Jika ada rasa yang katanya paling sakit di dunia ini, aku ingin tahu sekarang juga. Berbekal
minyak oles dan keahlian tangan, operasi ini berjalan dengan kesadaran penuh pasiennya. Sangat
menegangkan.
KREKK,,
Aaarghkk.
KREKK,,
AAAKHHH!!!
Aku merengut tidak tahan. Pak Rumi benar-benar berani memutar balikan tulang seolah ia
tukang sulap. Istrinya masih melihatku dengan prihatin, sementara aku menggigit bahu kak Esa,
meminta kekuatan darinya. Dalam pikiranku, Huh, mati saja. Mati saja lebih baik. Ini sakit
sekali. Namun operasi tetap berlangsung tanpa bisa dihentikan. Bahkan aku diberitahu bahwa
kali ini akan terasa lebih sakit. Jadi Pak Rumi memintaku untuk bertahan atau bersiap-siap
menggigit bahu orang di samping dengan lebih kuat. SementaraKak Esa terlihat memasrahkan
diri. Bola matanya bergetar.
“Satu, dua…”
“Tiga!”
AAAAKKKHHHHH!!!
***
Jarum jam pada detik di dinding berdetak. Operasi selesai. Aku disuruh menyenderkan
punggung ke dinding untuk menselonjorkan kedua kaki sementara kak Esa tengah meringis
karena bahunya sakit bekas kugigit. Aku ingin memijatnya namunkakiku kini sedang mengalami
masa pembengkakan dua kali lipat dari yang tadi. Kurasa ini tidak tepat, tapi kata Pak Rumi ini
adalah tindakan yang benar-benar tepat. Aneh sekali.
Pembengkakan terjadi karena tulangnya sudah kembali ke tempat semula dan masa
pemulihan akan berlangsung maksimal tujuh hari. Jika tidak pulih juga, maka aku harus kontrol
kembali untuk mendapatkan neraka ini lagi. Tidak, aku tidak mau. Sembuh atau tidak nanti, aku
tidak akan kembali. Tidak akan.
“Berapa, pak?” kak Esa bertanya, ia menelisik isi dompet. Aku menghalangi tangannya
dan Pak Rumi langsung berkata, “tidak usah.” Dengan begitu ikhlas.
“Iya. Tidak usah. Seharusnya memang saya sendiri yang bayar,” kataku langsung merogoh
kantong celana namun teringat bahwa tadi hanya membawa uang sedikit untuk modus lamaran di
café.
“Sudah, sudah. Saya kenal Pak Made, kok. Karena beliau yang bawa kalian ke sini, jadi
tidak perlu bayar.”
“Tapi pak—”
“Lebih baik uangnya kalian pakai untuk panggil taksi saja, kan? Soalnya saya tidak punya
kendaraan untuk mengantar kalian berdua pulang.”
Aku dan kak Esa saling menatap sejemang. Tanpa sengaja menyetujui perkataan pak Rumi
diam-diam.
***
Saat ini sudah jam setengah dua belas malam. Jalanan gelap, tapi ada lampu kuning jalan
yang cahayanya remang-remang.Aku sedikit takut. Melewati dua kuburan, Kak Esa tetap tidak
mau mendengar selain membiarkan dirinya kesusahan untuk kesekian kalinya: Menggendongku
sampai ke depan gang.
“Sudah kubilang, nggak akan ada taksi yang lewat dijam segini.”
Ia masih terengah-engah sebelum berakhir menaruhku di bangku jalanan yang terbuat dari
semen.Terlihat seperti orang yang sebentar lagi akan sekarat karena lelah menggendongku.
Memang aku seberat itu, ya?
Ia menatapku biasa dan aku bertanya lagi.“Kenapa nggak sekalian aja kita nunggu di
rumahnya Pak Rumi tadi?”
“Hm, iya, sih, sedikit,” akuku setengah yakin. Kemudian balik bertanya.
“Iya.” Ia menatap lurus jalan raya yang sepi sambil mengusap-usap punggung tangannya
sendiri. Aku tertegun.
Ia mendengus. Pundaknya bergerak karena terkekeh. “Bukan… bukan itu,” katanya lagi
sambil berdeham lalumelanjutkan perkataan dengan mata melamun. “Tapi hangat keluarga.”
Kata orang, jika kau tengah rindu akan sesuatu, biasanya kedua matamu akan terus
berbinar seperti akan menangis. Kau tidak pernah tahu rasa rindu apa yang menggerogoti
jiwamu, bahkan kelewat terlambat untuk menyadari hal itu. Ia menghela napas cukup berat. Aku
memperhatikan wajahnya dari samping. Berpikir bahwa perkataannya barusan adalah uraian
kalimat yang cukup membuatku merasa paling hangat. Ada satu rongga di dalam dada yang
selama ini hanya terisi hembusan angin malam yang tanpa sadar mulai menganga semakin lebar.
Selalu terabaikan.
Ia berpaling untuk menatapku. Kantuk seolah tak sanggup ia topang lagi. Aku seketika
mengubah pertanyaan.
“Hm?”
Kedua matanya seketika terbuka lebar. Kantuknya melarikan diri dalam sekejap. Aku tidak
ingin menduga perihal ini topik sensitif atau masalah pribadi sebab yang kulakukan saat ini
hanyalah bertanya. Bertanya sesuai keinginan hati.
“Nggak tahu,” jawabnya sembarang. Mengendikan bahu lalu menghirup udara beku.
“Mungkin aku nggak punya keluarga.”
Satu kesamaan yang kurasakan saat ini, aku adalah manusia sebatang kara karena ulahku
sendiri. Satu-satunya yang paling kuingat adalah Ibu menangis karena Ayah mengancamku: jika
beranipulang dalam keadaan menggembel, maka kepalaku akan dipenggal. Aku ditodong
pertanyaan kenapa ingin meninggalkan rumah sementara aku dengan yakinnya menjawab, ‘demi
mengejar mimpi,’ membuat Ayahku tertawa terpingkal-pingkal kemudianibuku jadi berhenti
menangis. Beliau bingung. Katanya, “untuk apa mimpi dikejar-kejar? Kan tinggal tidur saja
kalau ingin bertemu mimpi.”
Bisa dibilangitu adalah pemikiran yang dangkal, tapi aku tidak bisa berkata begitu, sebab
mereka adalah orang tuaku. Yang dangkal itu aku. Tidak tahu diri sudah susah payah dibesarkan,
besar-besarnya malah belajar minggat. Tapi percayalah, ini untuk masa depan. Jika ingin meraih
hal yang besar, kita harus berani mengorbankan hal yang besar pula. Tapi minggat dari rumah itu
tindakan yang tidak dapat dibetulkan. Lagipula, aku tidak minggat. Ayah dan Ibu tahu dan
izinnya berdasarkansyarat yang tadi. Meski tidak tahu pasti apakah cara ini akan berhasil atau
tidak, aku tetap mengangkat koper untuk pergi dari rumah.
Dan sekarang, di sini lah aku. Duduk menggigil di bangku jalanan bersama orang asing
yang menyelamatkanku dari insiden kaki yang kekurangan zat besi—minim asupan daging sapi
karena uang gaji setiap bulannya ludes untuk mencicil hutang. Terdengar miris, tapi tidak
menyedihkan.
Kak Esa masih menendang-nendang kerikil di bawah sepatunya. Ia nampaknya sosok yang
murung meski dengan sifat yang setenang air telaga. Jika kuperhatikan, Kak Esa itu punya
tatapan yang tidak asing. Tapi aku belum menemukan kemiripannya dengan siapapun.
“Kak Esa minggat juga dari rumah, ya?” tanyaku mendadak oleng. Rasa penasaran
berubahmenjadi menggebu-gebu.
“Hm?” ia bukan bertanya melainkan terkejut. “Minggat?” tanyanya. Aku mengangguk dan
ia seolah menyetujui. “Bisa jadi.” Membuatku bingung lagi. Ia menatapku, lalu mendongak.
“Memangnya kalau mau berteman dengan orang lain, harus tahu asal-usulnya dulu, ya?”
Aku menautkan alis. Tak mampu menyambungkan korelasi antara‘minggat dari rumah’
dengan ‘asal-usulnya’. Dia tipe yang sensitif sekali, pantas saja cepat tua.
“Aku kan tanya, apa kak Esa minggat juga dari rumah, bukan bertanya asal-usul kak Esa.”
“Iya, tahu. Tapi bukannya sekali bertanya, maka akan terus digali, ya? pada akhirnya juga
mengorek asal-usul, privasi dan masa lalu.”
“Memang apa masalahnya? Kak Esa nggak suka? Oh, oke. Aku paham kalau mengenai
privasi. Tapi kalau benar itu sifatnya privasi bagi kakak, ya tinggal dijawab seperlunya saja,
dong. Nggak perlu pake marah begitu.”
“Terus apa?”
Walaupun dengan jelas menyunggingkan guratan tanda seru tepat di dahi, ia masih
menganggap dirinya tidak marah. Lantas seperti apa kalau benar-benar marah? di sini hanya ada
aku yang mencoba mengerti. Perasaannya rumit sekali.
“Memangnya kenapa? Kenapa harus bingung?” tanyaku menatap matanya. Dan dari sekian
konflik yang terjadi di dalam kepalanya, ia membocorkan satu rahasia.
“Karena aku tidak punya privasi.”
Aku tidak ingin menelan mentah-mentah segala macam informasi. Basis dan datanya
harus jelas dulu sebelum diproses lebih lanjut oleh mesinku.
“Seperti pertanyaanmu tadi di rumah Pak Rumi, ‘kakak pengidap amnesia, ya?’” ia meniru
suaraku dengan vokal yang dibuat sember sebelum melanjutkan,“itu sudah sekaligus
jawabannya.”
“Ah, iya. Bukan begitu, sih, maksudku. Tapi, bagaimana ceritanya sampai kakak sadar
kalau kakak itu amnesia?”
“Bagaimana apanya?”
“Hidup kakak.” Aku benar-benar buruk dalam mengutarakan maksud. Ini jelas rumit, tapi
aku pun bukan tipe yang histeris dan garis keras penolak kenyataan. Hanya saja menemukan
sebuah fenomena bagiku adalah sesuatu yang wow. Jadi, bilamana aku merasa kagum akan
sesuatu, rasa penasaranku akan membuncah tak terkendali. Namun ia hanya menatapku redup.
Tidak sanggup menanggapi sebab kapasitas energinya sudah terkuras begitu banyak.
“Napas masih lancar, sirkulasi darahjuga. Makan masih teratur, buang air juga. Minum…
masih air putih, kok.”
Aku menatap jengah, mulai merasabete. “Syukur deh kalau begitu. Sehat selalu, kak Esa.”
“Ayo, mau tanya apa lagi?” tanyanya, jahil. Dia pikir kuis?
Aku dengan santai mengatakan, “nggak ada.” Kemudian membuang muka. Merasakan
bagaimana sunyi mulai mengelilingi kami dijalanan sepi tanpa kendaraan satupun yang lewat
sebelum bunyi tengkerek dan kodok saling bersahut-sahutan dikejauhan sawah.
“Kamu jadi pulang kan?!” Astaga. Ia tiba-tiba bertanya. Nyaris membuat jantungku copot.
“Hah?”
“Ah!” aku lupa. Mengeluarkan ponsel di dalam saku celana, aku bergegas membuka
aplikasinya untuk memesan go-car. (khusus mobil). Kukira dijam segini sudah tidak ada
pengemudi lagi. Tapi saat mencoba beberapa kali, pesanan berhasil di terima oleh:“supir
Jumadil, mobil van dengan DR sekian-sekian,” kataku membacakannya. Ia lalu mengangguk dan
mengangkat alis.
“10 menit…”
“Sip!”
***
Dalam beberapa menit menunggu, Mobil van berwarna hitam mengkilap yang lampu
sorotnya terlihat samar-samar dari kejauhan, kini menggerus pelan aspal jalan hingga berhenti
tepat di hadapan kami. Aku melambaikan tangan sambil memastikan DR-nya. Pak supir
menurunkan kaca jendela.
“Iya!”
Pak supir mengangguk dan langsung keluar dari mobilnya demi membukakan pintu
sementara kak Esa sudah menggendongku dengan sigap. Tapi kali ini ia tidak memasukan
dirinya sekaligus denganku. Ia meletakanku di bangku belakang dan hanya memegang kap mobil
sambil menunduk merapikan posisi kakiku.
Ia menatapku sekilassebelum membalas, “pertemuan kita sampai di sini dulu! aku ada
urusan! Kalau kutinggal sendiri, kamu nggak apa-apa?!” deru mesin mobil yang masih menyala
membuatnya menaikan nada suara. Aku mengernyit, merasakan deja vu.
Ia tak lantas menjawab karena tiba-tiba mengeluarkan isi dompet dan memberikannya
langsung kepada Pak supir.
“Pak! Kalau sudah sampai rumahnya, tolong dibantu, ya! Kakinya baru habis diurut
soalnya!”
Pak supir dengan jiwa prajuritnya langsung mengangkat jempol sambil tersenyum
sumringah. Aku mencium aroma mencurigakan. Segera sebelum ia menutup pintu, aku
menggeser bokong susah payah untuk menahannya sampai ia terkejut.
“Pulang ke mana?”
“Ke rumah lah. Rumah kita kan di kosan yang sama.”
“Maksudmu?!” ia terkejut. Baru kali ini kulihat ekpresinya saat terkejut. Aku jadi merasa
sedikit bangga dapat merubah mimik datarnya menjadi lebih manusiawi. “Maksudnya
bagaimana?!”
Ia masih bertanya tidak mengerti sementara aku langsung mengambil cara cepat dengan
memegang ujung bajunya kuat-kuat.
***
Mobil melaju pelan disaat aku mengintip jam pada layar ponselku. Sudah hampir pukul
satu malam. Suara AC menderu dan aku membisikan kak Esa agar memberitahu Pak Jumadil
untuk mematikan AC-nya karena dingin. Kak Esa seperti sebelum-sebelumnya, ia melaksanakan
perintahku dengan baik. Tapi tidak tahu kenapa Jaketnya ia buka dengan sengaja dan itu berakhir
di atas bahuku sampai ke bawah perut. Iaberkata, “maaf agak telat,” dengan canggung, sebelum
memberikan alasan lebih detail mengenai hal itu.
“Karena aku tipe yang kurang peka dan sedikit peduli, jadi kalau butuh apapun langsung
saja kasih tahu, jangan pakai sandi morse begitu. Aku bukan anak pramuka.”
Hening sejenak. Aku dibuat bingung oleh kedua matanya yang mengerjap gugup. Tapi
karena kutatap begitu, ia jadi berusaha memberikan pengertian lebih.
“Aku ngomong begini karena kepikiran sedingin apa tadi di luar sana. Kalau tahu begitu,
ini pasti sudah kupinjamkandari tadi.”
Oh, hei. Jujur saja, orang ini kenapa? Selain bingung aku dibuat kehabisan akal untuk
menanggapinya. Tapi tenang saja, spontanitasku ini selalu tercurah tanpa batas.
“Maksud kak Esa barusan apa, ya?sudah kayak orang pacaran saja.”
“Hm?”
“Kakak mau?”
Nada dari pertanyaanku seperti menawarkan anak kecil permen. Tapi ia melihatku serius.
Aku juga. Binar-binar matanya tetap berkilauan walau di kegelapan. Tak butuh waktu lama
untuk mendengarnya berkata, “Oke,” dengan begitu mudah. Ia pun langsung melancarkan modus
berupa pujian.
“Meski baru kenal tadi sore, kalau secantik kamu yang nembak duluan, aku bisa apa?”
Aku hampir saja menyemburkan tawa tapi untungnya ia menahanku dengan menutup
mulutku dengan satu tangan lebarnya. Khawatir jika pak Jumadil mengetahui apa yang
seharusnya tidak diketahui. Aku melihat matanya dan ia melihat mataku, begitu dekat dan tanpa
kendali iatersenyum lebar.Aku melepaskan tangan besar itu agar bibirku bisa meloloskan
pertanyaan, “serius?” dengan sungguh-sungguh. Ia pun langsung mengangguk.
Gila memang. Satu ungkapan tanpa bahasa itu mampu meledakkan hormondopamin dalam
sel darahku. Kami kemudian kembali ke posisi semula dengan wajah yang sama-sama bersemu
merah jambu. Merasakan bagaimana nuansa merah hatikini bertebaran disekeliling kami.
“Eh…?”Aku jadi terkejut karena bahkan ia tidak membiarkanku untuk sebentar saja
menyadarkan diri kalau ini bukan khayalan. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat, menarik
jemariku dan menggenggamnya dengan kehangatan yang absolut.
Aku berpikir,ah, jadi ini yang namanya cinta, ya? mengenai rasa yang bergelenyar di
dalam dada bersamadeburanjantung yang membuat sirkulasi darahku mengalir begitu deras,
membuatku percaya pada detik itu juga bahwa cinta memiliki rasa yang begitufantastis.
Nyawaku seolah kembali ke dalam raga dan hal itu telah berhasil menumbuhkan kuncup baru
dari seberkas bungayang sudah lama mati melayu. Dia menyembuhkanku.
“Hei,” sapanya beberapa detik kemudian setelah melihatku melamun.
“Bukan Nomi, tapi Noumi,” ucapku jelas.tidak lupa memberitahu namaku secara lengkap.
“Noumi AudestinyRoula.”
Membuatnya ikut mengangguk, pelan. “Nama yang bagus,” pujinya.“Aku boleh panggil
Noumi? Atau kamu lebih suka dipanggil Roula?”
Tak kusangka ia tertawa. Aku pun unjuk gigi untuk tersenyum lebar. “Kakak juga,
namanya bagus.”
“Namaku Esa, bukan Bagus,” tukasnya dengan muka serius, tapi lucu. Aku yang
gantiantertawa.
“Dan karena kita sudah mulai pacaran, jadi kamu panggil aku Esa saja.”
“Kalau kamu panggil aku kakak, kita dikira kakak-beradik. Lagipula tadi kamu bilang,
‘kamu’ ke aku.”
Membuatku terdiam. Kak Esa juga, eh, maksudku… Esa juga. Ia mengusap-usap jemariku
dalam tautannya lalu kembali menghadap depan, menyandarkan punggungnya dibadan kursi—
dimana hal itu memberikanku kesempatan untuk melihat tato ikan yang berada di lehernya. Aku
penasaran.
Ia mengangkat kepala sejenak, memastikan apa yang tengah kulihat sampai harus bertanya
begitu sebelum menengadah lagi.
“Nggak tahu. Suka aja,” jawabnya santai seperti berusaha melepas beban makna dari setiap
inci dirinya.
“Suka aja?”
“Iya.”
“Nggak. Kan karena kamu cantik,” sergahnya. Mencari perlindungan sementara aku
mendadak curiga.
“Kamuplayboy,ya?”
Ia menarik kepalanya sendiri supaya bisa duduk tegap kembali kemudian membalas
tatapanku dengan cara tak biasa. “Dulu?” kemudian dapat kurasakan tangannya bergerak-gerak
dalam tautan kami.“Dulu mungkin bad boy, tapi sekarang nice boy. Udah mendingan, kok.”
Aku mendelik. Orang ini benar-benar sesuatu. Baru beberapa menit yang lalu, bukan,
maksudku, bahkan baru beberapa detik yang lalu aku dibuat melayang-layang, kini sudah ditusuk
panah lagi. Rasa kesal mulai membumbung lebih tinggi. Segera kulepas tangannyauntuk
bersidekap dengan wajah kaku.
“Ke mana saja. Buka pintunya terus lompat saja sana! orang hina seperti kamu nggak
pantas hidup di dunia ini.”
Ia tertawa. Benar-benar tertawa sampai Pak Jumadil kini mengintip kami melewati kaca
kemudi.Aku jelas masih memasang pertahanan ketus dengan bibir mengerucut sedangkan
Esatidak tahu bagaimana, masih tergelak tanpa akhir.Bahunya berguncang naik-turun. Ia tertawa
seperti orang yang baru pertama kali tertawa. Begitu lepas. Aku berpikir, mungkin selama ini ia
tidak pernah punya alasan yang jelas untuk tertawa. Jadi jika ada kesempatan, kelucuan yang
sedari dulu ia pendam bisa ikut dikeluarkan, membuatnya lega.
“Kenapa?” tanyaku. Merasakan hal yang tidak wajar telah bertunas subur dalam dirinya.
Setelah menghentikan kekehan kecilnya, ia berkata, “lucu,” kemudian berdengus pelan.
“Justru dunia ini tempatnya untuk orang-orang hina sepertiku, jadi aku nggak berhak
mati.”
Lampu-lampu kuning jalan raya membuat bayangan mobil memanjang disetiap kali
dilewati. Esa dengan sepasang netranya memandangku dalam keheningan yang sejatinya tidak
pernah ada. Suara hatinya selalu berisik. Isi pikirannya seolah bersitegang. Aku dapat bercermin
kepadanya atas diriku sendiri. Ah, seperti ini mungkin diriku terlihat bagi orang lain. Hening
yang hancur lebur. Kadang aku berpikir, kehancuran orang yang tidak bersuara bisa terdengar
lebih melengking dibandingkan dengan orang yang mengerang kesakitan. Apa yang sebenarnya
terjadi?
Tapi belum juga sempat melontarkan pendapat atas pernyataan tadi, mobil sudah
menurunkan kecepatannya untuk berbelok ke kiri—masuk ke dalam gang rumah. Bunyi leting
terdengar mirip jarum jam yang berdentang versi raksasa. Kami tiba di Kos.
***
Kapan terakhir kali kau mengumpulkan keberanian untuk menyatakan apa yang kau
rasakan kepada orang yang menurutmu tepat?
Kapan terakhir kali kau pernah merasa harimu begitu cepat dan kau tidak ingin
mengakhirinya begitu saja?
Kalau aku, hari ini. Saking cepatnya aku sampai lupa hari ini hari apa. Kak Esa yang tadi
sore kutemui, malam ini sudah bukan kak Esa lagi. Nama panggilannya kini hanya Esa.
Penyelamat tadi sore itu, malam ini menjelma menjadi kekasih. Ini gila tapi normal, normal tapi
gila. Pacaran seolah bukan apa-apa bagi kami. Bisa untuk main-main.
“Kita masih tetap pacaran, kan?” tanyaku masih dipenuhi energi. Setelah berhasil keluar
dari mobil dan kami berdua menyaksikan sisa dari asap mobil tersebut tertinggal di sini, aku
berusaha menjulurkan dagukuyang menempel pada pundaknya untuk menengok wajahnya.
Namun ia hanya diam. Nampaknya sudah kehabisan daya sebab kini membopongku
dipunggungnya.
“Kamarmu di sini?”
“Kok tahu?”
Dia menaikan alis kelihatan malah tidak mengerti. “Buat apa lagi?”
“Maksudnya?”
“Tapi, kita baru saja jadian, masa iya sekarang udah main tidur-tiduran?”
Rasa panik membuat jantungku berdebar kencang sementara seluruh persendian terasa
tercabut habis saat ini. Aku memegang lutut dan meringis tertahan. “Lagipula kakiku kan masih
sakit…”
Ia berkedip dengan tatapan kosong. Tercengang bukan main namun tangannya hanya
mengibas surai. Mencoba memahamiku dengan menarik napas dalam-dalam kemudian
berjongkok. Ia memegang kepalaku dan aku menegang.
“Gadis manis, dengar ya. Kuncimu aku minta supaya bisa bantu kamu masuk ke kamar dan
tidur lebih cepat agar tidak berkhayal yang ‘iya-iya,’ karena sekarang sudah pukul setengah dua
pagi. Lagipula main kuda-kudaan dijam segini sehabis gendong kamu ke sana kemari, masuk
akal?”
“Nggak.”
“Ya sudah,” ujarnya mengernyit. Kemudian meminta kunci itu kembali dengan gerakan
tangan. Aku masih belum beranjak dari perkataannya barusan karena ada yang terasa
janggal.“Tapi, kenapa yang ‘iya-iya’? maksudnya apa?”
Ia berdiri. Tak lama mencoba menjawab dengan senalar mungkin. “Maksudku, ‘Hiya!
Hiya!’ begitu. Kan main kuda-kudaan,” katanya yang tidak kusangka dengan peragaan. Aku
yang sudah terlanjur mendongak jadi ilfeel setengah mati.
“Siapa bilang?”
“Jangan mengada-ngada.”
“Maksudmu?”
“Sudahlah. Masuk saja duluan kalau memang mengantuk. Aku mau diam dulu di sini.”
Tatapannya seperti orang prihatin sedangkan suhu dingin malam semakin menusuk. Ia
duduk di sampingku dan menaruh cangkirnya. Canggung mengusik segelintir niat saat kutahu
dia tengah membuka jaket kembali untuk maksud yang sama. Melirik hati-hati sebelum dengan
berani membentangkannya di punggungku dan tanpa sengaja menatap mataku yang bergetar.
“Aku yang minta maaf, Sa,” ucapku pelan. Alisnya yang sempurna naik sedikit. Ia jadi
tampan sekali kalau diperhatikan lebih lama.
“Ajakan jadian tadi jangan dianggap serius, ya. Aku Cuma bercanda.”
Ia pasti menganggapku aneh. Dulu, ibuku sering mewanti-wantiku untuk tidak bermain-
main dengan urusan cinta saat remaja. Sama seperti yang diumpakanArmy pada Jimin BTS.
Katanya, Jika sekali Jim-in, maka kau tak akan pernah bisa Jim-out. Log-in ke dalam kubangan
perasaan di masa labil seperti ini, membuat tombol log out jadi mustahil terlihat. Aku tidak
menyalahkan Jimin karena membuat anak remaja atau bahkan para orang tua tergila-gila
padanya. Tapi yang kumaksud saat ini adalah bahayanya pertemuan dua insan yang saling
menantang bencana kala memulai takdir layaknya bermain game.
Perasaan seperti ini meski kesannya bermain-main, tetapi dampak yang dihasilkan selalu
membutuhkan penanganan yang lebih serius. Semua hal yang menyenangkan akan tertinggal.
Sekolah, hobi, pekerjaan, bahkan mimpi. Gadis-gadis belia yang sudah terjebak di dalamnya
tidak akan pernah bisa memikirkan ini karena sudah kepalang basah mengandung bayi di dalam
rahimnya. Pernikahan, tempat tinggal, biaya sekolah anak, tidak pernah ada dalam rencanadini
yang ternyata berkelanjutan tanpa akhir yang jelas bahkan sampai menjelang kematian.
Kemudian kekerasan KDRT, anak-anak yang putus sekolah atau broken home,adalah salah satu
pembuka dalam sederet rangkaian masalah besar yang nantinya akan terus menyambar satu sama
lain.Tidak. Aku menggeleng. Jauh sebelum Ibu mewanti-wantiku seperti itu, aku memang tidak
pernah berniat untuk melakukannya.
Jadi, sambil mengingatkan diri kembali pada hal tersebut, aku segera memasang tembok
penghalang untuk melindungi diri sendiri. Takut terjerembab ke dalam permainan nafsu bersama
pria dihadapanku ini.
“Aku—”
“Kamu tahu, kalau seandainya aku benar seperti apa yang kamu pikirkan sekarang,
seharusnya tadi kamu berakhir di depan gang rumah pak Rumi. Di sana sudah tempatnya gelap,
sepi,ada kuburannya lagi. Jadi,kalau terjaditindak asusila atau pelecehan seksual yang
seandainya aku lakukan kepadamu, mayatmu bisa langsung kukubur di sana. Siapa yang curiga
mayat bekas pembunuhan jika letaknya di pemakaman?”
Aku seketika merinding hebat. Rasanya seolah berayun di Nevisswing. Mudah sekali dia
berkata seperti itu?
Rasa ngeri dibawah perut naik bagai pengukur tensi. Esa terkekeh lagi, persis seperti badut
psikopat. Aku jadi menyerah terhadap pikiranku sekarang yang mendapati keadaan kos yang sepi
juga kondisi yang suram.
“Esa…”
Napasnya berhembus cepat. Tiba-tiba aku mengingat papa dan mama atas janjiku untuk
membuat mereka bahagia. Aku meminta maaf karena selama ini tidak pernah bersyukur. Aku
meminta maaf karena menghabiskan hidup sebagai orang payah yang tidak tahu caranya
menggapai mimpi. Aku meminta maaf kepada seribu bintang disetiap malam yang selalu
menerangi langit ketika aku kehilangan asa, dan kukatakan maaf yang sebesar-besarnya kepada
diriku sendiri karena tidak bisa mencintainya sepenuh hati.
“Noumi…?”
Hening. Kurasakan tangan dinginnya menyentuh pipiku yang tertutup surai. Kedua
tanganku bertaut erat dibawah namun sentuhannya terasa khawatir.
“Hei… kenapa?”
“Hei-hei-hei…! Kenapamenangis?”
Ia memegang pucuk kepalaku, terlihat bingung dan bersalah. Karena tak tahu harus berbuat
apa, ia membawaku kedalam dekapannya sedangkan aku semakin menangis kencang, terisak
dengan dada yang sesak. Ia mengusap-usap punggungku gusar, seperti menyembuhkan tangan
anak kecil yang terjepit pintu dengan cara ditiup, Esa juga berusaha menenangkan dengan terus-
menerus mengusappunggung dan suraiku sambil mengeratkan pelukannya.
***
Sekarang kondisi sudah aman. Desiran napas dan darah bekerja kembali dengan baik. aku
menoleh ke samping. Esa terlihat menguap disebrang. Ia mengambil jarak dua meter untuk
duduk berjauhan denganku. Sesekali aku menghirup kembali cairan yang nyaris menetes dari
lubang hidung juga merasakan mataku bengkak karena menangis terlalu kencang tadi. Esa
melamun, kemudian berdeham.
Aku tertawa pelan. Mengingat caranya terkejut tadi kalau dipikir-pikir sukses membuat
lega dalam sekejap.
“Maaf… aku orangnya overthinking. Dan sudah sering kali juga Overhang.”
“Kenapa?”
“Nggak ada.”
“Eh—”
“Aku benar-benar minta maaf soal tadi… dan, sekarang?” Aku mengeluarkan kunci kamar
dan menunjukkannya dengan raut memohon meski kutahu ia sudah kelihatan lelah setengah
mati, tapi sudah tidak ada pilihan lagi, jadi mau tidak mau Esa mendekat untuk mengambil kunci
ditanganku untuk membuka pintunya.
“Aku yang seharusnya minta maaf sudah bikin kamu nangis,” ungkapnya dengan nada
pelan yang terdengar mengantuk. Aku hanya mengangguk. Berusaha memaafkannya dengan
tulus. Ia berbalik, melihatku bagai ikan duyung.
Aku mendongak sebelum merasakan tubuhku dalam hitungan detik langsung terangkat
dengan mudah. Mungkin sebagian orang tidak tahu menahu mengenai cara memperlakukan
orang lain atau cara merawat orang sakit. Namun dari Esa aku mengerti bahwa menggendong
orang yang cedera itu punya cara tersendiri. Aku bisa merasakan profesionalisme hidup.
Dibarengi afeksi pula.
“Biar pintumu kututup sekalipun tapi kalau kamu sendiri nggak bisa kunci, bagaimana?
Mau kukunci dari luar? Oh, atau kukunci dari dalam tapi aku keluar lewat jendela, gimana?”
Aku baru saja hendak menanyakanperihal mengunciku dari luar tapi Esa dengan cepat
mengalihkan fokus seseorang kepada solusi setelahnya. Dia benar-benar cepat. Tidak kusangka.
“Kenapa?”
“Aku sudah biasa. Soalnya dirumahku dulu biasa nggak kunci pintu kalau malam.”
Ia mengerutkan kening saat mencobamengatur letak kedua kakiku di atas kasur lalu
menaikan selimut sampai ke leher. Menyempatkan diri untuk bertanya,“kenapa?” lagi-lagi,
membuat alisku mengendik.
“Nggak tahu.”
Benar juga. Tanpa bantahan otakku seperti terhenyak ditembakteori sederhana begitu.
“Kukunci saja, sudah! Jangan banyak alasan!” tukasnya sambil mengenakanjaket kembali.
Hening masih merajai ruang. Meracuni pikiran dan hati yang kadar sensitifitasnya tinggi.
Barusan itu adalah nada yang terbilang kasar. Padahal itu menjadi alasan yang kuat bagiku untuk
pergi dari rumah setelah alasan pertamaku; mengejar mimpi.
Aku mendadak ingat perkataan ayah yang selalu menyepelekan apapun yang kukerjakan
dan menentang dengan berkata, “sudah!” yang berarti hal itu harus segera disudahi, membuatku
harus bersusah payah mengubur ambisi dan membatasi kebebasanku.
Sederhananya aku adalah manusia yang paling tidak mengizinkan diriku sendiri untuk
bahagia. Kecerobohan adalah malapetaka sedangkan standar kesempurnaan tak kunjung terlihat
dari ujung langit. Haruskah aku menjadi orang yang lebih baik atau lebih baik tidak melakukan
apapun agar tidak terluka? Aku tidak punya harapan jadi aku hanya membuat mimpiku dengan
khayalan. Tapi belakangan khayalan meninggalkanku tanpa ancang-ancang sehingga aku terluka
diserang kenyataan.
“Hei.”
Esa menegurku karena terlihat melamun. Ia sendiri sekarang sedang berdiri canggung
setelah mengunci pintu di sana. Mungkin ia merasakan keanehan atau sesuatu yang tidak biasa,
aku tak mengerti. Tapi berbalik memandangku, ia berdeham.
“Hm, pintunya sudah kukunci. Aku mau balik dulu. Tidur yang nyenyak.”
Dan kukira akan berakhir, tapi tak tahunya ia menggeleng. Aku terpegun.
“Jangan berterima kasih terlalu sering, itu buat orang lain nggak nyaman,” tukasnya sambil
menggaruk tengkuk dan menyentuh hidungnya beberapa kali seperti terkena pilek.
“Kenapa?”
“Karenakupikir, memberikan sesuatu mungkin lebih pas dikatakan sebagai rasa berterima
kasih.”
Aku tertohok. Nyaris lupa kalau etika manusia memang seperti itu. Sudah lama hidup
dalam angan-angan, jadi membuat realitaku sulit untuk menyinkronkan diri. Mengedipkan kedua
mata. Sejenak, aku memberinya penawaran.
“Kamu mau dimasakin apa besok pagi? aku lumayan jago masak lho, selain air.”
Ia tertawa pelan. Mengendikkan bahunya seperti membiarkan apa yang diinginkan lawan.
Kemudian ia melompat keluar jendela nyaris tanpa suara. Aku jadi terkagum dan paham
mengenai kewaspadaannya tentang maling. Tapi, apa katanya tadi? Dia tidak makan ikan…?
Kenapa?
***