kasih atas malam ini. Kau telah
menyelamatkanku,” ucapnya.
“Aku yang berterima kasih, Terik.”
***
Esoknya, aku menjalani pekerjaanku dengan penuh
semangat. Aku teringat kata-kata Terik, dan menyadari
betapa beruntungnya diriku.
Pulang bekerja, aku berkunjung ke rumah Terik untuk
mengajaknya jalan-jalan lagi. Namun, kulihat sebuah bendera
kuning terpasang di rumahnya. Kulihat pula beberapa orang
tengah berdoa.
“Nak Teduh, Terik meninggalkan ini untukmu,” ucap
ibu Terik, ketika aku menghampiri beliau untuk mengucapkan
belasungkawa. Ia menyodorkan sebuah surat. Aku pun
menerima dan membukanya.
 
Teduh, terima kasih telah mewarnai hari terakhirku.
Apa yang kamu lakukan sangat berarti. Jika kamu tidak
menyelamatkanku tadi malam, mungkin aku akan pergi
dengan penuh kebencian. Namun, aku kini telah tenang.
Meski aku tidak mengenalmu, aku tahu kamu adalah orang
yang baik. Kudoakan kamu mendapatkan pekerjaan yang
layak. Berbahagialah, Teduh.
 
Terik, ia tidak menyadari apa yang telah ia tinggalkan
dalam benak orang lain. Selamat jalan, teman baruku.

Anda mungkin juga menyukai