kepada Bang Satria, setelah menunggunya menghadiri pertemuan dengan atasan kami di sebuah kafe. Bang Satria menghela napas. “Tidak begitu baik. Lagi- lagi aku dituduh korupsi,” Aku ikut menghela napas, walaupun sudah tidak terkejut dengan jawaban itu. Dari raut wajah Bang Satria sudah terlihat jelas bahwa masalah yang selama ini terjadi terulang kembali. Sementara itu, Bang Hari hanya mengambil sebungkus rokok dan menyalakan satu putung. “Lalu sekarang bagaimana?” tanyaku. Bang Satria terdiam sejenak. Aku harap, dia akan mengizinkanku untuk berhenti bekerja. Aku telah lelah dengan perusahaan abal- abal beserta orang-orang serakah di dalamnya ini. “Bertahanlah sebentar lagi. Kita masih butuh makan.” *** Setelah selesai berbincang, kami akhirnya memisahkan diri. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi kota sejenak dengan motor tuaku. Kota ini memang tidak begitu besar, tetapi pohon-pohon dan lampu jalan yang berjejer rapi sepanjang perjalanan cukup ampuh untuk meneduhkan perasaanku yang sedang campur aduk ini. Aku terus melaju ke sana ke mari tanpa tujuan. Biarlah angin yang membawaku. Sampai kapan aku harus bekerja di perusahaan ini? Sampai kapan kami harus kesusahan seperti ini? pikirku. Andai saja aku berasal dari keluarga yang bercukupan, pasti aku bisa memulai bisnis yang telah kuidam-idamkan sejak dahulu. Pikiran-pikiran itu terus melayang dalam otakku. Dari kecil, hidupku memang seperti ini. Jangankan untuk membeli mobil mewah atau rumah besar, untuk makan sehari-hari pun masih susah. Kadang, aku berpuasa untuk berhemat. Kadang pula, aku bekerja sampingan untuk mencari uang tambahan. Ketika kecil, kedua orang tuaku berjualan terompet di pasar malam. Aku sering ikut mereka bekerja. Sebentar membantu berjualan, kemudian dilepas bermain di sana. Di rumah, ayahku sering mengajariku berbagai macam hal. Dari cara membuat terompet yang akan dijual, hingga cara memperbaiki motor yang mogok. Sementara itu, ibuku mengajariku cara memasak. Akhirnya, aku memiliki banyak kemampuan untuk bertahan hidup. Ketika beranjak dewasa, kedua orang tuaku berhenti bekerja. Aku dan kedua kakakkulah yang mencari nafkah. Cita-cita kami bertiga sama; ingin membahagiakan kedua orang tua kami. Sebelum kami memiliki keluarga sendiri, akan kami pastikan bahwa kedua orang kami memiliki segala yang mereka butuhkan dan inginkan. Namun, kini aku semakin tidak yakin dapat mewujudkannya. Aku berbelok ke arah jembatan. Jembatan ini sepi dan sunyi. Tidak ada suara lain selain suara deru motorku. Sungai yang bersemayam di bawahnya pun membisu, sebisu angin yang mampu membekukan tubuhku. Aku memandangi sungai di sampingku sejenak, dan tiba-tiba kulihat seorang wanita sedang berdiri di depan pembatas. Ia menatap sungai dengan tatapan kosong. Tidak ada kehidupan dalam matanya. Sejurus kemudian, ia melangkah ke pembatas. Aku pun segera menghentikan motorku, menghampirinya, dan menarik lengannya. Ia terjatuh ke pelukanku. Kulihat matanya yang telah memerah dan berair. Kurasakan pula jantungnya yang berdetak kencang dan tubuhnya yang sedingin angin malam ini. “Apa kamu tidak apa-apa?” tanyaku sambil membantunya berdiri. Ia menatapku, masih dengan tatapan kosong. Aku melepas jaket yang kukenakan dan melingkarkannya pada tubuh wanita itu. Ia tidak melawan. Tepatnya, tidak memberikan reaksi apa pun. “Kumohon jangan lakukan itu,” ucapku lagi, mencoba membuatnya berbicara. Perlahan, setes air mata jatuh dari pelupuk matanya. Namun, ia masih bersikap seakan-akan tidak merasakan apa pun. “Memangnya kamu tahu apa?” Akhirnya ia berbicara. “Aku tidak tahu apa-apa, tetapi aku tahu bahwa apa yang akan kamu lakukan tidak akan menyelesaikan masalah,” ucapku. Ia terdiam. “Yang akan kamu lakukan itu adalah perbuatan egois. Apa kamu tidak memikirkan orang-orang yang kamu tinggalkan? Mereka pasti akan sangat merasa kehilangan.” “Tidak akan ada yang merasa kehilangan. Mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka,” ucapnya sambil terus menahan air mata. Ia pun memalingkan wajahnya dariku. “Siapa yang kamu sebut dengan ‘mereka’?” “Semuanya.” “Kedua orang tuamu?” “Semuanya.” “Boleh aku tanya mengapa?” Ia kembali menatapku. “Apanya?” “Kenapa kamu mau melakukan itu?” Ia terdiam. “Baiklah. Lebih baik kita jalan-jalan dahulu.” Aku pun mengajaknya naik ke motorku. Kembali, ia tidak menolak tetapi tidak juga memberikan ekspresi apa pun. Aku pun membawanya melaju, meski belum tahu akan ke mana. Sekali lagi, biarlah angin yang membawa kami. “Aku belum bertanya,” ucapku, “siapa namamu?” “Panggil aku Terik,” “Itu nama aslimu?” “Bukan.” Aku berpikir sejenak. “Kalau begitu, panggil aku Teduh.” “Aku tidak bertanya.” “Aku tidak peduli.” Aku mencoba membuatnya tersenyum. Usahaku sedikit berhasil, ada senyuman tipis yang tersungging di bibirnya. Sangat tipis, hampir aku tidak menyadarinya. Hening sejenak. Aku ingin membiarkannya menikmati angin dan langit malam. Mungkin dengan begitu, ia dapat menyadari betapa indahnya bumi ini dan akhirnya membatalkan niatnya. Kami melewati sebuah pasar malam. Kulihat ia memandangi tempat hiburan itu. “Pernah ke sana?” tanyaku. “Tidak.” “Mengapa?” “Tidak ada yang mengajak.” “Orang tuamu?” “Sudah kubilang, mereka terlalu sibuk dengan urusan mereka.” “Jadi ‘mereka’ itu orang tuamu, ya.” Ia terdiam kembali. “Teman-temanmu?” tanyaku lagi. “Tidak punya.” Aku manggut-manggut dan kembali diam untuk beberapa saat, membiarkannya melihat-lihat pemandangan kota. Ia memandang sana-sini, seakan belum pernah melihatnya sebelumnya. “Kamu tinggal di kota ini, ‘kan?” tanyaku. “Ya. Mengapa?” “Kamu seperti belum pernah melihat kota ini.” “Memang belum pernah. Orang tuaku selalu melarangku pergi keluar.” “Lalu apa yang kamu lakukan sehari-hari?” “Tidak ada. Hanya diam di rumah. Sendirian.” “Orang tuamu?” Sebelum ia menjawab, aku langsung melanjutkannya. “Sibuk, ya.” “Aku tidak memiliki siapa-siapa di rumah, tetapi juga dilarang untuk keluar rumah. Bukankah manusia sejatinya adalah makhluk sosial?” ucapnya. Untuk pertama kalinya, ia mengatakan dua kalimat panjang. “Betul.” “Aku memiliki segalanya. Rumah mewah, baju-baju bermerk, barang-barang mahal. Namun, ada satu yang tidak kumiliki. Kau tahu apa itu?” “Apa itu?” “Kehidupan.” Aku terdiam, menunggunya melanjutkan ceritanya. “Orang-orang mungkin iri denganku, tetapi mereka tidak tahu apa yang kurasakan. Aku tenggelam dalam rasa sepi, tanpa seorang pun yang mau mendengarkanku. Aku berusaha keluar dari kegelapan ini, tetapi ia terus menarikku kembali. Aku berpikir, akan lebih baik jika aku tidak ada lagi di dunia ini.” “Apakah kamu memiliki pekerjaan?” tanyaku. “Tidak, tetapi aku menginginkannya. Setidaknya, aku memiliki sesuatu yang bermakna jika aku bekerja. Namun, orang tuaku melarangnya. Mereka mengurungku dalam penjara.” “Penjara yang terbuat dari emas.” “Terbuat dari emas atau tanah liat, penjara tetaplah penjara.” Aku terdiam mendengar kata-kata itu. “Kau memiliki pekerjaan?” Kini ia yang bertanya. “Ya,” jawabku, “meski aku tidak menyukainya.” “Mengapa?” “Biasalah.” “Percayalah, aku tidak tahu apa yang biasanya terjadi dalam pekerjaan. Kamu mendengarkan ceritaku sebelumnya, ‘kan?” Aku tertawa. “Atasanku sering menuduh keluargaku korupsi, padahal mereka yang korupsi. Ia memperlakukan aku dan kedua kakakku seenaknya, seperti pesuruh. Mending jika gajinya setimpal,” jelasku. Aku jadi teringat masalahku. “Seperti itu, ya, kehidupan.” “Begitulah.” “Bagaimana keluargamu?” Aku pun menceritakan keluargaku. Tentang ayahku yang selalu mengajarkan banyak hal, hingga ibuku yang selalu memberikan kasih sayangnya. Meskipun perekonomian kami sulit, tetapi keluarga kami sangat hangat. Terik mendengarkannya dengan saksama. Sesekali ia mengungkapkan keiriannya atas kehidupanku. Setelah sekitar dua jam berkeliling, aku mengantarkannya pulang. “Terima kasih atas malam ini. Kau telah menyelamatkanku,” ucapnya. “Aku yang berterima kasih, Terik.” *** Esoknya, aku menjalani pekerjaanku dengan penuh semangat. Aku teringat kata-kata Terik, dan menyadari betapa beruntungnya diriku. Pulang bekerja, aku berkunjung ke rumah Terik untuk mengajaknya jalan-jalan lagi. Namun, kulihat sebuah bendera kuning terpasang di rumahnya. Kulihat pula beberapa orang tengah berdoa. “Nak Teduh, Terik meninggalkan ini untukmu,” ucap ibu Terik, ketika aku menghampiri beliau untuk mengucapkan belasungkawa. Ia menyodorkan sebuah surat. Aku pun menerima dan membukanya.
Teduh, terima kasih telah mewarnai hari terakhirku. Apa yang kamu lakukan sangat berarti. Jika kamu tidak menyelamatkanku tadi malam, mungkin aku akan pergi dengan penuh kebencian. Namun, aku kini telah tenang. Meski aku tidak mengenalmu, aku tahu kamu adalah orang yang baik. Kudoakan kamu mendapatkan pekerjaan yang layak. Berbahagialah, Teduh.
Terik, ia tidak menyadari apa yang telah ia tinggalkan dalam benak orang lain. Selamat jalan, teman baruku.