Anda di halaman 1dari 22

Ikan Dori

dari film Nemo

Jika ada rasa yang katanya paling sakit di dunia ini, aku ingin tahu sekarang juga. Berbekal
minyak oles dan keahlian tangan, operasi ini berjalan dengan kesadaran penuh pasiennya. Sangat
menegangkan.

“Tahan, ya, dek.”

KREKK,,

Aaarghkk.

“Di sini sakit?”

KREKK,,

AAAKHHH!!!

Aku merengut tidak tahan. Pak Rumi benar-benar berani memutar balikan tulang seolah ia
tukang sulap. Istrinya masih melihatku dengan prihatin, sementara aku menggigit bahu kak Esa,
meminta kekuatan darinya. Dalam pikiranku, Huh, mati saja. Mati saja lebih baik. Ini sakit
sekali. Namun operasi tetap berlangsung tanpa bisa dihentikan. Bahkan aku diberitahu bahwa
kali ini akan terasa lebih sakit. Jadi Pak Rumi memintaku untuk bertahan atau bersiap-siap
menggigit bahu orang di samping dengan lebih kuat. SementaraKak Esa terlihat memasrahkan
diri. Bola matanya bergetar.

“Satu, dua…”

Kedua tangannya mengepal kuat tanda siap, dan aku menggigit.

“Tiga!”

AAAAKKKHHHHH!!!

***
Jarum jam pada detik di dinding berdetak. Operasi selesai. Aku disuruh menyenderkan
punggung ke dinding untuk menselonjorkan kedua kaki sementara kak Esa tengah meringis
karena bahunya sakit bekas kugigit. Aku ingin memijatnya namunkakiku kini sedang mengalami
masa pembengkakan dua kali lipat dari yang tadi. Kurasa ini tidak tepat, tapi kata Pak Rumi ini
adalah tindakan yang benar-benar tepat. Aneh sekali.

Pembengkakan terjadi karena tulangnya sudah kembali ke tempat semula dan masa
pemulihan akan berlangsung maksimal tujuh hari. Jika tidak pulih juga, maka aku harus kontrol
kembali untuk mendapatkan neraka ini lagi. Tidak, aku tidak mau. Sembuh atau tidak nanti, aku
tidak akan kembali. Tidak akan.

“Berapa, pak?” kak Esa bertanya, ia menelisik isi dompet. Aku menghalangi tangannya
dan Pak Rumi langsung berkata, “tidak usah.” Dengan begitu ikhlas.

“Iya. Tidak usah. Seharusnya memang saya sendiri yang bayar,” kataku langsung merogoh
kantong celana namun teringat bahwa tadi hanya membawa uang sedikit untuk modus lamaran di
café.

“Sudah, sudah. Saya kenal Pak Made, kok. Karena beliau yang bawa kalian ke sini, jadi
tidak perlu bayar.”

“Tapi pak—”

“Lebih baik uangnya kalian pakai untuk panggil taksi saja, kan? Soalnya saya tidak punya
kendaraan untuk mengantar kalian berdua pulang.”

Aku dan kak Esa saling menatap sejemang. Tanpa sengaja menyetujui perkataan pak Rumi
diam-diam.

***

Saat ini sudah jam setengah dua belas malam. Jalanan gelap, tapi ada lampu kuning jalan
yang cahayanya remang-remang.Aku sedikit takut. Melewati dua kuburan, Kak Esa tetap tidak
mau mendengar selain membiarkan dirinya kesusahan untuk kesekian kalinya: Menggendongku
sampai ke depan gang.

“Sudah kubilang, nggak akan ada taksi yang lewat dijam segini.”
Ia masih terengah-engah sebelum berakhir menaruhku di bangku jalanan yang terbuat dari
semen.Terlihat seperti orang yang sebentar lagi akan sekarat karena lelah menggendongku.
Memang aku seberat itu, ya?

“Sudah. Sekarang pesan gojek-nya,” katanya lemah. Aku jadi bingung.

“Lho, kenapa sekarang baru bilang begitu?”

Ia menatapku biasa dan aku bertanya lagi.“Kenapa nggak sekalian aja kita nunggu di
rumahnya Pak Rumi tadi?”

Kemudian ia duduk di sampingku. Menarik napas panjang lalu menghelanya.

“Memangnya kamu nyaman kalau nunggu di sana?”

“Hm, iya, sih, sedikit,” akuku setengah yakin. Kemudian balik bertanya.

“Memangnya kenapa? Kak Esa nggak nyaman?”

“Iya.” Ia menatap lurus jalan raya yang sepi sambil mengusap-usap punggung tangannya
sendiri. Aku tertegun.

“Kenapa?” tanyaku lagi.

Ia terlihat menimang-nimang alasannya.Bibirnya dibuat sedikit mencebik, lalu jawabannya


membuatku agak bingung. “Karena di sana hangat?”

“Hangat?”Aku menggaruk kepala. “Maksudnya, hangat ruangan? Perasaanku dingin, kok.


Kan tadi pakai kipas angin.”

Ia mendengus. Pundaknya bergerak karena terkekeh. “Bukan… bukan itu,” katanya lagi
sambil berdeham lalumelanjutkan perkataan dengan mata melamun. “Tapi hangat keluarga.”

Kata orang, jika kau tengah rindu akan sesuatu, biasanya kedua matamu akan terus
berbinar seperti akan menangis. Kau tidak pernah tahu rasa rindu apa yang menggerogoti
jiwamu, bahkan kelewat terlambat untuk menyadari hal itu. Ia menghela napas cukup berat. Aku
memperhatikan wajahnya dari samping. Berpikir bahwa perkataannya barusan adalah uraian
kalimat yang cukup membuatku merasa paling hangat. Ada satu rongga di dalam dada yang
selama ini hanya terisi hembusan angin malam yang tanpa sadar mulai menganga semakin lebar.
Selalu terabaikan.

“Kak Esa rindu keluarga?”

Ia berpaling untuk menatapku. Kantuk seolah tak sanggup ia topang lagi. Aku seketika
mengubah pertanyaan.

“Kak Esa, punya keluarga?”

“Hm?”

Kedua matanya seketika terbuka lebar. Kantuknya melarikan diri dalam sekejap. Aku tidak
ingin menduga perihal ini topik sensitif atau masalah pribadi sebab yang kulakukan saat ini
hanyalah bertanya. Bertanya sesuai keinginan hati.

“Nggak tahu,” jawabnya sembarang. Mengendikan bahu lalu menghirup udara beku.
“Mungkin aku nggak punya keluarga.”

Satu kesamaan yang kurasakan saat ini, aku adalah manusia sebatang kara karena ulahku
sendiri. Satu-satunya yang paling kuingat adalah Ibu menangis karena Ayah mengancamku: jika
beranipulang dalam keadaan menggembel, maka kepalaku akan dipenggal. Aku ditodong
pertanyaan kenapa ingin meninggalkan rumah sementara aku dengan yakinnya menjawab, ‘demi
mengejar mimpi,’ membuat Ayahku tertawa terpingkal-pingkal kemudianibuku jadi berhenti
menangis. Beliau bingung. Katanya, “untuk apa mimpi dikejar-kejar? Kan tinggal tidur saja
kalau ingin bertemu mimpi.”

Bisa dibilangitu adalah pemikiran yang dangkal, tapi aku tidak bisa berkata begitu, sebab
mereka adalah orang tuaku. Yang dangkal itu aku. Tidak tahu diri sudah susah payah dibesarkan,
besar-besarnya malah belajar minggat. Tapi percayalah, ini untuk masa depan. Jika ingin meraih
hal yang besar, kita harus berani mengorbankan hal yang besar pula. Tapi minggat dari rumah itu
tindakan yang tidak dapat dibetulkan. Lagipula, aku tidak minggat. Ayah dan Ibu tahu dan
izinnya berdasarkansyarat yang tadi. Meski tidak tahu pasti apakah cara ini akan berhasil atau
tidak, aku tetap mengangkat koper untuk pergi dari rumah.

Dan sekarang, di sini lah aku. Duduk menggigil di bangku jalanan bersama orang asing
yang menyelamatkanku dari insiden kaki yang kekurangan zat besi—minim asupan daging sapi
karena uang gaji setiap bulannya ludes untuk mencicil hutang. Terdengar miris, tapi tidak
menyedihkan.

Kak Esa masih menendang-nendang kerikil di bawah sepatunya. Ia nampaknya sosok yang
murung meski dengan sifat yang setenang air telaga. Jika kuperhatikan, Kak Esa itu punya
tatapan yang tidak asing. Tapi aku belum menemukan kemiripannya dengan siapapun.

“Kak Esa minggat juga dari rumah, ya?” tanyaku mendadak oleng. Rasa penasaran
berubahmenjadi menggebu-gebu.

“Hm?” ia bukan bertanya melainkan terkejut. “Minggat?” tanyanya. Aku mengangguk dan
ia seolah menyetujui. “Bisa jadi.” Membuatku bingung lagi. Ia menatapku, lalu mendongak.

“Memangnya kalau mau berteman dengan orang lain, harus tahu asal-usulnya dulu, ya?”

Aku menautkan alis. Tak mampu menyambungkan korelasi antara‘minggat dari rumah’
dengan ‘asal-usulnya’. Dia tipe yang sensitif sekali, pantas saja cepat tua.

“Aku kan tanya, apa kak Esa minggat juga dari rumah, bukan bertanya asal-usul kak Esa.”

“Iya, tahu. Tapi bukannya sekali bertanya, maka akan terus digali, ya? pada akhirnya juga
mengorek asal-usul, privasi dan masa lalu.”

“Memang apa masalahnya? Kak Esa nggak suka? Oh, oke. Aku paham kalau mengenai
privasi. Tapi kalau benar itu sifatnya privasi bagi kakak, ya tinggal dijawab seperlunya saja,
dong. Nggak perlu pake marah begitu.”

“Aku nggak marah.”

“Terus apa?”

“Bingung aja harus jawabnya bagaimana.”

Walaupun dengan jelas menyunggingkan guratan tanda seru tepat di dahi, ia masih
menganggap dirinya tidak marah. Lantas seperti apa kalau benar-benar marah? di sini hanya ada
aku yang mencoba mengerti. Perasaannya rumit sekali.

“Memangnya kenapa? Kenapa harus bingung?” tanyaku menatap matanya. Dan dari sekian
konflik yang terjadi di dalam kepalanya, ia membocorkan satu rahasia.
“Karena aku tidak punya privasi.”

Aku tidak ingin menelan mentah-mentah segala macam informasi. Basis dan datanya
harus jelas dulu sebelum diproses lebih lanjut oleh mesinku.

“Tidak punya privasi?” tanyaku lagi-lagi. Ia mengangguk dengan lamunan.

“Seperti pertanyaanmu tadi di rumah Pak Rumi, ‘kakak pengidap amnesia, ya?’” ia meniru
suaraku dengan vokal yang dibuat sember sebelum melanjutkan,“itu sudah sekaligus
jawabannya.”

“Amnesia?”Aku mengatupkan mulut sejenak. Berusaha untuk tidak terlihat terkejut


sebelum bertanya melanjutkan, “sejak kapan?” membuatnya terkekeh geli.

“Memangnya orang amnesia bisa ingat tepatnya kapan?”

“Ah, iya. Bukan begitu, sih, maksudku. Tapi, bagaimana ceritanya sampai kakak sadar
kalau kakak itu amnesia?”

“Hm…” ia menggaruk dagu, kemudian bergumam. “Nggak tahu. Lupa.” Dengan


mengangkat kedua bahunya. Jika dipikir-pikir,benar juga, sih. Aku nyaris terkagum tanpa
alasan. Hampir seluruh jawaban yang meluncur dari mulutnya ringan.Seringanbulu ayam. Oh,
hei! Pantas saja anting-antingnya dari bulu ayam. Apa ini maksudnya? Aku menggeleng dan
kembali pada realita. Melihatnya masih menendang-nendang batu kerikil.

“Terus, bagaimana sekarang?”

“Bagaimana apanya?”

“Hidup kakak.” Aku benar-benar buruk dalam mengutarakan maksud. Ini jelas rumit, tapi
aku pun bukan tipe yang histeris dan garis keras penolak kenyataan. Hanya saja menemukan
sebuah fenomena bagiku adalah sesuatu yang wow. Jadi, bilamana aku merasa kagum akan
sesuatu, rasa penasaranku akan membuncah tak terkendali. Namun ia hanya menatapku redup.
Tidak sanggup menanggapi sebab kapasitas energinya sudah terkuras begitu banyak.

“Hidup? memang kelihatannya bagaimana? Kayak orang mati, ya?”


Ah, iya, ini memang salahku. Bertanya kepadanya itu hanya akan menimbulkan pertanyaan
baru yang tidak ada habisnya. Namun, meregangkan jari-jemari sebelum mulai berhitung, ia
mengatakan dengan raut yang songong.

“Napas masih lancar, sirkulasi darahjuga. Makan masih teratur, buang air juga. Minum…
masih air putih, kok.”

Aku menatap jengah, mulai merasabete. “Syukur deh kalau begitu. Sehat selalu, kak Esa.”

Ia memperhatikanku sejenak, kemudian tersenyum. Satu tangan terulur dan mendarat di


kepalaku. Tanpa banyak pikir ia langsungmengusapnya dengan gerakan yang alhasil membuat
tubuhku meremang.

“Ayo, mau tanya apa lagi?” tanyanya, jahil. Dia pikir kuis?

Aku dengan santai mengatakan, “nggak ada.” Kemudian membuang muka. Merasakan
bagaimana sunyi mulai mengelilingi kami dijalanan sepi tanpa kendaraan satupun yang lewat
sebelum bunyi tengkerek dan kodok saling bersahut-sahutan dikejauhan sawah.

“Kamu jadi pulang kan?!” Astaga. Ia tiba-tiba bertanya. Nyaris membuat jantungku copot.

“Hah?”

“Sudah pesan gojeknya belum, sih?”

“Ah!” aku lupa. Mengeluarkan ponsel di dalam saku celana, aku bergegas membuka
aplikasinya untuk memesan go-car. (khusus mobil). Kukira dijam segini sudah tidak ada
pengemudi lagi. Tapi saat mencoba beberapa kali, pesanan berhasil di terima oleh:“supir
Jumadil, mobil van dengan DR sekian-sekian,” kataku membacakannya. Ia lalu mengangguk dan
mengangkat alis.

“Sampai dalam waktu berapa menit?”

“10 menit…”

“Sip!”

***
Dalam beberapa menit menunggu, Mobil van berwarna hitam mengkilap yang lampu
sorotnya terlihat samar-samar dari kejauhan, kini menggerus pelan aspal jalan hingga berhenti
tepat di hadapan kami. Aku melambaikan tangan sambil memastikan DR-nya. Pak supir
menurunkan kaca jendela.

“Dengan mbak, Noumi?!”

“Iya!”

Pak supir mengangguk dan langsung keluar dari mobilnya demi membukakan pintu
sementara kak Esa sudah menggendongku dengan sigap. Tapi kali ini ia tidak memasukan
dirinya sekaligus denganku. Ia meletakanku di bangku belakang dan hanya memegang kap mobil
sambil menunduk merapikan posisi kakiku.

“Kenapa?” tanyaku tak mengerti.

Ia menatapku sekilassebelum membalas, “pertemuan kita sampai di sini dulu! aku ada
urusan! Kalau kutinggal sendiri, kamu nggak apa-apa?!” deru mesin mobil yang masih menyala
membuatnya menaikan nada suara. Aku mengernyit, merasakan deja vu.

“Tengah malam begini?!” tanyaku heran. “Urusan apa?!”

Ia tak lantas menjawab karena tiba-tiba mengeluarkan isi dompet dan memberikannya
langsung kepada Pak supir.

“Pak! Kalau sudah sampai rumahnya, tolong dibantu, ya! Kakinya baru habis diurut
soalnya!”

Lho, dia nggak ikut pulang?

Pak supir dengan jiwa prajuritnya langsung mengangkat jempol sambil tersenyum
sumringah. Aku mencium aroma mencurigakan. Segera sebelum ia menutup pintu, aku
menggeser bokong susah payah untuk menahannya sampai ia terkejut.

“Eh, kenapa?!” kedua matanya melebar.

“Kamu nggak ikut pulang?” tanyaku. Mulai merasa panik.

“Pulang ke mana?”
“Ke rumah lah. Rumah kita kan di kosan yang sama.”

“Maksudmu?!” ia terkejut. Baru kali ini kulihat ekpresinya saat terkejut. Aku jadi merasa
sedikit bangga dapat merubah mimik datarnya menjadi lebih manusiawi. “Maksudnya
bagaimana?!”

Ia masih bertanya tidak mengerti sementara aku langsung mengambil cara cepat dengan
memegang ujung bajunya kuat-kuat.

“Kosan Bu Ros Gang swarsa nomor sepuluh,‘kan?Ayo masuk!”

***

Mobil melaju pelan disaat aku mengintip jam pada layar ponselku. Sudah hampir pukul
satu malam. Suara AC menderu dan aku membisikan kak Esa agar memberitahu Pak Jumadil
untuk mematikan AC-nya karena dingin. Kak Esa seperti sebelum-sebelumnya, ia melaksanakan
perintahku dengan baik. Tapi tidak tahu kenapa Jaketnya ia buka dengan sengaja dan itu berakhir
di atas bahuku sampai ke bawah perut. Iaberkata, “maaf agak telat,” dengan canggung, sebelum
memberikan alasan lebih detail mengenai hal itu.

“Karena aku tipe yang kurang peka dan sedikit peduli, jadi kalau butuh apapun langsung
saja kasih tahu, jangan pakai sandi morse begitu. Aku bukan anak pramuka.”

Hening sejenak. Aku dibuat bingung oleh kedua matanya yang mengerjap gugup. Tapi
karena kutatap begitu, ia jadi berusaha memberikan pengertian lebih.

“Aku ngomong begini karena kepikiran sedingin apa tadi di luar sana. Kalau tahu begitu,
ini pasti sudah kupinjamkandari tadi.”

Oh, hei. Jujur saja, orang ini kenapa? Selain bingung aku dibuat kehabisan akal untuk
menanggapinya. Tapi tenang saja, spontanitasku ini selalu tercurah tanpa batas.

“Maksud kak Esa barusan apa, ya?sudah kayak orang pacaran saja.”

“Hm?”

Ia pura-pura tidak mendengar dan aku punmengubahnya menjadi pertanyaan retoris.

“Kita… pacaran nggak, sih?”


Semua darinya seketika berubah. Jantungnya mungkin terpanah. Tapi ekspresinya tidak.
Tapi aku tahu. Matanya secara terang-terangan berkata begitu. Hanya aku yang bisa dengar.

“Pacaran?” ia menautkan alis. Berpikir.“Kamu maunya kita pacaran?”

Aku mengangguk. Entah mengapa jadi sangat setuju.

“Kakak mau?”

Nada dari pertanyaanku seperti menawarkan anak kecil permen. Tapi ia melihatku serius.
Aku juga. Binar-binar matanya tetap berkilauan walau di kegelapan. Tak butuh waktu lama
untuk mendengarnya berkata, “Oke,” dengan begitu mudah. Ia pun langsung melancarkan modus
berupa pujian.

“Meski baru kenal tadi sore, kalau secantik kamu yang nembak duluan, aku bisa apa?”

Aku hampir saja menyemburkan tawa tapi untungnya ia menahanku dengan menutup
mulutku dengan satu tangan lebarnya. Khawatir jika pak Jumadil mengetahui apa yang
seharusnya tidak diketahui. Aku melihat matanya dan ia melihat mataku, begitu dekat dan tanpa
kendali iatersenyum lebar.Aku melepaskan tangan besar itu agar bibirku bisa meloloskan
pertanyaan, “serius?” dengan sungguh-sungguh. Ia pun langsung mengangguk.

Gila memang. Satu ungkapan tanpa bahasa itu mampu meledakkan hormondopamin dalam
sel darahku. Kami kemudian kembali ke posisi semula dengan wajah yang sama-sama bersemu
merah jambu. Merasakan bagaimana nuansa merah hatikini bertebaran disekeliling kami.

“Mau pegangan tangan?” tanyanya tiba-tiba.

“Eh…?”Aku jadi terkejut karena bahkan ia tidak membiarkanku untuk sebentar saja
menyadarkan diri kalau ini bukan khayalan. Ia menggeser tubuhnya lebih dekat, menarik
jemariku dan menggenggamnya dengan kehangatan yang absolut.

Aku berpikir,ah, jadi ini yang namanya cinta, ya? mengenai rasa yang bergelenyar di
dalam dada bersamadeburanjantung yang membuat sirkulasi darahku mengalir begitu deras,
membuatku percaya pada detik itu juga bahwa cinta memiliki rasa yang begitufantastis.
Nyawaku seolah kembali ke dalam raga dan hal itu telah berhasil menumbuhkan kuncup baru
dari seberkas bungayang sudah lama mati melayu. Dia menyembuhkanku.
“Hei,” sapanya beberapa detik kemudian setelah melihatku melamun.

“Hm?” aku menoleh. Mengangkat alis.

“Nama kamu Nomi?”

“Bukan Nomi, tapi Noumi,” ucapku jelas.tidak lupa memberitahu namaku secara lengkap.
“Noumi AudestinyRoula.”

Membuatnya ikut mengangguk, pelan. “Nama yang bagus,” pujinya.“Aku boleh panggil
Noumi? Atau kamu lebih suka dipanggil Roula?”

“Panggil apa saja boleh. Asalkan bukan bambang atau Udin.”

Tak kusangka ia tertawa. Aku pun unjuk gigi untuk tersenyum lebar. “Kakak juga,
namanya bagus.”

“Namaku Esa, bukan Bagus,” tukasnya dengan muka serius, tapi lucu. Aku yang
gantiantertawa.

“Dan karena kita sudah mulai pacaran, jadi kamu panggil aku Esa saja.”

“Memang apa hubungannya?”

“Kalau kamu panggil aku kakak, kita dikira kakak-beradik. Lagipula tadi kamu bilang,
‘kamu’ ke aku.”

Aku mengerutkan alis. “Kapan?”

“Tadi. ‘Kamu nggak ikut pulang?’ begitu.”

Membuatku terdiam. Kak Esa juga, eh, maksudku… Esa juga. Ia mengusap-usap jemariku
dalam tautannya lalu kembali menghadap depan, menyandarkan punggungnya dibadan kursi—
dimana hal itu memberikanku kesempatan untuk melihat tato ikan yang berada di lehernya. Aku
penasaran.

“Kenapa harus ikan kerapuh, sih?”

Ia mengangkat kepala sejenak, memastikan apa yang tengah kulihat sampai harus bertanya
begitu sebelum menengadah lagi.
“Nggak tahu. Suka aja,” jawabnya santai seperti berusaha melepas beban makna dari setiap
inci dirinya.

“Suka aja?”

“Iya.”

“Jadi, mau pacaran sama aku juga karena, suka aja?”

“Nggak. Kan karena kamu cantik,” sergahnya. Mencari perlindungan sementara aku
mendadak curiga.

“Kamuplayboy,ya?”

Ia menarik kepalanya sendiri supaya bisa duduk tegap kembali kemudian membalas
tatapanku dengan cara tak biasa. “Dulu?” kemudian dapat kurasakan tangannya bergerak-gerak
dalam tautan kami.“Dulu mungkin bad boy, tapi sekarang nice boy. Udah mendingan, kok.”

Aku mendelik. Orang ini benar-benar sesuatu. Baru beberapa menit yang lalu, bukan,
maksudku, bahkan baru beberapa detik yang lalu aku dibuat melayang-layang, kini sudah ditusuk
panah lagi. Rasa kesal mulai membumbung lebih tinggi. Segera kulepas tangannyauntuk
bersidekap dengan wajah kaku.

“Pergi!” perintahku. Ia jadi terkejut.

“Pergi ke mana?” tanyanya bingung.

“Ke mana saja. Buka pintunya terus lompat saja sana! orang hina seperti kamu nggak
pantas hidup di dunia ini.”

Ia tertawa. Benar-benar tertawa sampai Pak Jumadil kini mengintip kami melewati kaca
kemudi.Aku jelas masih memasang pertahanan ketus dengan bibir mengerucut sedangkan
Esatidak tahu bagaimana, masih tergelak tanpa akhir.Bahunya berguncang naik-turun. Ia tertawa
seperti orang yang baru pertama kali tertawa. Begitu lepas. Aku berpikir, mungkin selama ini ia
tidak pernah punya alasan yang jelas untuk tertawa. Jadi jika ada kesempatan, kelucuan yang
sedari dulu ia pendam bisa ikut dikeluarkan, membuatnya lega.

“Kenapa?” tanyaku. Merasakan hal yang tidak wajar telah bertunas subur dalam dirinya.
Setelah menghentikan kekehan kecilnya, ia berkata, “lucu,” kemudian berdengus pelan.
“Justru dunia ini tempatnya untuk orang-orang hina sepertiku, jadi aku nggak berhak
mati.”

Lampu-lampu kuning jalan raya membuat bayangan mobil memanjang disetiap kali
dilewati. Esa dengan sepasang netranya memandangku dalam keheningan yang sejatinya tidak
pernah ada. Suara hatinya selalu berisik. Isi pikirannya seolah bersitegang. Aku dapat bercermin
kepadanya atas diriku sendiri. Ah, seperti ini mungkin diriku terlihat bagi orang lain. Hening
yang hancur lebur. Kadang aku berpikir, kehancuran orang yang tidak bersuara bisa terdengar
lebih melengking dibandingkan dengan orang yang mengerang kesakitan. Apa yang sebenarnya
terjadi?

Tapi belum juga sempat melontarkan pendapat atas pernyataan tadi, mobil sudah
menurunkan kecepatannya untuk berbelok ke kiri—masuk ke dalam gang rumah. Bunyi leting
terdengar mirip jarum jam yang berdentang versi raksasa. Kami tiba di Kos.

***

Kau, pernah jatuh cinta?

Kapan terakhir kali kau mengumpulkan keberanian untuk menyatakan apa yang kau
rasakan kepada orang yang menurutmu tepat?

Kapan terakhir kali kau pernah merasa harimu begitu cepat dan kau tidak ingin
mengakhirinya begitu saja?

Kalau aku, hari ini. Saking cepatnya aku sampai lupa hari ini hari apa. Kak Esa yang tadi
sore kutemui, malam ini sudah bukan kak Esa lagi. Nama panggilannya kini hanya Esa.
Penyelamat tadi sore itu, malam ini menjelma menjadi kekasih. Ini gila tapi normal, normal tapi
gila. Pacaran seolah bukan apa-apa bagi kami. Bisa untuk main-main.
“Kita masih tetap pacaran, kan?” tanyaku masih dipenuhi energi. Setelah berhasil keluar
dari mobil dan kami berdua menyaksikan sisa dari asap mobil tersebut tertinggal di sini, aku
berusaha menjulurkan dagukuyang menempel pada pundaknya untuk menengok wajahnya.
Namun ia hanya diam. Nampaknya sudah kehabisan daya sebab kini membopongku
dipunggungnya.

“Kamu nggak marah, kan?” tanyaku hati-hati.

Ia berbalik badan, berjalan menuju depan kamarku dengan gerakan tertatih.

“Kamarmu di sini?”

“Kok tahu?”

Ia menurunkanku tanpa banyak bicara. Membawaku duduk di undakan tangga keramik,


kemudian bertitah dengan tenang. “Sini kunci kamarmu.” Membuatku lumayan terkejut. “Buat
apa?”

Dia menaikan alis kelihatan malah tidak mengerti. “Buat apa lagi?”

“Maksudnya?”

“Tidur… memangnya kamu nggak mau tidur?”

Oke, baiklah, tidakkah kalian sepemikiran denganku?

“Tapi, kita baru saja jadian, masa iya sekarang udah main tidur-tiduran?”

Rasa panik membuat jantungku berdebar kencang sementara seluruh persendian terasa
tercabut habis saat ini. Aku memegang lutut dan meringis tertahan. “Lagipula kakiku kan masih
sakit…”

Ia berkedip dengan tatapan kosong. Tercengang bukan main namun tangannya hanya
mengibas surai. Mencoba memahamiku dengan menarik napas dalam-dalam kemudian
berjongkok. Ia memegang kepalaku dan aku menegang.

“Gadis manis, dengar ya. Kuncimu aku minta supaya bisa bantu kamu masuk ke kamar dan
tidur lebih cepat agar tidak berkhayal yang ‘iya-iya,’ karena sekarang sudah pukul setengah dua
pagi. Lagipula main kuda-kudaan dijam segini sehabis gendong kamu ke sana kemari, masuk
akal?”

“Nggak.”

“Ya sudah,” ujarnya mengernyit. Kemudian meminta kunci itu kembali dengan gerakan
tangan. Aku masih belum beranjak dari perkataannya barusan karena ada yang terasa
janggal.“Tapi, kenapa yang ‘iya-iya’? maksudnya apa?”

Ia berdiri. Tak lama mencoba menjawab dengan senalar mungkin. “Maksudku, ‘Hiya!
Hiya!’ begitu. Kan main kuda-kudaan,” katanya yang tidak kusangka dengan peragaan. Aku
yang sudah terlanjur mendongak jadi ilfeel setengah mati.

“Kamu mesum sekali ternyata.” Membuatnya menyunggingkan senyuman canggung.

“Mangkanya jangan suka memancing.”

“Bukannya kamu yang suka memancing?”

“Siapa bilang?”

“Tadi di mobil pas jalan ke rumah Pak Rumi.”

“Nggak tahu. Lupa.”

“Mudah sekali hidup jadi orang amnesia ternyata.”

“Sudah, kemarikan kuncimu cepat!”

“Nggak perlu, aku bisa sendiri.”

“Jangan mengada-ngada.”

“Itu lebih baik daripada membuat bencana.”

“Maksudmu?”

“Sudahlah. Masuk saja duluan kalau memang mengantuk. Aku mau diam dulu di sini.”

Hening menghantam kepalaku karena tak disangka ia memutuskan masuk ke dalam


kamarnya tepat disebelahku begitu saja. Bunyi ayam yang berkokok sudah terdengar dari
kejauhan dan aku lagi-lagi menghabiskan malam tanpa terlelap. Masih sangat gelap sekarang dan
sebenarnya aku sangat takut. Namun beberapa menit kemudian Esa keluar. Aku terkejut. Ia
membawa dua mug besar yang sudah terisi seduhan kopi instan. Sambil menyodorkan itu, tanpa
sadar bibirnya dibentuk manyun seperti anak kecil. Ia berkata, “maaf.” Dengan sungguh-
sungguh.

“Maaf buat apa?”

“Karena bercanda berlebihan?” ia memiringkan kepala sedangkan aku tersenyum sambil


mengambil kopi tersebut. “Nggak, kok,” ujarku pelan. “Aku malah merasa berterima kasih
banget sama kamu sampai-sampai bingung harus balasnya bagaimana.”

Tatapannya seperti orang prihatin sedangkan suhu dingin malam semakin menusuk. Ia
duduk di sampingku dan menaruh cangkirnya. Canggung mengusik segelintir niat saat kutahu
dia tengah membuka jaket kembali untuk maksud yang sama. Melirik hati-hati sebelum dengan
berani membentangkannya di punggungku dan tanpa sengaja menatap mataku yang bergetar.

“Aku yang minta maaf, Sa,” ucapku pelan. Alisnya yang sempurna naik sedikit. Ia jadi
tampan sekali kalau diperhatikan lebih lama.

“Ajakan jadian tadi jangan dianggap serius, ya. Aku Cuma bercanda.”

Ia pasti menganggapku aneh. Dulu, ibuku sering mewanti-wantiku untuk tidak bermain-
main dengan urusan cinta saat remaja. Sama seperti yang diumpakanArmy pada Jimin BTS.
Katanya, Jika sekali Jim-in, maka kau tak akan pernah bisa Jim-out. Log-in ke dalam kubangan
perasaan di masa labil seperti ini, membuat tombol log out jadi mustahil terlihat. Aku tidak
menyalahkan Jimin karena membuat anak remaja atau bahkan para orang tua tergila-gila
padanya. Tapi yang kumaksud saat ini adalah bahayanya pertemuan dua insan yang saling
menantang bencana kala memulai takdir layaknya bermain game.

Perasaan seperti ini meski kesannya bermain-main, tetapi dampak yang dihasilkan selalu
membutuhkan penanganan yang lebih serius. Semua hal yang menyenangkan akan tertinggal.
Sekolah, hobi, pekerjaan, bahkan mimpi. Gadis-gadis belia yang sudah terjebak di dalamnya
tidak akan pernah bisa memikirkan ini karena sudah kepalang basah mengandung bayi di dalam
rahimnya. Pernikahan, tempat tinggal, biaya sekolah anak, tidak pernah ada dalam rencanadini
yang ternyata berkelanjutan tanpa akhir yang jelas bahkan sampai menjelang kematian.
Kemudian kekerasan KDRT, anak-anak yang putus sekolah atau broken home,adalah salah satu
pembuka dalam sederet rangkaian masalah besar yang nantinya akan terus menyambar satu sama
lain.Tidak. Aku menggeleng. Jauh sebelum Ibu mewanti-wantiku seperti itu, aku memang tidak
pernah berniat untuk melakukannya.

Jadi, sambil mengingatkan diri kembali pada hal tersebut, aku segera memasang tembok
penghalang untuk melindungi diri sendiri. Takut terjerembab ke dalam permainan nafsu bersama
pria dihadapanku ini.

“Kamu takut?”tanyanya spontan. Aku terkejut. Itu terdengar seperti tengah


memastikanatas apa yang baru saja bergelung dalam benak. Aku bergeming, mendadak bergidik
ngeri kalau benar seandainya ia bisa membaca pikiran orang lain.

“Aku—”

“Takut kalau melewati batas?”

Tepat sekali, astaga.Diacenayang, ya?

Aku menatapsyoksedangkan ia malah terkekeh bebas. Menarik kedua lengannya cepat


untuk merangkul kedua lututnya sendiri.

“Kamu tahu, kalau seandainya aku benar seperti apa yang kamu pikirkan sekarang,
seharusnya tadi kamu berakhir di depan gang rumah pak Rumi. Di sana sudah tempatnya gelap,
sepi,ada kuburannya lagi. Jadi,kalau terjaditindak asusila atau pelecehan seksual yang
seandainya aku lakukan kepadamu, mayatmu bisa langsung kukubur di sana. Siapa yang curiga
mayat bekas pembunuhan jika letaknya di pemakaman?”

Aku seketika merinding hebat. Rasanya seolah berayun di Nevisswing. Mudah sekali dia
berkata seperti itu?

Rasa ngeri dibawah perut naik bagai pengukur tensi. Esa terkekeh lagi, persis seperti badut
psikopat. Aku jadi menyerah terhadap pikiranku sekarang yang mendapati keadaan kos yang sepi
juga kondisi yang suram.

Remang-remang lampu kuning, suara tengkerek yang bersahut-sahutan, long-longan anjing


dari kejauhan. Aku benar-benar sial jika seandainya ia menyadari kondisi ini untuk melakukan
apa yang ia katakan tadi. Dan benar saja, tiba-tiba suasananya berubah mencekam kala ia
terdiam. Benar-benar hening yang langsung membuat tubuhku lemas seperti tanpa tulang. Dia
menatapku dengan mata merahnya setelah memperhatikan kakiku yang lumpuh. Ini bahaya.

“Esa…”

Perlahan ia menatapku lekat-lekat sambil menggeser tubuhnya mendekat. Kilatan


dimatanya berkabut membuat upayaku tidak lagi berdaya. Raga secepatnya mati rasa dan isi hati
ini penuh dengan tinta penyesalan. Aku memejamkan mata kuat-kuat dan mulai berdoa kepada
Tuhan atas segala nasibku.

Napasnya berhembus cepat. Tiba-tiba aku mengingat papa dan mama atas janjiku untuk
membuat mereka bahagia. Aku meminta maaf karena selama ini tidak pernah bersyukur. Aku
meminta maaf karena menghabiskan hidup sebagai orang payah yang tidak tahu caranya
menggapai mimpi. Aku meminta maaf kepada seribu bintang disetiap malam yang selalu
menerangi langit ketika aku kehilangan asa, dan kukatakan maaf yang sebesar-besarnya kepada
diriku sendiri karena tidak bisa mencintainya sepenuh hati.

Tak lama kurasakan detak jantungkuberhenti berdetak.

Sepertinya aku sudah mati.

“Noumi…?”

Hening. Kurasakan tangan dinginnya menyentuh pipiku yang tertutup surai. Kedua
tanganku bertaut erat dibawah namun sentuhannya terasa khawatir.

“Hei… kenapa?”

Kudapati wajahnya kembali seperti bentuk semula. Ia menatapku, heran. Mencoba


tersenyum untuk membalikkan suasana sebelum beberapa detik kemudian jantungku terasa
berpacu kencang secara mengejutkan, membuat tangis pun menjadi pecah tak terkendali.

“Hei-hei-hei…! Kenapamenangis?”
Ia memegang pucuk kepalaku, terlihat bingung dan bersalah. Karena tak tahu harus berbuat
apa, ia membawaku kedalam dekapannya sedangkan aku semakin menangis kencang, terisak
dengan dada yang sesak. Ia mengusap-usap punggungku gusar, seperti menyembuhkan tangan
anak kecil yang terjepit pintu dengan cara ditiup, Esa juga berusaha menenangkan dengan terus-
menerus mengusappunggung dan suraiku sambil mengeratkan pelukannya.

“Aku minta maaf, Noumi. Aku nggak bermaksud apa-apa.”

***

Sekarang kondisi sudah aman. Desiran napas dan darah bekerja kembali dengan baik. aku
menoleh ke samping. Esa terlihat menguap disebrang. Ia mengambil jarak dua meter untuk
duduk berjauhan denganku. Sesekali aku menghirup kembali cairan yang nyaris menetes dari
lubang hidung juga merasakan mataku bengkak karena menangis terlalu kencang tadi. Esa
melamun, kemudian berdeham.

“Aku nggak nyangka kamu bakal sehisteris itu.”

Aku tertawa pelan. Mengingat caranya terkejut tadi kalau dipikir-pikir sukses membuat
lega dalam sekejap.

“Maaf… aku orangnya overthinking. Dan sudah sering kali juga Overhang.”

Ia seperti baru tahu istilah itu sampai rela menghadap ke arahku.

“Pernah pingsan juga, nggak?”

“Nggak. Cuma nangis histeris, kayak tadi.”

Ia mengangguk pelan. Aku mengernyit.

“Kenapa?”

“Nggak ada.”

Esa membasahi bibir bawahnya sejenak, kemudian menguap lagi.


“Okelah. Aku mau tidur dulu. Sampai ketemu besok.”

“Eh—”

Baru saja ia akan beranjak, namun kutahan.

“Kenapa?” tanyanyalagi dengan bibir yang terjatuh.

“Aku benar-benar minta maaf soal tadi… dan, sekarang?” Aku mengeluarkan kunci kamar
dan menunjukkannya dengan raut memohon meski kutahu ia sudah kelihatan lelah setengah
mati, tapi sudah tidak ada pilihan lagi, jadi mau tidak mau Esa mendekat untuk mengambil kunci
ditanganku untuk membuka pintunya.

“Aku yang seharusnya minta maaf sudah bikin kamu nangis,” ungkapnya dengan nada
pelan yang terdengar mengantuk. Aku hanya mengangguk. Berusaha memaafkannya dengan
tulus. Ia berbalik, melihatku bagai ikan duyung.

“Sudah. Sekarang mau kugendong?”

Aku mendongak sebelum merasakan tubuhku dalam hitungan detik langsung terangkat
dengan mudah. Mungkin sebagian orang tidak tahu menahu mengenai cara memperlakukan
orang lain atau cara merawat orang sakit. Namun dari Esa aku mengerti bahwa menggendong
orang yang cedera itu punya cara tersendiri. Aku bisa merasakan profesionalisme hidup.
Dibarengi afeksi pula.

“Biar pintumu kututup sekalipun tapi kalau kamu sendiri nggak bisa kunci, bagaimana?
Mau kukunci dari luar? Oh, atau kukunci dari dalam tapi aku keluar lewat jendela, gimana?”

Aku baru saja hendak menanyakanperihal mengunciku dari luar tapi Esa dengan cepat
mengalihkan fokus seseorang kepada solusi setelahnya. Dia benar-benar cepat. Tidak kusangka.

“Nggak perlu dikunci. Biarkansaja.”

“Kenapa?”

“Aku sudah biasa. Soalnya dirumahku dulu biasa nggak kunci pintu kalau malam.”
Ia mengerutkan kening saat mencobamengatur letak kedua kakiku di atas kasur lalu
menaikan selimut sampai ke leher. Menyempatkan diri untuk bertanya,“kenapa?” lagi-lagi,
membuat alisku mengendik.

“Nggak tahu.”

Ia lalu menjadi penasaran.

“Kalau masuk maling, bagaimana?”

“Buktinya kan nggak pernah ada.”

“Jadi tunggu kejadian dulu baru kunci pintu?”

Benar juga. Tanpa bantahan otakku seperti terhenyak ditembakteori sederhana begitu.

“Kukunci saja, sudah! Jangan banyak alasan!” tukasnya sambil mengenakanjaket kembali.

Hening masih merajai ruang. Meracuni pikiran dan hati yang kadar sensitifitasnya tinggi.
Barusan itu adalah nada yang terbilang kasar. Padahal itu menjadi alasan yang kuat bagiku untuk
pergi dari rumah setelah alasan pertamaku; mengejar mimpi.

Aku mendadak ingat perkataan ayah yang selalu menyepelekan apapun yang kukerjakan
dan menentang dengan berkata, “sudah!” yang berarti hal itu harus segera disudahi, membuatku
harus bersusah payah mengubur ambisi dan membatasi kebebasanku.

Sederhananya aku adalah manusia yang paling tidak mengizinkan diriku sendiri untuk
bahagia. Kecerobohan adalah malapetaka sedangkan standar kesempurnaan tak kunjung terlihat
dari ujung langit. Haruskah aku menjadi orang yang lebih baik atau lebih baik tidak melakukan
apapun agar tidak terluka? Aku tidak punya harapan jadi aku hanya membuat mimpiku dengan
khayalan. Tapi belakangan khayalan meninggalkanku tanpa ancang-ancang sehingga aku terluka
diserang kenyataan.

“Hei.”

Esa menegurku karena terlihat melamun. Ia sendiri sekarang sedang berdiri canggung
setelah mengunci pintu di sana. Mungkin ia merasakan keanehan atau sesuatu yang tidak biasa,
aku tak mengerti. Tapi berbalik memandangku, ia berdeham.
“Hm, pintunya sudah kukunci. Aku mau balik dulu. Tidur yang nyenyak.”

Aku mengangguk. Mengambil jeda beberapa mili detik untuk mengucapkanbalasan


serupa.“Iya. Kamu juga. Dan makasih banyak atas semuanya.”

Dan kukira akan berakhir, tapi tak tahunya ia menggeleng. Aku terpegun.

“Jangan berterima kasih terlalu sering, itu buat orang lain nggak nyaman,” tukasnya sambil
menggaruk tengkuk dan menyentuh hidungnya beberapa kali seperti terkena pilek.

“Kenapa?”

“Karenakupikir, memberikan sesuatu mungkin lebih pas dikatakan sebagai rasa berterima
kasih.”

Aku tertohok. Nyaris lupa kalau etika manusia memang seperti itu. Sudah lama hidup
dalam angan-angan, jadi membuat realitaku sulit untuk menyinkronkan diri. Mengedipkan kedua
mata. Sejenak, aku memberinya penawaran.

“Kamu mau dimasakin apa besok pagi? aku lumayan jago masak lho, selain air.”

Ia tertawa pelan. Mengendikkan bahunya seperti membiarkan apa yang diinginkan lawan.

“Apa saja.Aku makan apapun, kok, kecuali ikan.”

Kemudian ia melompat keluar jendela nyaris tanpa suara. Aku jadi terkagum dan paham
mengenai kewaspadaannya tentang maling. Tapi, apa katanya tadi? Dia tidak makan ikan…?
Kenapa?

***

Anda mungkin juga menyukai