Anda di halaman 1dari 156

1+1 dapat kulupakan

dimana aku lahir


bisa kulupakan

bagaimana rupaku
dapat kulupakan
hartaku, nyawaku dan seluruh hidupku
semuanya dapat kulupakan

tetapi satu yang tidak akan bisa kulupakan


kasih.....
sumber kehidupanku....

Amsal Foje
BAB I

Aku memandang bayanganku yang terpantul di kaca mobil sedan


di sebelahku. Aku begitu tampak berantakan dan berkeringat. Mataku
sayu seolah tidak punya harapan hidup. Memang susah punya mata
yang sayu. Belum lagi kulit yang berminyak dan terlihat kusam. Benar-
benar tidak enak dilihat.
Kembali aku melangkahkan kaki menuju terminal bus. Aku
melangkah dengan pasti menuju bus jurusan Merak dengan penuh
harap, semoga ada bangku kosong yang akan tersedia untukku.
Sampai di depan bus aku langsung melongok ke dalam dan
bernafas lega karena ternyata belum banyak penumpang yang naik.
Dengan cepat aku memilih tempat duduk dekat jendela. Aku bernafas
lega karena udara di dalam bus terasa sejuk. Di luar panasnya seperti di
neraka! ( Yah, berlebihan sih).
Aku membetulkan tempat dudukku agar bisa tidur dengan
nyaman. Tugas yang semalaman kuselesaikan benar-benar menguras
tenagaku. Jadi, sekarang aku bisa memulihkan tenaga dengan tidur
sepanjang perjalan pulang tanpa harus memikirkan angka-angka dan
teori-teori yang hampir membuatku ingin gantung diri.
GUBRAK!!!
Aku tersentak saat sebuah tas melayang dan jatuh di bangku
sebelahku. Aku menoleh ke arah asal tas itu dilemparkan dan disana
berdiri seorang cowo dengan gaya s8ter boy tersenyum lebar padaku.
Dengan ragu-ragu aku membalas senyumnya dan kembali memandang
keluar lewat jendela.
Cowo itu membanting tubuhnya dengan seenaknya ke atas
bangku. Ia melepas kacamatanya dan mengeluarkan mp4 dari dalam
tasnya. Tanpa mau menoleh aku terus melirik apa yang diperbuatnya.
Ia mengenakan earphone di kedua telinganya dan mulai
mendengarkan sebuah lagu. Entah lagu apa yang didengarkannya tapi
tiba-tiba ia bergerak-gerak keras sambil mengikuti gaya pemain drum.

2
Ia menoleh padaku sesaat dan tersenyum lagi kemudian ia
kembali asyik mendengarkan lagunya. Aku terdiam beberapa saat
melihat wajahnya...
Aku seperti mengenal wajahnya tapi entah dimana...sepertinya
aku sudah sangat lama mengenalnya. Lama aku terdiam dan berusaha
mengingat...karena tiba-tiba dadaku menjadi sesak saat menatapnya.
Rasanya sudah lama sekali mengenalnya....
Tapi sepertinya tidak juga karena...aku tidak pernah mengenal
orang norak seperti dia,,,,
Aku berusaha tidak peduli tapi cara ia menikmati lagunya benar-
benar sangat mengganggu. Tangannya ia lemparkan ke mana-mana
bahkan sampai terkena wajahku tapi ia tetap tidak merasa.
Rasa-rasanya aku tidak akan tidur tenang.
“ Get Reaaaaaadyyyyyyyy!!! Readyyyy!!! I will Rock you,
Babe!!!”
Kali ini ia bernyanyi dengan sangat keras hingga semua
penumpang yang lain menoleh dan mengerutkan wajah mereka karena
suara cowo ini sangat mengganggu.
“ Ma..maaf.” Aku memanggilnya untuk mengatakan kalau
suaranya sangat mengganggu. Tapi yang kuterima malah tangan yang
melayang dan...
JDUGGG!!!
Tangannya mengenai tulang hidungku. Spontan aku menjerit dan
membalasnya dengan memukulnya keras-keras.
Buk! Kupukul wajahnya dengan tinjuku walau tidak terlalu kuat
tapi sepertinya cukup untuk membuatnya merasa kesakitan. Ujung
hidungnya memerah.
Ia langsung menoleh dan memandangku dengan marah.
“ Apa-apaan nih!!” tanyanya dengan tidak terima. Ia melotot dan
memandangku dengan tajam seolah aku telah mengambil seluruh harta
warisan bapaknya.
Aku ingin membalas marah tapi tidak bisa. Akhirnya aku hanya
bisa menunjuk hidungku dan memandangnya dengan kesal.
“ Kamu memukul hidungku, tahu!” ujarku dengan nada kesal
sambil terus mengusap-usap ujung hidungku yang memerah. Mataku
sampai berkaca-kaca karena rasa sakitnya.
3
“ Gua ngga ngapa-ngapain kok. Kenapa bisa kena hidung lo!”
Dengan gemas aku menunjuk Mp4nya dan menirukan gayanya.
Lalu....
Jduk!!!
Dengan pelan aku memukul hidungnya lagi.
“ Suara lo keras banget. Semua penumpang keganggu gara-gara
suara cempreng lo. Lo bukan pengamen `kan?”
Cowo itu mengusap-ngusap hidungnya yang tadi kupukul dan
mulai melihat sekeliling. Sepertinya sekarang dia sudah merasakan
tatapan semua orang. Ia mengutak-atik Mp4nya dan mulai
bersenandung lagi dan menirukan drumer tapi kali ini dengan lebih
tenang.
Aku menarik nafas lega karena aku rasa aku sudah bisa istirahat
dengan tenang. Aku membetulkan tempat dudukku dan mulai
memejamkan mata.
“ Nama gua `J`. Kepanjangan dari Jacob. Kayak nama biskuit
`kan? Hehehehe...Nama lo siapa?”
Aku menoleh untuk menjawab pertanyaannya supaya ia cepat
diam. Aku ingin cepat-cepat tidur.
“ Nama gua Gladis. Salam kenal.” Ujarku sambil tersenyum
ramah lalu kembali melihat ke jendela lagi. Beberapa saat keadaan
sunyi. Aku pikir dia akan bertanya lagi. Aku menoleh padanya dan
ternyata dia sedang memandangiku dengan tatapan penasaran.
Apa sih yang dia lihat? Aku membalas tatapannya dengan garang
dan ia langsung menyeringai.
“ Pulang ke Merak sendirian? Eh, ngomong-ngomong pulang
atau mau jalan-jalan? Kalo gua sih lagi ada bisnis.”
“ Gua pulang ke Cilegon bukan ke Merak.” Jawabku dingin dan
dengan cepat kembali memandang ke jendela.
“ Oooo...Sama dong kalo gitu. Nanti turun barengan ya? Gua
belum tahu banyak soal Cilegon. Lo mau bantuin gua ngga?”
“ Kalo ngga susah, gua mau bantu.”
`J` tidak melanjutkan pertanyaannya. Ia malah berusaha melihat
wajahku. Aku terus menyembunyikan wajahku ke arah jendela tetapi ia
malah ngotot ingin melihat. Ia terus mengejar wajahku.

4
“ Kamu tidur ya?” tanyanya dengan wajah polos dan tanpa rasa
bersalah.
Aku tersenyum lebar dan mengangguk. Ia membalas tersenyum
dan menunjukkan senyum yang menurutku cukup manis. Yeah, tetapi
tetap saja aku berharap ia tidak menggangguku lagi. Aku butuh tidur
karena aku sangat kelelahan.
“ Jangan tidur dong! Temenin gua ngobrol!”
Aku menggretakkan gigiku dengan keras lalu menoleh padanya.
Ia tersenyum senang dan sangat manis. Akan lebih manis kalau dia
mingkem, nutup mata terus tidur.
“ Mau ngobrol apa?”
“ Apa aja. Misalnya kamu kuliah dimana?”
“ Gua kuliah di Universitas KK jurusan Psikologi angkatan
2004.”
“ Universitas KK? Dimana tuh. Gua kagak pernah denger.”
“ Yang deket Universitas TA.”
“ Oh, yang gedungnya kecil banget itu ya? Kok mau kuliah di
situ?”
Aku tersenyum dan melotot padanya. Berani-beraninya dia
menghina kampusku. Biar begitu aku bangga kuliah di sana.
“ Iya, gua mau. Biar ngga pusing ngeliat orang-orang aneh...”
`Kayak elo..` bisikku pelan.
“ Apa?” tanyanya berusaha mendengar kata-kata terakhirku.
“ Ngga ada apa-apa kok. Cuma tadi ada kambing rese.”
“ Ha?...Kenapa pilih jurusan psikologi?”
“ Mau bantuin orang biar ngga salah arah aja.”
“ Maksudnya?”
“ Yaaa....gitu dehhh!”
“ Tanya gua dong. Gua kuliah dimana gitu.”
“ Hai...lo kuliah dimana?”
“ Gua kuliah di Universitas SI. Jurusan seni musik.”
“ Oooo...”
“ Kok cuma Ooo doang?! Biasanya orang pasti bilang hebat.”
`Gua bilang hebat kalo lo ngga ganggu gua.` bisikku lagi.
Untungnya kali ini dia tidak mendengarku.
“ Hebat...”
5
“ Ih, datar banget! Lo cewe aneh ya?!”
“ Lo cowo aneh ya!?” aku membalas pertanyaannya dengan
semangat. Sudah dari tadi aku ingin mengatakannya.
“ Emang gua aneh ya?!”
“ Bangettttt!”
“ Tapi cewe-cewe kenalan gua bilang gua keren loh.”
` Siapa peduli. Palingan mereka buta atau minimal picek.`
“ Oh, ya?”
“ Iya. Banyak cewe-cewe yang ngejar-ngejar gua.”
Rasanya aku mau muntaaaaaaahhhhhhhhhhh!!! Kayaknya dia
ngga pernah ngaca deh.
“ Capek dong dikejar terus.”
“ Ya, gitu deh.”
“ Kenapa mereka ngga ngejar kambing aja ya?”
“ Hah?”
“ Hah apanya?”
“ Tadi lo bilang apa?”
“ Emang gua bilang apa?”
“ Oh, gua salah denger ya?”
Heheheehe...lo ngga salah denger. Emang mendingan ngejar
kambing dari pada ngejar cowo yang ribut kayak elo.
“ Lama ya. Kapan nyampenya sih?”
“ Lima jam lagi.”
“ Hah!? Yang bener? Temen gua bilang cuma 2 jam.”
“ Temen lo salah kali.”
“ Dia `kan tinggal di Cilegon juga. Gimana bisa salah?”
“ Oh...lupa kali.”
“ Masak sih?”
“ Yaaa...giiiiiiiituuuu...deeeehhhhhh!!!”
Siapa suruh ganggu gua. Makan tuh 5 jam.
Setelah mengetahui perjalanan menuju Cilegon butuh 5 jam, `J`
menjadi lebih tenang dan mulai mendengarkan Mp4nya. Lama-lama ia
mulai tertidur.
Akhirnya, aku bisa tidur dengan tenang. Semoga ia tidak bangun
sampai bus ini tiba di Merak. Biar saja dia kesasar.
Jahat? Memang.
6
***

Aku mengerutkan keningku dan menarik nafas dalam-dalam


karena kesal. Sepertinya cowo ini benar-benar harus mengekor di
belakangku. Sepertinya Tuhan marah karena aku telah membohongi
cowo ini. Sekarang aku kena batunya.
“ Lo mau pulang ke Cilegon juga? Kita sama-sama kesasar nih.
Lo anterin gua sampe cilegon ya?”
“ Boleh sih... tapi masalahnya ongkos gua pas-pasan. Gua ngga
tahu bisa nganter lo atau ngga.”
“ Biar gua yang ongkosin deh.”
Aku terdiam dan ingin cepat-cepat menolak tawarannya tapi
kalau aku tolak mungkin aku tidak akan bisa sampai rumah dengan
selamat. Yah mungkin selamat tapi kaki gempor karena jalan kaki.
Duuuhhhhhhhhh, kenapa aku pakai acara ketiduran di bus segala
sih?!!!!
“ Gimana Gladis? Mau bantu gua ngga?”
Dengan terpaksa aku mengangguk mengiyakan permintaan `J`.
Semoga dia tidak menyusahkan aku.
“ Wah, makasih! Lo emang temen yang baik!”
Siapa yang temen lo? Sejak kapan lo jadi temen gua?!
“ Ayo kita berangkaaaaaaaaaatttttt!!!!”
Tanpa tanya-tanya dulu `J` langsung menarik dan menggandeng
tanganku tapi aku langsung menghempaskannya. Ia tampak sangat
terkejut.
“ Sori, gua ngga biasa digandeng cowo.”
“ Oh, sori. Gua ngga tahu. Kita berangkat?”
Aku melangkah mendahuluinya dan naik ke atas angkutan kota
menuju Cilegon.
Di angkutan `J` terus bersenandung dan mengajak supir
mengobrol. Dia sampai tukeran nomor ponsel dengan supir angkutan
itu. Ada saja yang ia obrolkan dengan supir angkutan itu. Tidak ada
habis-habisnya. Aku yang mendengarkannya saja pusing.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 1,5 jam kami sampai di
depan Matahari Departemen Store dan turun di sana.
“ Kita kemana sekarang?” tanya ` J` penuh semangat.
7
“ Lo mau kemana emangnya? Kalau gua sih mau pulang ke arah
sana.”
Aku menunjuk ke arah belokkan sebelah kiri di perempatan.
Moga-moga sampai di sini `J` mencari jalan tujuannya sendiri.
“ Mmmm, gua boleh nginep di tempat lo ngga?”
Haaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhhh!!!!!!!!!!!!!!
“ Apa lo bilang!?”
“ Gua boleh nginep di tempat lo ngga?”
“ Ha-Ha-Ha...lo jangan bercanda dong.”
“ Gua ngga bercanda. Gua ngga tahu harus kemana. Sejujurnya
gua...lagi kabur dari rumah.”
“ HAAAAAAAHHHH...Lo jangan bercanda dong. Kalau mau
kabur ke tempat lain aja! Gua ngga mau nyembunyiin lo!”
Aku bergegas berlari ke arah pangkalan tukang ojek dan menaiki
salah satu motor yang sudah siap memberikan jasanya.
Entah mimpi apa aku semalam. Kenapa bisa bermasalah dengan
orang macam dia. Semoga aku tidak akan pernah melihatnya lagi.
Aku memang kejam dan berdarah dingin. Mau bagaimana lagi.
Aku tidak bisa memasukkan orang yang baru aku kenal ke dalam
rumah. Siapa yang tahu kalau-kalau ternyata dia teroris atau buronan
yang sedang dikejar polisi. Aku tidak mau bermasalah dengan
kriminal.
Sampai di rumah aku langsung turun dan membayar ojek.
Ternyata di depan rumah Mama sedang membakar sampah. Beliau
tersenyum dengan hangat dan perlahan menghampiriku.
“ Sudah pulang? Kok keliatan capek sekali kamu, Sayang.”
Aku menghampiri Mama dan memeluknya dengan hangat. Kami
masuk ke rumah sambil aku menceritakan kejadian yang terjadi di
perjalanan.
PRANNGGGG!!!
Aku dan Mama langsung menoleh ke belakang saat mendengar
suara barang pecah. Dan aku melihat dia di sana dengan papan
skateboardnya.
“ Halo Tante!!!” seru `J` dengan senyum lebarnya sambil
mengumpulkan pecahan pot bunga Mama.
Mama menghampirinya dan tersenyum hangat.
8
“ Udah biarin aja. Cari siapa ya De?” tanya Mama dengan
ramah. Dengan kesal aku mengikuti Mama dan bertolak pinggang
melotot melihat ke arah `J`
“ Ternyata Gladis memang anak Tante toh.”
Mama menoleh ke arahku dan mengerutkan dahinya. Aku juga
jadi ikutan bingung.
“ Memang kamu siapa?” tanya Mama kali ini dengan nada yang
lebih penasaran.
“ Saya Jacob, Tante. Anak Pak Petrus temen sekantornya Om
dulu.”
Mama membulatkan mulutnya tanpa suara. Bergegas ia
membukakan pintu pagar untuk `J`. Aku semaaakin bingung.
“ Sudah besar sekali kamu `J`. Terakhir ketemu kayaknya kamu
masih ngompol di celana deh.” Mama merangkul `J` dengan akrab dan
berjalan masuk ke rumah tanpa mempedulikan diriku.
“ Gladis, bikinin minum buat `J` ya?”
Nah, Looooooohhhhhhhhhhhhh!!! Kenapa sekarang jadi gua
yang disuruh-suruh?
Tuhannnnnnn, apa maksudMu mengirim dia?!!!
****
“ Gladis, dia ini anak bungsu temen Papa waktu tugas di Timor
Timur. Dulu kalian juga pernah main bareng. Waktu kalian umur 5 dan
7 tahun.”
Aku tersenyum kecut mendengar cerita Mama.
“ Mana inget, Ma.”
Tanpa mempedulikan gumamanku Mama mulai ngobrol lagi
dengan `J`. Setiap kali aku berniat pergi meninggalkan mereka, Papa
langsung memanggilku dan mengajak bicara supaya aku ikut
bergabung dengan pembicaraan mereka.
Aku mau gabung kalau makhluk itu sudah keluar dari rumah ini!
“ Gladis, tolong beresin kamar di atas ya? `J` akan tinggal di sini
untuk liburan semester ini. Dia sedang mau liburan katanya.”
BAAAAAAGGGGGGGGGGUUUUUUUUUSSSSS...!!!
Duaniaku semakin HANCUUUUURRRRRR!
Dengan lemas aku naik ke lantai 2. Rasanya aku akan melewati
hari-hari yang menyebalkan. Kenapa aku harus berjodoh dengan dia.
9
Hiiiiiiiiiiiiieeeeeeehh!!!Kenapa aku harus terganggu dengan
keberadaannya. Aku `kan bisa bersikap biasa saja dan tetap tenang.
Aku tidak mau liburan panjangku menjadi suram hanya karena
pikiranku terganggu dengan hal yang `tidak penting`.
“ Ok, gua ga akan ngomel-ngomel lagi. Pikiranmu yang
menentukan kebahagiaanmu Gladis. Tetap semangat! Semangat!
Semangat!”
“ Lagi ngapain sih?”
Aku melemparkan bantal guling ke arah `J` dengan spontan. Dia
mengagetkanku. Tiba-tiba dia sudah nongol di pintu. Kayak hantu saja.
“ Ngga liat kalo gua lagi ngapain?”
“ Liat sih. Tapi dari tadi lo ngomong sendiri.”
` J` mengambil salah satu bantal dan menyarunginya. Ia
membantuku membereskan tempat tidurnya. Baguslah kalau dia mau
membantu.
Selesai menyarungi bantal ‘J’ sibuk memandangiku. Ia tidak
mengedipkan matanya sama sekali. Aku menghentikan kegiatanku
memasang seprai dan memandangnya dengan kesal.
“ Apa liat-liat?!” tanyaku, galak. ‘J’ tidak menjawab. Ia hanya
menunduk dan menarik napas dalam. Ia tampak berpikir sangat keras
dan tiba-tiba ia memandangku lagi tetapi kali ini dengan tatapan kesal.
“ Lo bener-bener lupa sama gua, Dis?” tanyanya terdengar putus
asa.
“ Mau lupa gimana? Gua ngga ngerasa kalau kita pernah
ketemu!” ujarku dengan nada sinis. ‘J’ mengatupkan rahangnya dan
terus memandangku.
Dasar cowo aneh! Bodo, ah!
‘J’ terus mengamatiku dan tidak bergeming dari tempatnya sama
sekali. Sampai akhirnya aku selesai melakukan tugasku ia malah
mencegat aku di pintu.
“ Eh, ngomong-ngomong lo benci banget ya sama gua?”
“ Hah?”
“ Kayaknya lo ga suka kalau gua ada di deket lo.”
“ Mmm...gimana ya? Sejujurnya iya.”
“ Kenapa?”

10
“ Gua ngerasa ngga nyaman aja. Kayaknya ada sesuatu dalam
diri lo yang mengharuskan gua menjauhi elo.”
`J` mengerutkan keningnya dan tersenyum geli. Dia tertawa dan
lama kelamaan tawanya semakin keras membuat kupingku pengang.
“ Gua tahu kenapa lo ga suka gua ada di dekat lo. Hahaha..”
“ Kenapa?”
“ Lo takut sampe naksir sama gua `kan? Iya ‘kan?”
Ya ampun, dia benar-benar membuatku mual dan muak. Aku ngga
bisa berdebat lagi dengannya. Lebih baik aku pergi.
“ Selamat tidur Mr. Narsis.”
Aku melangkah keluar dari kamar `J` dan meninggalkan cowo itu
yang masih tertawa seolah-olah apa yang dikatakannya tadi benar
adanya.
Dalam mimpi, lo baru boleh mikir kayak gitu!!!
***
“ Gladiiiisssss.....Gladiiiisssss....”
Aku membuka mataku perlahan mendengar namaku dipanggil.
Cahaya silau menerobos masuk ke dalam mataku sehingga aku sulit
untuk melihat. Setelah terbiasa dengan cahaya aku baru bisa melihat
siapa yang memanggilku.
“ HUAAAAAAAAAAAAAAAA........!!! Siapa yang bolehin lo
masuk ke kamar gua!!! PAPA!”
Aku mendorong `J` keluar dari kamarku dan menendang
pantatnya dengan keras hingga ia jatuh terduduk.
Hiiiiiiiiighh.....Dasar cowo ngga punya sopan santun!!!
“ Ada apa Gladis?”
Mama tergopoh-gopoh datang dari dapur dan Papa muncul masih
dengan handuk di pinggangnya.
“ Dia masuk kamarku sembarangan!”
Papa dan Mama langsung melihat ke arah `J`. Cowo itu
menyeringai dan berusaha bangkit berdiri. Ia meringis pelan sambil
mengusap pantatnya yang tadi kutendang.
Biar tahu rasa!
“ Saya cuma mau bangunin Gladis kok Om, Tante. Habisnya anak
perempuan kok masih tidur udah jam segini.”

11
Aku melihat ke arah jam dinding kamarkua dan menunjukkan
sudah pukul setengah 12 siang. Wajahku terasa panas. Aku merasa
tersindir dan diejek. Tahu apa dia tentang anak perempuan!
“ Boleh aja `J`. Tapi bukan begitu caranya. Di rumah ini laki-laki
dilarang masuk kamar perempuan sembarangan. Kalau mau bangunin
dari luar saja. Bisa `kan ngikutin peraturan ini?”
“ Bisa sih Om. Sori deh, Dis. Gua `kan ngga tahu.”
“ Makanya tanya-tanya dulu! Ini `kan bukan rumah lo, jadi jangan
sembarangan!”
BRAK!
Aku masuk ke kamar dan membanting pintu keras-keras. Kukunci
pintu kamar dengan kesal. Sepertinya suasana hatiku akan sulit untuk
diubah menjadi senang kalau ada dia terus di rumah ini.
Bodo amat!!! Gua ngga mau mikirin terus!
****
Karen tersenyum memandangku dengan lembut. Semua
kekesalanku pada `J` kuluapkan padanya. Sekarang aku merasa lebih
lega.
“ Gladis, Gladis. Hihihi...lo tuh lucu. Kenapa juga lo pusing
banget sama dia. Gua udah liat dia tadi di depan. Kayaknya orangnya
baik kok. Kenapa kamu pusing banget cuma gara-gara dia narsis. Apa
karena takut predikat narsis lo diambil sama dia?”
“ Yeeeeeeeeee....gua `kan ga senarsis itu `Ren. Gua kesel aja
sama ocehan dia itu. Aduh pokoknya gua ngga suka sama gaya-
gayanya dia yang serampangan itu!”
“ Serampangan gimana? Dia rapih kok.”
“ Maksud gua kebiasaan ngomongnya yang ngga bisa diem itu!
Ada aja yang dia omongin.”
“ Hahaha....Emang dia ngga boleh ngomong ya, Dis? Dia ‘kan
punya mulut kalau ngga dipake kasian dong. Hehehe..”
“ Bukannya gitu juga. Pokoknya kalo denger dia ngomong tuh
pusing banget. Suka seenaknya aja ceplas ceplos. Kagak dipikirin dulu.
Tahu deh tuh buat apa otak dipasang dikepala.”
Karen menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah lakuku
yang tidak biasanya.

12
Memang aku biasanya tidak seperti ini. Hanya pada 1 makhluk itu
saja aku gampang kesal. Mungkin karena dari pertama dia sudah
memberikan kesan jelek padaku. Karen pasti tahu kalau aku yang saat
ini sedang kesal bukanlah diriku yang sebenarnya.
Karen adalah sahabatku sejak di bangku SMP jadi dia sudah
mengenalku luar dalam. Aku tidak perlu mengatakan apa penyebab aku
marah atau kesal dia akan langsung mengerti.
TOK!TOK!
“ Masuk!” seruku saat mendengar suara ketukan di pintu kamarku.
Tadinya kupikir yang akan muncul adalah Mama tapi ternyata `J`
sambil membawa sirup jeruk.
“ Nih, minumannya. Lo bisa ngambil sendiri `kan? Kenapa harus
nyokap lo yang nyiapin sih? Manja banget.”
Kupingku mulai memanas lagi mendengar kata-kata `J`. Aku
belum pernah ditegur dengan cara seperti itu. Dia berbicara seolah-olah
itu adalah hal yang biasa. Padahal ditegur di depan orang lain
merupakan hal yang paling memalukan bagiku.
Karen memandangku memberi tanda agar aku bersabar. Aku
menarik nafasku dalam-dalam dan tidak membalas ucapan `J`.
`J` memandangku beberapa saat lalu tersenyum pada Karen.
“ Kalau perlu yang lain bilang aja ya? Gua ada di dapur bantuin
Tante bikin cookies. Ntar gua bawain, lo pasti suka deh. Resepnya dari
gua lohh! Tunggu ya!”
Saat `J` menghilang di balik pintu aku mencibirkan bibirku.
“ Siapa yang butuh kuenya?! Palingan nanti aku keracunan!”
“ Gladis...Kayaknya dia ngga kayak yang lo kira deh. Dia emang
`cerewet` tapi selain itu dia kelihatan baik banget.”
“ Lo jangan tertipu dengan tampangnya yang cute itu. Liat aja cara
dia yang nyerocos tanpa jeda n ngga dipikirin.”
“ Iya sih. Tapi semuanya yang dia bilangin itu bener kan, Dis.”
“ Maksud lo, gua yang salah?!”
“ Nggg......gimana ya , Dis.”
“ Iya juga sih. Emang gua yang salah. Tapi `kan caranya bisa
dengan cara yang lebih baik. Gua malu ditegor di depan lo, Ren.”
“ Yah, di depan gua ini, Dis.”
“ Tetep aja! Buat gua dia tetep nyebelin.”
13
***
“ Jangan bilang-bilang ya, Ren. Ini rahasia.”
Karen terkikik memandangku. Ia melihat ke arah kantong plastik
kue yang sudah kosong. Buat dia memang lucu karena aku
menghabiskan cookies buatan `J`. Tapi buatku itu tidak lucu. Kuenya
memang enak tapi aku memakannya sebagai pelampiasan.
Nggg....sebenarnya setengah pelampiasan karena kuenya memang
benar-benar enak.
“ Yuk, kita berangkat!”
Aku dan Karen berencana pergi untuk reunian dengan teman-
teman SMU kami. Sudah lama kami tidak bertemu dengan mereka.
Jadi kami ingin melepas rindu di SMU kami yang lama. Sekalian
menikmati masakan Ibu Kantin.
“ Gladis, kamu ajak `J` juga dong!”
Langkahku dan Karen langsung terhenti saat mendengar perintah
Mama. Dengan berat aku menoleh dan melihat wajah `malaikat` itu.
“ Papa udah ngasih ijin buat kamu pergi dengan mobil tapi ngajak
`J` dan biar dia yang nyetir.”
Aku bingung mengekspresikan perasaanku sendiri. Apakah aku
harus senang ataukah aku harus sedih karena harus berada 1 mobil
dengan `J`.
Huuuuuuuuuhhhhhhhhhhh...rasanya kesal sekaliiii!!!!
“ Ayo, kita berangkat!”
Aku memutar bola mataku dengan muak mendengar cara `J`yang
sok memimpin.
Kami berangkat dengan menaiki sedan BMW Papa. Papa jarang
memakainya. Biasanya beliau berangkat dengan motor. Sekarang
beliau meminjamkannya pada `J`, ini merupakan suatu keajaiban. Papa
paling sulit diminta meminjamkan mobilnya. Kalau mobil itu tergores
sedikit saja dia bisa marah 1 bulan.
Ternyata `J` pintar mengemudi juga. Dalam 10 menit saja kami
sudah sampai di SMU kami. `J` memarkirkan mobil Papa di tempat
parkir sementara aku dan Karen pergi ke kantin tempat teman-teman
kami sudah berkumpul. Serempak mereka memanggil namaku dan
Karen.
“ Gimana kabar lo, Dis? Tambah cakep aja lo!”
14
Yuli, salah satu teman dekatku di kelas tiga memelukku dengan
erat. Ia terlihat berbeda sekali. Tubuhnya yang dulu gembrot sekarang
terlihat ramping.
“ Lo sendiri kok bisa nongol dengan badan OK begini?”
Yuli hanya tersenyum tersipu mendengar pujianku. Tak lama
kemudian ia menoleh ke arah sekolah dan tersenyum lebar.
“ Fans berat lo udah dateng tuh.”
Aku menoleh ke arah pandangan Yuli dan merasakan jantungku
berdegup kencang. Tak jauh dari hadapanku Ryan sedang melangkah
ke arahku. Senyumnya yang dulu masih sama, selalu bisa membuatku
terpaku.
“ Halo Gladis. Apa kabar? Udah lama ngga ketemu ya?”
Ryan mengulurkan tangannya dan aku menyalamnya dengan erat
dan cukup lama. Kami saling berpandangan dan aku merasakan saat itu
seolah-olah hanya kami berdua yang hidup di dunia.
Perlahan aku merasakan kehangatan dari dada sampai ke pipi. Dan
lama-lama wajahku terasa panas. Dia selalu membuatku merasa ngga
karuan seperti ini.
“ Apa kabar? Lo ngga banyak berubah ya?”
“ Lo juga, Dis. Tetap cantik dan hangat.”
Aku tersenyum tersipu mendengar kata-katanya. Kurasakan
rongga dadaku terasa penuh dengan kehangatan. Aku rasa, aku masih
menyukainya.
“ Gua jadi nyesel ha......”
Aku menundukkan kepalaku sebagai tanda agar ia tidak
melanjutkan kata-katanya. Aku tahu dia sangat merasa bersalah dengan
keputusannya sendiri. Memang sangat menyakitkan untukku dan dia.
Tapi aku merasa itulah yang terbaik.
Hubungan kami terputus karena Ryan berpacaran dengan salah
satu adik kelas kami. Aku baru menyadari perasaanku saat Ryan sudah
tidak sendiri lagi. Lalu...kami saling mengungkapkan perasaan kami
saat perpisahan sekolah. Ternyata Ryan memiliki perasaan yang sama
denganku. Tapi semuanya sudah terlambat. Ryan telah memutuskan
untuk terus bersama-sama dengan pacarnya.
Aku tidak bisa protes dong. Ryan memang cinta pertamaku yang
sekaligus sahabat laki-laki terbaikku dan aku ngga pernah menyesal
15
untuk mencintainya. Aku bangga bisa mengenal pribadinya. Sekalipun
aku tidak bisa memilikinya aku tetap berbahagia untuk hidupnya.
Walaupun terasa sakit dan aku sedikit berharap dia akan kembali
padaku.....
“ Maaf. Gua keceplosan.”
“ Gua tahu lo cuma mau menghibur gua. Tapi lo kudu inget sama
yayang lo.”
“ Iya. Maaf ya?”
“ Ga apa-apa....Gimana....kabar Olive?”
“ Nggg....ini.”
Ryan merogoh tasnya dan mengelurakan sebuah undangan. Ia
tampak ragu-ragu untuk memberikannya tapi toh, akhirnya aku
menerimanya juga.
“ Tiga minggu lagi gua dan Olive akan tunangan. Orangtua gua
dan Olive pengen kita segera ngeresmiin. Soalnya kita udah lama
banget pacaran. Gua harap lo mau dateng.”
Aku tidak berani membuka undangan yang ada ditanganku. Aku
tahu banget apa isinya. Kata-kata Ryan sudah cukup bagiku.
Tadinya kupikir aku akan baik-baik saja jika suatu saat Ryan
mengantarkan undangan padaku tapi ternyata lebih sakit dari yang
kukira. Ini pun baru undangan pertunangan, bagaimana jika undangan
pernikahan?
Hahahhaha....aku ini memang aneh.
“ Tenang saja! Aku pasti akan datang!”
Aku tersenyum lebar padanya berusaha menutupi perasaanku
yang sesungguhnya. Kebahagiaan Ryan harus bisa menjadi
kebahagiaanku juga. Aku tak mau merusaknya.
Ryan tampak tersenyum lega mendengar jawabanku. Ia mengusap
kepalaku pelan membuatku semakin merasa sakit. Dengan susah payah
kutelan gumpalan besar ditenggorokanku dan ternyata rasanya nyeri
sekali.
“ Gladis, tas kamu ketinggalan nih! Oh ya, tadi foto ini gua temuin
jatuh di jok. Ini pacar lo ya? Cakep juga!”
Aku terlonjak saat `J` sudah berdiri di dekatku. Ia memandang
terkejut pada Ryan dan memandang foto yang ada ditangannya
bergantian.
16
“ Cakepan aslinya ya?”
Jantungku serasa melorot. Apa yang telah dilakukan `J`!?
Aku menoleh pada Ryan dan ia memandangku dengan pahit. Aku
tidak mau dia memandangku dengan cara seperti itu! Aku tidak butuh
dikasihani!
Aku merampas foto yang ada di tangan `J` dan segera
meninggalkan sekolah. Aku tidak mau Ryan melihat wajahku.
Kudengar Ryan dan Karen memanggilku dengan keras tapi aku
tidak pedulikan. Aku tidak mau Ryan melihat wajahku dan
menanyakan apa yang seharusnya tidak perlu ditanyakan lagi.
“ Gladis! Gladis! Gladis! Berhenti! Aku mohoon!!”
Ryan terus berseru meneriakiku berusaha untuk menghentikanku
tapi aku tidak mau berhenti sekalipun hatiku ingin. Aku tidak mau
semuanya menjadi lebih berat dari ini. Sudah cukup rasa perih yang
aku rasakan setiap kali melihat Ryan. Aku tidak mau lagi!
Aku....
“ GLADISS AWASSSSSSSSS!!!!!”
BRAAAAAAAAAAAAAAAAAKKKK!!!
***

17
BAB II

“ Gladis!! Gladis!! Gladis.....Gladis!”


Aku terpaku memandang cowo itu yang memeluk tubuh Gladis
yang bersimbah darah. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
Aku seperti melihat adegan di film-film tapi yang ini kenyataan.
“ Gladis....Huk...huk...Aku mohon! Siapa saja tolong telepon
ambulans!”
Mendengar teriakan cowo itu bergegas aku merogoh ponselku
dan menelepon ambulans. Mungkin masih ada harapan untuk Gladis
tetap hidup.
“ Gladis....”
Karen berdiri gemetar di dekatku dan menahan teriakannya
dengan tangannya. Wajahnya memucat dan sepertinya dia akan jatuh
jika tidak dipegangi. Bergegas aku memegang bahunya agar ia tetap
bertahan.
“ Sebentar lagi ambulans datang. Kamu tenang saja. Dia akan
baik-baik saja.”
Iya, dia pasti akan baik-baik saja. Aku harap.
***
Rumah ini sekarang terasa sangat sepi. Om dan Tante menjaga
Gladis di rumah sakit. Gadis itu sedang mengalami koma dan tidak
tahu kapan akan bangun.
“ Mungkin seharusnya aku tidak membawa foto itu padamu. Aku
memang selalu saja bertindak ceroboh dan tidak memikirkan apa yang
seharusnya tidak kulakukan. Maafkan aku Gladis, aku tidak
bermaksud.”
Selalu begini...Sejak dulu selalu begini. Membawanya dalam
masalah dan akhirnya aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk
menolongnya.
“ Gladis....”

18
Aku terus memandang foto Gladis yang ada di ruang tengah dan
terus berdoa untuk keselamatannya. Aku tahu dia begitu membenciku
dan dia juga tidak mengingatku sama sekali, aku marah padanya karena
dia melupakanku tapi...
Gladis, aku memang sakit hati karena kau menyukai cowo lain.
Aku mencoba menutupi perasaanku dengan cara menggodamu
tapi...Aku tidak tahu kalau semuanya akan jadi begini!
Sekarang aku harus bagaimana? Apa yang harus aku lakukan?
Padahal, hanya kau yang bisa menolongku!
“ Padahal aku datang ke sini bukan untuk melihatmu seperti ini.
Aku datang untuk menjemputmu...Bukan mengantarmu...”
TULULUT! TULULULUT!
Telepon di ruang tengah berdering. Bergegas aku ke ruang
tengah dan mengangkatnya. Siapa tahu berita penting dari Om
mengenai Gladis.
“ Halo?”
“ Halo, `J`? Ini Om.”
“ Om, gimana keadaan Gladis?”
“ Belum ada perkembangan. Kamu tenang saja, Om dan Tante
akan menjaganya.”
“ Om, lebih baik Tante tunggu di rumah. Kasihan, pasti
kecapean. Biar gantian dengan saya.”
“ Om sudah membujuknya tapi Tantemu itu tidak mau. `J` tolong
datang ke sini ya? Om mau pulang untuk mengambil baju dan
mengurus beberapa urusan. Tolong kamu jaga Tantemu dulu.”
“ Iya, Om. Saya segera ke sana.”
Tanpa menunggu-nunggu lagi aku segera mengambil kunci
motor Om dan memakai motornya menuju rumah sakit.
Tidak banyak yang bisa aku berikan untuk keluargamu Gladis.
Aku hanya bisa memberikan apa yang keluargamu butuhkan. Mungkin
tampaknya ini sebagai pembayaran atas rasa bersalahku tapi
sebenarnya bukan sekedar itu. Aku benar-benar menyayangi Om dan
Tante. Dan aku menyayangimu. Memang kamu tidak menyadarinya,
bahkan melupakannya...
Gladis, maafkan aku.....
“ `J`! `J`!”
19
“ Iya?!” aku menoleh saat seseorang memanggilku di belakang.
Tepat ditelingaku.
Ternyata yang ada dibelakangku adalah Gladis. Huh, kupikir
siapa.
HAH!!!GLADISSSSSS???!!!!
Aku mengerem motorku dengan mendadak dan hampir saja aku
menabrak becak yang ada di depanku.
“ Ngapain lo di sini? Bukannya lo di rumah sakit?!”
“ Aduh `J`, akhirnya ada yang mau dengerin gua! Tolongin gua
`J`! Tuhan nyuruh gua balik ke bumi dan nyelesein tugas gua dulu di
dunia. Tapi Dia kagak ngasih tahu gimana caranya balik ke badan gua
lagi.”
Ap...Apa maksudnya?
Aku berbalik dan memandang Gladis yang mengenakan jubah
putih. Tubuhnya bersinar sangat terang dan wajahnya tampak bening
dan bersih. Ada kehangatan yang aku rasakan dari cahaya itu terutama
saat Gladis tersenyum.
“ Lo harus tolongin gua `J`. Cuma elo yang bisa dengerin gua
berarti cuma elo yang bisa nolong gua.”
Aku semakin tidak mengerti dengan perkataan Gladis. Tapi
firasatku mengatakan ada sesuatu yang tidak beres.
“ Lo ini....sebenarnya sakit atau ngga?” tanyaku ragu-ragu.
Gladis tersenyum geli. Ia tampak senang dan bingung bercampur aduk.
“ Sebenernya gua ngga mau balik ke dunia tapi Tuhan nyuruh
balik. Gua mau gimana lagi? Yang lo liat ini sekarang roh, bukan
tubuh.”
Aku tercenung berusaha mencerna kata-kata Gladis. Roh, bukan
tubuh. Maksudnya dia sudah meninggal?
Bulu kudukku langsung merinding dan bergegas aku menunduk
dan memohon padanya.
“ Gladis......maafin gua!!! Gua ngga bermaksud bikin lo mati
dengan cara kayak gini! Please maafin gua! Tolong jangan ganggu
gua!”
“ Ih, gimana sih! Gua belum mati! Gua cuma ngga tahu gimana
caranya balik ke tubuh gua lagi. Makanya gua minta bantuan lo!”

20
Aku mengangkat kepalaku dan memandang Gladis dengan
seksama. Dia tidak bohong. Aku mengangkat kepalaku dan menarik
napas lega.
“ Oh, gua kira lo udah mati!”
Gladis menggertakkan giginya gemas. Ekspresi wajahnya
membuatku teringat pada Gladis yang selalu merasa kesal setiap kali
kuganggu waktu kecil. Dia tidak berubah sama sekali.
“ Gimanapun gua bukan paranormal. Gimana gua bisa bantu lo
balik?”
“ Gua juga ngga tahu.”
Aku dan Gladis saling terdiam. Aku hanya bisa melihatnya dan
mengagumi cahaya yang melingkupinya. Wajahnya jadi terlihat lebih
cantik daripada biasanya.
“ `J`, gua harus ke rumah sakit. Mungkin kalo gua ketemu tubuh
gua, gua bisa balik lagi.”
“ Ok, ayo berangkat.”
***
Di rumah sakit aku segera menuju tempat Gladis dirawat. Di
depan pintu kamar ternyata Om sedang menunggu dengan gelisah. Di
samping beliau roh Gladis berusaha memeluk dan menghiburnya tapi
tidak bisa. Ia tampak sangat frustasi.
“ Om, maaf terlambat.”
“ Ngga apa-apa. Kamu tunggu di sini ya? Om buru-buru sekali.
Tolong jaga Tante kamu. Kalau mau lihat keadaan Gladis masuk saja
tapi pakai pakaian steril.”
“ Ok, Om tenang aja.”
Dengan menghilangnya Om dari lorong aku bergegas
mengenakan pakaian steril dan menemui Tante yang sedang menjaga
Gladis.
Perlahan aku memasuki ruangan yang berbau obat. Benar-benar
bau khas rumah sakit.
Sementara aku menghampiri Tante, Gladis menghampiri
tubuhnya dan mencoba untuk kembali masuk ke dalamnya.
“ Tante, lebih baik Tante istirahat dulu. Biar saya yang jaga.”
“ Ngga `J`, biar Tante yang jagain Gladis. Tante ngga mau
sampe terjadi sesuatu pada Gladis waktu Tante tidur,”
21
“ Mama.....”
Gladis berpaling pada Mamanya dan berlutut di kakinya. Ia
mulai menangis dan terisak.
“ Maafin Gladis, Ma. Selalu saja nyusahin Mama. Mama, Gladis
janji pasti akan sembuh.”
“ Sudah kamu coba belum?” tanyaku pada Gladis.
“ Sudah, tapi ngga bisa.”
“ Trus gimana caranya?”
“ `J` kamu ngomong sama siapa?”
Aku langsung menutup mulutku begitu menyadari kalau Tante
tidak menyadari kehadiran Gladis. Tante pasti mengira aku ngomong
sendiri.
Berarti waktu tadi di jalan.........
Waduh, turun deh pasaran gua!! Cakep begini bisa dibilang gila
gua. Ngomong sendiri kayak orang gila baru.
“`J, gua harus gimana dong?”
Aku tidak bisa menjawab pertanyaan putus asa Gladis.
Bagaimanapun aku memang bukan Tuhan ataupun paranormal yang
bisa membantunya untuk kembali ke tubuhnya.
Pelan-pelan aku meninggalkan ruang ICU dan memberi tanda
pada roh Gladis untuk mengikutiku. Aku ingin bicara dengannya tapi
tanpa harus terlihat bodoh di depan orang lain.
“ Emangnya Tuhan ngga bilang apa-apa waktu lo disuruh balik?”
tanyaku saat kami sudah ada di luar.
Gladis menggeleng dan menundukkan kepalanya.
“ Mungkin ada cara tapi gua ngga tahu apa. Lo tenang aja. Gua
pasti bantu elo.”
Gladis kembali mengangkat wajahnya dan tersenyum penuh rasa
terima kasih. Tak berapa lama kemudian pandangannya beralih ke
belakangku. Aku menoleh dan melihat Ryan yang berjalan bersama
seorang cewe manis.
“ Itu Ryan sama siapa?” tanyaku pada Gladis. Tetapi saat aku
berpaling pada Gladis dia sudah tidak ada. Ternyata dia sudah
menghilang entah kemana.

22
“ Gladis lo kemana? Jangan ngilang tanpa pamit dong!” bisikku
berharap ia mendengarkanku. Dan sepertinya dia sudah benar-benar
kabur atau bersembunyi.
“ Ngg...kamu...temannya Gladis `kan? Keadaan Gladis gimana?”
Aku berpaling pada Ryan saat ia mengajakku bicara. Aku
tersenyum lebar padanya dan merasa bingung harus menjawab apa.
“ Ohh, iya. Panggil aja gua `J`.”
“ Salam kenal `J`. Jadi, gimana keadaan Gladis?”
“ Dia baik-baik aja kok. Cuma sekarang gua ngga tahu dimana
tuh anak. Dari tadi gua panggilin ngga nongol-nongol juga.”
Ryan tercenung mendengar penjelasanku. Sepertinya dia tidak
mengerti dengan apa yang kukatakan.
“ `J`, lo jangan bikin dia bingung dong! Dia `kan ngga bisa
ngeliat roh gua!”
Suara Gladis terdengar entah dari mana asalnya mengingatkan
bahwa yang selama ini kutemui adalah rohnya yang `gentayangan`. Ya
ampun, kenapa aku bisa lupa?
“ Gua cuma bercanda. Gladis masih koma dan belum ada
perkembangannya. Yah, kita cuma bisa berdoa sekarang ini.”
Aku berbicara seperti orang yang benar-benar prihatin tapi
sebenarnya tidak. Karena aku mendengar sendiri kalau Gladis akan
baik-baik saja kalau dia sudah kembali ke tubuhnya.
“ Ryan, maaf ya. Seharusnya aku ngga muncul di antara
kalian....”
Cewe yang tadi datang dengan Ryan menghampiri kami dan
memeluk lengan Ryan dengan erat. Ia tampak sangat merasa bersalah.
“ Ngga. Kamu ngga salah Olive. Kamu ngga salah. Aku yang
salah....Aku yang salah...Huk...huk..”
Ryan mulai menangis seperti saat kejadian kecelakaan.
Tangisnya terdengar sangat menyakitkan.
“ Kayaknya sebenarnya gua yang salah deh. Seharusnya `kan gua
ngga perlu nunjukin foto itu. Gladis, lo pasti marah banget sama gua.”
Entah apakah Gladis mendengar bisikanku atau tidak. Tapi aku
bisa mendengar suara isakan tangis Gladis di sebelahku.
Apa yang harus aku lakukan untuk menolongnya? Setidaknya
membantunya mencari jalan untuk bisa kembali ke tubuhnya.
23
Duuuuuuuuhhhhh.... Kenapa Tuhan kasih yang susah-susah sih?
Kasih petunjuk dong Tuhan! Please!
***
Aku mondar-mandir di kamarku menunggu Gladis pulang dari
surga. Kami sepakat untuk menanyakan cara-cara balik ke tubuh
manusianya pada Tuhan atau setidaknya malaikat Gabriel.
“ `J`, gua pulang!”
Aku melihat ke langit-langit kamarku dan Gladis muncul dengan
kakinya terlebih dahulu. Ia turun dengan cepat hingga berdiri di
hadapanku.
“ Ada beberapa pesan buat gua. Gua ngga boleh kasih tau siapa
pun tentang roh gua. Tapi kalau ada manusia normal yang bisa denger
dan ngeliat gua, dia bisa nolong gua. Itu elo `J`! Terus buat balik ke
tubuh manusia gua.....gua harus selesain masalah gua dengan orang
yang bermasalah dengan gua. Terus jalan keluar lainnya....harus ada
orang yang bener-bener mau mati buat gua supaya gua hidup lagi.....”
Aku dan Gladis saling pandang, bertambah bingung.
“ Gimana cara nyelesain masalah lo, Dis. Memangnya siapa
yang bermasalah sama elo?”
“ Gua ngga tahu. Rasa-rasanya gua baik-baik aja kok sama siapa
aja.”
“ Berarti ngga ada masalah dong. Kalau di suruh nyari orang
yang mau mati buat lo.....gua bingung siapa....Mungkin Ryan.”
“ Lo jangan bercanda!”
“ Gua ngga bercanda. Ryan pasti rela mati buat elo....Dia
kayaknya sayang banget sama elo.”
Gladis terdiam. Matanya mulai kosong dan pikirannya
menerawang entah kemana.
“ Ryan ngga boleh mati. Dia ngga boleh ninggalin Olive begitu
aja cuma gara-gara gua....dan lagian...gua tahu kok kalau perasaan
Ryan udah ngga kayak dulu lagi. Dia cuma memandang gua sebagai
teman...ngga lebih.”
Sebenarnya aku tidak tahu pasti apa yang Gladis dan Ryan alami
tapi menurutku Gladis sebenarnya bermasalah dengan Ryan dan harus
segera membereskannya.

24
“ Gladis...kayaknya lo harus ngeberesin masalah lo dengan
Ryan....Ada yang mau lo tanyain sama dia `kan?”
Gladis memandangku sambil terus berpikir. Ia mengerutkan
dahinya seolah berusaha mengeluarkan ingatan dari kepalanya.
“ Gua....pengen tahu...apa dihatinya masih ada gua...”
Aku menundukkan kepalaku agar tidak melihat ekspresi Gladis
yang begitu tampak sedih. Wajahnya itu...membuat perasaanku
sakit...Tahu dehh kenapa. Dia yang sedih kenapa gua yang sakit?
Aku mengambil pensil dan kertas lalu duduk di depan meja
belajar. Aku mulai melukis ekspresi wajah Gladis yang tampak sedih
tapi...ehmmm..cantik..
“ Lo ngapain `J`?” tanya Gladis sambil mengintip berusaha
melihat apa yang sedang aku lakukan.
“ Gua rasa lo harus tanya apa yang lo rasain itu Gladis. Kalau lo
mau biar gua kirimin surat buat Ryan. Mungkin dengan dijawabnya
pertanyaan lo, lo bakalan balik lagi ke tubuh lo.”
“ Gua ngga yakin.”
“ Kita coba aja dulu. Kita `kan ngga akan tahu kalau ngga
dicoba.”
“ Tapi gua takut `J`. Gua takut kalau-kalau jawaban yang akan
gua terima ngga sesuai dengan harapan gua.”
Aku menghentikan acara melukisku dan berbalik memandang
Gladis yang tampak sangat cemas. Ia menatapku dengan mata besarnya
seolah memohon agar memilih cara lain.
“ Kadang-kadang walaupun ngga sesuai dengan harapan kita apa
yang kita terima itu justru yang terbaik.”
“ Tapi kalau sakit......gua takut ngga sanggup hadapinnya `J`.”
Aku mendekati Gladis dan meraih tangannya. Tidak bisa
kusentuh tetapi aku akan tetap menggenggamnya. Aku ingin dia tetap
merasa aman. Aku ingin dia tahu kalau aku akan selalu ada untuknya
sekalipun mungkin dia tidak akan pernah menghargainya.
“ Gua akan di dekat lo. Gua akan temenin lo sampe lo bisa kuat.
Gua percaya kalau lo bakal kuat. Karena Gladis yang gua kenal adalah
cewe gahar yang ngga mau terganggu sama hal macam apa pun. Bener
ngga gua?”

25
Gladis tersenyum lembut dan membalas genggaman tanganku
sekalipun yang kurasakan hanyalah udara. Ada binar harapan yang
kulihat dimatanya.
`J` yang cakep n keren kakakmu tersayang menelepon. Tolong
diangkat dong! `J` yang cakep n keren kakakmu tersayang menelepon.
Tolong diangkat dong!
Wajah Gladis langsung mengernyit geli mendengar ringtone
hpku. Hehehe...dia pasti nganggep gua narsis deh.
Aku menyambar hpku dengan cepat agar suara deringannya yang
memang narsis itu segera berhenti.
“ Iya, ada apa?” tanyaku pada kakak ketigaku. Ia yang
memasang ringtone itu di hpku. Ia juga memasang fotonya sendiri.
Keluargaku memang keluarga narsis.
“ Kamu kemana aja sih?! Kakak-kakakmu kangen tahu!” suara
Kak Hana yang cempreng memekakan telingaku. Sudah lama aku tidak
mendengar suaranya. Kangen juga.
“ Aku lagi di rumah Om Daud. Kakak ngga usah khawatir. Kalau
kangen `kan tinggal telepon atau sms.”
“ Kakak maunya kamu ada di sini! Ribka uring-uringan terus
sejak kamu kabur dari rumah. Pusing denger dia marah-marah terus.”
“ Yah, Kak Ribka kok bisa gitu. Uring-uringannya gara-gara aku
atau gara-gara berantem sama Kak Erik? Biasanya kalau aku ngga ada
dirumah Kak Ribka tenang-tenang aja `kan?”
“ Yah, dua-duanya juga sih. Udah, kamu cepet pulang ya?”
“ Aduh, ngga bisa Kak. Di sini lagi ada masalah yang ngga bisa
aku tinggalin.”
“ Masalah apaan sih? Kayaknya penting banget.”
“ Aku harus bantuin Gladis balik ke tubuhnya.”
“ Hah? Maksudnya?”
“ Eh, maksud aku Gladis lagi di rumah sakit. Dia kecelakaan dan
udah 3 hari ngga siuman juga.”
“ Hah!! Gladis.....Gimana sih? Katanya kamu mau bawa dia ke
sini kenapa sekarang malah jadi koma?”
“ Loh, itu bukan salah aku!!”

26
“ Pokoknya aturan `kan kamu jagain dia! Kalau kamu ngga mau
dijodohin sama Papa dan Mama kamu harus bawa Gladis ke sini dalam
keadaan selamat. Tanpa kurang suatu apapun juga!”
“ Maunya gitu. Tapi aku `kan ngga tahu bakal kayak gini.
Makanya aku ngga bisa pulang.”
“ Ya udah, jangan pulang sampai Gladis sembuh! Jagain dia
baik-baik ya?!”
“ Iya...”
“ Bye, De. Jaga diri! Love you! GBU!”
“ Bye.”
Aku menutup telepon sambil menarik nafas pelan. Untunglah
Kak Hana tidak memaksaku pulang kalau tidak entah bagaimana nasib
Gladis.
Aku berbalik untuk menceritakan pada Gladis tentang
pembicaraanku dengan kakakku tapi ternyata ia sudah bertolak
pinggang dan memandangku penuh tanya. Dahinya mengkerut
membuatku merasa dipaksa untuk menceritakan semuanya.
Memang dia dengar semua pembicaraanku di telepon ya?
“ Sebenarnya kamu ini siapa sih `J`?” tanyanya memaksa. Ia
memandangku dari atas ke bawah seakan-akan ia baru menemukanku
dari galian tanah.
“ Kenapa gua harus ikut lo supaya lo ngga ditunangin?
Memangnya gua bisa melakukan apa buat lo?”
Yah, kayaknya gua harus bongkar semuanya deh.
“ Lo emang tega sih, Dis. Gua sama lo `kan udah temenan sejak
lama. Gua udah ngelamar elo waktu umur lo 5 tahun!”
Gladis memandangku dengan wajahnya yang paling heran.
Perlahan tawanya lepas dan ia menunjukku seperti menuduhku gila.
“ Huahahaha...Lo ngaco ya? Lo ngelamar gua waktu umur 5
tahun? Gua aja baru kenal lo beberapa hari yang lalu. Hahaha..Itu juga
gua mendapat kesan yang buruk dari lo.”
“ Yah, waktu itu lo masih kecil banget sih. Gua `kan berumur 7
tahun waktu ngelamar lo, jadi gua inget banget. Pokoknya waktu itu lo
seneng banget dan langsung bilang iya. Pake nyium pipi gua lagi.”
“ Hieeeeeeeee...amit-amit!”

27
“ Gua ngga bercanda. Sebulan yang lalu BoNyok mau jodohin
gua dengan anak rekan kerja bokap tapi gua ngga mau. Gua inget sama
lo dan elo gua jadiin alasan buat nolak pertunangan itu. BoNyok
nyuruh gua ngebawa lo ke hadapan mereka baru mereka mau
ngebatalin pertunangan itu. Kakak-kakak gua sih seneng lo yang jadi
ipar mereka. Dulu `kan mereka sayang banget sama lo.”
“ Jadi maksud lo, lo minta gua ikut sama lo buat ngebatalin
pertunangan lo?”
“ Iya, cuma sampe gua bener-bener dapet cewe yang tepat.”
“ Yeeee....Kenapa juuuga gua yang jadi susah?”
“ Cuma 1 tahun kok, Dis! Gua dah komitmen soalnya buat ngga
pacaran sebelum dapet kerja! Satu tahun lagi `kan gua lulus.”
“ Iya, kalau lulus tapi belum dapet kerja gimana?”
“ Ya....sampe dapetlah!”
“ Gua ngga mau!!”
Gladis membuang mukanya. Ia membuatku kesal juga.
Kepalanya keras banget, lebih-lebih hatinya.
Gimana caranya supaya dia mau ya? Hmmm.....hehehehe....Dia
butuh, gua juga butuh. Kita negosiasi aja.
“ Gladis gini aja deh. Gua bantu elo dan elo bantu gua.”
“ Apaan? Siapa yang mau bantu elo?”
“ Kalau gitu bye.bye! Ngga usah balik ke badan lo ya?”
Gladis terpaku mendengar kata-kataku. Ia menoleh dan
memandangku dengan tidak terima.
“ Kalau lo janji mau bantu gua, gua pasti akan bantu elo.”
Gladis memonyongkan mulutnya karena kesal. Ia berpikir
beberapa saat dan akhirnya mengangguk dengan berat.
“ Hanya sampai lo bekerja!”
“ Ok! Thanks ya! Hehehe...”
Setidaknya aku tertolong. Masalah siapa yang rugi belakangan
saja.
***

28
BAB III

Ryan memandangku penuh tanya. Selain itu ia tampak curiga


padaku.
“ Untuk apa kamu tanyakan hal itu? Masalah itu sangat pribadi
sekali buat saya. Saya tidak bisa mengatakannya sembarangan.”
“ Ini demi Gladis. Kalau kamu mau mengatakan perasaanmu
padanya mungkin dia mau sembuh dan bangun dari tidurnya.”
Ryan semakin mengerutkan dahinya. Mungkin dia
menganggapku aneh. Habisnya aku tidak punya cara lain.
“ Maksud kamu, sebenarnya Gladis bisa sembuh asalkan saya
mau mengatakan perasaan saya padanya?”
Aku mengangguk mantap. Dalam hati aku berdoa Ryan akan
mengiyakan permintaanku. Disebelahku roh Gladis pun memanjatkan
doa dengan ragu-ragu. Sepertinya ia sangat ketakutan.
“ Saya mau melakukannya. Asalkan Gladis bisa sembuh.”
Aku dan Gladis saling berpandangan karena merasa senang dan
lega. Tapi senyum Gladis menghilang tiba-tiba. Ekspresinya
menunjukkan ketakutan yang lebih kuat.
“ Kalau begitu kita coba sekarang.” Pintaku.
Ryan mengangguk mantap dan langsung mengikutiku menuju
ruang ICU.
Di ruangan itu tubuh Gladis masih terbaring lemah. Wajahnya
tampak pucat dan kurus. Selang dan kabel yang menolongnya untuk
tetap bertahan benar-benar tidak cocok untuknya.
Ryan duduk di samping tempat tidur dan menggenggam tangan
kiri Gladis. Ia menatap Gladis dalam-dalam. Ia menoleh padaku dan
29
aku memberinya tanda untuk segera mengatakan perasaannya.
Mumpung Om dan Tante belum datang.
“ Gladis....Ada yang harus aku katakan padamu...”
Gladis berdiri tepat di depan Ryan. Ia memandang ekspresi Ryan
dengan seksama seolah mencari kebenaran.
“ Selama ini aku masih sayang kamu. Aku menyesal kalau kita
tidak bisa sama-sama. Gladis.....aku pengen kamu sembuh dan kita bisa
memperbaiki hubungan kita.”
Ryan mengecup tangan Gladis dengan lembut. Lalu ia bangkit
berdiri dan mengecup kening Gladis. Setelah itu diam beberapa saat
entah berpikir entah menahan tangis. Tak lama kemudian dia berpaling
padaku dan tersenyum lemah.
“ Aku berharap ia segera bangun...” bisiknya pahit.
Aku melirik Gladis. Ia tampak sangat terluka. Ia menangis
kecewa dan sakit. Ia memandangku seolah meminta tolong. Dan ia
berbisik,
“ Dia bohong. Dia bohong....Dia sudah melupakanku...”
Aku memandang Ryan lagi dan aku tidak bisa mengatakan apa-
apa. Tidak mungkin aku mengatakan padanya kalau Gladis merasa
semua yang ia katakan itu bohong.
“ `J`, aku tahu Gladis pasti sangat membenciku. Aku tidak
pernah bisa membahagiakannya. Tapi kalau dia meminta aku
meninggalkan Olive, aku akan meninggalkannya.”
“ Aku tidak akan pernah meminta hal sebodoh itu! Kamu pikir
aku anak kecil yang akan menangis jika kamu tinggalkan! Jangan
bohongi aku! Hik..hik..kalau kamu memang sudah lupa padaku jangan
pernah berbohong untuk menghibur aku! Aku tidak butuh omong
kosongmu! Keluar dari sini! Keluar! Keluar!”
Gladis berusaha mendorong Ryan untuk keluar tapi cowo itu
tidak berkutik. Roh Gladis tidak dapat menyentuhnya sama sekali.
“ `J`, keluarkan dia dari sini! Aku ngga mau melihat mukanya!”
Ragu-ragu aku mendekati Ryan dan memintanya untuk keluar.
Semula Ryan tampak bingung tapi akhirnya dia ikut keluar juga.
“ Menurutmu Gladis akan segera sembuh?” tanya Ryan penuh
harap.
“ Ya, kalau itu perasaanmu yang sesungguhnya.”
30
Ryan terdiam beberapa saat. Kupikir tadinya dia akan
mengatakan perasaannya yang sesungguhnya tapi ternyata dia malah
pergi dengan langkah lemah tanpa berkata apapun padaku.
Kenapa Gladis bisa menyukai orang macam dia ya?
Setelah melihat Ryan menghilang di balik lorong rumah sakit,
aku kembali masuk ke dalam ruang ICU. Di sana Gladis terus
memandangi tubuhnya tanpa ada niat untuk kembali.
“ Bagaimana? Apa lo bisa balik ke badan lo?”
Gladis menggeleng. Ia tertunduk dan mulai terisak lagi.
Bergegas aku menghampirinya dan mencoba untuk
merangkulnya tapi tidak berhasil. Yang kusentuh hanyalah udara. Aku
terpaku memandangnya yang terus menunduk menangis dengan bahu
yang terguncang.
Apa yang bisa aku lakukan untuknya? Gladis...
Aku memandang tubuh Gladis dan terlintas ide di kepalaku.
Mungkin kalau aku menyentuh tubuhnya Gladis akan merasakannya.
Kudekati tubuh Gladis dan meraih tangan kanannya. Kugenggam
erat-erat agar ia bisa tenang. Gladis menoleh padaku dengan masih
terisak dan melihat apa yang sedang kulakukan.
“ Gua ngga bisa menenangkan perasaan lo dengan cara
sewajarnya tapi gua harap ini cukup buat lo.”
Gladis menghampiriku dan tersenyum tapi air matanya terus
mengalir. Aku mencoba mengusap air matanya tapi air mata itu terus
mengalir. Aku melihat pada wajah Gladis yang tertidur. Wajah itu
meneteskan air mata juga. Aku mengusapnya perlahan dan airmatanya
semakin deras mengalir.
“ `J`, ternyata lebih sakit dari yang gua duga...huk...huk...”
“ Menangislah kalau ingin menangis. Gua ngerti dengan apa
yang lo rasain. Yang gua minta cuma 1, lo tetap bertahan sesakit apa
pun perasaan lo. Karena...lo masih punya 1 janji sama gua. Lo masih
tetep mau hidup kan, Dis?”
Gladis mencoba mencubitku tapi tidak berhasil. Ia tertawa
sambil menangis. Kurasakaan jemarinya bereaksi bersamaan dengan
rohnya mencoba mencubitku.
“ Dasar egois!”

31
“ Kalau ngga kayak gitu ntar lo malah pengen mati. Bener ngga
gua?”
Gladis tersenyum sekilas dan mulai mengusap air matanya
dengan kesal. Sepertinya manusia normalnya sudah kembali. Aku
menarik napas pelan dan memandangnya dengan lembut. Aku tidak
ingin melihatnya menangis lagi.
“ Gua ngga mau jadi cewe cengeng. Gua masih bisa hidup
walapun dia ngga sayang lagi sama gua!”
Aku tersenyum geli melihat caranya mengusap air mata. Seperti
anak kecil yang baru menangis karena bertengkar dengan temannya.
Cara dia menghibur diri pun cukup lucu. Sangat simple dan cuek.
“ Iya, kan masih ada gua, Dis. Lo ngga akan rugi-rugi amat.”
“ Masa-masa gua bareng lo bakal jadi masa-masa seperti di
penjara buat gua.”
“ Segitunya. Palingan ntar lo juga jadi cinlok sama gua.”
“ Hiiiiiiiii....amit-amit! Udah, mendingan lo mikirin tentang jalan
keluar lainnya. Eh, pegang-pegang tangan gua udah cukup! Jangan aji
mumpung ya?!”
Hie, tante galaknya sudah balik lagi. Kayaknya patah hati malah
bikin galaknya tambah parah. Hahaha...Tak apalah. Yang terpenting ia
bisa tersenyum lagi.
“ Cara lain supaya lo bisa balik tinggal cuma nyari orang yang
mau mati buat lo.”
Aku meletakkan tangan Gladis di balik selimut dan membetulkan
posisi bantalnya perlahan. Gladis mengamatiku tanpa berkutik dan
lama kelamaan pikirannya menerawang entah kemana.
“ Oi, dengerin apa kata gua ngga sih?” tanyaku sambil mengibas-
ngibaskan tanganku di depannya.
“ Iya, gua denger. Cari orang yang mau mati buat gua dimana?
Gimana gua tahu dia mau mati buat gua atau ngga. Kalau ditanya
doang kemungkinan ngga bakal terjamin.”
“ Jadi maksud lo, orang itu harus bener-bener ngorbanin
nyawanya buat elo?”
“ Yaaaa, ngga juga sih.”
“ Trus gimana dong?”

32
“ Nggg....gua kira elo yang bakal ngasih tau gua jalan
keluarnya.”
“ Masalahnya otak gua juga buntu!”
“PSSSSSSSSTTTT!”
Tiba-tiba saja suara bisikan yang keras memanggil kami. Aku
melihat sekeliling ruangan dan ternyata tidak ada siapa-siapa.
“ Di atas sini!”
Serempak aku dan Gladis menoleh ke atas. Aku langsung
memicingkan mataku saat melihat sosok cahaya yang terang benderang
menjulurkan kepalanya dari balik langit-langit kamar. Aku bisa melihat
pemandangan di belakang sosok itu. Ada banyak gumpalan awan dan
di sana juga ada sungai emas dan jalan yang berlapis berlian. Tempat
apa itu?
Ada suara tawa gembira dan nyanyian-nyanyian merdu yang
membuat perasaan tenang dan senang. Aku belum pernah melihat
tempat seperti itu. Entah kenapa hatiku memaksa untuk menyusup ke
sana.
“ Gladis, ini ada catatan tambahan untukmu. Semoga sukses.
Tuhan selalu menyertaimu.”
Setelah memberikan secarik kertas berwarna perak sosok itu
menghilang di balik langit-langit kamar dan ruangan itu kembali gelap.
“ Ya ampun!”
Gladis menjatuhkan kertas itu setelah membacanya. Wajahnya
tampak menjadi pucat, lebih pucat daripada tubuhnya. Ia
memandangku dengan ngeri dan ketakutan.
Perasaanku jadi tidak enak melihatnya. Pasti ada sesuatu yang
buruk. Kupungut kertas yang silau itu dan membacanya.
Gladis, waktumu tinggal sampai besok jam 6 pagi. Kalau kamu
tidak segera kembali ke tubuhmu, malaikat kematian akan segera
menjemputmu.
“ Ini bercanda `kan?” tanyaku. Kali ini aku yang ketakutan. Aku
tidak bisa membiarkan Gladis mati begitu saja.
“ Aku harus bagaimana?”
Bagaimana aku harus menjawab pertanyaan Gladis sedangkan
pertanyaan yang sama berkecamuk di kepalaku. Aku tidak tahu kalau

33
ternyata ada batasan waktunya. Sekarang waktu yang ada benar-benar
mepet. Kami harus mencari kemana orang yang mau mati buat Gladis?
Kami harus segera mencarinya! Gladis harus tetap hidup! Aku
tidak mau kehilangan dia lagi!
“ Lebih baik aku menyerah. Memang sudah nasibku...!”
“ Ngga! Lo ngga boleh nyerah! Lo udah janji sama gua, Dis!”
“ Tapi waktunya udah ngga mungkin lagi `J`!”
“ Selama masih ada waktu pasti masih ada cara! Gua akan
hubungin semua orang yang kenal lo dan tanya sama mereka apa
mereka rela mati buat lo.”
Bergegas aku mengambil ponsel Gladis yang ada di meja dan
menghubungi beberapa orang yang menurut Gladis dekat dengannya.
Aku ngotot sekali karena aku memang tidak bisa diam melihat nyawa
Gladis akan diambil. Aku belum mengatakan isi hatiku!
“ Halo? Karen? Ini gua `J`!”
“ `J`! Gua kira Gladis! Gimana kabar Gladis? Lo ngga bawa
kabar buruk `kan?”
“ Ren, gua mau tanya. Lo mau ngga mati demi Gladis?”
“ Lo ngomong apa sih `J`?”
“ Jawab aja. Lo mau mati ngga buat Gladis?”
“ Iya, gua mau. Karena dia teman terbaik gua.”
Aku tersenyum mendengar jawaban Karen dan memandang ke
arah Gladis. Tak kupedulikan suara Karen yang memanggil namaku
dari sebrang sana. Aku malahan menutupnya. Aku tidak ingin
melewatkan moment saat Gladis kembali ke tubuhnya.
Gladis terus memandang tubuhnya menunggu sesuatu terjadi.
Begitupun aku, aku memandang roh Gladis dan tubuhnya bergantian
menunggu sesuatu yang ajaib terjadi. Tapi lama kami menunggu tidak
terjadi apa-apa. Perasaanku semakin tidak enak.
“ Gladis?” panggilku dengan berbisisk. Gladis hanya
menggeleng dengan putus asa.
Apanya yang salah? Bukankah syaratnya adalah orang yang mau
mati buat Gladis tapi kenapa?
“ Mungkin harus banyak orang!”
Aku menelepon beberapa orang lagi dan menanyakan hal yang
sama. Mereka semua menjawab mau. Tetapi tetap tidak terjadi apa-apa.
34
Aku dan Gladis berpandangan tanpa bisa bicara lagi. Aku
terduduk lemas di bangku. Aku tidak sanggup melihat wajah Gladis.
Aku tidak bisa menepati janjiku untuk menolongnya. Aku benar-benar
tidak berguna!
“ `J`, gua ngga kenapa-napa kok. Toh mati ngga ada ruginya.
Gua yakin kok kalau gua akan ke surga.”
Aku tak menjawab kata-kata Gladis. Hatiku terasa sesak karena
marah, takut dan sedih. Aku tidak bisa melakukan apapun. Apappun....
“ Jangan berwajah seperti itu `J`. Setidaknya hibur gua di saat-
saat terakhir gua. Kita keluar yuk!”
“ Mau kemana?” tanyaku dengan dingin. Rasanya aku tidak bisa
bercanda, tertawa atau bahkan berkata-kata dengan hangat.
“ Gua mau nulis surat buat Ryan. Lo bisa bantuin gua nulis
`kan?”
Beberapa lama aku tidak menjawab. Dadaku terasa sesak
mendengar rencana Gladis. Di saat-saat seperti ini Gladis masih sempat
memikirkan Ryan. Bukannya malah memikirkan nyawanya.
“ Ayo!”
Kusambar jaketku dengan cepat dan keluar dari ruang ICU.
Kebetulan di luar Om dan Tante sudah sampai jadi aku bisa keluar
tanpa harus mencemaskan tubuh Gladis.
“ `J`, jangan marah ya? Kalau gua ngga nepatin janji.”
“ Gua ngga marah kok.”
Kami berdua menaiki motor milik Om dan pergi menuju toko
buku untuk membeli kertas surat. Sepanjang perjalanan kami hanya
bisa terdiam. Rasanya kalau kami bicara semuanya hanya akan
meledak. Mungkin aku akan marah-marah dan memaki Gladis yang
hanya memikirkan Ryan.
Di saat terakhirnya memang sebaiknya aku menuruti
keinginannya. Aku tidak ingin menyesal dikemudian hari.
Apapun akan kulakukan agar Gladis senang...Di saat terakhir
kami bersama.
***

35
BAB IV

Aku dan `J` memutuskan untuk pergi ke pasar malam yang tidak
sengaja kami lewati. Seandainya aku bukan roh sudah banyak
permainan yang akan aku ikuti.
`J`menyodorkan kembang gula padaku dan dengan bersemangat
aku menerimanya tapi kembang gula itu tidak dapat kugenggam. Aku
dan `J` berpandangan teringat kalau aku tidak bisa menyentuh apapun.
Sekilas ada binar pedih di mata ‘J’ tetapi tiba-tiba saja `J` tertawa
geli. Ia mengambil kembali kembang gulanya dan memakannya
sendiri. Sambil makan ia memandangku berusaha memanas-manasiku.
Yah, aku cuma bisa memasang wajah cemberut dan tidak bisa bicara
apa-apa lagi. Binar mata ‘J’ tadi seolah menggores sedikit luka di
hatiku.
Sepertinya aku telah melupakan ‘J’. Tidak ada 1 kenangan pun
yang melekat di ingatanku tentang ‘J’ dan sekarang, saat kami bertemu
lagi ternyata waktu kami hanya sebentar. ‘J’ maafkan aku....
“ Kita ngapain lagi nih?” tanya `J` sambil melihat sekeliling
pasar malam.
36
Dengan mupeng aku menoleh pada kios permainan lempar bola.
Hadiah-hadiahnya sangat menarik.
Tiba-tiba tanpa kuminta `J` mendekati kios dan menyewa
beberapa bola. Ia mulai melemparkan bola-bolanya dan gagal berkali-
kali. Aku hanya bisa tertawa melihatnya. Ternyata lemparannya payah
juga.
“ Gimana sih? Segitu saja tidak bisa!” ledekku di sela-sela
tawaku. `J` hanya mencibirkan bibirnya dan wajahnya tampak
memerah. Sebenarnya itu yang membuat aku tertawa. Yang semula
merah kupingnya dan lama-lama wajahnya merona. Lucu
sekali..hahaha..haha..
“ Tertawa saja sepuasnya. Kalo soal main kayak gitu gua
memang payah. Tapi kalau yang lain gua jago.” `J` berusaha
menaikkan harga dirinya.
Aku tetap tertawa malah semakin terbahak. Ia hanya bisa angkat
bahu melihatku tertawa terus.
“ Kita ke sana yuk!”
Dengan cepat `J` pergi ke sebuah kios foto box. Sekilas aku
merasakan `J` mencoba menggandeng tanganku tapi tangannya
melewati rohku dan ia tidak mendapatkan tanganku. Entah kenapa itu
membuat hatiku semakin terasa sesak.
“ Mau ngapain?” tanyaku dengan bingung karena `J` masuk ke
fotobox begitu saja.
Aku masuk ke dalam box dan ia menyuruhku duduk di
sebelahnya. Dengan bingung aku menurut. Di layar ada gambarku. Aku
bingung sendiri. Beberapa kali kami berfoto dan aku hanya bisa
tersenyum geli melihat senyum `J` yang lebar dan aneh.
Selesai berfoto `J` keluar dengan penuh semangat untuk
mengambil hasil foto. Aku pun tidak sabar untuk melihatnya.
“ Gimana hasilnya?” tanyaku dengan bersemangat.
`J` tidak menjawab. Ia malah hanya berdiri terpaku dan tampak
kecewa.
Aku melihat hasil foto itu dan di sana `J` tersenyum sendirian. Ia
seperti berfoto dengan seseorang tapi di sebelahnya tidak ada siapa
pun.

37
“ Hehehe...namanya juga foto dengan roh, ngga mungkin ada
gambarnyalah. Lo jangan sedih gitu dong.” Aku berusaha menghibur
`J`. Cowo itu cuma membalas dengan senyum kecutnya.
“ Gua cuma pengen punya kenang-kenangan bareng lo kok. Tapi
kayaknya gua telat.”
Aku terdiam seribu bahasa. Entah siapa yang lebih sedih dengan
kematianku. Aku sendiri atau `J`.
“ Seharusnya gua datang lebih cepat. Kenapa harus waktu
BoNyok gua jodohin gua dengan orang lain. Rasanya waktu gua buat
menunggu terbuang percuma. Janji gua yang dulu ngga bisa gua
tepatin. Gua emang kurang gentle.”
Aku tidak berani bicara. Yang kulihat hanya punggung `J` yang
bidang. Ia tertunduk dan berjalan dengan lemah.
Aku mengejarnya dan memandangnya sambil tersenyum lebar
sekalipun hatikupun merasa sakit. Aku ingin meninggalkan kenangan
yang indah untuk `J` yang baik hati. Kalau dia sedih sudah seharusnya
aku menghiburnya. Aku tidak ingin dia tahu kalau aku pun merasa
tidak rela dengan kematianku.
“ `J` lo jelek tahu kalau kayak gitu. Gini, gua pengen lo bisa
menangin satu games n hadiahnya buat gua. Ntar di hadiah itu lo tulis
nama gua. Trus lo simpen tuh hadiah di tempat lo yang paling
berharga. Ok? Jadi lo punya kenang-kenangan dari gua. Mau ngga?”
`J` memandangku tanpa ekspresi mendengar ideku. Ia
menegakkan tubuhnya dan perlahan senyumnya muncul kembali.
“ OK! Lo mau hadiah yang mana? Yuk, kita cari kiosnya!”
Aku dan `J` pergi dari satu kios ke kios yang lain tapi tidak
menemukan hadiah yang benar-benar aku suka. Aku mengatakan
padanya kalau hadiah apa saja aku terima tapi dia ngotot harus yang
benar-benar aku suka.
“ `J`, yang itu!”
Di kios terakhir dan sepi aku melihat sebuah kalung dengan
liontin berbentuk kristal salju yang kecil. Kalung itu berkilau
menggodaku. Baru kali ini aku begitu menginginkan sebuah kalung.
Padahal aku tidak begitu suka perhiasan.
`J` segera menyewa beberapa gelang dan mulai mencoba
mendapatkan kalung tersebut. Sepertinya untuk permainan seperti ini ia
38
sering gagal. Ok, keseluruhan tidak karena beberapa gelangnya
mendapatkan hadiah lain tapi kalung itu begitu sulitnya ia dapat.
`J` terus mencoba sampai-sampai ia beberapa kali ia menyewa
gelang. Aku sendiri sampai putus asa. Aku ingin menghentikannya tapi
kulihat ia begitu gigihnya sampai keringatnya bercucuran.
“ `J` udah cukup. Cari hadiah lain saja.”
“ Ngga! Lo mau dapet ini, gua kasih yang ini. Lo liat
aj....KENAAA!! WOHOOO..!!BERHASIL!!”
Aku tertegun melihat kalung yang dilingkari gelang permainan.
Penjaga kios mengambil kalung itu dan memasukkannya ke dalam
kotak beludru. `J` menerimanya dengan penuh semangat. Ia tertawa
dan berseru-seru seperti pemenang undian 1 milyar. Kotak itu ia
pamerkan padaku tanpa mempedulikan pandangan heran orang
sekeliling yang melihatnya.
“ Liat, akhirnya nih kalung gua dapetin. Mau gua
pake...i....n...Sori.... gua lupa.”
Aku tersenyum kaku saat ‘J’ terpaku menyadari kebodohannya.
Aku menundukkan kepalaku tidak berani memandang wajahnya dan ‘J’
sendiri langsung membalikkan tubuhnya. Ia tampak begitu jauh
walaupun ia berdiri hanya beberapa senti dariku.
‘J’ memasukkan kotak kalung itu ke dalam sakunya dan kami
pun berjalan meninggalkan kios tersebut. Kami berjalan sampai ke
bawah pohon dan duduk di bangku yang ada di bawahnya.
“ Hari yang melelahkan ya?” tanyaku mencoba membuka
pembicaraan karena `J` diam saja dari tadi. Ia seperti berpikir keras dan
aku tidak tahu apa yang sedang ia pikirkan.
`J` tidak menjawab pertanyaanku. Ia tetap diam dan memandang
lurus ke arah anak-anak kecil yang ribut mengelilingi seorang
pedagang balon.
“ Dis, kalo lo jadi nikah sama gua...anak kita bakal kayak apa
ya?”
DEG! Hahaha! Bercanda aja nih orang! Punya anak bareng dia?
Dia kesambet apaan sih? Apa karena terlalu banyak ngomong sama
roh?
“ Jawab dong, Dis!”

39
Aku terlonjak saat `J` menoleh padaku dan matanya menuntut
jawaban dariku. Jantungku sampai mau copot karena takut sekaligus
grogi dan bingung harus jawab apa. Aku `kan ngga pernah diajak
ngomong kayak gini sama cowo mana pun.
“ Hah...ng...yah..Kayak gimana ya? Ng...yang pasti agak error
kali ya? Soalnya elo error.” Aku tertawa garing mendengar jawabanku
sendiri. Di saat begini aku masih bisa bercanda.
`J` tertawa kecil dan mengangguk setuju. Ia menoleh padaku dan
kali ini dengan senyumannya yang seperti biasa. Ada sedikit kelegaan
kurasakan begitu melihat senyumnya.
“ Dari kecil lo memang ngga berubah. Selalu ngomong apa
adanya. Itu yang gua suka dari lo. Inget ngga waktu gua minta lo
bohong sama Bokap supaya gua ngga dihukum? Lo malah ngomong
dengan jujur kalau gua yang mecahin pot Nyokap lo dan lo ngasih tahu
kalau gua sangat nyesel n takut dimarahin? Hasilnya Bokap gua ngga
hukum gua. Sejak itu gua suka sama lo....Sampai saat ini gua ngga
nemuin orang kayak lo...”
Aku tercenung mendengar cerita `J`. Aku tidak pernah tahu kalau
ada kejadian seperti itu. Aku tidak ingat sama sekali.
“ Waktu gua ngelamar lo...heehehehe...Gua ngga tahu lo masih
simpen cincin itu atau ngga. Yang pasti gua seneng banget waktu lo
bilang `ya`. Gua langsung catat di buku agenda gua. Gua kasih tahu
deh, itu cincin sebenarnya cincin pernikahan Nyokap
gua...hahaha...Nekat ya gua?! Makanya gua abis dimarahin sama
Bokap.”
Sebaiknya tertawa atau marah aku jadi bingung karena yang ia
ceritakan aku pun tidak ingat sama sekali. Ceritanya pun aneh dan
memang lucu. Sebegitunya `J` kecil suka padaku sampai mengambil
cincin pernikahan Nyokapnya.
Tapi tunnggu dulu. Aku memang punya sebuah cincin yang
kebesaran. Cincin itu seperti cincin pernikahan. Aku tidak tahu kapan
mendapatkan cincin itu. Berarti cincin itu pemberian dari ‘J’..
“ Gua juga masih inget waktu lo hampir digigit anjing akhirnya
malah gua juga yang digigit. Padahal gua takut sama anjing gede. Sejak
itu kakak-kakak gua ngejekkin gua. Mereka selalu menyanyikan lagu
tentang kita berdua untuk menggoda gua.
40
Trus.....waktu gua harus pulang...lo ngasih gua foto kita berdua.
Itu foto satu-satunya karena klisenya rusak. Lo mau liat?”
`J` mengeluarkan dompetnya dan memperlihatkann foto 2 anak
kecil. Yang cowo sekitar umur 7 tahun, lehernya dipeluk gadis kecil
sekitar berusia 5 tahun. Dan gadis kecil itu adalah aku. Gigi `J` ompong
dan senyumnya terlihat lucu sekali. Dari belakang aku memeluknya
dengan penuh kasih sayang. Foto yang sangat ceria dan hangat.
Aku menoleh pada `J` yang memandang foto itu dengan wajah
yang sangat lembut.
Aku tidak pernah tahu kalau ada orang yang begitu
menyayangiku dari sejak aku kecil selain kedua orang tuaku. Aku tidak
tahu apakah pantas untukku disayangi sementara hatiku mengejar
sosok yang lain.
`J`, seharusnya kamu menyayangi gadis lain.....
“ Dis, masa lalu boleh kamu lupakan tapi gua pengen lo janji
....jangan lupakan yang sekarang....”
Dadaku terasa sesak melihat matanya yang memohon padaku.
Aku merasa tidak pantas mendapatkan kasih sayang sebesar ini.
Seandainya aku bisa mendapat waktu tambahan untuk memberikan
kenangan yang manis pada `J`. Aku pun tidak ingin melupakan
kenangan saat ini. Saat-saat aku bisa merasakan bahwa ada orang yang
menganggapku sebagai orang yang sangat berarti.
“ Mau ke pantai?” tawar ‘J’. Tanpa menunggu jawabanku `J`
bangkit dari tempat duduknya dan pergi ke tempat parkir motor. Tak
lama kemudian kami sudah melaju menyusuri jalan raya yang mulai
sepi menuju pantai Anyer.
`J`....maafin gua.
***

41
BAB V

Semalaman aku dan Gladis berjalan-jalan mengelilingi kota


Cilegon. Aku banyak makan makanan kesukaannya untuk
mewakilinya. Aku juga menuliskan surat darinya untuk Ryan yang
meminta Ryan untuk tidak melakukan sesuatu hanya karena merasa
bersalah.
Aku tidak tahu harus merasa sedih atau merasa senang.
Semalaman aku merasa senang karena bisa banyak bercerita
dengannya. Mengingatkannya tentang masa-masa kecil yang sudah ia
lupakan. Tapi di sisi lain aku merasa takut, sedih dan sesak karena 1
jam lagi aku harus berpisah darinya.
Sekarang kami berdiri di tepi pantai Anyer dan menikmati angin
laut yang bertiup kencang. Kami berdua melangkah di atas pasir tetapi
hanya 1 jejak yang tertinggal.
“ Kalau nanti lo udah dijemput, kita masih bisa ketemu lagi
ngga?” tanyaku penuh harap.
Gladis tertawa geli dan berjalan mendahuluiku. Ia berbalik
menghadapku dan melangkah mundur.
“ Kalau masalah itu cuma Tuhan di surga yang tahu. Tapi
sebaiknya sih ngga. Kalau pun lo ketemu gua, itu perlu dipertanyakan.
Beneran gua atau ngga tuh.”
“ Kira-kira waktu sampai surga lo bakalan dapet mahkota apa?”

42
“ Semoga bukan mahkota kayu. Gua mau mahkota emas. Tapi
tergantung Tuhan menilai pelayanan gua di Gereja selama ini. Gua
sendiri masih suka ngedumel....Mmmm `J`...”
“ Ya?”
“ Maaf.....karena gua ngga inget semua kenangan kita waktu
kecil dan...sikap gua waktu di bus dan semua-semuanya. Memang sih
kita baru kenal sebentar....Tapi lo emang orang baik. Sebenarnya gua
masih pengen bisa ngobrol banyak dengan lo tapi.......Gua harap lo mau
maafin gua.”
Aku hanya bisa terdiam mendengar kata-kata Gladis. Kutarik
napasku dalam-dalam untuk menahan tangisku. Aku tidak ingin Gladis
pergi dengan perasaan galau.
“ Lo tenang aja. Gua bukan tipe pendendam. Apalagi sama lo. “
Gladis menghentikan langkahnya dan tersenyum kaku. Sangat
terlihat jelas kalau dia menahan tangis.
“ Tolong jaga BoNyok gua. Jagain Karen ya `J`?”
“ Gladis...”
“ Oh ya...lo hebat bisa masuk jurusan musik di SI. Dan sekarang
gua baru ngerti kenapa banyak cewe yang ngejar-ngejar
elo....hehehe...hik...hik...”
“ Ngga, Dis...Gua bukan anak SI jurusan musik, Dis. Gua anak
Universitas TA jurusan desain komunikasi visual. Waktu itu gua asbun
karena gua liat lo dingin banget. Tapi...klo masalah cewe-cewe
itu...emang banyak yang ngejar gua...makanya gua kurus kayak
gini...hehehehe...cape dikejar terus...Sekali-kali gua `kan juga mau
ngejar....Tapi cewe yang mau gua kejar keburu pergi duluan.....”
Gladis mengatupkan rahangnya dan menarik nafas dalam-dalam
mendengar kata-kataku. Aku pun melakukan hal yang sama.
Perpisahan ini terasa begitu berat.
Perlahan aku mendekatinya dan memandang matanya dalam-
dalam. Untuk yang terakhir kalinya, aku ingin terus mengingat
wajahnya. Kusentuh wajahnya yang tidak bisa kusentuh.
Gladis...Seharusnya ngga kayak gini! Seharusnya aku bisa
menyentuh kamu!

43
“ Terima kasih, ‘J’” Gladis merentangkan tangannya dan
memelukku sekalipun yang akhirnya kurasakan hanyalah angin yang
berhembus. Tidak ada kehangatan dan tidak ada sentuhan.
Gladis memandangku lagi dan tersenyum pahit.
“ Udah waktunya `J`.” Bisik Gladis sambil memandang ke arah
belakangku.
Aku menoleh dan melihat seorang malaikat berpakaian serba
putih mendekati kami. Ia tersenyum hangat pada Gladis. Gladis
membalas senyumannya dan melangkah mendekatinya.
Tunggu dulu! Kenapa Gladis dengan entengnya mengikuti dia?!
“ Gladis! Tunggu!”
Gladis tidak mendengarkanku ia malah terus berjalan tanpa
mempedulikanku.
“Gladis!”
Gladis mengulurkan tangannya untuk menerima uluran tangan
malaikat itu. Rasa-rasanya aku tidak bisa menerimanya. Ini belum
waktunya Gladis pergi! Gladis belum boleh pergi!
Dengan cepat aku melangkah dan menyusup diantara malaikat
itu dan Gladis. Aku menatap malaikat itu dengan tajam dan malaikat
itu membalas dengan tatapan lembut.
“ Ambil nyawaku saja.” Bisikku dengan dalam. Malaikat itu
tersenyum dengan hangat seolah mengerti perasaanku. Sementara
Gladis memandangku bingung.
“ Ambil nyawaku saja!” ulangku dengan suara yang lebih
memaksa dan tanpa kusadari rasa sesak yang ada dihatiku meledak dan
menghancurkan bendungan air mataku. Aku tidak ingin kehilangan
Gladis....Aku tidak mau!
“ Kau yakin?” tanya malaikat itu dengan suara yang begitu
menenangkan jiwa. Aku mengangguk mantap.
“ `J`...`J`...lo mau ngapain? Lo jangan bercanda! Gua ngga
suka!”
Tanya Gladis panik. Ia mulai ketakutan. Ia tampak gemetar dan
ngeri.
“ Kalau begitu ikut aku.”
Malaikat itu mengulurkan tangannya dan aku segera
menyambutnya. Seketika itu aku merasa diriku ditarik dengan keras
44
dari lubang yang dalam. Tak lama kemudian kulihat tubuhku jatuh
berbaring di atas pasir. Aku merasakan diriku melayang.
“ `J`...JANGAAAANNNN!! `J` JANGAAAAN!!”
Gladis memandangku dan menjerit histeris. Ia melihat ke arahku
dan tubuhku bergantian. Tangisnya bergetar dan begitu ketakutan.
“ Jangan lakukan itu! `J`! Jangan `J`!”
Aku memandang Gladis dengan tenang dan teringat satu hal
yang belum kulakukan untuknya. Semua orang sudah mengatakannya
tapi aku belum mengatakannya. Kalau begitu aku yang akan
melakukannya.
“ Gladis, semua orang bilang mau mati buat lo tapi mereka
belum melakukan apa-apa. Karena itu, gua ngga perlu ngomong....gua
mau buktiin kalau gua mau mati buat lo. Karena gua tahu...hari ini
belum waktunya lo mati. Tugas lo buat keluarga dan teman-teman lo
masih banyak. Lo harus selesaikan semua itu.”
“ Jangan ngomong sembarangan! Lo sendiri gimana?! Lo pikir
ini waktunya lo mati? `J` gua mohon jangan lakukan itu!”
Aku tak mendengarkan kata-kata Gladis lagi. Aku kembali
menghadap ke arah malaikat dan ia mengulurkan tangannya ke arah
Gladis. Kulihat Gladis memejamkan matanya dan perlahan ia
menghilang. Aku percaya sekarang Gladis akan membuka matanya dan
bertemu dengan orang-orang yang ia cintai.
Setelah itu aku dan malaikat itu saling berhadapan. Ia tersenyum
begitu hangat membuat rasa takutku hilang.
“ Kupikir malaikat kematian memakai jubah hitam dan
membawa sabit hitam.”
“ Itu `kan khayalan manusia saja.”
“ Jadi....?”
“ Kenapa kau ingin mati buat Gladis?”
“ Hahaha...kalau ditanya begitu aku juga bingung. Aku hanya
merasa kalau belum waktunya dia mati. Dia masih punya banyak tugas
dan yang aku lihat dia banyak membahagiakan orang. Sekalipun
kadang-kadang dia galak dan judes.”
“ Tidak adakah alasan lain?”
Aku terdiam beberapa saat dan menatap mata malaikat itu
dengan tajam.
45
“ Ya......aku menyayanginya. Mungkin tidak sebesar cinta Tuhan
padanya.”
Malaikat itu tersenyum dan mengangguk pelan. Beberapa saat ia
menutupi salah satu kupingnya dan manggut-manggut seperti orang
yang mendengarkan sesuatu.
Tak berapa lama ia kembali menegakkan kepalanya.
“ Tuhan menitipkan salam. Dia bangga padamu. Teruskan
pelayananmu dan masalah tentang orang tuamu ia minta supaya kamu
tidak memakai kekuatan sendiri. Tuhan yang akan menyelesaikannya.”
Mendengar kata-kata malaikat itu entah kenapa hatiku menjadi
penuh dengan perasaan haru dan senang hingga tanpa sadar aku
menangis.
Ya...Karena aku belum pernah mendapat pesan langsung dari
Tuhan. Rasanya aku mau meledak karena terlalu senang. Kalau bisa
aku cepat-cepat dibawa pergi.
Tapi tunggu...Kenapa tadi Tuhan pake acara titip salam?
Bukannya aku mau dibawa ke surga? Atau jangan-jangan.....
“ Jangan berpikir yang tidak-tidak. Pejamkan matamu...Kau akan
melupakan semua ini...lupakan....”
Bersamaan dengan suara malaikat yang semakin pelan mataku
semakin berat dan akupun tertidur lelap sekali. Sangat lelap hingga aku
tidak menyadari keadaan sekelilingkku....Hmmm...apa aku sudah ada
di surga?***

BAB VI

46
Aku membuka mataku dan tertegun melihat sekelilingku. Aku
berada di tempat yang tidak kukenal sama sekali. Tercium dengan jelas
sekali bau obat yang menyengat.
Aku berusaha bangkit dari tempat tidur tapi selang yang ada di
seluruh tubuhku membuatku sulit bergerak. Selain itu tubuhku terasa
lemah sekali dan beberapa bagian tubuhku terasa sangat sakit.
Aku kembali berbaring dan menatap langit-langit.
Kuperkirakan aku berada di rumah sakit. Iya, sepertinya begitu.
Tempat yang bau obat dan memasang banyak selang pada tubuh orang
`kan hanya rumah sakit.
Kenapa aku bisa sampai di sini? Oh iya, aku menabrak mobil.
Bukan, bukan! Mobil itu yang menabrak aku.
Aku masih hidup ya? Kupikir aku sudah mati. Thank You God!
Aku melihat sekeliling ruangan dan keadaanya sepi. Tidak ada
siapa pun. Masa tidak ada yang menjagaku sih? Aku mau tahu sudah
berapa lama aku di rumah sakit. Jangan-jangan sudah mulai masuk
kuliah.
“ Papa jangan ngomong sembarangan dong! Gladis pasti
sembuh. Mama yak...”
Langkah dan kata-kata Mama terputus di depan pintu. Matanya
terpaku padaku dan lama-kelamaan matanya berkaca-kaca.
Aku tidak tahu apa yang salah dan akhirnya aku hanya bisa
tersenyum dan memanggil Mama dengan berbisik.
“ Mama....”
“ Gladis....Gladis....Anak Mama!!!”
Mama langsung memelukku dengan erat dan menangis tersedu-
sedu. Sementara Papa hanya melihat dan tersenyum. Sepintas aku
melihat Papa menangis juga.
Hi..hihi...jarang-jarang lihat Papa menangis.
“ Ma, Gladis udah di sini berapa lama?” tanyaku dengan lemah.
Keadaan tubuhku memang tidak fit. Rasanya mengantuk dan lemas
sekali.
“ Kamu sudah dirawat selama 2 minggu sayang. Selama itu
kamu ngga sadar-sadar. Mama sama Papa sampai ketakutan.”
Aku tersenyum lemah dan memandang Mama dan Papa dengan
penuh permohonan maaf karena sudah membuat mereka khawatir.
47
Mama terus menceritakan kekhawatiran Papa dan Mama waktu
aku dirawat sementara perasaanku terus mencari-cari sesuatu. Entah
apa. Tapi sesuatu yang sangat penting.
Aku terus memandang sekelilingku, ke arah Mama, ke arah
Papa tapi tidak menemukan jawabannya. Rasanya benar-benar penting.
Dan jika aku tidak bisa menemukannya aku bisa menangis.
Aku terus mencari di sekelilingku dan tetap tidak
menemukannya.
Sebelum aku meledak karena putus asa kuputuskan untuk tidak
menghiraukan perasaan itu. Sekalipun perasaan itu begitu kuat
kurasakan.
***
“ Nah, Gladis. Kamu harus banyak istirahat. Mama ngga mau
kamu mikirin yang berat-berat dulu. Nanti Mama bawain susu ya?”
Aku tersenyum lemah pada Mama dan menarik nafas pelan saat
ia menghilang di balik pintu. Dari hari pertama aku siuman Mama terus
mengomel dan menasehatiku untuk banyak makan. Kepalaku sampai
mau meledak mendengar daftar hal-hal yang harus aku hindari. Ngga
boleh ini, ngga boleh itu. Bisa-bisa aku hanya berbaring di tempat
tidur.
Kamarku tidak banyak berubah. Sepertinya Mama
membersihkannya setiap hari.
Aku melangkah ke arah meja belajarku dan mengelus laptop
kesayanganku. Sudah lama aku tidak menulis cerita.
Hei, gambar siapa ini?
Aku mengambil secarik kertas bergambar wajah.
Wajahku.....tampak sedih dan putus asa.
Rasanya aku tidak pernah menggambar seperti ini. Aku tampak
cantik dan berkilau di gambar itu. Boleh juga!
Tapi siapa yang menggambarnya?
Aku membalik gambar itu dan menemukan sebuah huruf `J`
yang ditulis dengan sangat khas. Di sana juga ada pesan ` Gladis,....Just
smile. It will make you more beautifull!`
Aku tersenyum geli dan kurasakan hatiku tergelitik. Aku baru
ingat kalau si `bocah rese` menginap di rumahku. Kemana dia? Sejak
aku siuman aku tidak melihatnya.
48
Kenapa rasanya kangen ya?
Aku keluar dari kamar dan diam-diam naik ke lantai 2.
Kudekati kamar `J` perlahan-lahan dan mengetuknya dengan sangat
hati-hati. Tidak ada yang menjawab.
Aku mengetuk lebih keras. Tetap tidak ada yang menjawab.
Kuketuk lebih keras lagi dan tidak terdengar suara sedikit pun.
Akhirnya kuputuskan untuk membuka pintu. Pelan sekali aku
membukanya dan melihat ke dalam ruangan. Tidak ada siapa-siapa.
Bahkan kamar itu seperti tidak pernah ditinggali.
Aku masuk dan memeriksa setiap bagian kamar, siapa tahu ada
bekas jejak kalau `J` pernah tinggal di kamar ini. Aku terus
membongkar setiap bagian kamar tapi tidak ada satu pun barang yang
menunjukkan kalau `J` pernah tinggal di kamar ini.
Mungkin Mama tahu sesuatu.
Dengan langkah terburu-buru aku pergi ke dapur. Sampai di
dapur nafasku ngos-ngosan karena aku belum terlalu kuat untuk
banyak gerak. Mama mulai mengomel melihat aku yang ngos-ngosan
tapi aku tidak bisa mendengar omelannya lagi. Yang aku inginkan saat
ini mengetahui keberadaan `J`.
“ Ma, `J` kemana?” tanyaku dengan memaksa. Tapi Mama
malah terdiam.
Aku terus memandang Mama untuk meminta jawaban dan
akhirnya Mama mau bicara.
“ Sehari sebelum kamu siuman `J` mengalami kecelakan dan
orang tuanya langsung menjemputnya. Sekarang dia dirawat di rumah
sakit di Jakarta. Mama belum tahu perkembangan keadaannya.”
Jantungku terasa ingin meledak mendengar berita dari Mama.
Bagaimana mungkin `J` bisa kecelakaan. Orang seperti dia...Kenapa?
Kenapa aku merasa sesakit ini mendengar keadaannya? Aku ingin
melihatnya! Aku ingin melihat keadaannya!
“ Ma, Gladis mau ketemu `J`! Ma, kita ke Jakarta sekarang!
Ayo Ma!”
“ Sayang kamu `kan masih lemah. Kamu harus banyak
istirahat.”
“ Gladis kuat kok! Ma, ayo Ma!”

49
“ Sayang, kemarin `J` baru saja dibawa ke Amerika untuk
dioperasi. Kita ngga bisa nyusul `kan. Kita cuma bisa nunggu
kabarnya.”
Kakiku terasa lemah mendengar kata-kata Mama.
Amerika...Kenapa di Amerika?! Amerika terlalu jauh. Bagaimana aku
menyusulnya. Bagaimana.......
Tanpa sadar aku meneteskan air mata dan menangis terisak-
isak. Aku tidak tahu kenapa aku harus menangisinya. Setahuku aku
begitu membencinya tapi kenapa mendengar kalau dia kecelakaan
begitu mengguncangku hingga aku tidak dapat mengendalikan
perasaanku yang begitu sakit dan ketakutan.
Mama memelukku agar aku lebih tenang tapi perasaanku
malah bertambah kacau. Aku ingin bertemu dengannya! Hari ini dan
saat ini juga!! Aku ingin memastikan kalau dia baik-baik saja!
`J`.....Jangan mati! Jangan mati!
***

BAB VII

Aku mengamati lukisanku dengan seksama. Rasanya ada yang


kurang tapi aku tidak tahu apa.
TOK! TOK!
“ Masuk.”
Tanpa perlu menoleh aku tahu siapa yang masuk. Julian,
tunanganku yang sama sekali tidak aku harapkan menjadi tunanganku.
Dia membawakan biskuit dan susu yang kupesankan pada Bi Atul. Dia
meletakkannya di dekat meja kerjaku setelah itu ia berdiri diam di
sebelah kiriku.
Lama aku tidak mempedulikannya dan hanya sibuk pada
pekerjaanku. Aku tidak menggubrisanya karena aku memang benar-
benar sibuk.

50
Dia tidak bergeming sama sekali aku sampai merasa kasihan.
Aku menoleh padanya dan ia membalas tatapanku dengan senyum
lembutnya.
“ Ada apa? Gua lagi sibuk banget nih. Lo ngga cape berdiri
disitu terus?” tanyaku dengan dingin.
Julian menggeleng pelan. Ia malah tersenyum senang seperti
anak kecil yang baru diberi permen lolipop.
“ Om nyuruh aku ngajakin kamu nonton karena dari pagi kamu
ngga keluar kamar.”
Aku menarik nafas kesal dan kembali menghadap ke arah meja
kerjaku dengan mood yang rusak. Papa terlalu banyak ikut campur
urusan pribadiku. Kenapa dia nyuruh Julian ngajak gua nonton. Dia
`kan cewe! Adanya juga gua yang ngajak. Yah, walaupun memang gua
pasti akan menolak kalau disuruh mengajak Julian nonton. Tapi tetep
aja buat gua ngga etis! Dikiranya gua ngga gentle apa?!
“ Memangnya lo mau nonton apa?” tanyaku tanpa minat.
Julian menarik nafasnya karena bersemangat. Matanya
berbinar-binar seolah melihat berlian sebesar batok kelapa.
“ Kita nonton film romantis ya?” serunya terlalu antusias.
“ Ngga! Gua ngga suka film kayak gitu. Film lain aja.”
“ Terus mau nonton apa?” tanyanya pelan. Semangatnya jadi
menurun.
Yeah, gimana pun gua males nonton film kayak gitu. Tapi nih
anak kayaknya bakal bawel kalau ngga nonton tuh film. Terserahlah!
“ Ya udah. Nonton itu! Keluar sana! Gua mau ganti baju.”
Julian memekik riang dan dengan cepat ia pergi keluar.
Heeeehh, sepertinya aku menjadi pengasuh anak.
Setelah ganti pakaian aku turun ke bawah dan menemui Julian
yang ditemani Papa dan Mama. Dua orang tuaku itu tersenyum puas
menatapku.
SEBELLL!!!!
“ Selamat bersenang-senang ya?” ujar Papa sambil memberikan
tangan Julian padaku agar kugandeng. Aku meraihnya dan
menggandengnya dengan senyuman terpaksaku.

51
Papa dan Mama mengantarku sampai di pintu. Aku menaiki
mobil Honda Jazz biruku dan langsung melaju begitu Julian menutup
pintu. Gadis itu sampai terkejut karena aku terlalu cepat mengemudi.
“ `J`, kamu marah ya?” tanya Julian dengan nada ketakutan.
Aku jadi merasa bersalah. Tidak seharusnya Julian jadi
pelampiasan amarahku. Ini kebiasaan burukku.
“ Ngga, gua ngga marah kok. Sori ya kalo bikin lo ketakutan.”
Julian mengangguk mengerti dan mulai tenang. Wajahnya
kembali berbinar cerah.
Sementara itu aku memelankan laju mobilku dan
mengendarainya dengan tenang. Dalam hati aku berdoa meminta kasih
karunia Tuhan agar Ia memberikanku hati yang sabar. Semuanya pasti
ada maksudnya kenapa aku harus melewati masalah ini.
Yeah, bagiku ditunangkan dengan Julian merupakan suatu
masalah. Sekalipun Julian cantik tapi hatiku tetap tidak bisa
menerimanya. Entahlah kenapa. Pokoknya tidak bisa.
Sampai di mall aku dan Julian segera turun setelah
memarkirkan mobil. Kami langsung menuju bioskop karena sebentar
lagi film yang akan kami tonton akan segera dimulai.
“ Kamu yang beli tiketnya ya?” pintaku pada Julian. Dengan
mantap Julian segera pergi membeli tiket sementara aku membeli
popcorn dan soft drink untuk kami berdua.
`J`!
Aku menoleh saat kudengar seseorang memanggilku. Kulihat
sekeliling bioskop dan tidak ada seorang pun yang aku kenal. Mungkin
aku berhalusinasi. Kukeluarkan dompetku dan membayar semua
belanjaanku.
`J`!
Aku menghentikan gerakanku dan mendengarkan dengan
seksama. Memang ada yang memanggilku. Aku menoleh ke belakang
lagi tapi tidak ada satu pun yang aku kenali.
“ `J`, ini tiketnya.”
Aku terlonjak saat Julian menepuk bahuku. Aku berbalik dan
melotot padanya. Julian sendiri terkejut melihat reaksiku sampai ia
melangkah mundur seolah-olah aku adalah makhluk buas yang siap
menerkamnya.
52
Sepertinya aku melakukan kebodohan lagi.
“ Maaf.”
Dengan linglung aku membayar belanjaanku dan pergi menuju
studio tempat kami harus nonton. Aku sama sekali tidak mempedulikan
Julian yang masih shock. Tapi akhirnya dia menyusul karena aku tidak
bisa masuk tanpa tiket yang ada di tangannya.
Film sudah dimulai. Aku dan Julian duduk di depan sepasang
cewe cowo. Aku rasa Julian salah ambil tempat duduk. Sepanjang film
berjalan dua pasangan ini membuat film sendiri. Si cowo ngebet banget
pengen merangkul cewenya sementara si cewe terus berusaha
menghindari rangkulan cowo itu. Hahaha...pemandangan yang jarang-
jarang `kan?
Cowo itu terus berusaha mendekati cewe itu dan cewe itu terus
berusaha menghindari cowo itu. Aku melemparkan beberapa popcorn
ke arah si cowo dan ia langsung menoleh sementara aku berpura-pura
menonton dengan serius. Beberapa kali aku melakukannya dan cowo
itu mulai gusar.
Tampaknya kegusarannya semakin membuatnya nekat. Tak
lama setelah aku melemparkan popcorn cowo itu langsung nyosor dan
memaksa cewe itu agar mau dicium.
PLETAKKKK!!! BAK BUK! JDUK!!
Spontan cewe itu menamparnya dan memukulnya berkali-kali.
Terakhir dia mendaratkan tinjunya di rahang cowo itu. Tanpa bicara
apa-apa lagi si cewe langsung keluar dari studio.
Tanpa bisa menahan tawaku aku terbahak melihat cowo itu
mengelus-elus pipinya. Kudengar ia mengumpat ke arahku dan segera
ia menyusul si cewe.
Nggg...rasa-rasanya aku punya firasat buruk tentang dua orang
itu. Mungkin aku harus membututi mereka.
“ Jul, tunggu di sini ya? Gua mau ke toilet.”
Aku menyerahkan popcorn dan softdrinkku pada Julian dan
bergegas menyusul pasangan aneh tadi.
Bukannya mau ikut campur tapi firasatku buruk tentang
mereka. Jangan-jangan cowo itu mau berbuat gila.

53
Aku mengikuti cowo itu dari jarak jauh. Dari postur tubuhnya
cowo itu termasuk ok. Kayaknya dia suka fitnes karena badannya
lumayan berotot.
Mana cewenya ya?
BRAK!!
Karena terlalu berkonsentrasi mengikuti cowo itu aku tidak
melihat sekelilingku dan hasilnya aku menabrak seorang cewe. Tapi
aku tidak mempedulikannya. Aku langsung pergi saja dan segera
mencari sosok cowo gatel itu lagi.
Ia masuk ke area parkir yang sepi. Ia masih terus menguntit
cewe itu dan tiba-tiba ia mengejar cewe itu. Cewe itu terus berlari
menghindar tapi akhirnya ia tertangkap.
Cowo itu membekap mulutnya dan menariknya ke sela-sela
mobil yang diparkir.
Aku bergegas berdiri untuk menolong cewe itu
tapi...BRAKKK!!!
Aku menabrak orang lagi tapi kali ini kepala kami saling
berbenturan. Spontan aku mengaduh dengan keras.
Suaraku mengagetkan cowo mesum itu dan ia langsung kabur.
Tanpa mempedulikan kepalaku yang sakit aku segera mengejarnya dan
aku melompat untuk menangkapnya. Lalu....
GUBRAAAAAKKKK...!!
Aku dan dia mendarat di tanah. Cepat-cepat aku membelit kaki
dan tangannya agar ia tidak kabur.
“ Panggil keamanan!! Cepat!!” aku berteriak dengan keras pada
cewe yang tadi dikejar dan ia pun berteriak-teriak meminta tolong.
Tak lama kemudian beberapa satpam muncul dan
melepaskanku lalu memborgolku...Loh!!!
“ Pak! Pak salah! Yang satu lagi! Dia mau memperkosa saya!
Kalu dia malah mau menolong saya.” Cewe tadi langsung menarik
satpam itu dan menunjuk cowo gila tadi.
Piuhhhh....untung saja. Satpam-satpam itu langsung melepaskan
aku dan menangkap tersangka yang sudah berniat kabur.
“ Kenapa ngga bilang dari tadi Mas?” ujar satpam yang
berkumis tebal sambil tersenyum lebar padaku. Aku hanya bisa tertawa
geli melihat senyumnya yang aneh.
54
“ Kalau gitu kami tahan dia dulu sambil menunggu polisi
datang. Kalian bisa jadi saksi `kan?”
Aku dan cewe tadi manggut-manggut bersamaan.
Kedua satpam itu membawa cowo itu ke pos mereka dan
sementara aku mulai merasakan sakit dikepalaku karena bekas tadi
berbenturan dengan kepala orang lain. Siapa ya tuh orang, gua harus
minta maaf.
“ Makasih ya atas pertolongannya. Kalau ngga gua ngga tahu
udah kayak apa.” Cewe tadi menghampiriku dan menjabat tanganku
dengan sangat erat. Matanya berbinar memberikan tanda kalau ia
sangat terkesan padaku. Aku hanya bisa tersenyum membalas
tatapannya.
Ia terus menatapku seperti terpesona....Sudah biasa!
“ Kenalin, gua Fransisca. Panggil aja Sisca.”
“ Gua Jacob. Panggil aja `J`.”
Aku dan Sisca bersalaman sangat lama sekali sampai tanganku
pegal. Sepertinya Sisca benar-benar terpesona padaku. Bukannya ge-er
tapi kenyataan!
“ Aduuuuhhh....!”
Tiba-tiba terdengar suara erangan seorang cewe. Aku dan Sisca
langsung menoleh ke asal suara dan menyusuri tempat parkir untuk
mencari orangnya.
Ternyata seorang cewe yang sedang terduduk sambil
memegang kening dan belakang kepalanya. Ia menangis menahan
sakit.
“ Gladis?! Kenapa lo?”
Cewe itu menoleh mendengar Sisca memanggilnya dan aku
hanya bisa terdiam memandangnya.
Mendengar namanya saja jantungku sudah berhenti sekarang
melihat wajahnya aku merasa dadaku kosong melompong. Ada rasa
senang dan rindu tapi juga ada takut dan sakit. Jantungku seperti jatuh
ke perutku.
Aku terus terpaku melihat ke arah Gladis yang sibuk
menceritakan tentang cowo menyebalkan yang menabraknya dan
malah meninggalkannya tanpa meminta maaf sama sekali.
Sepertinya yang sedang dia bicarakan itu aku.
55
“ Maaf...” bisikku pelan tapi cukup keras untuk didengar
Gladis. Gladis tidak langsung menoleh.Sesaat ia hanya terpaku karena
terkejut. Lalu perlahan ia menoleh padaku.
Kami saling memandang tanpa bicara sama sekali. Kepalaku
terasa begitu penuh. Dia tidak berubah sama sekali. Ada perasaan yang
begitu kuat yang memaksaku untuk menghampirinya dan memeluknya.
Kenapa aku merasakan hal ini? Kenapa rasanya ada perasaan senang,
rindu dan lega yang membuat hatiku terasa diaduk-aduk....Ada apa ini?
Aku dan Gladis terus berpandangan. Rasanya saat itu seperti
hanya ada antara aku dan dia. Aku bisa melihat dimata Gladis kalau dia
merasakan hal yang sama denganku...
“ Hai....” sapaku dengan suara tercekat. Aku ingin
menghampirinya dan memeluknya lalu berseru kalau aku sangat
merindukannya tapi kaki dan tanganku seperti tertahan oleh pikiranku
sendiri. Otakku tidak mengijinkanku bereaksi karena emosi sesaat.
“ Hai...” Gladis membalas sapaanku dengan cara yang sama.
Suaranya seperti tertahan di tenggorokan dan sekali lagi kami terdiam.
Kami hanya saling memandang seolah sedang melakukan telepati.
Seandainya aku bisa membawanya pergi dari sini dan mengajaknya
pergi ke suatu tempat dimana kami bisa mengobrol berdua saja tanpa
harus diganggu orang lain...Ya, ampun! Ada apa sih denganku! Aku
‘kan tidak mungkin segila itu! Bisa-bisa aku dibilang tukang nyulik
anak orang!
“ Se..seperti biasa lo selalu menyebalkan ya? Apa lo ngga bisa
lebih sopan sedikit? Gara-gara lo gua harus dapet benjol double!” kata-
kata Gladis membangunkanku dari lamunan dan dengan cepat langsung
kulepaskan jabatan tangan kami.
“ Apa?” tanyaku meminta Gladis mengulang pertanyaannya
lagi.
Gladis menunjuk kening dan belakang kepalanya dengan wajah
tidak terima. Ia memonyongkan bibirnya dengan cara yang sama
seperti dulu.
Aku tertawa kecil melihat caranya berekspresi yang tidak
berubah. Aku mengulurkan tanganku untuk membantunya berdiri dan
ia menerimanya tanpa ragu. Dan kami pun berhadap-hadapan. Aku bisa
melihat setiap helai bulu matanya yang lentik.
56
“ Akhirnya gua bisa nyalam lo.” bisiknya pelan. Sesaat aku
tidak mengerti dengan apa yang ia katakan. Tetapi jauh di dalam lubuk
hatiku yang dalam aku merasakan kelegaan, senang dan geli yang luar
biasa yang membuatku secara spontan tersenyum lega. Aku menarik
napas dan memandang tangan kami yang saling menggenggam.
Rasanya sudah lama aku ingin memegang tangan mungil ini.
“ Aku ngga ngerti dengan yang lo omongin tapi gua seneng kita
bisa salaman.”
Gladis langsung menepis tanganku dan menjulurkan lidahnya.
“ Jangan kamu pikir gua udah mengubah penilaian gua ya?!
Buat gua lo tetep `cowo aneh yang menyebalkan`!”
Aku angkat bahu menyerah. Terserah dia menyebutku apa yang
pasti aku sangaaaaaaaaaaaaattttttttttttt senang bisa bertemu dengannya.
Dia dalam keadaan yang sehat tanpa cacat sama sekali. Perasaan
senangku begitu meluap-luap padahal aku tahu dia tidak suka padaku.
“ Dis, lo kenal sama dia?” Sisca menghampiri kami dan
memandangku dengan heran.
“ Oh iya, Sis. Gua kenal dia 2 tahun yang lalu. Yang gua tahu
dia orang paling narsis sedunia.”
Gladis mencibirkan bibirnya ke arahku seolah aku orang yang
benar-benar pantas dihindari. Yah, masih dengan gayanya yang dulu.
“ Gua kira orang yang paling narsis di dunia itu elo, Dis.
Ternyata ada yang lain ya?”
“ Yeeeeee!! Jangan ngomong gitu dong, Sis! Jatohin harga diri
gua aja lo!”
“ Tapi `kan memang bener.”
“ Udah ah! Ngga usah dibahas!”
Gladis menoleh kepadaku dan aku segera menutup mulutku
karena sedari tadi aku hanya tertawa melihat Gladis. Dia benar-benar
lucu. Tidak berubah sama sekali walau secara fisik ia tampak lebih
cantik dan dewasa.
“ Gua mau ke pos satpam ngurusin si PlayBoy Hans. Lo mau
ikut? Lo `kan saksi juga.”
Baru saja aku mau mengangguk dengan mantap, menerima
ajakan Gladis tiba-tiba ponselku berdering. Aku merogoh sakuku dan
melihat nomor yang masuk. Ternyata Julian.
57
“ Halo?”
“ `J`, kamu dimana? Filmnya udah selesai nih! Cepetan ke sini
dong! Gua takut sendirian!”
“ Iya, gua ke sana. Tunggu aja ya. Jangan kemana-mana!”
Aku menutup telepon dan kembali memandang Gladis yang
sedang sibuk mengutak-atik kamera digitalnya. Ia menoleh padaku dan
menggerakkan alisnya menunggu jawaban dariku.
“ Nggg...gua ngga bisa ikut. Ntar lo hubungin gua aja ya?
Soalnya gua udah ditunggu.”
“ Ok! Catet nomor ponsel gua aja ya?”
Gladis menyebutkan nomor ponselnya dan dengan cepat aku
langsung menyimpannya dalam memori ponselku. Aku merasa sangat
beruntung hari ini. Bertemu Gladis dan mendapatkan nomor ponselnya.
Sayangnya kami harus pisah. Padahal aku masih ingin banyak ngobrol
dengannya.
“ Sampai ketemu lagi. See you tomorow! Ciao! Sayonara! Bye
bye!” Gladis melambaikan tangannya padaku dan aku membalasnya
dengan lemah. Gladis terus berjalan mundur dan melambaikan
tangannya tapi ia tidak berpaling dariku sama sekali.
Duh, kalau dia terus begitu aku bisa mengejarnya dan
menangkapnya agar dia tidak pergi. Dari pada aku kehilangan akal
sehatku dan melakukan hal yang gila mungkin sebaiknya aku yang
membalikkan badan lebih dulu.
Akhirnya aku membalikkan badan dan melangkah
meninggalkan area parkir. Rasanya kakiku sangat berat untuk
melangkah. Aku ingin berbalik dan menemui Gladis dan menceritakan
semua yang aku alami selama ini. Tapi.....
Ya ampun!! Aku ini kenapa sih?! Kisah masa kecilku itu `kan
seharusnya tidak aku anggap serius! Kenapa rasanya aku begitu
mengejar-ngejarnya! Dia itu `kan galak! Keras kepala! Bawel dan
kasar!
`J`...sebaiknya kamu pilih gadis lain!***

58
BAB VIII

Aku menghentikan lambaian tanganku dan menurunkan


tanganku saat sosok `J` menghilang di antara mobil-mobil yang
diparkir. Mataku tidak bisa lepas dari tempat tadi ia berdiri dan
tersenyum memandangku.
Ok! Aku mulai aneh! Tapi aku benar-benar merasa senang
bertemu dengannya dan entah kenapa bisa saja aku mengejarnya dan
memintanya untuk tidak pergi dan terus menemaniku. Tapi harga diri
boooooooo...! Aku tidak mau dianggap murahan!
Kenapa aku bisa sekangen ini sama `makhluk menyebalkan` itu
ya? Rasa-rasanya tidak ada yang berkesan antara aku dengan dia. Aku
hitung-hitung aku baru mengenalnya 2 hari. Tapi kenapa rasanya sudah
bertahun-tahun.

59
Aku tercenung sesaat dan teringat bagaimana rasanya saat
pertama kali menyadari kehadirannya. Aku merasa seperti menemukan
yang selama ini aku cari. Yang aku cari sejak aku siuman di rumah
sakit 2 tahun yang lalu. Sebenarnya ada apa ya?
Ah, sudahlah. Yang terpenting aku bisa bertemu dengannya dan
sekarang aku merasa sangat senaaaanggggggg sekali!
***
Menu makan malam hari ini adalah mie instan!! Ha-ah!!
Sekalian ngurusin badan! Uang bulanan mulai sekarat jadi aku harus
berhemat!
There is none like You. No one else can touch my heart like You
do.
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku sampai kaget dan hampir
menjatuhkan mangkuk mieku.
Bergegas aku menyambar ponselku dan menjawab si
penelepon.
“ Halo?”
“ Dis, apa kabar?”
Suara yang ngebas. Rasanya gua kenal suara ini. Siapa ya?
“ Woi, lo ngga kenal gua? Ini gua! Cowo keren sedunia!”
mendengar kata-kata narsis yang sudah kukenal, jantungku langsung
melorot dan berdegup kencang. ‘J’ meneleponku!!
Tenang...Tenang! Aku harus tetap tenang!
Aku menarik napas dalam dan mulai bicara.
“ Salah! Cowo narsis sedunia! Ada apa telepon-telepon?”
“ Ngga berubah ya? Tetep galak.”
“ Emang dasar nasib lo yang apes gua galakin terus.”
Di seberang sana `J` tertawa pelan membuatku tersenyum-
senyum sendirian. Ih, mulai deh ngga warasnya! Denger orang narsis
ketawa aja senengnya luar biasa. Kayaknya aku sudah ketularan
penyakitnya si `J`.
“ Gimana kasusnya?”
Aku mengunyah mieku dengan terburu-buru dan segera
menelannya lalu menjawab pertanyaan `J`. Tingkahku seperti orang
yang sedang ditanya seorang presiden. Padahal `kan kalau `J`
menunggu jawabanku untuk beberapa lama tidak apa-apa.
60
“ Yah gitu. Gua punya bukti dari kamera digital gua jadi dia
ngga bisa ngelak lagi.”
“ Sebenarnya itu sengaja atau tidak sengaja? Kok bisa
kebetulan lo bawa kamera?”
“ Ngga sengaja. Gua baru beli itu kamera dan puji Tuhan
langsung berguna! Berguna luar biasa lagi! Huaaaaa..
Panaaaaaaassssssss!”
“ Lo lagi ngapain sih? Lagi makan ya?”
“ Iya, makan mie. Mau?”
“ Kok, makan mie?! Ntar sakit lagi! Bukannya lo ada mag?”
“ Udah kanker nih gua. Jadi mau gimana lagi.”
“ Yah elah! Kasih tahu dimana alamat kosan lo! Biar gua
anterin makanan. Kebetulan Nyokap tadi masak makanan enak.”
“ Ngga usah repot-repot kali! Memang besok lo ngga kuliah?
`Kan udah malem!”
“ Menghina! Gua `kan udah kerja!”
“ Oh iya, ya? Hehe gua lupa. Habis tampang lo masih bocah
sih.”
“ Maksud lo?? Gua imut-imut gitu?”
“ Waaaaaaaahhhh...Fitnah banget!!”
“ Ngga usah malu-malu kalau mau memuja gua. Gua udah
biasa kok.”
“ Gua jadi ngga nafsu makan.”
“ Bohong!! Pasti sekarang lo masih makan mie lo! Jangan
bohong ya!”
Aku terkekeh membenarkan tebakan `J`. Di seberang sana pun
aku merasakan kalau dia sedang tersenyum. Walaupun pikiranku
mengatakan kalau aku ini gila bisa begitu merasa senang ditelepon
orang senarsis ‘J’, tetapi hatiku mengatakan kalau telepon dari ‘J’
adalah seperti energi yang memberiku kekuatan lebih besar dari
makanan sebanyak apapun. Hehehe...terlalu berlebihan...tapi aku
memang merasa seperti itu!
“ Gua ke sana ya? Gua ngga mau kalau sampai lo sakit.”
Nada bicaranya tiba-tiba menjadi lebih tegas membuatku
sedikit terkagum. Padahal dia cuma ngomong kayak gitu doang aku
bisa kagum. Aneh...aneh..
61
Aku baru akan menolak tapi `J` sudah menutup teleponnya.
Lalu sms darinya datang meminta alamatku. Aku membalasnya dengan
meminta agar dia tidak usah repot-repot tapi aku tetap memasukkan
alamatku. Hehehehe...sebenarnya aku berharap dia datang dan
sekaligus pada makanan itu juga.
Yah, berkat jangan ditolak dong!
***
Aku melongok keluar kamar berkali-kali menunggu Mbak Dara
memanggilku dan mengatakan kalau ada yang mencariku. Tapi lama
aku tunggu Mbak Dara tidak memanggilku. Perlahan aku menutup
pintu dengan perasaan cemas. Jangan-jangan `J` kenapa-napa. Aku
menggigit tanganku dengan gugup.
Sekilas aku melihat gambar Tuhan yang tersenyum lebar dan
hangat. Aku jadi malu sendiri karena merasakan Tuhan mengerti
perasaanku tapi aku tidak mau mengakui apa yang kurasakan.
“ Tidak! Tidak! Aku tidak menyukainya! Mencemaskannya
bukan berarti menyukainya `kan?” ujarku membela diri berusaha
mengalahkan suara-suara yang menuduhku menyukai `J`.
Ngga ada salahnya menyukai seseorang. Asalkan kamu ngga
menjadikan dia diatas segala-galanya. Sayangi dia sebagai saudara
`kan bisa.
Aku menyeringai mendengar suara hatiku. Iya...Aku tidak mau
menganggap ‘J’ sebagai cowo yang special. Aku rasa dia lebih cocok
menjadi kakakku.
Yah, aku `kan sudah sering ikut seminar LSD (love, sex and
dating) jadi aku bisa praktekan cara mengatasi `cinta eros` yang
`berbahaya`!!
“ Yak!!! Gua memang rada suka sama dia! Tapi ngga tahu
kenapa! Pokoknya gua akan berjuang supaya gua cuma nganggep dia
saudara! Ngga lebih! Hari-hari gua cuma buat Tuhan, pelayanan, temen
dan..........nyari kerja!!!”
Untuk yang terakhir semangatku langsung menyusut. Aku baru
ingat kalau lamaran yang aku kirimkan ke beberapa sekolah swasta
belum ada jawabannya. Hik...hik...gua ngga mau jadi pengangguran
banyak acara! Gua mau punya kerja sebelum wisuda!
Tok! Tok!
62
Aku terlonjak mendengar pintu kamarku diketuk. Bergegas aku
mengetuknya dan berharap Mbak Dara yang mengetuk. Saat kubuka
ternyata Sisca. Ia tersenyum sambil tersipu-sipu. Rasa-rasanya akan
ada sesuatu yang akan dia minta.
“ Dicari `J`. Dia ada d di ruang tamu. Sekarang anak-anak kos
lain lagi pada nanyain dia. Tina lagi gencer ‘pdkt’ sama dia tuh. Lo
ngga marah kalau banyak yang ngegebet dia?”
Aku hanya menyeringai mendengar pertanyaan Sisca. Marah
ngga ya? Kalau gua marah berarti gua cemburu dan menginginkan
dia....
Gua marah ngga ya?
“ Woi! Kok malah bengong sih? Udah ditungguin tuh!”
Sisca membangunkanku dari lamunan dan bergegas aku ke
lantai 1. Di ruang tamu `J` memang benar-benar sedang dikerumuni
anak-anak kos. Ada yang nanya nomor ponsel, ada yang nanya tinggal
dimana. Sampai yang minta foto bareng. Huehehhehe kena deh dia jadi
salah satu korban anak-anak.
“ Oiii, Coy! Kasian tuh bocah! Jangan dikerjain kayak gitu
dong!”
Aku menghampiri mereka dan tertawa geli melihat `J` yang
mulai gusar dengan pertanyaan bertubi-tubi dari Tina. Ia hanya
menjawab singkat sambil tersenyum terpaksa.
“ `J`, lo mau ngobrol di sini atau di luar aja?”
Tanpa menjawab `J` langsung membawa bungkusannya dan
keluar lebih dulu melewatiku. Anak-anak langsung protes karena aku
memonopoli `J`. Aku hanya terkekeh dan segera menyusul `J` ke teras.
Aku menyapu lantai teras dan menyuruh `J` duduk. Tanpa
memprotes ia langsung duduk dan menyodorkan bungkusan yang ia
bawa.
“ Nih, Nyokap sekalian titip salam.”
Aku menerimanya dan melihat isinya. Isinya membuatku sangat
bersyukur. Tuhan memang baik dan selalu menjawab kebutuhan anak-
anakNya.
Hehehehe...gua dapet snack yang banyak, nuget dan sekotak
makanan. Ngga tahu sih apa isinya. Yang penting, Thank You God!!

63
“ Makasih, ya? Salam balik buat Tante. Padahal gua belum
pernah ketemu.”
“ Makanya lo main ke rumah gua. Kakak-kakak gua juga
pengen ketemu elo.”
Aku mengerutkan keningku. Rasanya aneh keluarga `J` seperti
begitu mengenalku. Padahal aku merasa baru mengenal `J`.
“ Jangan ngeliatin gua kayak gitu dong. Gua tahu lo heran
kenapa keluarga gua pengen banget ketemu lo. Nyokap lo `kan udah
bilang kalo kita tuh teman kecil.”
Aku tersenyum kaku dan tetap tidak percaya dengan apa yang
dia katakan. Kalau memang kami teman kecil kenapa aku tidak ingat
satu pun hal tentang `J`.
“ Gua tahu lo lupa sama gua. Ngga usah dibahas deh. Kalau lo
emang lupa ngga usah diinget. Daripada lo jadi botak.”
“ Tapi gua pengen tahu. Ngomong-ngomong kita pernah
ngebahas ini ya?”
`J` melihat ke atas seolah mencari ingatannya dan mengangguk
pelan. Tapi kemudian ia mengerutkan dahinya berusaha mengingat
sesuatu.
“ Memang kapan kita ngebahas ini? Tapi memang sih rasanya
gua pernah cerita masa kecil kita ke lo. Cuma gua lupa kapan.”
“ Sama...”
“ Otak gua jadi gatel. Gua ngga bisa inget kapan.”
“ Ngaco lo! Otak mana bisa gatel!”
“ Mau garukin?”
“ Wah, dengan senang hati! Sekalian gua pengen liat isi otak
orang narsis. Gedenya juga pasti cuma sebiji jagung.”
“ Tega!”
“ Emang...Bweee!”
“ Dasar lo! Lo dendam sama gua ya? Salah gua apa siih?”
“ Hehehehe...seneng aja ngeliat orang kayak lo menderita.”
“ Bukannya gara-gara lo naksir gua?”
“ Aduh...Makasih....Gua masih normal.”
“ Segitunya...Emangnya gua kurang apa sih? Gua ini cowo
perfect loh! Ciptaan Tuhan yang luar biasa.”
“ Mau tahu lo kurang apa?”
64
“ Iya. Coba sebutin.”
“ Kurang bisa merendahkan diri...”
`J` memandangku tanpa ekspresi dan tiba-tiba dia tertawa geli
sambil berpura-pura ingin memukulku.
“ Bisa aja lo ngejawab.”
Aku hanya bisa tertawa geli melihat reaksinya yang tidak bisa
menjawab kata-kataku. Sepertinya dia kehabisan kata-kata.
hehehehe...aku menang! Aku menang!
“ Daripada ngga ada yang muji mendingan muji diri sendiri
`kan?” ujar ‘J’ berusaha membela diri. Ia melirikku menunggu aku
membalas. Melihat lirikannya tiba-tiba aku tidak bisa bicara.
Kurasakan wajahku terasa panas tetapi dengan cepat aku langsung
membalasnya.
“ Yang meninggikan diri akan direndahkan.”
“ Ini namanya bukan meninggikan diri tapi pulih gambar diri.”
“ Terlalu pulih.”
“ Hehehehehe...Yang penting gua masih waras.”
Aku menjulurkan lidahku mendengar jawabannya.
Aku merasa senang bisa ngobrol dengannya seperti ini. Tidak
seperti waktu di rumah dulu. Aku melihatnya dengan penuh kebencian.
Sekarang justru aku menyukai kenarsisannya. Unik. Walau kadang
bikin eneg. Hehehehe.
“ Itu yang gua bawain dimakan dong.”
“ Kalau buat besok gimana?”
“ Jangan. Ntar basi. Dimakan sekaranga aja. Sini gua bukain.
Udah ada sendoknya kok.”
“ Hehehe...Lo baik deh.”
“ Tumben muji.”
“ Kalau lo baik doang. Karena lo tadi ngomong kayak tadi gua
cabut kata-kata gua.”
“ Dasar, wanita amazon.”
“ Biarin.”
“ Nih, abisin.”
“ Wuihhhhhh, enak nih! Tante jago masak ya?”
“ Jangan tanya... Gua aja lebih suka makan di rumah daripada
di luar.”
65
“ Kalo gitu lo tiap hari ke sini aja.”
“ Maksud lo!? Enak aja lo! Lo kira gua tukang antar katering?
Kalau mau dateng sendiri!”
“ Galak banget sih.”
“ Emang cuma lo doang yang bisa galak.”
“ Jelek kalo marah.”
“ Mau marah atau ngga gua tetep ganteng. Handsome
forever!!!”
“ Narsis!! Udah gua berdoa dulu biar gua ngga jadi ikut-ikutan
narsis.”
Aku bergegas menutup mata dan melipat tangan sebelum `J`
menjawab kata-kataku. Aku berdoa agar makanan ini dilayakkan untuk
aku makan, dan orang yang membuat serta yang mengantarnya
diberkati. Juga untuk keluarga `J` yang baik. Juga orang-orang yang
belum mendapat makan malam semoga Tuhan memberkati dan
memberikan apa yang mereka butuhkan. Dan yang pasti aku ingin
mengucapkan terima kasih pada Tuhan karena aku dipertemukan lagi
dengan ‘J’. Ngga tahu kenapa aku harus senang tetapi yang pasti aku
merasa sangat bahagia bisa bertemu dengannya lagi.
“ Lama banget doanya.” Ujar `J` saat aku selesai berdoa dan
siap untuk menyantap makanan yang tampak lezat yang ada
dipangkuanku.
“ Iya dong. Emangnya lo yang punya prinsip makanan yang
harganya dibawah 5000 ngga perlu didoain.”
“ Enak aja! Elo kali tuh! Bagi tahunya!”
Dengan cepat `J` menyambar tahu dan memasukkannya ke
dalam mulut dengan bulat-bulat. Padahal tahu itu cukup besar.
Aku hanya memandangnya dengan takjub. Pantas saja dia
banyak omong ternyata mulutnya benar-benar besar. Buktinya satu
tahu yang cukup besar langsung muat dimulutnya.
Setelah menelan seluruh tahu `J` menyeringai dengan lebar dan
mencoba menyomot satu lagi tapi aku langsung menepis tangannya.
“ Lo bawainnya buat gua atau buat lo sih?!”
“ Minta satu lagi aja deh. Gua laper nih.”

66
Aku memotong salah satu tahu menjadi dua dan
menyodorkannya pada `J`. Dasar cerdik dia malah mengambil yang
utuh dan langsung memasukkan ke mulutnya seperti sebelumnya.
Dengan berpura-pura kesal aku langsung menjauhkan posisi
dudukku dan mulai makan dengan tenang. Sekali-kali aku melirik
padanya dan mencibir. `J` cuma menyeringai dengan mata melirik ke
arah kotak makanan. Kujulurkan lidahku dan `J` cuma bisa garuk-
garuk kepala.
“ Gladis! Gladis!”
Aku mendengar namaku dipanggil tapi bukan `J` yang
memanggilku. Aku melihat ke arah pagar dan ternyata Vicky yang
memanggilku.
Bergegas aku meletakkan kotak makanan dan membuka pagar.
Vicky adalah teman satu kampusku tapi dia dijurusan teknologi
informatika. Dia sering datang ke fakultasku dan ngobrol denganku.
Dia sering curhat tentang mantannya dan masalah-masalahnya.
Hehehe...sekalian praktek konseling.
“ Ada apa Vic?” tanyaku sambil mempersilahkan dia duduk di
teras.
Aku mencari kotak makanan dan melotot saat melihat `J`
sedang asyik mencomoti tahu tapi dia tidak benar-benar
menghabiskannya. Setelah memberi tanda agar `J` tidak menghabiskan
makanan itu, aku duduk di sebelah Vicky yang sedang memandangi `J`
dengan penasaran.
“ Oh iya, Vicky ini temen gua Jacob. Panggil aja dia `J`.”
Vicky mengulurkan tangannya dan menyalam `J` dengan
hangat. Tapi dari matanya aku melihat ada kecurigaan pada `J`.
“ Ng, gua harus pergi ya?” tanya `J` saat menyadari pandangan
curiga Vicky.
“ Ngga. Gua cuma mau ketemu Gladis kok. Soalnya seharian
ini gua ngga ketemu dia.”
`J` mengangguk mengerti sambil melirikku dengan senyuman
`mengertinya`. Apa maksudnya?
“ Gua denger ada temen lo yang ditahan polisi ya, Dis?”
“ Iya. Si Hans. Ternyata dia tuh PlayBoy Cap 4 jempol. Dia
yang selama ini bikin anak-anak cewe di fakultas gua berhenti kuliah.
67
Selama ini ngga ada bukti yang bisa nahan dia tapi kemarin gua udah
dapet gambar yang bisa mergokin dia.”
“ Lo ngga kenapa-napa `kan? Gua denger juga kalo lo luka.”
“ Hah? Luka? Cuma benjol doang kok. Nih, gara-gara dia ini!”
Aku menunjuk `J` dan segera merampas kotak makanan yang
ada ditangannya. Ia menyeringai sambil garuk-garuk kepala. Ngga ada
keren-kerennya sama sekali. Tapi selalu menganggap dirinya keren.
“ Memang kenapa?” tanya Vicky sambil memandang aku dan
`J` bergantian. Wajahnya tampak was-was sekali.
“ Gua nabrak dia sampe jatuh dan waktu gua jatuh kepala gua
kebentur bemper mobil. Untung ngga terlalu keras.”
Aku memasukkan satu suap nasi ke mulutku lalu memotong
kecil tahu dan mengambil sedikit tumis kangkung.
Hmmmmmmmm...ENAK BANGETTTT! Baru kali ini gua ngerasain
tahu dan kangkung seenak ini! Asli, enak banget!
“ Yah, gua `kan ngga tahu kalau ada orang lain yang ngikutin
tuh cowo. Lagian gua juga benjol kok. Impas `kan?” `J` berusaha
membela diri.
Aku menelan makanan yang ada di mulutku dengan cepat agar
bisa menjawab kata-kata `J`. Apanya yang adil!?
“ Adil apaan?! Kepala lo tuh keras banget! Gua sampe pingsan
gara-gara kebentur. Untung gua ngga amnesia.”
“ Sori. Lagian gua kira yang keras itu kepala lo. Lo `kan suka
susah dibilangin.”
Aku cuma bisa mencibirkan bibirku mendengar sindirannya
karena mulutku penuh makanan. Aku kembali berpaling pada Vicky
dan ia sedang memandangi `J` dengan tatapan tidak suka. Ekspresinya
agak membuatku bergidik.
“ Vic, lo ngga usah cemas. Gua baik-baik aja kok. Lo liat `kan
kalau nyawa gua masih di tempatnya?”
Vicky tersenyum lemah dan sekilas melirik `J` lagi. Beberapa
saat kami hanya terdiam. `J` sibuk dengan smsnya, aku dengan
makananku dan Vicky dengan pikirannya sambil terus memandangi
`J`dengan tajam.
“ Dis, ini buku yang kemarin lo titip ke gua. Lupa. Gua `kan ke
sini buat nganterin ini buku.”
68
Vicky menyodorkan sebuah buku novel yang selama ini aku
cari. Novel itu masih terbungkus dengan rapih.
Aku memandang Vicky dengan merasa tidak enak. Masalahnya
aku tidak punya uang untuk menggantikan uang Vicky.
“ Waduh, Vic. Gua lagi sekarat. Kalau gua bayarnya ntar
gimana?”
Vicky menggeleng dan meletakkan buku itu dipangkuanku.
“ Ngga apa-apa. Anggep aja hadiah dari gua. Gua ikhlas kok.”
“ Aduh, Vic. Jangan gitu. Gua `kan ngga ulang tahun.”
“ Ngga apa-apa. Anggep aja hadiah karena lo udah jadi teman
gua yang baik. Simpen baik-baik ya?”
“ Vic, gua....”
“ Udah terima aja. Pake pura-pura ngga enak. Kalau ngga mau
ya buat gua aja. Kebetulan gua belum punya.”
Plak!
Aku memukul tangan `J` yang mencoba mengambil buku itu
dari pangkuanku dan memandangnya dengan kesal. Dia membuatku
malu.
“ Makasih ya, Vic. Ntar kalau gua udah dikirimin uang bulanan
gua bakal ganti uang lo.”
Vicky tersenyum mengerti sementara `J` bersiul meledekku. Ia
melirikku lalu kembali bersiul.
Rasanya aku mau melempar buku itu ke wajahnya. Dia
membuatku malu setengah mati.
“ Kalau gitu gua balik dulu ya? Salam buat Sisca.”
Vicky bangkit berdiri dan melambai padaku tanpa
mempedulikan lambaian `J`. Setelah Vicky menghilang dari pandangan
aku langsung menatap `J` dengan kesal.
“ Lo bikin gua malu aja!”
`J` menyeringai dan bangkit berdiri. Ia berdiri di hadapanku dan
memberikan selembar foto padaku. Aku menerimanya tanpa
melihatnya.
“ Dia naksir sama elo tahu.”
“ Vicky tuh cuma temen biasa.”
“ Bagi elo tapi coba lo tanya langsung perasaan dia sama elo.”

69
Sekali lagi `J` bersiul menggodaku. Ia tertawa kecil dan
melangkah menuju mobilnya.
“ Main ke rumah ya? My sisters nunggu lo. Bye! Mimpi indah!
Jangan mimpiin gua ya?”
“ Ngga akan!”
Aku meletakkan kotak makananku dan bergegas membukakan
pagar untuk `J`. Ia memundurkan mobilnya dan saat dekat denganku ia
menghentikan mobilnya.
“ Kenapa cepet-cepet pulang?” tanyaku dengan nada sedikit
kecewa. Aku sendiri terkejut mendengarnya.
“ Udah malem, Non. Ntar lo masuk angin. Lagian ngga baik
cewe bareng cowo berdua doang malem-malem.”
“ Kita `kan cuma ngobrol.”
“ Bukan ngobrol tapi debat. Kalau gua terus di sini bisa-bisa
gua masuk tivi tapi masuk program kriminal. Korban kekerasan wanita
sadis.”
Aku terkekeh mendengar `J` memperbaiki kata-kataku. Sesaat
aku merasakan `J` memandangiku, aku jadi tidak berani mengangkat
kepalaku. Bisa-bisa wajahku memanas kalau kami bertemu pandang.
Aku `kan mau menganggap dia hanya sebagai saudara.
“ Gua balik ya? Jangan kangen sama gua.”
Aku mengangkat kepalaku dan menjulurkan lidahku. Ia tertawa
dan memundurkan mobilnya dengan hati-hati. Setelah mobilnya sudah
berada di jalur yang benar ia melambaikan tangannya.
“ Makasih ya Mbok!” serunya sambil tertawa dengan keras.
Aku hanya menunjukkan tinjuku untuk membalas seruannya. Dan
sampai mobilnya menghilang dibelokkan aku baru menutup pagar.
Aku masuk ke kamarku tanpa mempedulikkan pertanyaan Tina
tentang `J`. Dalam hati aku terus berdoa semoga saja aku tidak
memiliki perasaan yang khusus pada `J`.
Kalau dipikir-pikir aku merasa aman berada di dekatnya.
Seperti berada di dekat Papa. Mungkin ini rasanya kalau punya kakak
laki-laki.
Hmmm, boleh juga tuh. Lagian dia `kan lebih tua 2 tahun
dariku.
Hehehehe...gua punya kakak.
70
Eits, apa ini?
Ternyata dari tadi aku memegang foto yang diberikan ‘J’ dan
aku belum melihatnya sama sekali. Di foto itu ada seorang bocah laki-
laki berusia sekitar 7 tahun. Ia tertawa lebar menunjukkan giginya yang
ompong. Sementara itu seorang anak perempuan berusia sekitar 5
tahunan memeluk lehernya dari belakang sambil tersenyum lebar.
Mereka bahagia sekali...
Aku terdiam memandang foto itu...Anak perempuan di foto itu
adalah aku dan anak laki-laki itu sangat jelas dari wajahnya
menunjukkan kalau itu ‘J’. Inikah foto kami saat kami masih kecil?
Rasanya aku pernah melihatnya entah dimana. Yang membuat aku
lebih bingung..aku tidak merasa pernah berfoto seperti itu.
Ada apa sebenarnya denganku? Kenapa aku tidak bisa
mengingat kenanganku dengan ‘J’?
***

71
BAB IX

Aku menggaruk kepalaku dengan kesal karena sudah 3 jam aku


menunggu dosen pembimbing skripsiku yang dulu tapi ternyata dia
tidak masuk. Tahu begitu aku tidak akan datang mencarinya.
“ Tahu kayak gini mendingan tadi gua pergi ke pantai bareng
anak-anak kos! Huuuuuhhh!!!” rasanya aku kesal sekali. Sampai
seperti ada biji kedongdong yang nyangkut ditenggorokanku.
Sekarang, kalau aku pulang ke kosan pasti sepi. Ngga ada
orang. Gimana ya? Aku mau pergi kemana buat nunggu anak-anak
pulang ya?
Tiiiiinnnn!!! Aku terlonjak karena tiba-tiba sebuah mobil
Honda CRV menepi di dekatku. Dengan kesal aku memasang tampang
jutekku sambil menatap ke dalam mobil.
Jangan mentang-mentang punya mobil bagus terus bisa
seenaknya ngelakson orang!
“ Gladis, lagi ngapain? Ayo naik! Mau pergi kemana?” aku
menoleh ke mobil tadi dan dari pintu kaca mobil yang terbuka kulihat
sosok ‘J’ yang tersenyum lebar.
“ Ternyata elo!” protesku sambil bertolak pinggang. Di dalam
‘J’ malah tertawa senang.
“ Ayo buruan masuk!” ‘J’ membukakan pintu untukku dan
dengan agak ragu-ragu aku masuk ke mobil. Aku merasa agak
canggung berada satu mobil dengannya. Hanya berdua lagi.
“ Pakai sabuk pengamannya.”
Dengan gugup aku memasang sabuk pengamanku dan setelah
memasangnya aku terdiam. Aku tidak berani melirik ke arah ‘J’.
Kenapa aku jadi grogi begini ya?
“ Lo mau kemana? Biar gua anterin.”
“ Gua ngga tahu mau kemana.”
“ Loh...”
“ Tadi tuh gua nungguin dosen gua sampe 3 jam dan ternyata
dia ngga masuk. Kesel juga gua neh. Mau pulang ke kosan ngga enak.
Anak-anak pada ke pantai. Masak gua di kosan sendirian.”
72
“ Hahahha...Kasian dehh lo..!”
Aku memandang ‘J’ dengan kesal dan mencubitnya dengan
gemas tapi ia malah tertawa terbahak-bahak. Padahal aku sudah
mencubitnya dengan sekuat tenaga.
“ Terus sekarang lo mau kemana?” tanya ‘J’ setelah tawanya
mereda.
“ Lo mau kemana? Gua ikut deh.”
‘J’ menoleh padaku untuk memastikan kalau aku benar-benar
yakin dengan keinginanku. Aku pun menganggukkan kepalaku untuk
meyakinkannya.
“ Ok. Gua mau ke kantor dulu abis itu kita jalan-jalan ya?”
“ Ok! Siapa takut!”
Akhirnya dengan mantap ‘J’ mengemudikan mobilnya ke arah
tempat yang sudah ia hapal arahnya di luar kepala. Kami akan
bersenang-senang!
***
Bau pasir, bau laut...Matahari terbenam!!!
Aku dan ‘J’ akhirnya pergi ke pantai. Dia membawaku ke
pantai dimana ia selalu mencari inspirasi. Saat aku tanyakan kenapa
pantai, dia katakan dia sendiri tidak tahu.
“ Memangnya lo suka pantai?” tanyaku dengan berseru,
berusaha mengalahkan suara ombak yang menderu.
“ Ngga juga. Cuma...kalo ngeliat pantai..Entah kenapa perasaan
gua jadi campur aduk...Gua ngga tahu kenapa...”
Nada suara ‘J’ yang sedih membuatku terdiam. Ia memandang
matahari terbenam dan matanya menerawang entah kemana. Aku terus
memandangnya dan perasaan rindu itu muncul lagi.
“ Kelihatannya kenangan itu ngga enak ya?” tanyaku dengan
tetap memandangnya lekat-lekat. ‘J’ menoleh padaku dan tersenyum
pahit, membenarkan tebakkanku.
Kutarik napas dalam-dalam dan ikut memandang matahari
terbenam. Aku belum pernah melihat matahari terbenam secara
langsung karena itu, untuk pengalaman pertamaku ini, aku ingin
menjadi pengalaman yang menyenangkan.
“ Kalau kita membuat kenangan yang baru gimana? Ahli
psikologi juga bilang gitu kok. Kalau ada orang yang udah terpaku
73
sama pengalaman lama, berikan dia pengalaman baru untuk mengubah
tingkah lakunya.”
‘J’ memandangku sambil tersenyum. Setidaknya senyumnya
lebih ceria.
Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel kameranya. Ia
mendekatiku dan mulai memasang pose.
“ Say chees!”
Dengan cepat aku memasang wajah sok imutku. Saat ‘J’
melihat hasilnya ia tertawa terbahak-bahak. Apa yang
ditertawakannya?
Aku mengambil ponsel itu dari tangannya dan melihat hasil
fotonya. Ternyata wajahku terpotong, yang terlihat hanya kupingku.
Dasar tidak sopan!
“ Sengaja lo ya!” protesku sambil mengejar ‘J’ yang masih
tertawa. Semula ia berjalan pelan menuju laut tapi saat menoleh padaku
dan melihat aku mengejarnya, ia langsung berlari menghindariku.
Aku mengambil segenggam pasir untuk kulempar padanya.
Saat ia tidak jauh dariku, aku langsung melemparnya. Sayang meleset.
Kuambil segenggam lagi dan...
BUKK!!
Belum sempat aku mengangkat badanku untuk melempar ‘J”
lagi, dia sudah melemparku dengan pasir basah. Nyebellliiinnn!!
Dengan cepat kuambil pasir basah dan langsung melemparnya
dengan asal ke arah ‘J’. Ternyata dia lebih lincah.
BUKK!!!
Sekali lagi lemparan ‘J’ mengenaiku. Aku tidak terima
dikalahkan! Dari pada aku capek melemparnya dengan pasir lebih baik
kudorong dia ke air! Biar tahu rasa!
Kukejar ‘J’ dengan gemas dan penuh semangat. Ia terus
melempariku dengan pasir tetapi dengan cepat aku menghindar walau
beberapa kali tetap kena juga. Saat aku sudah dekat dengannya, aku
langsung melompat ke arahnya dan mendorongnya hingga ia jatuh ke
air.
“ Hahahah.....Rasain lo!!!” aku tertawa puas melihat ‘J’ yang
basah kuyub dan memandangku dengan kesal.

74
“ Wah, apaan tuh!?” tiba-tiba ‘J’ menunjuk ke arah belakangku.
Aku menoleh untuk melihat apa yang ia lihat. Tapi tiba-tiba ia
menarikku hingga jatuh dan aku ikut basah kuyub juga.
“ Hahaha...Rasain lo!!” seru ‘J’ mengulang kata-kataku tadi.
Aku mencibir padanya dan mulai melempar-lemparkan air padanya. Ia
membalasku dan sampai akhirnya tidak ada yang menang aku menarik
kepala ‘J’ dan mencelupkannya ke air.
Aku tertawa terbahak-bahak melihat ‘J’ yang megap-megap.
Tangannya menggapai-gapai dan tiba-tiba ia menarik kepalaku juga ke
air. Kali ini ia yang tertawa melihatku megap-megap.
Aku terus berusaha keluar dari air tapi entah kenapa tenagaku
jadi lemas dan aku mulai kesulitan bernafas. Tanganku menggapai-
gapai mencari pegangan. Saat kudapatkan lengan ‘J’, aku langsung
menariknya dengan kuat.
“ Gladis!” melihat aku berusaha dengan susah payah
mengambil nafas, ‘J’ langsung menarikku dan menggendongku.
Dengan panik ia membaringkan aku di pasir yang kering.
“ Uhuk! Uhuk!” tenggorokanku terasa sakit sekali dan lidahku
terasa sangat asin. Aku rasa aku menelan pasir.
“ Kamu ngga apa-apa?” tanya ‘J’ seperti orang ketakutan. Aku
menoleh padanya dengan lemas.
Ha! Dia menangis..
“ ‘J’, aku ngga apa-apa....Ke...Kenapa kamu nangis?!”
‘J’ terdiam mendengar kata-kataku dan mengusap air matanya.
Ia sendiri tampak bingung.
“ Sori....”
Beberapa saat aku terus memandangnya. Air matanya tidak
mau berhenti mengalir. ‘J’ sendiri terus berusaha menghentikan
tangisnya tetapi sepertinya emosinya tidak dapat ia tahan.
Aku terpaku melihat ‘J’ yang pelan-pelan mulai menangis
terisak. Ia menunduk dalam-dalam untuk menutupi wajahnya. Dia
membuatku bingung. Apa yang harus aku lakukan untuknya? Aku
tidak tahu masalah apa yang sedang dia hadapi jadi aku tidak bisa
menghiburnya.
“’J’...” panggilku pelan. Aku menyentuh bahunya dan perlahan
ia mengangkat kepalanya.
75
Nafasku tertahan melihat air mata ‘J’ yang mengalir deras
dipipinya. Dan yang lebih membuat lidahku kelu adalah mata ‘J’ yang
menyiratkan luka yang dalam.
“ Ma..maaf...Gua ngga tahu kenapa gua nangis..Gua sendiri
ngga bisa berhenti..”
Menyadari kalau aku tidak akan bisa berbuat apa-apa,
kuputuskan aku hanya akan duduk disampingnya. Menemaninya
sampai ia merasa lega.
Kutatap garis pantai yang terlihat tak berujung. Entah kenapa
melihatnya membuatku merasa sangat kecil. Pemandangan seperti ini
harus diabadikan.
Ha...Rasanya aku melakukan suatu kesalahan...
“’J’...” aku menoleh pada ‘J’ dengan ngeri. Dengan air mata
masih terus mengalir ‘J’ memandangku dengan bingung.
“ Apa?” tanyanya sambil mengusap ingus yang keluar dari
hidungnya. Ha, aku tidak bawa tisu atau sapu tangan untuk membantu
‘J’ membersihkannya.
“ Ponsel lo mana ya?” tanyaku dengan ngeri.
‘J’ terdiam sesaat dan bergegas merogoh semua sakunya.
Sepertinya tidak ada pada ‘J’. Seingatku ponsel ‘J’ terakhir kali, akulah
yang memegangnya.
“ Tadi lo taruh mana?” tanya ‘J’ dengan nada ngeri. Air
matanya sudah berhenti mengalir.
“ Ta..tadi aku bawa ke pantai...Gua berusaha ngejaga biar ngga
kena air..eh, tahu-tahu lo nyelemin gua...” jelasku dengan takut. Mata
‘J’ langsung melotot mendengar kata-kataku.
“ Sekarang ada dimana?” tanya ‘J’ terdengar agak marah.
Waduh, aku bisa dicincang neh!
“ Tadi..kayaknya aku lepas waktu aku ngga bisa napas...”
Plok!
‘J’ menepuk keningnya sendiri dengan kesal. Ia memandang ke
arah laut dan laut sudah mulai gelap. Beberapa kali ia menarik napas
dalam dan kemudian memandangku dengan tajam.
“ ‘J’ maaf!” jeritku karena tiba-tiba ia memandikan aku dengan
pasir kering.
“ Hahahaha...Biar tahu rasa!”
76
Gua dikerjain lagi. Dia sebenarnya marah atau ngga sih?!
Aku mengambil segenggam pasir lagi dan mengejar ‘J’ yang
berlari ke arah mobil. Saat ia lengah, kusiram ia dengan pasir.
“ Hahaahhaha...” aku tertawa keras sekali karena melihat wajah
‘J’ yang tampak gemas dengan pasir yang menempel hampir di seluruh
rambutnya.
“ Udah main pasirnya! Ayo foto!”
Tanpa menunggu jawabanku, ‘J’ menarikku agar mendekat
padanya. Ia mengambil kamera digitalnya dan merangkulku hingga
posisiku sangat merapat padanya.
Jantungku langsung berdegup kencang merasakan tangan ‘J’
yang besar memegang bahuku. Aku terus berusaha menutupi
kegugupanku dengan terus tersenyum lebar setiap kali ‘J’ menghitung
1,2,3.
“ Sekarang kamu sendirian ya?” ‘J’ mendorongku pelan hingga
pemandangan pantai ada di belakangku. Dengan gugup aku memasang
tanda ‘peace’ sambil tersenyum lebar.
“ Hahaha...Lo jelek banget seh!”
“ Biarin!” protesku sambil menyeringai lebar. ‘J’ tidak
membalas kata-kataku. Ia malah mendekatiku dan meraih tanganku.
Hanya dalam beberapa detik jantungku langsung mau copot. Pipiku
terasa panas merasakan genggaman tangan ‘J’. Ada apa denganku!?
“ Kita pulang, udah malem.”
Aku tidak menjawab karena aku terlalu berkonsentrasi
mengatur degup jantungku agar tidak terdengar ‘J’.
‘ J’ membukakan pintu untukku dan dengan tenang aku masuk
ke mobil. Setelah menutup pintu untukku, bergegas ‘J’ duduk di depan
setir dan kami pun melaju dengan mobil menuju kosanku.
Selama perjalanan aku tidak bicara. ‘J’ pun tidak bicara.
Suasana ini membuatku tersiksa.
Aku sudah memutuskan untuk hanya menganggap ‘J’ sebagai
saudara laki-lakiku saja tapi kenapa.....
“ Dis, masalah yang tadi...Jangan cerita ke siapa-siapa ya?”
pinta ‘J’ tiba-tiba. Aku menoleh padanya dan tersenyum mengerti.
Akhirnya dia bicara. Dengan begini aku bisa lebih merasa
tenang. Mungkin aku bisa membuat topik pembicaraan jadi aku tidak
77
akan berpikir macam-macam. Dan aku tidak perlu memikirkan degup
jantungku yang tidak karuan.
“ Sebenarnya tadi lo ngerasain apa?” tanyaku penuh perhatian.
‘J’ angkat bahu dan menarik napas dalam.
“ Aku sendiri ngga tahu. Yang pasti...Aku merasakan rasa sakit
yang dalam di hatiku...Aku seperti takut kehilangan sesuatu...”
Aku terdiam mendengar kata-kata ‘J’. Kenapa hatiku jadi
berbunga-bunga? Ha...maksud dia ‘kan bukan kehilangan aku..Dia
sendiri tidak tahu kenapa dia merasakan hal itu. Kenapa aku yang jadi
senang seperti ini?
Aduhhh...pikiranku mulai kacau!
“ Me..Memangnya lo takut kehilangan siapa?” tanyaku dengan
gugup. Aku sendiri bingung dengan nada bicaraku ini? Sepertinya aku
berharap namaku yang disebut...Gladisss...sadarlah!!!
“ Aku ngga tahu, ‘Dis. Ngga tahu sama sekali. Yang aku
tahu...Waktu ngeliat kamu kehabisan napas...Aku takut kamu..mati...”
‘J’ menyebut kata ‘mati’ dengan susah payah. Dia sangat takut
kalau sampai aku mati...Kenapa?
Kami tidak melanjutkan pembicaraan lagi karena kulihat ‘J’
mulai frustasi lagi. Kukatupkan rahangku menahan rasa ingin tahu
yang begitu besar dalam hatiku..Kenapa ‘J’ begitu takut kehilangan
diriku. Padahal kami belum lama kenal.
Seharusnya aku tidak perlu menanyakan hal yang tidak perlu
kutanyakan. Bukankah aku sendiri sudah berjanji untuk tidak
menganggap ‘J’ sebagai cowo yang spesial. Dia hanya saudara..Hanya
saudara...
Iya...hanya saudara laki-laki...
***
“ Makasih ya udah nganterin. Lo beneran ngga mau mandi di
sini aja? Ntar dimarahin bonyok lo ngga?” tawarku pada ‘J’ walau
sebenarnya maksud dalam hatiku supaya aku bisa lebih lama bersama
‘J’
“ Ngga usah. Udah malem..”
“ Ok deh.”
“ Dis, lo ma...”

78
“ Non Gladis! Kemana aja!? Mbak tungguin dari tadi! Ini ada
kiriman undangan pernikahan!”
Tiba-tiba Mbak Dara muncul sambil melambai-lambaikan
sebuah undangan. Saat ia sudah berdiri di dekatku, ia langsung
menyodorkannya padaku. Sekilas ia melirik ‘J’ sambil senyum-senyum
malu.
Duh..Mbak Dara neh! Bikin malu aja!
“ Hehehe...Kok berdua berantakan amat. Dari pantai ya?
Ngapain aja dipantai sampe berantakan begini?Hihihi...”
Kurasakan wajahku memanas mendengar pertanyaan Mbak
Dara pada ‘J’. ‘J’ sendiri cuma bisa tertawa melihat gaya Mbak Dara
yang pecicilan.
HA...Dasar orang aneh..Dua-duanya aneh!
Dengan tetap mengamati tingkah Mbak Dara kubuka surat
undangan berwarna baby blue yang ada di tanganku. Kubuka dan
kubaca nama pengantinnya. Aku tidak membaca semuanya karena dari
nama mempelainya saja sudah cukup untuk membuat dadaku terasa
sesak.
Aku bersandar lemas ke mobil ‘J’ dan menundukkan wajahku
dalam-dalam. Kurasakan gumpalan di tenggorokanku mendorong air
mataku untuk keluar. Aku menangis sesenggukkan.
‘J’ langsung panik melihat aku menangis. Ia turun dari mobil
dan menanyakan ada apa denganku. Aku tidak bisa menjawab
pertanyaannya. Aku hanya bisa menangis dan menangis.
‘J’ mengambil undangan yang ada di tanganku dan
membacanya dengan cepat. Ia tidak bertanya lagi. Ia hanya
memandangaku dengan tatapan simpati. Perlahan ia mendekatiku dan
meraih kepalaku. Dibiarkannya aku menangis di dadanya dan
perbuatannya itu malah membuat tangisku menjadi-jadi.
Kubalas pelukan ‘J’ erat-erat saat rasa sakit yang selama ini aku
tahan muncul lagi dan kali ini lebih sakit.
Ryan...akhirnya dia benar-benar menikah...Dia melupakan
aku...
Seandainya saja dulu aku...Tidak! Tidak! Aku tidak mau
berharap lagi! Aku tidak mau!

79
“ Huk..Huk...Akhirnya dia kawin juga...Orang yang waktu itu
‘J’...yang fotonya kamu temuin di mobil Papa...”
‘J’ melepaskan pelukannya perlahan dan memandangku penuh
pengertian. Dia tidak bicara. Hanya melihat dan mendengarkanku. Tak
dipedulikannya Mbak Dara yang ribut karena mencemaskanku.
“ Gua udah ngga punya harapan...Ngga punya harapan
lagi....’J’...Dia benar-benar lupa sama gua...”
Atau mungkin tidak pernah ada aku di hati Ryan....
Kenapa aku menceritakan semua ini pada ‘J’ seolah-olah dia
sudah tahu semua isi hatiku? Kenapa...Kenapa aku merasa begitu dekat
dengannya...?
“ ‘J’...maaf...Aku cerita tantang hal yang ngga kamu ngerti..”
‘J’ menggeleng. Ia menatapku dalam-dalam dan aku melihat
bahwa dia benar-benar mengerti. Bahkan kulihat bahwa ia merasakan
apa yang kurasakan.
‘J’, sebenarnya kamu ini siapa? Kenapa perasaan aku sama
kamu begitu kuat..sedangkan kenangan tentang kamu saja tidak
banyak...
Apa artinya ini Tuhan?
***

BAB X

80
Bayangan di depanku membalas tatapanku dengan sinis. Seperti
inikah yang sekarang aku rasakan? Begitu sinis dan merasa telah
berharap terlalu banyak?
Bayangan Gladis yang menangis terus menari-nari dikepalaku.
Tangisannya membuat dadaku terasa sakit. Aku tidak pernah berpikir
kalau aku akan melihatnya menangis seperti itu lagi...
Lagi? Memangnya kapan aku pernah melihat dia menangis
seperti itu selain hari ini?
Ada apa sebenarnya dengan diriku? Sejak aku bertemu Gladis
yang ada dipikiranku hanyalah bagaimana caranya untuk bisa berada di
dekatnya dan menanyakan apakah ia baik-baik saja. Ada banyak hal
yang ingin aku ceritakan tetapi aku sendiri bingung karena aku tidak
tahu apa yang harus aku ceritakan.
Ryan...Ternyata nama itu masih ada dalam hati Gladis. Sudah
dua tahun sejak kecelakaan waktu itu...
Bukankah Gladis seharusnya sudah melupakannya?
Tunggu..Kenapa aku berpikir seperti itu? Tentu saja Gladis
tidak akan mudah melupakannya...Karena Ryan..Karena Ryan....Siapa
sebenarnya Ryan? Aku memang pernah bertemu dengannya tapi aku
hanya tahu kalau Gladis menyimpan fotonya...
Arghhh...Sebenarnya ada apa ini! Aku seperti mengerti dengan
apa yang dialami Gladis tetapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya aku
mengerti! Aku jadi seperti orang bodoh!
Kugaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal dengan kesal.
Masalah Gladis benar-benar membuat kepalaku pusing. Perasaanku
begitu kuat padanya tetapi aku tidak tahu apa yang membuat perasaan
itu mengganggu pikiranku.
“ ‘J’, kamu udah selesai mandi?!” tiba-tiba Mami muncul di
pintu kamar mandi. Dengan melipat tangan di dadanya, ia
memandangku dari atas sampai bawah.
“ Kata Bi Tuti kamu pulang dengan badan penuh pasir. Bener?”
Nada pertanyaan Mami membuatku merasa tidak enak.
Sepertinya aku membuat kesalahan. Aku mengangguk pelan menjawab
pertanyaannya dan menyeringai lebar.

81
“ Jadi kamu ini sebenarnya dari mana? Mami ‘kan mau pakai
mobil, kamu malah pulang malam! Julian juga nungguin kamu seharian
tahu!”
Ha, Julian! Ya, ampun! Aku ‘kan ada janji mau makan siang
dengan dia waktu ketemu dengan Gladis...
“ Maaf, Mi. Aku lupa..”
“ Lupa gimana? Lupanya kamu itu udah keterlaluan!
Diteleponin juga ponsel kamu ngga aktif. Sebenarnya kamu dari mana
sih?! Jujur sama Mami!”
Entah kenapa aku merasa tidak enak kalau harus berkata jujur
tentang Gladis. Tapi aku juga tidak mau berbohong. Kalau pun aku
berbohong , Mami pasti langsung tahu dan aku bisa dihukum habis-
habisan. Mami paling tidak suka pembohong.
“ Mmm...Aku pergi ke pantai bareng Gladis, Mi.”
“ Gladis....Gladis temen kecil ka...”
Dengan cepat aku mengangguk sebelum Mami melanjutkan
kata-katanya. Beliau tampak terkejut sekali dan tak lama kemudian
tiba-tiba pandangannya menatapku dengan curiga.
“ Punya hubungan apa kamu sama Gladis?!”
Pertanyaan Mami nembak banget! Aku ngga tahu harus jawab
apa. Kurasakan wajahku memanas. Aku tidak mau Mami mengetahui
perasaanku.
“ Ngga..Ngga ada hubungan apa-apa kok, Mi. Kita kebetulan
ketemu terus aku ajak jalan-jalan aja.”
“ Terus kamu lupa sama janji kamu sama Julian karena pergi
sama Gladis ‘kan?”
Aku hanya bisa tertawa kaku mengiyakan kesimpulan Mami.
Aku mau mengelak bagaimana lagi. Yang ada dikepalaku waktu
bertemu Gladis hanyalah bisa berdua dengannya. Aku tidak bisa ingat
janjiku yang lain.
“ Mami peringatkan kamu ‘J’, kamu sudah bertunangan. Boleh
saja kamu berteman dengan siapa saja tapi jangan terlalu dekat.” Mami
memandangku dengan tajam membuatku tak berkutik. Perlahan beliau
mendekat dan merangkulku.

82
“ Suruh dia ke sini ya? Mami pengen ketemu. Udah lama Mami
ngga liat mukanya yang lucu itu. Kakak-kakak kamu juga pasti pengen
ketemu dia. Bawa dia ke rumah ya!” pinta Mami dengan riang.
Aku mengangguk ragu. Sikap Mami yang tiba-tiba berubah
membuatku tambah takut.
Tiba-tiba Mami mengecupku lembut dan membelai kepalaku.
Setelah itu ia meninggalkanku sendirian di kamar. Sebelum menutup
pintu kamarku, ia mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum
menggoda dan ia menutup pintu sambil tertawa geli sendirian.
Ya, ampun! Pantas saja kakak-kakakku aneh, Mami aja
kelakuannya membuat aku merinding. Dasar Mami!
Aku membaringkan tubuhku di atas ranjang saat tawa Mami
sudah tidak terdengar lagi. Kututup mataku dan kulihat wajah Gladis
yang tertawa lepas. Senyumnya yang lebar dan hangat seperti
melumerkan gunung es yang selama ini membekukan hatiku.
Kapan aku bisa bertemu dengannya lagi? Tentu saja dengan
tanpa membawa nama Ryan....
Gladis...Aku ingin bertemu lagi...
***
“ Penjahat itu sudah disidang dan hukumannya sudah
dijatuhkan. Untunglah waktu itu kamu ngga kenapa-napa ‘J’.”
Julian menyodorkan potongan apel yang sudah ia kupas.
Dengan cepat aku menerimanya dan langsung memasukkannya ke
dalam mulutku. Hari ini aku terjebak lagi. Papi memaksaku untuk
tinggal di rumah dan menemani Julian ngobrol. Rasanya aku ingin
kabur.
“ ‘J’...kamu dengerin aku ngga?”
Aku terlonjak mendengar suara Julian yang tiba-tiba mengeras.
Ia memandangku dengan kesal. Dari tadi aku melamun memikirkan
bagaimana caranya aku bisa kabur dan pergi meninggalkan Julian.
“ Iya..Lo tadi ngomong apa?”
Julian menarik napas dalam dan memandangku dalam-dalam.
“ Kamu mikirin apa sih? Dari tadi kamu tuh ngelamun aja!
Kamu ngga dengerin aku!”
“ Sori..”

83
Julian meletakkan pisau buah yang ia pegang dengan kesal. Ia
sandarkan tubuhnya di kursi dan memandang ke arah taman dengan
rahang yang terkatup kuat. Ia tampak sangat marah.
“ ‘J’ sebenarnya lo tuh peduli ngga sama hubungan kita? Gua
udah pusing ngeliat lo yang ngga pernah respek sama gua.”
Aku terdiam mendengar kata-kata Julian. Suaranya terdengar
bergetar dan sepertinya dia akan menangis.
Sebenarnya aku tidak ingin melukai Julian tapi aku ngga bisa
berpura-pura menyayanginya dan aku juga ngga bisa mengatakan yang
sejujurnya. Aku takut menyakiti dia.
“ ‘J’, sebenarnya lo nganggep gua apa sih?!” Julian berpaling
padaku dan memandangku dengan tajam. Ada ketidak sabaran
dimatanya. Ia marah padaku.
“ Julian...aku...Aku ngga pernah ingin menyakiti kamu..Yang
perlu kamu percaya..Gimanapun aku adalah tunangan kamu..”
Julian menahan napasnya mendengar jawabanku. Ia tampak
tidak puas.
Memangnya aku harus menjawab apa lagi?! Aku tidak ingin
menyakitinya!
“ Aku denger kamu ketemu sama Gladis...”
Tahu dari mana dia?! Pasti Mami deh yang
cerita...Bagus..Sekarang aku tambah bingung!
“ Aku pengen ketemu sama dia.”
Setelah mengucapkan kalimat terakhirnya Julian bangkit dari
duduknya dan meninggalkanku sendirian. Beberapa menit kemudian
kudengar deru mobil keluar dari garasi rumah.
Sekarang apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus
memutuskan hubungan dengan Julian? Tapi..Kalau aku melakukannya
Papi akan marah besar dan Julian pasti akan merasa sakit...
Tuhan, aku harus bagaimana?!
***

84
BAB XI

Vicky tersenyum geli memandangku yang sudah tidak sanggup


lagi meminum cola yang tadi kubeli. Seharusnya aku tidak memesan
yang ukuran large.
“ Duhhh, perut gua kenyang banget.” Keluhku sambil mengelus
perutku yang membuncit karena penuh dengan air.
“ Sekarang kita mau jalan kemana?” tanya Vicky setelah aku
membereskan tasku. Aku bangkit dari dudukku dan melihat sekeliling
mal. Kuingat-ingat barang-barang apa saja yang belum aku beli.
“ Ke toko buku aja kali ya? Soalnya gua mau cari buku buat
bacaan di kosan. Pengangguran banyak acara sih gua. Hehehe.”
Tanpa banyak tanya lagi Vicky langsung membawakan barang
belanjaanku dan menyuruhku untuk jalan lebih dulu. Tindakannya
yang gentle itu mengingatkanku pada Ryan.
Ryan...Seharusnya aku ngga mikirin dia lagi. Dia udah mau jadi
suami orang. Buat apa aku terus mikirin dia...
“ Kira-kira kamu mau beli buku apa, Dis?” pertanyaan Vicky
membangunkanku dari lamunan dan ternyata kami sudah ada di dalam
toko buku.
Aku melamun lagi!
85
Bergegas aku berpura-pura sibuk mencari buku. Aku tidak
ingin Vicky mengetahui kalau aku melamun. Setelah lama berpura-
pura mencari buku, akhirnya aku mulai berkonsentrasi. Ada beberapa
buku psikologi yang menurutku menarik tapi aku sendiri tidak yakin
apakah aku benar-benar akan membacanya. Mungkin sebaiknya aku
mencari buku yang lain dulu.
Aku bergeser sedikit dari tempat aku mencari buku-buku
psikologi populer dan aku menemukan buku psikologi umum. Buku
yang dulu aku pakai sebagai bahan kuliah.
“ Jadi kangen.” Gumamku.
Kuambil buku itu dan mulai membuka-bukanya dan aku
berhenti di satu halaman dimana buku itu membahas tentang 7 dosa
yang menyebabkan seseorang mengalami lupa. Aku membaca
beberapa. Blocking... motivated forgeting...Lupa yang disengaja....Dulu
aku paling ingat bahan ini...
Lupa yang disengaja...
Aku lupa tentang masa kecilku dengan ‘J’. Apakah itu karena
aku sengaja melupakannya? Sejak pertama bertemu dengan ‘J’
memang aku merasa ada yang aneh. Aku seperti sangat mengenalnya
tapi aku tidak ingat sama sekali.
Aku tidak punya ingatan yang banyak tentang ‘J’ tetapi hatiku
mengatakan lain. Mungkinkah waktu kecil aku memang tidak ingin
mengingat tentang ‘J’ sama sekali?
BRAK!
Tiba-tiba saja seorang cewe menyenggolku dan aku pun
menjatuhkan buku yang ada ditanganku. Bergegas aku mengambil
buku itu dan cewe itu pun berusaha membantuku.
“ Gladis, ada apa?” aku berpaling pada Vicky dan membuat
tanda ‘OK’ untuk mengatakan kalau semuanya baik-baik saja. Aku
berpaling pada cewe itu dan ternyata dia sudah pergi. Buku yang tadi
aku pegang sudah kembali ada di rak.
Cewe yang baik dan misterius.
“ Jadi, lo mau beli buku apa?” tanya Vicky. Ia berjalan
mendekatiku sambli membawa setumpuk buku tentang komputer.
Tidak usah ditanya, dia pasti akan membaca semuanya. Vicky memang
kutu buku.
86
“ Gua ngga tahu mau beli buku apa. Mungkin beli buku ini.”
Kuambil buku tentang cara mengendalikan emosi dengan sehat. Vicky
memandangku bingung.
“ Memangnya ada apa dengan emosi kamu, Dis?”
Aku angkat bahu dan mulai berpikir tentang ‘J’ lagi. Kemarin
dia menenangkanku seperti seorang ayah. Aku merasa kalau dia sudah
tahu perasaanku tanpa perlu aku katakan. Bahkan tentang masalahku
sepertinya dia sudah tahu semuanya.
Dari cara dia memandangku...
Aku penasaran. Benar-benar penasaran... Apakah aku harus
bicara dengannya?
Aku merogoh sakuku untuk mengambil ponsel. Aku baru akan
menghubungi ‘J’ saat kuliah sosoknya ada diantara rak alat lukis.
“ Vic, tunggu gua ya. Gua mau ke sana dulu.”
Kuletakkan buku yang akan kubeli di atas tumpukan buku
Vicky dan tanpa menunggu jawaban Vicky bergegas aku menghampiri
‘J’.
“ Hei!” kutepuk pelan punggung ‘J’. Ia berbalik dan senyum
hangatnya langsung merekah saat melihatku.
Duh, kenapa jantungku berdegup kencang sekali. Aku memang
senang dia menyambutku dengan senyuman hangatnya tapi seharusnya
tidak sesenang ini.
“ Hei! Ngapain lo? Mau beli buku?” tanya ‘J’ penuh antusias.
Aku mengangguk mantap membenarkan tebakannya.
“ Sendirian?” tanya ‘J’ yang menurutku terdengar berharap.
Benarkah dia berharap aku sendirian? Atau hanya aku yang kege-eran?
“ Ngga. Gua sama Vicky.” Aku menoleh pada Vicky dan segera
melihat pada ‘J’ lagi. Ternyata dia memandang ke arah Vicky
dan...dengan tatapan tajam. Saat Vicky menoleh padanya, ia baru
melambai. Vicky sendiri hanya membalas lambaiannya dengan
senyuman yang dingin.
“ Jadi, lo mau nyapa gua?” tanya ‘J’. Kali ini terdengar lebih
datar dan dingin. Kenapa dengannya? Berubah begitu cepat. Apa dia
cemburu pada Vicky? Hahaha, yang benar saja.
“ Ada yang mau gua omongin..” ujarku pelan. ‘J’ tidak
menjawab. Ia menungguku melanjutkan kata-kataku.
87
“ Ngga bisa di sini. Lo ada waktu ngga?”
‘J’ melihat arlojinya dan memandang ke sekeliling toko dan
kembali memandangku beberapa saat baru kemudian ia mengangguk.
“ Ayo!” kutarik tangan ‘J’ dan membawanya ke restauran fast
food terdekat. Kami memesan coke...Lagi.. Dan duduk di bangku yang
agak tersendiri.
Saat kami duduk aku tidak langsung bicara. Kuambil ponselku
dan mengirim sms pada Vicky untuk memberitahukan keberadaanku.
Aku tidak ingin ia mencemaskanku.
Setelah mengirim sms, aku kembali konsentrasi pada ‘J’.
Ternyata dia sedang sibuk sms juga. Kutunggu ia sampai selesai.
‘J’ memasukkan ponselnya ke dalam saku dan meminum
colanya. Dahinya berkerut memandangku seolah makhluk dari angkasa
luar. Aku sendiri baru menyadari kalau aku sangat gugup.
“ Ada apa sih? Kok lo kayanya gugup banget. Santai aja.” ‘J’
tersenyum lebar melihatku yang menggoyang-goyangkan kaki seperti
orang kebelet pipis. Sepertinya aku terlihat bodoh dimatanya.
“ Gini...Lo ngerasa ada yang aneh ngga?” tanyaku dengan nada
yang sangat serius. ‘J’ mengerutkan keningnya tampak bingung.
“ Aneh? Apanya?” ‘J’ tampak mengingat sesuatu tetapi ia tidak
menemukan yang ia cari. Ia menggeleng dan memandangku dengan
dahi lebih berkerut.
“ Gua ngerasa aneh...”
“ Dengan?”
“ Kenapa gua lupa tentang elo..”
“ Ou..itu...”
‘J’ tersenyum maklum dan meminum sedikit colanya lagi.
Dahinya sudah tidak berkerut lagi. Sepertinya untuk ‘J’ apa yang aku
alami bukanlah sesuatu yang aneh.
“ Gua ngga tahu kenapa lo lupa. Gua sendiri agak merasa ada
yang aneh kok.”
“ Bener ‘kan!”
Aku berseru senang karena apa yang aku rasakan ternyata
memang sesuai tebakanku, ‘tidak biasa’ alias ‘aneh’.

88
“ Apanya yang bener?” tanya ‘J’ tertawa geli melihat
keantusiasanku. Aku sendiri jadi berpikir, jangan-jangan yang ‘J’
bilang aneh itu tidak sama dengan apa yang aku pikirkan.
“ Ngg..bukannya lo ngerasa aneh..Kita ngga lama kenal tapi
kok rasanya kayak udah deket banget...” jelasku dengan gugup. Aku
takut apa yang aku rasakan ini tidak sama dengan yang ‘J’ rasakan.
Aku akan jadi tampak bodoh.
“ Iya..Aku juga ngerasa kayak gitu. Ngga tahu kenapa.”
Aku menarik napas lega mendengar jawaban ‘J’. Berarti gua
ngga bego.
“ Menurut lo kenapa ‘J’?”
“ Ngga tahu...Yang pasti...Waktu kita pertama ketemu,
kemarin..Gua ngerasa kayak udah lama pengen ketemu lo. Gua pengen
ketemu lo terus. Gua tahu ini kedengeran aneh..Tapi rasanya gua tahu
apa yang lo rasain..Rasanya gua harus terus ada di dekat lo..”
Deg!
Pipiku terasa panas mendengar kata-kata ‘J’. Dadaku tiba-tiba
terasa hangat dan hatiku seperti berbunga-bunga.
Mendadak aku merasa terpaku. Aku terus menatap ‘J’ tanpa
bisa berkata apa-apa. Rasanya aku ingin tersenyum selebar mungkin.
Untungnya kesadaranku masih menguasaiku.
Kutarik napas dalam-dalam dan mencoba mengalihkan
pandangan ke tempat lain. Aku tidak mau ‘J’ membaca perasaanku.
Aku ‘kan malu!!
“ Kalo elo sendiri..Apa yang lo rasa aneh?”
Aku terdiam mendengar pertanyaan ‘J’. Apakah aku harus
mengatakannya? Aduh, aku ini bagaimana sih!? Aku sendiri ‘kan yang
memulai pembicaraan! Kenapa sekarang malah jadi aku yang ragu-
ragu!?
“ Itu...gua ngerasa..Dulu gua baru kenal lo dua hari
tapi...Kenapa rasanya waktu ketemu elo gua seperti nemuin yang
selama ini gua cari...”
Aku menggigit bibirku setelah menyelesaikan kalimatku.
Sepertinya aku terlalu jujur. Aku tidak mau membuat hubungan aku
dan ‘J’ menjadi buruk. Bagaimanpun aku ingin menganggap ‘J’
sebagai kakakku. Kakak..
89
Aku menunggu ‘J’ mengatakan sesuatu tetapi dia hanya diam
saja. Ia terus menatapku tanpa berkedip. Aku membalas tatapannya dan
yang kurasakan malah ngga karuan.
“ Tapi setelah gua pikir-pikir..kayaknya itu karena kangen biasa
deh. Lo ‘kan emang aneh, ya ‘J’? Hehehe...” ujarku, mencoba
memecahkan keheningan.
Tiba-tiba saja mata ‘J’ meredup. Ia memandang telapak
tangannya dan tak lama kemudian ia merogoh sakunya. Ia mengambil
ponselnya dan membaca sebuah sms.
“ Cuma itu yang mau lo omongin?” tanya ‘J’ dengan nada yang
sangat dingin. Aku jadi tidak berani menjawab. Akhirnya aku hanya
bisa tertunduk dan mengangguk untuk menjawab pertanyaanya.
“ Gua pergi dulu..” tanpa bicara apa-apa lagi ‘J’
meninggalkanku sendirian. Ia tampak sangat marah.
Memangnya aku salah bicara ya? Salah dimananya?
Waduhhh!!
***

BAB XII

Sudah 5 jam aku duduk di depan meja kerjaku dan tidak ada
satu pun ide yang menghampiri otakku walau hanya sekilas. Kalau
terus begini iklan yang seharusnya selesai dalam sebulan tidak akan
selesai-selesai.
Tuhan, tolong aku!!!
“ `J`, kamu ngapain sih di kamar? Kok ngga keluar-keluar.
Temenin gua main PS yuk?”
Tiba-tiba saja Kak Sarah masuk sambil membawa PS2nya
lengkap dengan kabel dan stiknya. Aku langsung menoleh padanya dan
mengerutkan kening. Rasanya perutnya yang buncit itu seharunya
sudah membuatnya berhenti main PS2.

90
“ Mau main apa?” tanyaku sambil memutar kursiku dan
memandangnya yang sibuk memasang kabel PS2 ke tivi.
“ Mau main DDR.”
“ Hah, Kakak bercanda! Ntar si Baby gimana? Ngga mau!
Jangan! Bahaya tahu!”
“ Bawaan orok tahu! Lo yang main di karpet! Gua main pake
stik aja.”
Aku mendekati Kak Sarah dan membantunya memasangkan
kabel-kabel ke tivi. Perut 8 bulannya sangat menghalanginya untuk
memasang kabel. Aku juga tidak mau terjadi hal-hal yang berbahaya
pada calon keponakanku.
“ Mau DDR yang mana?” tanyaku sambil melihat semua
koleksi kaset DDR Kak Sarah. Memang main DDR salah satu hobi
utamanya. Dia bisa bermain selama 2 jam tanpa henti. Makanya
badannya kencang.
“ Yang ini. Levelnya yang paling ekstrim ya?”
Kak Sarah mengambil kaset dengan sampul berwarna hijau. Ia
memasangnya sambil bersiul sementara aku bersiap di karpet DDR.
Soal DDR aku memang lumayan jago tapi tidak sejago Kak
Sarah. Dia kalau bermain level tertinggi pun bisa mendapat nilai A.
“ Kak, jangan pasang level ekstremnya dong! Nanti kalau aku
kalah gimana?”
“ Orok gua yang minta! Ngga boleh nolak.”
“ Levelku diturunin aja deh. Kakak aja yang levelnya ekstrem.”
“ Ngga, si Baby maunya kamu main yang ekstrem!”
“ Waduh...Ribet dah.”
Aku menggaruk-garuk kepalaku bingung. Akhirnya permainan
dimulai dan aku mulai mengikuti tanda-tanda panah.
Benar-benar kewalahan aku mengikutinya. Beberapa kali aku
hampir jatuh dan baru 1 lagu keringatku sudah bercucuran. Payahnya
aku tetap saja dapat skor E.
Aku terus memohon Kak Sarah menurunkan levelnya tapi tetap
saja dia menolak. Sampai akhirnya ia merasa bosan aku baru selamat.
Ia membongkar koleksi kaset PSku dan mengambil kaset
Winning Eleven. Ia mengganti karpet dengan stik lalu
menyodorkannya padaku.
91
“ Kak, aku masih banyak kerjaan nih.” Bisikku agar ia tidak
marah tapi dia tidak menjawab. Malahan ia melotot padaku seolah
mengancam.
Akhirnya dengan terpaksa aku menikmati bermain PS.
Beberapa kali Kak Sarah ngomel karena ia tahu aku sengaja
membiarkan kesebelasannya mencetak angka.
BRAKKK!!
Aku dan Kak Sarah terlonjak mendengar pintu di banting. Kak
Hana, Kak Ribka dan Kak Magda tergopoh-gopoh mendekat dan
langsung memasang saluran tivi. Spontan Kak Sarah memprotes tapi
ketiga kakakku yang lain segera menjelaskan masalahnya.
“ `J` masuk tivi!”
Aku bengong melihat kehebohan ketiga kakakku hanya karena
aku masuk tivi. Kak Sarah pun heran. Dulu waktu Kak Magda masuk
tivi karena rancangannya memenangkan perlombaan tidak seheboh ini.
“ Orang yang waktu itu kamu tangkap, kabur dari penjara.
Kamu ngga pernah cerita kalau kamu nolong cewe yang mau
diperkosa.”
Kak Sarah langsung menoleh padaku begitu mendengar cerita
Kak Hana. Ketiga kakakku yang lain ikutan memandangku menuntut
jawabanku.
“ Ya...aku lupa.”
“ Soalnya yang paling penting dia bisa ketemu Gladis `kan?
Kamu juga belum cerita waktu kamu ke kosan dia. Kata Mami juga
kamu pergi ke pantai dengan dia. Kenapa ngga cerita-cerita? Jangan-
jangan nanti ada kabar kalian kawin lari.”
Kak Hana mencecarku, membuatku bingung harus menjawab
apa. Memang aku juga agak gelisah karena Gladis tidak kuhubungi dan
dia juga tidak menghubungiku sama sekali sejak kami bertemu di mal.
Aku ingin menelepon tapi tidak tahu harus membicarakan apa. Kalimat
terakhirnya membuat perasaanku sakit dan aku tidak tahu harus bicara
apa lagi.
“ Hei, ini beritanya!”
Seruan Kak Ribka mengalihkan perhatian kami ke arah tivi. Di
sana muncul wajah Gladis dan Sisca yang sedang diwawancara saat

92
pertama kali Hans ditangkap. Setelah itu muncul foto Hans yang
kepalanya sudah diplontos.
Ia tampak sangat garang dan penuh amarah.
Tak berapa lama muncul foto saat aku mencoba menangkap
Hans. Sepertinya itu hasil foto Gladis. Ternyata dia berbakat memotret
juga.
“ Sampai saat ini belum diketahui dimana keberadaan
tersangka. Karena itu pihak kepolisian meminta bantuan kepada
masyarakat untuk menemukan tersangka.”
Keempat kakakku memandangku dengan cemas. Aku jadi
bingung dengan maksud pandangan mereka.
“ Kenapa ngeliat aku kayak gitu? Ada yang salah?” tanyaku
dengan polos. Karena aku memang tidak mengerti.
“ Kamu ini polos sekali! Masak kamu ngga kepikiran kalau-
kalau penjahat itu akan datang mencari kamu, Gladis atau teman Gladis
itu? Jangan-jangan nanti dia mau balas dendam.”
Aku tercenung dan langsung menyadari bahaya yang sedang
mengikuti aku, Gladis dan Sisca. Tidak ada yang tahu apa yang
direncanakan Hans sampai mau kabur dari penjara.
“ Aku harus ngasih tahu Gladis!”
Aku bangkit berdiri dan dengan cepat menyambar kunci
mobilku. Di lantai bawah aku baru akan pamit pada Mama tapi beliau
malah menghentikanku.
“ Mau kemana `J`? Sebentar lagi Julian mau datang.”
“ Tapi `J` buru-buru banget Ma!”
“ `J`, kamu jangan kayak gitu dong. Tadi Mama udah kasih
tahu sama Julian kalau kamu dirumah. Tunggu sebentar lagi. Dia mau
bawain kue buatannya buat kamu. Masak kamu tega sih ninggalin
dia?”
Aku tidak menjawab. Akhirnya aku menunggu di ruang tengah
dengan tidak sabar. Mama selalu bisa membuatku merasa tidak enak.
Ting! Tong!
Nah, itu pasti dia.
Cepat-cepat aku membuka pintu. Memang Julian. Dia
tersenyum sambil memperlihatkan kotak kuenya. Aku menerimanya
dan mengucapkan terima kasih lalu bergegas pergi ke mobil.
93
“ `J`, kamu ngga ngajak Julian?” tanya Mama yang ternyata
sudah ada di pintu.
Tanpa memikirkan lagi aku mengiyakan saja. Aku tidak mau
membuang waktu dengan berdebat.
Julian langsung masuk ke mobil dengan tenang dan
menceritakan banyak hal padaku. Aku tidak mendengarkan ceritanya
sama sekali. Aku terlalu cemas memikirkan keadaan Gladis dan Sisca.
Tuhan, aku mohon jaga mereka.
Sampai di kosan Gladis aku memarkirkan mobilku di dekat
pagar dan bergegas keluar dari mobil. Kutekan bel beberapa kali
dengan tidak sabar. Tak lama kemudian muncul penjaga kosan itu.
“ Mbak, Gladis ada ngga?”
“ Waduh, baru aja keluar. Tadi waktu ngobrol dengan saya dia
nerima telepon dan langsung pergi. Ngga tahu kemana tapi dia buru-
buru banget.”
Aku terpaku memikirkan kemana Gladis pergi. Perasaanku
jadi tidak enak. Kemana aku harus mencarinya?
“ Ada apa sih `J`?” tanya Julian yang tiba-tiba sudah ada
disampingku.
Aku tidak menjawab. Setelah mengucapkan terima kasih pada
penjaga kos, aku kembali ke mobil. Julian tampak bingung dengan
sikapku tapi aku tidak berniat menjelaskannya sama sekali.
Kemana aku harus mencarinya?
Ya ampun! Aku `kan punya nomor hpnya!
Aku merogoh sakuku dan mengambil ponselku. Dengan cepat
aku menghubungi Gladis. Setelah terdengar beberapa nada sambung
baru ia mengangkatnya.
“ Lo dimana?” tanya aku dan Gladis serempak. Sepertinya dia
sedang mencariku juga. Nadanya terdengar sangat cemas.
Sekilas aku merasa senang tapi segera lenyap begitu
menyadari kalau perasaanku itu tidak baik. Membuat orang cemas
sangat tidak baik.
“ Gua ada dikosan lo. Lo dimana?”
“ Gua ada dirumah lo! Tante bilang lo pergi sama...tunangan
lo.”
“ Oh...iya...gua nyari elo.”
94
Beberapa saat kami terdiam. Entah kenapa perasaanku tidak
enak begitu tahu kalau Gladis sudah tahu aku punya tunangan.
“ Lo udah dengar beritanya?” tanyaku memecahkan
keheningan diantara kami.
“ Udah, Sisca yang kasih tahu. Gua sama Sisca sekarang ada
dirumah. Gua lupa kalau gua punya nomor hp lo. Lo juga kenapa
ngga hubungin gua aja?”
“ Gua udah panik duluan! Sampai gua lupa kala nih jaman
udah modern.”
Terdengar tawa renyah Gladis di sebrang sana. Sekilas suara
pekikan keras di belakang Gladis. Lalu kudengar nama Gladis disebut.
Terdengar ramai sekali. Pasti kakak-kakakku.
“ Lo tunggu gua disana ya? Gua balik ke kosan pakai taksi
aja.”
“ Ngga usah! Biar gua yang balik ke rumah. Lo lebih aman di
sana. Lagian kayaknya kakak-kakak gua juga bakal nahan lo. Ok,
sampai ketemu di rumah. Bye!”
Aku menutup telepon dan bergegas kembali ke rumah. Julian
terus menanyakan siapa yang tadi kutelepon, kenapa aku pergi
kekosan cewe, kenapa begini begitu, apa ini itu, siapa dia. Dan dari
semua pertanyaannya tidak ada yang kujawab sampai akhirnya dia
bosan untuk bertanya.
Sampai di rumah aku segera masuk dan mencari Gladis. Aku
berseru-seru memanggil namanya seolah-olah kalau belum
melihatnya aku akan mati. Yah, terlalu berlebihan.
“ `J`, lo udah balik?!”
Gladis muncul dari kamar Kak Ribka. Dengan cepat aku
langsung menyusulnya.
Aku berhenti di hadapannya dan memandangnya dari atas ke
bawah memastikan dirinya utuh tanpa ada luka sedikitpun. Ternyata
dia baik-baik saja.
Aku menarik nafas lega sampai kakiku terasa lemah dan
akhirnya aku terduduk di lantai. Dengan panik Gladis menangkap
tanganku agar aku tidak jatuh tapi akhirnya ia malah ikutan terduduk.
“ Lo kenapa? Kok malah jadi lemes sih? Lo ngga diserang
Hans `kan?” tanyanya dengan cepat.
95
“ Gua ngga apa-apa. Gua cuma ketakutan tadi. Jangan-jangan
dia nyerang lo.”
“ Hahahaha...Dia mana berani sama gua. Justru gua takut dia
nyerang lo. Jangan-jangan lo udah disate sama dia.”
“ Maksudnya gua lebih lemah dari lo?”
“ Ya, lo tahu maksud gua `kan?”
Gladis tertawa renyah melihat mimik tersinggungku. Kugetok
kepalanya pelan tapi tawanya malah bertambah keras.
“ `J`.....”
Tawa Gladis perlahan hilang saat melihat Julian yang berdiri
memandangi kami tepat disampingku. Gladis mengatupkan mulutnya
dan tidak berani memandang Julian karena Julian memandangnya
seolah-olah ia adalah orang yang paling ia musuhi.
“ Nggg....Gladis, ini Julian. Julian ini Gladis.”
Dengan gugup aku memperkenalkan mereka berdua. Gladis
mengulurkan tangannya tetapi Julian tidak bergeming sama sekali.
Dia malah memicingkan matanya seperti mengancam.
“ Kamu jangan berharap `J` mau kembali padamu! Waktu
kecil memang dia melamarmu tapi sekarang dia sudah menjadi calon
suamiku! Kamu ngga bisa mengambil dia dari aku. Dulu memang dia
mencari kamu tapi sekarang dia sudah ngga peduli sama kamu karena
kamu kasar, keras kepala dan nyebelin!”
Jantungku terasa berhenti mendengar kata-kata Julian.
Darimana dia tahu semua itu? Pasti kerjaan para wanita di rumah ini
yang suka bergosip!
Aku berpaling pada Gladis. Ia terpaku dan tersenyum dengan
tampang bodohnya. Pandangannya padaku menuntut penjelasan.
Sepertinya ia tidak tahu harus berkata apa. Tentu saja dia bingung
karena dia tidak ingat apa-apa tentang lamaranku waktu kecil.
“ Aaaa...He..he...he....Gua ngga ngerti....`J`...lo bisa kasih
penjelasan `kan?” pinta Gladis dengan nada mengancam.
Aku menundukkan kepalaku dan bangkit berdiri. Kuberikan
tanda agar dia mengikutiku.
Aku mengajak Gladis untuk bicara di beranda di lantai dua.
Aku duduk di salah satu kursi dan Gladis di kursi yang lain.

96
Ia terus memandangiku menunggu aku mengatakan sesuatu
tapi aku tidak tahu harus memulai dari mana.
“ `J`, lo mau cerita ngga sih? Kalau ngga mau juga ngga apa-
apa! Tapi masalahnya ini menyangkut gua juga `kan? Gua ngga suka
kalau tiba-tiba orang dateng sama gua terus ngomongin hal yang ngga
gua tahu sama sekali.”
Aku memandang wajah Gladis sekilas dan menarik nafas
dalam. Mau tidak mau aku harus menceritakannya. Dia berhak tahu
kenapa aku masuk kedalam kehidupannya.
“ Gua memang pernah ngelamar lo. Waktu itu umur lo baru 5
tahun dan gua 7 tahun. Mungkin waktu itu lo nganggep gua main-
main tapi gua ngga. Sampai saat ini gua masih nganggep lo calon
pasangan hidup gua yang tepat. Gua masih inget waktu gua tanya lo
mau nikah sama gua atau ngga, lo langsung loncat-loncat seneng dan
bilang `iya` berkali-kali. Dan cincin Nyokap gua lo pake dengan mata
berbinar walaupun kebesaran. Gua inget banget. Tapi lo ngga inget
`kan?”
Gladis diam seribu bahasa. Ia membuka mulut beberapa kali
tapi tidak bicara sama sekali.
Ia memandangku dengan terkesima lalu tersenyum dengan
wajah bodohnya. Kali ini aku tidak bisa tertawa melihat wajah
anehnya itu.
“ Gua ngga inget `J`. Tapi kalau cincin yang elo bilang itu
maksudnya yang ini?”
Gladis melepaskan sebuah kalung dari lehernya. Di kalung itu
tergantung sebuah cincin emas putih yang dihiasi sebuah berlian kecil.
“ Itu cincin nyokap.”
Gladis memberikannya padaku dan tersenyum pahit.
“ Kata Mama, kalung ini sudah gua pake sejak gua kecil.
Mama ngga pernah tahu darimana cincin itu berasal. Tapi Mama
nyuruh gua buat menjaganya dengan baik.”
Aku mengamati cincin itu dengan seksama dan itu memang
cincin Mama. Ada nama inisial nama Papa di sana.
“ Berarti cincin itu ngga boleh gua pegang lagi. Harus orang
yang pantes yang make cincin itu.”

97
Gladis menundukkan kepalanya dan melirik Julian yang
sedang memandangi kami dari dalam ruangan. Tampaknya ia sangat
merasa tidak enak pada Julian.
“ Bagus kalau lo udah punya Julian, soalnya.....sejak lo dateng
ke kosan gua, gua ngerasa kalau lo kakak yang baik buat gua. Gua
ngerasa punya kakak laki-laki yang ngga pernah gua dapetin selama
ini. Lo tahu `kan kalau gua anak tunggal?”
Kakak....Ternyata cuma sebagai kakak ya? Yah, lebih baik
daripada hanya orang asing. Tapi kenapa perasaanku jadi kacau ya?
Aku seperti tidak mau menerima kata-kata Gladis masuk ke
pikiranku. Sepertinya aku menginginkan lebih. Bukan sekedar status
sebagai kakak.
Aku bisa berharap apa. Aku jadi tidak tahu apa yang
sebenarnya aku harapkan dari Gladis. Masalah pertunangan itu
terdengar sangat bodoh. Bocah berumur 7 tahun melamar anak
berusia 5 tahun....Komedi yang sangat lucu.
Kenapa pula aku harus merasa kacau kalau tidak ada Gladis.
Sebenarnya apa yang aku rasakan padanya sama sekali tidak rasional
dan tidak jelas buatku.
Ya ampun Tuhan!! Beri tahu aku, apa artinya perasaanku ini?!
Hati dan pikiranku tidak bisa sejalan!!
“ `J`, gua salah ngomong ya?”
Pertanyaan Gladis membangunkanku dari lamunan. Aku
memandangnya secara spontan dan kembali perasaanku campur aduk.
“ Ngga, lo ngga salah. Lo juga kayak adik buat gua. Tahu `kan
kalau gua ngga punya adik?”
“ Jangan ikut-ikutan deh!”
Aku tersenyum padanya dan ia membalas dengan cengirannya.
Aku ingin tertawa tapi dadaku terlalu pahit untuk bisa tertawa. Aku
menelan ludahku dengan susah payah dan segera bangkit berdiri.
“ `J`, gua mau balik ke kosan...”
Aku memandangnya dan mencoba menyerap kata-katanya.
Aku merasa otakku kena setrum listrik jadi sulit buat nyambung.
“ Tinggal di sini aja. Bahaya kalau di kosan. Gua ngga mau
kalau lo kenapa-napa.”
Ya ampun! Nada bicaraku dingin sekali! Ada apa denganku?!
98
“ Oh iya....Ya udah...”
Gladis tampak terkejut dengan nada bicaraku. Ia
menundukkan kepalanya berusaha menghindari tatapanku. Aku jadi
merasa bersalah.
Namun aku tidak meminta maaf untuk memperbaiki sikapku
dan malah pergi meninggalkannya sendirian. Rasanya dadaku yang
bolong ini membuatku tidak dapat menahan emosi. Aku sendiri tidak
mengerti kenapa.
Di kamar aku membanting kunci mobilku ke atas meja. Aku
ingin memukul sesuatu tapi tidak bisa. Aku masih sayang barang-
barangku.
Sebenarnya aku kenapa?
Aku memandang diriku di cermin dan terkejut melihat
ekspresiku yang tampak sangat marah. Aku seperti serigala kesakitan
yang berusaha mempertahankan diri. Pantas saja Gladis yang galak
begitu bisa tertunduk ketakutan.
Ok, sepertinya aku marah.....Tapi kenapa aku bisa marah?
Oiiiiiiiiiiiiiiiiiii.....`J` SADARLAH!!
Aku menepuk-nepuk wajahku dan berusaha memperbaiki
mimikku yang buatku tampak sangat jelek. Ini bukan aku yang
biasanya.
Mungkin sebaiknya aku tidur dan semuanya akan menjadi
normal. Akan lebih baik aku berdoa dulu. Tuhan pasti memberikan
aku ketenangan dan jalan keluar.
***

99
BAB XIII

Tante memandangku sambil tersenyum kagum seolah-olah


aku perhiasan yang bisa dijual mahal. Ia mendekatiku dan membelai
wajahku.
Aduh, jadi malu! Huhuhu....Grogi!Grogi!
“ Gladis sudah besar ya? Dulu `kan masih ingusan loh! Pa,
ngga nyangka sekarang jadi cantik begini.”
Aduh, tambah malu....Hehehehe...
“ Hmmm, Papamu merawat kamu dengan baik ya? Inget ngga
waktu kecil kamu kayak apa? Kurus, item, dan alismu selalu
mengerut galak. Ya itu kalau lagi diganggu `J`. Hahahahhaha...”
Aku tertawa garing karena tidak ingat dengan yang diceritakan
Om. Aku memandang Kakak `J` yang cantik-cantik dan berusaha
mengingat mereka tapi tetap saja otakku nge-blank. Tidak ada satu
pun ingatan tentang mereka.
“ Kamu sudah kerja, Dis?” tanya Kak Hana. Dia yang paling
heboh waktu aku datang ke sini.
“ Belum `Kak. Masih cari-cari.”
“ Memang kamu ngelamar kerja dimana?” tanya Tante sambil
menyodorkan segelas teh. Dengan gugup aku menerimanya.
Untunglah tanganku tidak gemetar.
“ Pengennya sih jadi guru Bk di SMU atau SMP swasta.”
“ Kok capek-capek dapet gelar sarjana psikologi malah jadi
guru Bk? Ngga salah tuh? Atau karena cuma pengen dapet kerja aja?”
Aku tertawa pelan mendengar kata-kata Om. Tersinggung juga
nih.
“ Ngga Om. Memang udah niat dari pertama pengen
ngebangun generasi muda. Habisnya aku liat banyak anak-anak SMU
yang ngga tahu arah hidupnya kemana. Ditanya jurusan buat kuliah
aja bingung. Kadang-kadang ada yang asal ambil aja. Karena disuruh
orang tua atau ngikutin teman. Kasian liatnya. Kuliah kayak jadi
percuma. Kalau ditanya soal mimpi juga hanya sebatas pengen kaya
dan jadi terkenal atau hal-hal lain yang biasa orang kejar. Padahal
100
impian yang sebenarnya ada di hati mereka, cuma orang suka takut
buat ngomongnya. Bilangnya sih takut ngga nyampe. Udah pesimis
duluan.”
Aku menghentikan kata-kataku karena tiba-tiba ruangan
menjadi hening. Semua yang ada di situ memandangiku tanpa
ekspresi.
Apa aku salah bicara ya?
“ Ng...saya salah ngomong ya Om?”
“ Hahahhahahaahahaha....”
Tiba-tiba saja semuanya tertawa. Keluarga `J` benar-benar
aneh sama seperti `J` sendiri.
“ Bukan salah ngomong. Kita cuma heran aja jaman kayak
gini ada orang yang mikir kayak kamu. Sama tuh kayak si `J`. Waktu
dia pilih jurusan yang dia ambil sebenarnya satu rumah ngga setuju.
Kita malah nyuruh dia ke jurusan-jurusan lain. Tapi dia malah
ngomong kayak gini, ` Ngapain sih nyuruh-nyuruh `J` ke jurusan yang
ngga `J` suka? `J` `kan punya tujuan hidup `J` sendiri! `J` ngga mau
jadi kerbau yang dicucuk hidungnya! Ini keinginan `J` sendiri dan `J`
punya alasan yang pasti buat `J` ambil jurusan ini. `J` bukan mau
main-main!`”
Om mencontohkan cara bicara `J` dan sangat mirip. Aku
sampai merasa geli karena suaranya pun mirip sekali.
“ Dia itu yang satu-satunya ngga mau nurutin jurusan yang
Om sama Tante suruh. Waktu disuruh keluar negri katanya dia ngga
mau. Katanya sih dia mau ningkatin kualitas di Indonesia dulu baru
mau keluar negri. Pokoknya mimpinya banyak dan macem-macem.
Ngga tahu deh bakal nyampe atau ngga.”
` Pasti jadi. Kalau `J` pasti berhasil,` bisikku dalam hati. Entah
kenapa aku percaya kalau `J` mampu meraih apa yang ia impikan.
Pandangan dia ke depan sungguh luar biasa.
Jarang-jarang ada orang seperti `J`. Dia tahu kemana harus
berjalan.
Sepertinya itu salah satu syarat untuk jadi PH-ku (Pasangan
Hidup). Haaallaaaaaahhhh, aku mulai berpikir yang ngga-ngga. Dia
itu seorang kakak buatku.

101
“ Tapi herannya dia mau nurut ya dijodohin sama Julian.
Biasanya kalau menyangkut soal masa depan dia paling sensitif loh.”
Semua yang ada diruangan itu menggumam setuju dengan
kata-kata Om sedangkan aku hanya bisa terdiam. Aku tidak tahu
banyak tentang `J` jadi tidak bisa komentar.
“ Bukannya karena memang `J` suka sama Julian?” tanyaku
dengan ragu-ragu.
Mereka serempak menggeleng sambil tertawa.
“ Memang dia ngga cerita sama kamu? Waktu dia datang ke
rumah kamu dia pengen ngebawa kamu ke sini. Dia pengen bilang ke
Papa Mama kalau kamu itu tunangan dia yang sebenernya. Tapi kamu
kena bencana dan dia juga kena. Memang udah nasib dia.”
Aku bengong mendengar penjelasan Kak Ribka. Aku tidak
tahu sama sekali tentang masalah itu. Kukira dia hanya sekedar
menumpang di rumah.
“ Memang kamu ngga inget masa kecil kalian ya? Dia sedih
banget waktu cerita. Ngerasa ngga dianggep kali.”
Aku merasa ditampar. Bukan maksudku untuk tidak
mengingat kenangan tentang `J` tapi aku memang benar-benar tidak
ingat.
“ `J` ngga pernah ngomong soal itu semua. `J` ngga pernah
cerita yang sebenarnya sampai kemarin tapi itu pun sepertinya tidak
semua. Aku ngga tahu kalau waktu kecil itu benar-benar berarti buat
dia. Soalnya dia tampak baik-baik saja.”
Semua mengangguk mengerti. Entah apa yang mereka
mengerti.
Keluarga ini memang benar-benar aneh.
“ `J` memang anak yang tertutup. Dia selalu menutupi
perasaannya sendiri. Bahkan karena terlalu tertutup kadang-kadang
dia tidak menyadari dengan apa yang sedang ia rasakan. Dia perlu
didesak untuk berbicara jujur. Yah, sama seperti Papanya ini.”
Tante melirik Om dan tersenyum hangat. Om hanya manggut-
manggut bangga. Sikapnya sama seperti ketika `J` sedang
membanggakan diri.
“ Yah, kamu ngga perlu merasa bersalah. Itu `kan salah `J`
sendiri karena ngga mau terbuka.”
102
Kak Ribka menepuk bahuku hangat tapi bebanku tetap tidak
terasa ringan. Aku bangkit berdiri dan berpamitan pada mereka.
Mereka tidak menghalangiku. Malahan dari jauh aku mendengar
mereka mendebatkan antara aku dan Julian siapa yang cocok untuk
`J`.
Rasanya aku mulai pusing.
Aku tidak mengerti dengan perasaanku, pikiran `J`, ingatanku
yang hilang dan emosi-emosi yang kurasakan terhadap `J`. Semuanya
membuatku pusing!
Aku terus bepikir keras tapi aku tidak menemukan jawaban
semua pertanyaanku. Aku terus berjalan tanpa arah sampai akhirnya
sampai ke kolam renang. Ternyata di sana `J` sedang merendam
kakinya.
Semula aku mau kabur tapi `J` keburu melihatku. Alhasil kami
saling memandang dari jarak yang jauh.
Ia memandangku dengan tatapan tajam dari balik alisnya
sementara aku hanya bisa terpaku tidak bisa bergerak. Aku menunggu
dia bicara dan mengatakan sesuatu. Tapi sepertinya dia tidak akan
bicara sama sekali.
Perlahan aku berbalik dan melangkah meninggalkan tempat
itu.
“ Mau bantu gua buat nyelesain proyek iklan?”
Aku berhenti dan berbalik perlahan. Dia sudah berdiri dan
sedang berjalan ke arahku. Aku jadi sedikit merasa takut.
“ Ng, maksudnya?”
Semakin `J` mendekat aku semakin takut. Mungkin bukan
takut lebih ke perasaan merasa bersalah jadi aku tidak berani berada
didekatnya. Degupan jantungku sampai terdengar dengan sangat jelas.
“ Udah seminggu ini gua nyari konsep iklan tapi belum
ketemu juga. Otak gua buntu. Mungkin lo bisa bantu gua. Biasanya
bagian psikologi tahu bagaimana caranya mempengaruhi orang lain
`kan?”
Dengan susah payah aku menarik sudut bibirku dan tersenyum
padanya tapi ia tidak membalas senyumanku. Akhirnya aku menahan
senyumku dan kurasa ini senyum teranehku. Aku merasa bodoh
dengan senyumku ini.
103
“ Ng...Bisa saja. Tapi....”
Aku menundukkan kepalaku dan membayangkan bagaimana
aku harus duduk disebelah `J` dan bertukar pikiran dengannya dengan
perasaan yang seperti ini. Apa aku bisa bertindak profesional? Jangan-
jangan nanti aku malah menyusahkannya.
“ Tenang saja. Lo pasti dapat bayaran.”
Cepat-cepat aku menggelengkan kepalaku.
“ Kalau begitu lo ngga perlu merasa sungkan sama gua. Kita
bertindak profesional saja.”
Suaraku terasa tercekat mendengar kata-katanya. Dia tahu
perasaanku saat ini. Rasanya aku malu sekali.
“ Mulai besok kita kerja kalau lo setuju.”
Beberapa saat aku hanya bisa diam dan akhirnya aku
mengangguk.
Entah apa jadinya kami nanti. Aku meragukan diriku sendiri
bisa bertindak profesional. Pasti perasaanku akan terbawa-bawa.
Setelah menerima jawabanku `J` tidak mengatakan apa-apa
lagi. Dia hanya melangkah meninggalkanku dalam keheningan. Aku
hanya mendengar suara air dikolam dan dedaunan yang tertiup angin.
Dia benar-benar marah padaku. Kalau tidak, mana mungkin
dia bersikap dingin seperti sekarang.

***
Sisca tersenyum mengerti mendengar ceritaku. Ia menarik
napas dalam dan menepuk-nepuk bahuku tapi tidak bicara apa-apa.
Aku menunggunya bicara dan beberapa lama aku menunggu dia baru
bicara.
“ Lo suka sama dia dan dia suka sama lo. Itu yang benernya.”
Aku diam mendengar kata-kata Sisca dan mengolahnya
dipikiranku. Aku harus benar-benar mengerti maksud Sisca kalau
tidak aku bisa salah tangkap.
“ Maksud lo....Gua suka sama `J` bukan sebagai seorang
kakak?” tanyaku memastikan kalau maksud yang kuterima sama
dengan yang dimaksud Sisca.
“ Yup, lo ngga sadar sedangkan `J` berusaha menutupi.”

104
Aku terdiam lagi membayangkan kejadian-kejadian selama ini
yang aku alami bersama `J`. Perasaan-perasaanku, emosiku dan
pikiran-pikiranku tentang `J`.
“ Tapi....gua ngga kenal deket sama `J`.”
“ Mungkin iya. Tapi banyak hal yang harus lo selidikin.
Kenapa lo bisa lupa dengan masa kecil lo bersama `J`. Mungkin itu
bisa jadi jawaban atas pertanyaan lo tentang perasaan lo terhadap `J`.”
Mungkin benar dengan apa yang dikatakan Sisca. Kuncinya
ada pada masa kecilku. Tapi bagaimana aku bisa mengingatnya?
Duuuuuuuuuuhhhhhhhhhhhhh....kenapa gua harus dipusingin
sama masalah `J` sih?! `Kan ada masalah yang lebih penting!
Polisi sudah memperingatkan kami untuk berjaga-jaga karena
mungkin saja nanti Hans datang untuk menyerang kami. Beberapa
polisi sudah berjaga-jaga di sekitar rumah ini dan memastikan kalau
kami akan aman.
Aku harap Hans segera ditemukan karena aku ingin keluar dari
rumah ini. Aku tidak betah melihat wajah menekuk `J` setiap kali
bertemu denganku. Hanya padaku dia memasang wajahnya yang
seperti itu.
“ Gladis, kamu dicari `J` dari tadi.”
Tiba-tiba Kak Sarah masuk ke kamar dan duduk di sebelahku.
Ia tampak sedang sangat bosan.
“ Sekarang dia dimana `Kak?” tanyaku dengan enggan.
Terpaksa aku harus bertemu dengan `J` untuk menyelesaikan
proyeknya.
“ Dia ada di ruang keluarga. Lagi pusing bareng komputernya.
Mungkin sebentar lagi otak sama komputernya akan meledak. Udah
sana pergi! Sisca yang manis!! Kita main PS yuk!!”
Kak Sarah mengibas-ngibaskan tangannya untuk mengusirku
sambil bicara pada Sisca. Sisca memandangku dengan penuh
permohonan agar aku membawa dirinya keluar. Tapi aku langsung
kabur karena tidak mau kena omel Kak Sarah.
Sisca pasti akan diminta main DDR sampai lemas. Dia sudah
sering diminta sama Kak Sarah. Bilangnya sih bawaan orok tapi bikin
orang kurus dan kurang gizi.
Emang dasar keluarga aneh..
105
Aku pergi ke ruang keluarga dengan enggan. Di sana `J`
sedang konsentrasi memandang kertas yang ada dihadapannya. Ia
menulis sesuatu lalu dengan cepat meremas kertasnya dan
membuangnya ke tempat sampah yang ada didekatnya. Ia mengambil
1 kertas lagi dan mulai berpikir lagi.
Pelan-pelan aku mendekat agar tidak mengganggunya dan
tiba-tiba ia mengangkat kepalanya. Ia menatapku dengan tajam seperti
orang yang curiga.
Langkah kaki kananku jadi melayang di udara. Perlahan aku
menurunkan langkahku sambil menyeringai lebar.
Aku merasa seperti maling yang tertangkap. Kenapa dia
menatapku seperti itu? Aku `kan bukan penjahat!
“ Dari tadi kemana? Gua cari-cari tapi ngga kelihatan sama
sekali.”
Aku berusaha menjawab tapi dia sudah menundukkan
kepalanya untuk berpikir lagi. Ia tidak berminat untuk menerima
jawabanku.
Kali ini aku katakan ` dia memang menyebalkan!`
“ Ngapain berdiri di sana! Ayo sini! Gua udah pusing nih!”
Aku mendekat dan duduk disebelahnya dengan kesal. Belum
pernah aku dibentak-bentak seperti tadi. Sepertinya dia minta dicubit.
“ Muka jangan dilipet kayak gitu! Bikin gua ngga mood
kerja.”
Yeeeeeeeee....ngga sopan! Memangnya siapa yang pertama
bikin orang ngga mood?!
“ Ini contoh produknya. Coba lo pikirin konsep iklan yang
cocok buat produk ini.”
`J` menyodorkan sebuah produk obat flu padaku. Aku
membaca khasiatnya dan melihat model kemasan produk tersebut.
Ngeblank! Aku ngga punya ide. Kalau pun ada ide, ideku itu
ngga kreatif sama sekali. Belum lagi melihat wajah `J`. Rasanya aku
ingin memberikan topeng badut padanya supaya dia tidak berwajah
seperti itu.
“ Ada ngga? Jangan malah ngeliatin gua dengan muka
cembetut begitu!”

106
Nada suara `J` meninggi membuat hatiku semakin gondok.
Aku memandangnya dengan kesal dan langsung menundukkan
kepalaku.
Kalau aku bersuara aku pasti akan menangis. Aku memang
selalu begitu. Marahku yang sesungguhnya biasanya aku tunjukkan
dengan menangis. Karena aku tidak mau marah tapi kelakuan orang
yang ada didepanku ini membuatku merasa sakit.
“ Woi! Jangan malah nunduk! Bantuin gua dong! Bisa kerja
ngga?”
`J` menyenggol bahuku tapi aku langsung menepisnya dan
memandangnya dengan marah. Dia terdiam dan wajahnya yang tadi
berlipat-lipat menjadi terkejut.
“ Lo kenapa?” tanyanya, kali ini dengan suara pelan.
“ Pake pura-pura! Kalau marah bilang aja! Jangan ditutup-
tutupin. Bikin orang pusing tahu!”
“ Siapa yang marah?”
“ Dari cara lo ngeliat gua, ngomong sama gua...Semua orang
juga tahu kalau lo tuh lagi marah. Jidad lo tuh berlipat-lipat kayak
opa-opa!”
“ Gua ngga ada alasan buat marah.”
“ Terserah lo mau marah karena apa...Tapi yang pasti lo tuh
bikin gua kesel!”
Suaraku mulai bergetar. Ketakutanku, kekhawatiranku dan
perasaan bersalahku bercampur aduk di tenggorokanku siap untuk
dimuntahkan.
Sudah kukatakan, kalau aku marah pasti akan keluar dengan
tangisan. Aku tidak pernah bisa tahan.
“ Dari kemarin lo ngomong kaya musuhin gua. Cara lo ngeliat
gua juga kayanya gua tuh musuh lo aja! Kalo lo kesel sama gua bilang
`J` tapi jangan bikin perasaan gua bingung. Gua ngga tahu salah gua
dimana.”
`J` terdiam. Ia memandangku tanpa ekspresi. Kulihat ia seperti
mengatupkan giginya dengan kuat karena urat-urat di keningnya
muncul beberapa kali.

107
Aku menunggu `J` mengatakan sesuatu tapi dia diam saja.
Aku tidak tahu apa yang ia sembunyikan sampai semarah itu.
Terserah dia mau cerita atau tidak. Pokoknya aku sudah tidak tahan!
Aku bangkit berdiri dan meninggalkan `J` dengan harapan dia
akan memanggilku dan menceritakan semuanya. Tapi dia tidak
melakukannya sama sekali. Terserah!

***

BAB XIV

Mulutku terasa terkunci. Aku ingin memanggil Gladis dan


menjelaskan semua perasaanku tapi aku tidak bisa. Kalau aku
menceritakan semua isi hatiku, aku hanya akan menyakiti diriku
sendiri, Gladis dan Julian.
PRAKK!!!
Dengan kesal kubanting pensil yang sedari tadi kupegang. Aku
tidak bisa kerja dengan pikiran seperti ini. Hatiku terasa seperti di
aduk-aduk.
108
Apa yang harus aku lakukan?!

***
“ Iya, gua tahu. Tapi gua belum tahu nih bakal kayak gimana
konsepnya. Gua sendiri buntu. Lo sendiri juga belum dapet ide. Udah,
gini aja. Nanti siang kita ketemuan dan kita omongin bareng-bareng.”
Setelah mengucapkan salam kututup ponselku. Aku masuk ke
dapur untuk mengisi gelasku dengan jus jeruk. Cuaca hari ini panas
sekali. Sudah 3 gelas aku minum jus jeruk. Lama-lama aku bisa jadi
jeruk.
“ Nah, kebetulan. ‘J’ tolong anterin Kakak pergi ke mal dong.”
Hampir saja aku tersedak karena Kak Hana tiba-tiba menarik
tanganku. Tanpa menunggu persetujuanku dahulu, ia memabawaku ke
garasi.
“ Pakai mobil kamu aja ya? Mobil keluarga lagi dipakai Papa
sama Mama.”
“ Tapi ‘J’ nanti siang ada janji!” protesku tapi tetap saja aku
masuk ke mobil karena Kak Hana sudah duduk di mobil dengan
tenang.
“ Kakak cuma mau beli bahan-bahan kue kok. Jadi cuma
sebentar.” Aku menggaruk kepalaku kesal. Baru saja akan kunyalakan
mesin mobil tiba-tiba muncul mobil sedan BMW merah milik Julian.
“ Mau kemana?” tanyanya begitu keluar dari mobil dan
menghampiri mobil Honda Jazz biruku.
“ Mau belanja.” Jawabku datar.
“ Oh, gini aja! Julian, kamu tolong belanja bahan-bahan ini
ya? Semantara itu Kakak akan menyiapkan peralatan dan bahan lain
di rumah. Jadi, kamu sama ‘J’ belanja ke swalayan ya?! Bisa ‘kan?”
Nah, loh. Kok, jadi begini!
“ Bisa. Kakak tenang saja.” Dengan cepat Julian masuk ke
mobil dan duduk di sebelahku, menggantikan Kak Hana. Kacau!
“ Hati-hati di jalan ya!?”
Dengan wajah ditekuk aku menyalakan mesin mobil dan
mengendarainya ke mal terdekat.
Kak Hana benar-benar keterlaluan. Padahal aku sedang tidak
ingin bersama Julian. Pertengkaran aku dengan Gladis kemarin masih
109
merusak moodku. Sekarang, aku harus bersama Julian. Moodku
semakin buruk.
“ Sepertinya pesanan kue buat Kak Hana, kali ini banyak
sekali.” Julian memandangku dan tersenyum simpul. Kubalas
senyumannya sekilas dan senyum Julian pun langsung lenyap.
“ Dia masih ada di rumahmu?” tanya Julian dengan nada
jengkel. Sepertinya suasana hatiku akan semakin memburuk.
“ Ada.”
“ Kamu pasti senang banget ya? Akhirnya lo bisa bareng-
bareng tunangan kecil lo dan ketemu setiap hari.” Aku tidak
menjawab kata-kata Julian. Sudah cukup pertengkaran dengan Gladis.
Kalau Julian memancing pertengkaran lagi, aku bisa meledak.
Julian mengatupkan rahangnya melihatku tidak membalas
kata-katanya seolah kalau apa yang ia katakan itu benar. Ia kembali
memandang ke arah depan dan menarik napas dalam-dalam.
Sekilas kulirik ia. Ia menahan tangis. Ya ampun..Aku
menyakitinya lagi.
“ Julian aku...”
“ Jangan ngomong!”
“ Tapi...” aku mencoba menenangkannya tapi ia memberi
tanda agar aku diam. Ia tampak sangat marah. Matanya berkaca-kaca
dan kalau aku bicara mungkin dia akan menangis.
Baiklah, aku tidak bicara. Aku tidak mau ada masalah lagi.
Dalam perjalanan kami tidak bicara lagi. Aku sendiri tidak
mau komentar apa-apa. Kami sibuk dengan pikiran kami masing-
masing.
Sampai di mal, Julian segera turun dan pergi menuju super
market. Sementara aku pergi memarkirkan mobil. Tadinya aku ingin
menunggu di mobil saja tapi kemudian kuputuskan untuk menyusul
Julian karena pasti dia akan membutuhkanku untuk membawa
belanjaan.
Akhirnya aku menyusul Julian ke super market. Di sana ia
tampak sudah sibuk dengan kereta belanjanya. Aku mendekatinya dan
menanyakan barang-barang apa saja yang ada di daftar belanjaan.
Dengan dingin ia menyebutkan barang-barang yang terdaftar.
Sepertinya dia masih marah.
110
Bergegas aku mencari barang-barang yang ia sebutkan tanpa
komentar apa-apa. Wajah Julian yang ditekuk semakin membuatku
ingin segera menjauhinya.
“ Tepung terigu...Nah ini.” Aku mengambil 3 bungkus tepung
terigu ukuran besar dengan merk yang biasa Kak Hana pakai. Setelah
itu aku pergi ke bagian makanan kemasan untuk mencari biskuit
coklat.
BRUK!! Tiba-tiba saja seseorang menabrakku dan spontan
aku membalikkan tubuhku untuk meperingatkan orang tersebut. Tapi
saat aku membalikkan badanku, aku jadi tidak bisa bicara.
“ ‘J’? Ngapain?” tanya Gladis dengan gugup. Tangannya
memainkan pembalut yang sepertinya akan ia beli. Aku semakin
terdiam melihat pembalut itu. Cepat-cepat aku membalikkan tubuhku
dan berpura-pura mencari barang lain.
“ Ha!” Gladis memekik pelan dan aku berpaling padanya. Ia
memandangku dengan wajah memerah sementara tangannya sibuk
membereskan barang-barang belanjaan yang ada di keranjangnya. Ia
tampak mencoba menutupi pembalutnya.
“ Hehehehe..” Ia menyeringai dengan wajah yang semakin
memerah. Melihatnya tampak begitu kikuk membuatku mau tidak
mau merasa geli.
Perlahan tawaku semakin keras dan tanpa bisa kukendalikan.
Gladis sendiri hanya bisa berdiri di tempatnya sambil menahan malu.
“ Kok, ketawa sih. Apanya yang lucu!?” tanyanya dengan
galak mencoba menutupi rasa malunya. Aku sendiri hanya bisa
menggeleng karena tidak bisa menjawab dengan tawa yang masih
tersisa.
“ Ngga ada..ha..ha...” jawabku dengan sisa tawaku yang
membuatku ngosngosan.
“ Dis, gua nemu...” Tawaku hilang dalam sekejap saat Vicky
tiba-tiba muncul sambil membawa sebungkus biskuit. Vicky sendiri
pun juga langsung terdiam saat melihatku.
“ Hai..” sapa aku dan Vicky bersamaan. Kami saling menatap
dengan tajam. Aku tidak suka padanya dan tampaknya dia juga tidak
suka padaku.

111
“ Dis, gua nemu biskuitnya. Ternyata ada di sudut rak.” Vicky
menyerahkan biskuit itu pada Gladis dengan bersemangat tanpa
mempedulikan aku lagi. Ia berdiri di antara aku dan Gladis seolah-
olah mencoba menjauhkan aku dari Gladis.
Aku terus mengamati mereka berdua yang sibuk
membicarakan tentang biskuit. Dan aku baru sadar, seharusnya Gladis
tidak keluar rumah sembarangan.
“ Gladis, siapa yang ngijinin kamu keluar rumah?” tanyaku
dengan nada agak meninggi. Aku sendiri terkejut mendengarnya. Tapi
aku tidak peduli. Bagaimana pun Gladis sedang mencoba
membahayakan dirinya sendiri dengan keluar rumah tanpa seijinku.
“ Ngga ada. Gua keluar sendiri. Karena ngga ada orang di
rumah jadi gua pergi aja.” Gladis menjelaskan dengan santai. Yang
membuat aku emosi, ia mengatakan kalau di rumah tidak ada orang
padahal jelas-jelas aku ada di rumah.
“ Gua ‘kan ada di rumah! Lo seharusnya bilang sama gua
kalau mau keluar biar gua yang anter elo kalau mau kemana-mana. Lo
‘kan tahu kalau Hans lagi berkeliaran. Lo jangan sembarangan keluar
dong! Setidaknya bilang sama gua!”
Gladis melotot mendengar omelanku. Rahangnya mengatup
rapat dan tiba-tiba matanya beralih ke arah belakangku. Aku menoleh
dan melihat Julian yang memandang kami dengan dingin.
“ Gua rasa gua ngga perlu bilang ke elo karena elo sendiri
banyak urusan. Dan bukannya lo lagi marah sama gua? Jadi, gua ngga
perlu bilang. Lagian ada Vicky yang nemenin gua.”
Nada bicara Gladis yang dingin membuatku tidak bisa
membalas kata-katanya. Dengan kesal ia menarik tangan Vicky dan
meninggalkan aku yang terdiam memandangnya.
“ Kayaknya tunangan kecil lo ngga terlalu mengahargai
hubungan kalian..” kata-kata Julian yang sudah berdiri di belakangku
membuat dadaku panas.
“ Bukan urusan lo. Udah, buruan belanjanya!”
Kuletakkan dengan kasar barang-barang belanjaan yang tadi
kupegang ke atas kereta belanja. Kutinggalkan Julian sendirian dan
mencari-cari sosok Gladis.

112
Ternyata dia dan Vicky sudah mengantri di kasir. Julian juga
sudah mulai mengantri.
Baiklah, aku bisa membawa Gladis pulang. Aku akan
menariknya dengan paksa. Tidak akan aku biarkan dia pergi
sembarangan tanpa pengawasanku. Sekalipun dia bersama Vicky.
Aku terus mengawasi mereka. Saat Julian selesai membayar
belanjaannya, aku segera membawa kantong-kantong yang besar dan
berat dan dengan segera aku mengejar Gladis yang akan keluar dari
supermarket. Kutarik tangannya menjauhi Vicky.
“ Hei, apa-apan ini! ‘J’ lepaskan! Sakit tahu!”
“ Pulang!”
“ Ngga mau! Gua masih mau jalan-jalan dengan Vicky!”
“ Pulang! Gua bilang pulang!”
“ Ngga mau!”
Aku tidak mau bertengkar dengan Gladis. Aku harus
membawanya pulang. Akhirnya tetap kutarik ia dengan kasar. Aku
tahu dia merasa sakit tapi aku tidak akan membiarkan dia pergi.
“ Hei! Lepaskan dia!”
Tiba-tiba Vicky menarik lenganku dan melepaskan
genggamanku dari lengan Gladis. Ia melotot padaku dan aku balas
melotot padanya.
“ Lo ngga bisa seenaknya kayak gitu sama Gladis. Memang lo
siapanya dia?!” seru Vicky penuh amarah.
Pertanyaan Vicky membuatku terdiam. Dia benar, memang
aku siapanya Gladis hingga berani memaksa Gladis seperti ini.
Aku memandang sekelilingku mencoba mencari jawabannya.
Ternyata semua orang sedang memandangi kami. Dari jauh kulihat
Julian berdiri terdiam memandangku dengan terluka. Sementara
Gladis memandangku dengan kesal sambil mengusap lengannya yang
terasa sakit.
“ Dia...A..Aku...Aku ini kakaknya! Ayo pulang!” Akhirnya
aku menjawab. Sekali lagi kutarik tangan Gladis dan ia tidak
memberontak lagi. Wajahnya tampak terkejut mendengar kata-kataku.
Seharunya dia tidak terkejut karena itu memang yang ia
harapkan. Ugh...kenapa memikirkannya perasaanku jadi sakit? Rasa
pahitnya muncul lagi. Menyebalkan!
113
Di mobil Gladis masuk tanpa memberontak. Ia duduk dengan
tenang di kursi belakang dan wajahnya tampak sangat kesal. Aku
tidak langsung masuk ke mobil karena Julian masih belum datang.
Tadi aku meninggalkannya begitu saja.
Aku baru akan menyusulnya saat kulihat ia muncul dengan
wajah yang tampak sama kesalnya dengan Gladis. Aku menyusulnya
untuk membantunya membawakan barang. Aku tidak menyadari
kalau ada mobil yang melaju dengan cepat ke arahku sampai Julian
berteriak memperingatkanku dan mendorongku dengan keras hingga
kami berdua jatuh ke tanah dengan keras.
Mobil itu terus melaju tanpa mempedulikan kami. Pasti dia
takut dilaporkan.
“ Lo ngga apa-apa?” tanya Julian dengan panik. Ia
memeriksaku dengan cemas hingga tidak menyadari kalau sikut
kanannya luka dan mengeluarkan banyak darah.
“ Kalian ngga apa-apa?” Gladis keluar dari mobil dan
memandangku dengan khawatir. Aku tersenyum padanya agar ia
merasa tenang.
“ Gladis tolong ambilin kotak P3K yang ada di bawah jok
mobil.” Pintaku sambil meraih lengan Julian yang luka.
“ Gua ngga apa-apa. Lo ngga sadar dengan luka lo ini. Lihat,
darahnya banyak banget.”
Julian menarik napas dalam karena terkejut melihat darah
yang ada di sikunya. Ia tampak sangat pucat.
“ Ini.” Gladis menyodorkan kotak P3K yang kuminta. Aku
menerimanya tanpa menoleh pada Gladis. Aku terus memperhatikan
luka Julian. Tampaknya cukup parah. Mungkin harus dijahit.
Aku jadi merasa tidak enak padanya. Demi melindungi aku, ia
jadi terluka begini.
Aku membuka pintu depan mobil dan membantu Julian duduk
di jok depan. Aku mulai membersihkan lukanya dan ia tampak sangat
kesakitan karena terus meringis. Bahkan ia sampai menangis. Aku
benar-benar merasa bersalah.
“ Maaf, gara-gara gua...” bisikku pelan. Dengan tetap sambil
menahan sakit dan air mata, Julian menggelengkan kepalanya.

114
“ Yang penting lo ngga kenapa-napa. Kalau tadi ketabrak gua
bakal menyesal seumur hidup. Lebih baik gua yang luka daripada lo
yang luka...”
Aku tidak bisa menjawab kata-kata Julian. Aku semakin
merasa dibebani. Aku melirik ke arah Gladis dan ia memandangku
tanpa ekspresi. Ia duduk di jok belakang dengan mata menatap kosong
ke arah luka Julian. Saat ia menyadari tatapanku, ia hanya
memandangku tanpa ekspresi.
Entah kenapa perasaanku begitu kacau....Aku merasa buntu...

***

Kami bertiga menahan napas dalam saat mendengar


penjelasan Papi. Ternyata Hans mencoba memasuki rumah kami tadi
dan untungnya Kak Hana yang ditinggal sendirian tidak apa-apa
karena Papa keburu datang. Yang membuat kami lebih shock lagi,
ternyata mobil yang tadi hampir menabrak ‘J’ adalah mobil Hans.
Ciri-ciri yang dikatakan Kak Hana sama dengan mobil yang tadi ada
di mal.
“ Untung kamu ngga kenapa-napa.” Ujar Gladis penuh
kelegaan. Aku mengangguk pelan dan memandang Julian yang
tampak pucat. Tampaknya dia masih terguncang.
“ Julian, kalau kamu mau, istirahat dulu saja di sini. Nanti aku
akan menelepon Dokter Bram supaya memeriksa lukamu.” Mata
Julian tampak berbinar saat mendengar saranku dan dengan perlahan
ia mengangguk. Papi sendiri tampak terkejut mendengar kata-kataku.
Baiklah, bukan berarti aku menyukai Julian tapi karena aku
merasa berhutang budi. Dan mungkin...aku mulai bersimpati padanya.
Bagaimanapun dia telah mengorbankan nyawanya untukku.
“ Makasih...” bisik Julian lembut.
“ Tidur aja di kamar gua.” Tawarku lagi dan semua mata
langsung menatapku seolah-olah aku sedang melakukan hal yang
paling heboh. Memangnya apanya yang salah?
“ Ngga apa-apa ‘kan? Soalnya ‘kan dia ngga mungkin tidur di
kamar Kakak gua yang udah pada punya suami. Bisa-bisa kakak pada
ribut mikir macem-macem.”
115
Papi tertawa pelan mendengar penjelasanku dan meangguk
mengerti. Memangnya tadi dia mikir apa?
Beberapa lama kemudian Julian berpamitan dan pergi
meninggalkan ruang keluarga dan naik ke lantai dua. Tentu saja ke
kamarku.
“ Papi pergi dulu ya. Masih ada yang harus diurus.”
“ Hati-hati Pap.”
“ Tenang aja. Polisi nemenin Papi kok. Mereka udah jaga-jaga
di depan.”
“ Ok.”
Setelah Papi pergi, aku segera membaringkan tubuhku di atas
sofa. Rasanya aku lelah sekali. Mungkin sebaiknya kubatalkan janjiku
nanti siang. Tentu saja dengan alasan yang cukup keren, yaitu hampir
saja terbunuh. Hahahaha...
Aku benar-benar bersyukur Julian tadi menolongku kalau
tidak mungkin aku sudah masuk kamar mayat. Fiuhhh, rasanya aku
lega sekali. Perasaan lega ini juga membuatku mengantuk. Rasanya
aku ingin istirahat.
Aku baru akan mencoba untuk tidur saat Gladis tiba-tiba
duduk di ujung sofa, dekat kakiku dan memandangku tanpa ekspresi.
“ Gladis, ya ampun. Gua kira lo udah naik ke atas.” Gladis
tidak menjawab. Aku kembali duduk dan menunggunya bicara tapi ia
hanya memandangku dengan kesal. Ia mengambil salah satu bantal
sofa dan...
Buk! Buk!!
“ Hei, apa-apan sih!?” Gladis terus memukulku dengan bantal.
Ia tampak sangat marah sekali. Marah, hingga menangis.
Ada apa dengannya?
“ Gladis...Hentikan...Hentikan...!” Dengan kuat kupegang
kedua lengan Gladis agar ia tidak memukuliku lagi. Air matanya
mengalir deras sekali.
“ Kenapa...”
“ Huaaahhhh.....!!” tiba-tiba saja tangisnya meledak dan ia
mulai memukuliku lagi.
Dia membuatku bingung. Menangis tanpa sebab dan terus
memukuliku. Apa salahku?
116
“ Gladis....” Aku menahan lengan Gladis lagi dan memandang
mata Gladis yang tampak sangat ketakutan. Aku terdiam dan tidak
mengerti apa yang ia takutkan. Sesaat kusadari perasaannya, aku baru
mengerti. Ia merasakan perasaan yang sama seperti saat aku hampir
menenggelamkannya. Perasaan takut kehilangan yang sangat besar
hingga rasanya ingin mati.
Apakah dia benar-benar takut kehilanganku? Aku sangat
berharap itu benar tapi..... aku pikir seharusnya aku tidak boleh
berharap banyak. Aku tidak mau merasakan sakit yang lebih dalam
lagi.
Tapi....
Setidaknya...Setidaknya walau hanya sedikit, aku benar-benar
berharap kalau Gladis tidak ingin kehilangan diriku..
“ Maaf....” bisikku pelan membuat Gladis terdiam. Mendadak
ia menjadi begitu kesal dan mulai memukuliku lagi. Kali ini aku tidak
menahan pukulunnya. Aku hanya menariknya ke dalam pelukanku
dan membiarkannya terus menangis.
Aku terus memeluk Gladis. Hingga tangisnya mereda pun aku
tidak melepaskannya. Perlahan kurasakan Gladis menyandarkan
kepalanya di dadaku dan nafasnya mulai menjadi teratur.
Ragu-ragu aku membelai kepalanya. Saat kulihat ia tidak
bereaksi, aku membelai kepalanya lagi. Rambutnya sangat halus dan
harum. Aku mengecup ubun-ubunnya pelan dan Gladis membalasnya
dengan pelukan yang semakin erat.
Entah kenapa aku begitu bahagia bisa memeluknya seperti ini.
Aku ingin waktu berhenti dan membiarkan aku bisa memiliki Gladis
seperti ini. Tidak ada yang menghalangi perasaanku untuk bisa
memilikinya dan terus bisa disisinya. Memeluknya...seperti ini...
“ Gua janji ngga akan keluar rumah kalo ngga bareng elo...”
ujar Gladis dengan gemetar membuatku merasa geli. Dia benar-benar
takut...
“ Iya...gua juga ngga akan ngebiarin orang lain menyakiti lo.
Mau Hans kek..mau preman kek...Yang pasti gua pasti akan ngejaga
elo...Kalau perlu gua akan tukar nyawa gua. Sama kayak waktu...”
Aku terdiam karena tidak tahu harus berkata apa untuk
melanjutkan kalimatku. Rasanya ada ingatanku yang ingin aku
117
katakan tapi aku tidak tahu apa. Aku seperti melupakan bagian
terakhir dari kalimatku.
“ Kayak waktu kapan?” tanya Gladis sambil mengangkat
kepalanya dan memandangku penasaran.
“ Memangnya lo pernah nuker nyawa lo?”
“ Pernah kok!”
“ Kapan? Buat apa?”
Aku jadi bengong sendiri. Kapan aku menukarkan nyawaku?
Aku seperti membual.
“ Pokoknya pernah.” Aku ngotot. Gladis cuma mencibir dan
melepaskan pelukkannya. Ia duduk di sampingku dan memandangku
dan tersenyum geli.
“ Ngga perlu sampe nuker nyawa. Lo jadi bodyguard gua, gua
udah seneng kok.” Ujarnya sambil menyeringai, nakal.
Aku melotot dan mengacak-acak rambutnya dengan gemas.
Gladis tertawa keras sambil terus berusaha menghindariku. Ia bangkit
berdiri dan berlari menghindari kejaranku.
Ia masuk ke dapur dan di sana ia berlindung pada Kak Hana
yang sibuk membuat kue. Ia masih sempat mencomot beberapa kue
dan memasukkannya ke dalam mulutnya sekaligus. Ya, ampun! Dasar
cewe rakus!
“ Ha, ketangkep! Hahahah...!”
“ Kyaaaa! Kyaaa!! Lepasin!! Lepasin!!!” Gladis menjerit-jerit
dan meronta-ronta berusaha melepaskan dirinya dari pelukanku tapi
aku memeluknya erat-erat dari belakang. Aku harus memberinya
sedikit pelajaran.
Dengan gerakan cepat kubopong ia dibahuku. Kubawa ia
melewati ruang keluarga dan ke kolam renang. Tak kupedulikan
tatapan heran Sisca yang sedang asyik membaca majalah.
“ ‘J’, lo mau ngapain! Turunin gua!! ‘J’!!” Gladis terus
meronta tapi aku tidak peduli. Aku berdiri di dekat kolam yang paling
dangkal dan bersiap melemparkan Gladis ke sana tapi tiba-tiba Gladis
menarik tangan Sisca yang entah sejak kapan berdiri di belakangku.
BYUUURRR!!!
Akhirnya bukan hanya Gladis yang terjebur ke kolam, tapi aku
dan Sisca juga.
118
“ HAAAA!!! KALIAN!!!” jerit Sisca dengan kesal. Semua
orang yang ada di rumah langsung ke kolam dan cuma bisa geleng-
geleng kepala melihat kami.
“ Hahahahahaha....” Gladis tertawa kencang sekali. Ia
mendekatiku dan meraih kepalaku dengan cepat. Ia berusaha
menenggelamkanku tapi aku langsung menariknya dan ia ikut
terbawa. Mengingat kejadian di pantai, aku tidak lama
menenggelamkannya. Aku takut dia kehabisan nafas lagi.
Kuraih pinggangnya dan kubawa ia berenang ke tengah kolam
yang lebih dalam. Ia langsung panik dan memeluk leherku karena
takut. Ia menjerit-jerit panik di kupingku. Kupingku sampai pengang.
“ ‘J’, turunin gua!!” perintahnya. Aku melepaskan peganganku
di pingangnya. Saat menyadari, kalau aku melepaskannya dia akan
tenggelam, Gladis langsung melotot padaku.
“ Hahahahaha...ayo minta maaf!” perintahku. Gladis mencibir.
Kulepaskan peganganku dan ia langsung menjerit-jerit lagi.
“ Ayo minta maaf!”
“ Iyaaaa....Maaaffff!!”
“ Bilang ‘ ‘J’ yang ganteng, Gladis minta maaf ya?!”
“ Ngga mau!” Gladis memonyongkan bibirnya mendengar
permintaanku. Dia paling tidak suka kalau aku mulai bersikap narsis.
Tapi tidak apa-apa. Dia malah tampak sangat lucu kalau sedang sebal.
“ Ayo! Ntar aku lepas nih...”
“ Haaa..Jangaaan!!!”
“ Ayo...”
“ ‘J’ ganteng, Gladis minta maaf..”
“ Bagus..”
Dengan tawa yang tersisa kubawa Gladis ke tepian kolam dan
dengan cepat ia langsung naik. Saat aku berusaha naik ia malah
mendorongku lagi hingga aku terjebur lagi. Ia tertawa senang sekali.
“ Awas lo!” seruku mengancam walaupun di wajahku malah
ada senyuman yang sangat lebar.
Gladis berlari ke dalam rumah sambil menggigil. Aku benar-
benar geli melihatnya. Ia seperti anak anjing yang kedinginan.
Bibirku masih terus tersenyum lebar mengingat senyuman
Gladis, tawanya dan tingkahnya. Baiklah, aku memang seperti orang
119
gila senyum-senyum sendiri tapi mau bagaimana lagi?! Aku sangat
senang bisa bercanda lagi dengannya. Aku sangat senang...Mengingat
kejadian kemarin...Kejadian yang membuat Gladis begitu marah
padaku.
Bayangan pahit itu seketika menghilang saat bayangan wajah
Gladis yang tampak sangat lucu muncul dibenakku. Sekali lagi aku
tertawa sendiri seperti orang bodoh sampai aku menengadahkan
kepalaku dan melihat Julian berdiri di jendela kamarku. Ia
memandangku dengan sangat pilu. Tak berapa lama kemudian ia
menjauhi jendela dan membelakangiku.
Kutarik nafasku dalam-dalam. Aku tidak bermaksud
menyakitinya...

***

BAB XV

120
Aku menghirup wangi shampoo yang melekat dirambutku dan
tertawa geli. Aku tertawa bukan karena wangi rambutku tapi karena
kejadian tadi siang.
‘J’ memelukku erat sekali. Begitu eratnya sampai aku bisa
mencium harum parfumnya. Bahkan dia membelai kepalaku dan
mengatakan akan melindungiku!!!
Haaaaa....Aku senang sekali!!
“ Heh, orang gila! Senyum-senyum sendiri!” suara Sisca yang
cempreng membuatku terlonjak. Aku berpaling padanya yang sedang
sibuk mempercantik kukunya dengan cat kuku berwarna merah ceri.
“ Gua seneng banget hari ini, Sis!” seruku. Kuhempaskan
majalah yang sedari tadi tidak kubaca sama sekali. Kudekati Sisca dan
duduk di hadapannya sambil memandangnya penuh semangat. Aku
terus tersenyum lebar dan tidak bisa mingkem.
Aku masih bisa merasakan pelukan ‘J’ yang hangat. Dadanya
yang lebar dan nyaman membuatku lupa pada rasa takut yang
kurasakan.
Iya...Saat aku melihat mobil itu melaju ke arah ‘J’ aku tidak
bisa melakukan apa-apa. Aku hanya bisa terpaku dan melihat Julian
mendorong ‘J’. Tubuh mereka jatuh dengan keras ke atas lantai
beton.
Aku baru bisa menyadari hal yang terjadi beberapa saat setelah
Julian menanyakan keadaan ‘J’. Itu pun aku tidak bisa melakukan
apa-apa. Aku hanya bisa melihat ‘J’ mengobati tangan Julian yang
luka dengan perasaan campur aduk. Antara lega, takut dan marah.
Aku lebih terkejut lagi saat Oom mengatakan kalau orang
yang mau menabrak ‘J’ itu adalah Hans. Aku takut sekali!
Sebenarnya aku sendiri bingung kenapa aku begitu ketakutan.
Ketakutanku itu seperti takut kehilangan sesuatu yang sudah pernah
hilang...Aneh ‘kan?
Ah, siapa peduli. Yang penting sekarang ‘J’ baik-baik saja.
Bahkan ia tampaknya sudah tidak marah lagi.
“ Sis, hari ini gua seneng banget!” bisikku penuh semangat.
Sisca hanya mencibir dan memandangku dengan wajah tidak simpati
sama sekali.

121
“ Kok, elo pasang muka kayak gitu sih?!” protesku sambil
memukulnya pelan dengan bantal. Ia langsung mengelak dan melotot
padaku karena cat kukunya hampir saja tumpah karena tersenggol
bantal.
“ Ya, lo liat dong ‘Dis. ‘J’ itu udah punya tunangan. Tapi
tingkah lo sama dia tuh udah kayak orang pacaran. Yang lebih parah
lagi kalian keliatan mesra di depan Julian.” Jelas Sisca membuatku
terdiam.
Aku lupa akan hal itu. Aku lupa kalau ‘J’ sudah punya Julian.
Kenapa aku bisa lupa?
“ Tapi....Kayaknya ‘J’ ngga suka sama Julian...” aku membela
diri. Sisca memandangku tanpa ekspresi dan mendekat padaku
perlahan.
“ Walaupun ‘J’ ngga suka sama dia tapi status mereka tetap
tunangan. Lo ngga mau ‘kan ngerebut tunangan orang? Dan yang
lebih penting, memangnya lo benar-benar suka sama ‘J’? Bukannya lo
lebih suka sama cowo yang udah lama kenal sama lo kayak si
Vicky?”
Sekali lagi aku tidak bisa menjawab. Semua yang dikatakan
Sisca benar.
Sebenarnya apa yang aku harapkan dari ‘J’?
Bukannya dia adalah kakak laki-lakimu? Kamu sudah
menganggapnya seperti itu bukan?
Sebuah suara berbisik padaku, membuatku semakin gundah.
Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk hanya menganggap ‘J’
sebagai kakak laki-lakiku tapi....
Dalam sekejap kebahagiaanku seperti dicabut begitu saja. Aku
tidak bisa tersenyum lagi. Aku seperti dibanting dari langit ketujuh.
Aku memandang Sisca dan dia hanya bisa angkat bahu seolah
menjawab pertanyaan yang ada dalam hatiku...
Apakah aku salah kalau aku mengharapkan lebih?
Rasanya aku ingin membicarakan ini pada ‘J’. Bergegas aku
bangkit berdiri dan mencari ‘J’. Dia tidak ada di ruang tengah, di
dapur atau dimana pun. Aku pergi ke kolam renang dan ternyata dia
sedang merendam kakinya.

122
‘J’ menoleh padaku karena menyadari kehadiranku. Ia
memandangku dan tersenyum pahit. Dia tidak tersenyum seperti tadi
lagi...Ada apa ini?
“ ‘J’...” panggilku pelan. Ia tidak menyahut. Ia malah
menundukkan kepalanya seolah tidak mengijinkan aku melihat
wajahnya.
“ ‘J’...gua....Apa gua mengganggu hubungan lo sama Julian?”
tanyaku dengan cepat. ‘J’ segera menoleh dan hanya memandangku
dengan terkejut.
Beberapa saat ia hanya terdiam. Ia berpaling lagi dan
menggeleng perlahan.
“ Ngga...lo ngga ngeganggu kok...”
“ ‘J’...gua ngga mau bikin masalah...” Aku mendekati ‘J’ dan
duduk disampingnya. Ia memandangku dengan sangat lembut....
Aku tidak bisa berkutik menatap matanya yang memandangku
dengan cara itu. Aku menahan napasku dan hanya bisa terdiam saat ia
membelai pipiku. Setelah itu ia bangkit berdiri dan meninggalkanku
begitu saja. Ia tidak mengucapkan apa pun...
Kenapa..Kenapa dia tidak bicara?! Ada apa sebenarnya?!
“ ‘J’...Sebenarnya ada apa?” tanyaku sebelum ‘J’ melangkah
masuk ke dalam rumah. ‘J’ menghentikan langkahnya dan
memandangku sekilas.
“ Kerjaan yang kemarin kita lanjutin lagi besok ya?” ujarnya
membuatku jengkel. Ia mengalihkan pembicaraan.
Dia tidak mau membahas masalahnya denganku! Apakah
karena Julian? Apakah karena ia tidak enak pada Julian?!
Kalau memang begitu berarti aku harus menjauhi ‘J’....Padahal
baru saja kami berbaikan...
Tidak adil....
***
Seminggu berlalu sejak hari itu, aku dan ‘J’ semakin menjauh.
Aku tidak pernah bicara padanya dan bahkan cenderung menghindar.
Aku selalu berusaha untuk tidak bertemu ‘J’ selain saat kami
mengerjakan proyek iklannya karena kalaupun kami bertemu kami
akan seperti orang musuhan. Kami tidak bicara atau pun menyapa satu
sama lain.
123
Semua orang rumah melihat kelakuan kami dan mereka
merasa aneh. Beberapa kali mereka bertanya padaku sebenarnya ada
masalah apa antara aku dengan ‘J’ dan aku hanya bisa memberikan
senyum simpul yang membuat mereka kesal karena tidak puas.
Seperti saat ini, ‘J’ mengambil minuman dingin dari kulkas
tanpa bicara satu patah kata pun. Aku pun hanya bisa tertunduk
sambil berpura-pura sibuk mengupas bawang. Kak Hana yang semula
sibuk dengan adonan kue bawangnya langsung terdiam melihat
tingkah kami.
“ Ada apa sih dengan kalian?!” tanya Kak Hana saat ‘J’ sudah
menghilang di pintu dapur. Ia meremas-remas adonannya sambil terus
menatapku, menunggu aku menjawab pertanyaannya.
“ Ngga ada apa-apa kok ‘Ka.” Ujarku lirih.
“ Ngga mungkin. Kelakukan kalian tuh aneh banget. Tadinya
‘kan kalian akrab banget, kenapa sekarang jadi kayak gini?”
Aku memandang Kak Hana sekilas dan hanya bisa menarik
napas dengan berat karena aku sendiri tidak tahu harus menjawab apa.
Ataukah aku harus mengatakan isi hatiku? Aku takut merusak
hubungan Julian dan ‘J’. Aku tidak mau dianggap cewe yang merusak
hubungan orang lain dan aku juga tidak mau menyulitkan keadaan ‘J’.
Tapi yang paling membuat aku bersikap seperti ini adalah
sikap dingin ‘J’. Dia yang lebih dulu bersikap dingin padaku. Aku
tidak tahu kenapa. Yang pasti, aku sendiri sebenarnya tidak suka
keadaan ini dan aku mulai tidak tahan.
Saat kami mengerjakan proyek iklan, kami bicara seperti
orang asing. ‘J’ tidak pernah lagi menggodaku atau mengejekku. Dia
sangat dingin...
“ Kok malah ngelamun?”
Aku terbangun dari lamunanku dan memandang Kak Hana
dengan malu. Dia hanya tersenyum lembut padaku dan dengan
tatapan mengerti ia kembali mengolah adonan kuenya tanpa bertanya
lagi padaku.
‘J’....Harusnya kita ngga usah ketemu lagi sekalian. Kalau
seperti ini cuma bikin aku ngerasa sakit...

124
Kita ketemu setiap hari tapi sikapmu sama aku membuat aku
sakit. Aku memang bukan siapa-siapa...kita ngga punya hubungan
apa-apa. Karena itu, mungkin lebih baik kita sekalian berjauhan...
“ Dis, kamu tolong beli garam di warung ya? Garamnya habis
nih.”
Bergegas aku mencuci tanganku dan menerima uang dari Kak
Hana. Warung yang dimaksud Kak Hana tidak jauh dari sini jadi aku
bisa pergi dengan berjalan kaki.
Keluar dari pintu gerbang rumah kulihat beberapa mobil polisi
berjaga-jaga. Tanpa menyapa mereka bergegas aku pergi menuju
warung. Tidak jauh tapi ternyata tutup.
Sekarang aku harus beli garam dimana?
Kulihat sekeliling komplek perumahan dan kupikir aku bisa
mencoba mencari di daerah lain.
Aku berjalan lurus dan melihat ke tiap belokan, mungkin saja
ada warung yang terlihat. Selama aku berjalan, mungkin perasaanku
saja, sepertinya ada yang mengikutiku. Setiap kali aku berpaling ke
belakang ternyata tidak ada orang sama sekali.
Kupercepat langkahku dan aku bisa mendengar dengan jelas,
suara langkahku ada dua. Berarti benar ada yang mengikutiku. Aku
berhenti dan melihat ke belakang lagi. Tidak ada siapa-siapa...
Komplek perumahan ini sepi sekali seperti kuburan, aku jadi
berpikir yang tidak-tidak. Tidak mungkin siang bolong begini ada
hantu.
Aku membalikkan badanku lagi dan kuputuskan untuk
kembali ke rumah saja. Kali ini aku tidak berjalan tapi berlari dan
kudengar suara langkah lain selain langkah kakiku. Kupercepat lariku
dan saat aku sampai di dekat rumah suara langkah itu hilang. Tapi biar
begitu aku tetap berlari bahkan sampai ke dalam rumah. Tak
kupedulikan tatapan para polisi yang memandangku dengan penuh
tanya.
Brak!
Kututup pintu dengan nafas ngosngosan. Rasanya lega bisa
berada di rumah.

125
“ HWAAAAA!!!” aku menjerit karena terkejut. Tiba-tiba ‘J’
sudah ada di ruang tamu sambil memandangku dengan tajam. Ia
berdiri tegap dengan wajah tampak sangat marah.
Ada apa lagi?
“ Dari mana kamu?” tanyanya dengan tajam membuatku
bergidik. Aku tidak suka kalau ‘J’ sedang marah.
“ Dari warung...mau beli garam.” Jawabku datar. Aku tidak
mau dia marah-marah seenaknya padaku karena aku sendiri tidak
merasa ada yang salah.
“ Kenapa keluar ngga bilang-bilang?!” tanya ‘J’ lagi
membuatku risih.
“ Buat apa? Lagian lo ‘kan bukan bokap gua jadi gua ngga
usah lapor ke elo ‘kan...”
Ya ampun, kenapa jawabanku ketus begini. Pasti karena sikap
‘J’ selama seminggu ini. Aku jadi sinis padanya....Aku tidak
bermaksud tapi aku memang tidak suka dan aku merasa jengkel...Pada
diriku sendiri maupun pada ‘J’.
‘J’ mendekatiku dan menarik lenganku dengan kuat. Dan
dengan cepat aku mengehempaskan tangannya. Lenganku terasa
sangat sakit.
“ Gua ‘kan udah bilang kalau mau pergi kemana-mana bilang
dulu sama gua!”
“ Buat apa?! Lo ‘kan bukan pengasuh gua!”
“ Gladis....Lo sadar ngga sih kalau nyawa lo lagi terancam?!”
“ Gua tahu terus lo mau apa?”
“ Lo tuhhh.....”
‘J’ tidak melanjutkan kata-katanya. Ia hanya memandangku
dengan gemas. Ia mengatupkan rahangnya dengan kuat dan
mendengus kesal.
“ Terserah!!” serunya sambil membelakangiku. Bahunya naik
turun menandakan kalau ia sedang marah.
Marah-marah ngga jelas...Dasar orang aneh.
“ Memang terserah gua, makanya lo jangan ribut sendiri...Gua
bisa jaga diri...Gua ngga perlu dilindungi siapa pun. Dari dulu gua
selalu sendirian. Lo ngga perlu susah-susah ngelindungin gua.

126
Apalagi sampai ngorbanin nyawa...Gua tahu lo cuma ngomong doang.
Lo ngga akan mau mati buat gua...”
Aku mengatupkan mulutku, terdiam oleh kata-kataku sendiri.
Rasanya aku melakukan kesalahan. Kata-kataku pasti menyinggung
perasaan ‘J’. Tapi aku masih ingin terus bicara...Aku ingin
melampiaskan semua kekesalanku dan amarahku yang selama
seminggu ini kupendam...
“ Dari pada lo ngorbanin nyawa buat gua lebih baik lo
ngorbanin nyawa buat Julian...Dia ‘kan udah ngorbanin nyawa buat
elo...Dan...”
“ Lo bisa diem ngga?!” ‘J’ berpaling padaku dan
memandangku dengan sakit. Wajahnya memerah seperti dibakar. Aku
hanya bisa membisu melihatnya seperti itu.
“ Gua tahu dari dulu lo ngga suka sama gua! Gua tahu lo benci
sama gua! Sekarang mendingan lo pulang! Dari awal memang
seharusnya kita ngga pernah kenal...Seharusnya kita ngga pernah
ketemu lagi.....Gua udah punya Julian...Seharusnya kita ngga usah
ketemu lagi....Seharusnya......”
Kata-kata ‘J’ terputus. Ia tampak bingung untuk meneruskan
kata-katanya. Ia berusaha mengingat sesuatu tetapi sepertinya tidak
berhasil.
Dia memang benar. Seharusnya kami tidak perlu bertemu lagi.
Sekalipun saat kami bertemu waktu itu ada perasaan lega yang
kurasakan.
Sekalipun mungkin selama ini aku terus mencarinya...Tanpa
sadar dan aku sendiri tidak tahu kenapa...
Bodohnya aku selama ini terus terbawa perasaanku sendiri.
Untuk apa aku mengharapkan bisa dekat dengan cowo yang punya
tunangan...Lagipula aku tidak mau punya kakak yang pemarah...
“ Memang seharusnya kita ngga usah ketemu. Seharusnya kita
ngga usah pernah kenal!! Kenal sama elo cuma nyiksa gua!!”
Jeritanku terasa sakit di dadaku. Kenapa rasanya sesakit ini..
Kenapa...Padahal aku belum lama kenal ‘J’ tapi kenapa sesakit
ini....Gua tetap berharap bisa bertemu dengan dia...Bohong kalau gua
ngga mau kenal dia...
“ Gua benci sama lo!!”
127
Tanpa menunggu ‘J’ menjawab lagi kutinggalkan ia sendirian
dan pergi menuju kamarku.
Bergegas aku ke kamarku dan menemui Sisca yang
ngosngosan karena bermain DDR bersama Kak Sarah. Mereka
menghentikan permainan mereka saat aku masuk. Sepertinya mereka
bertanya-tanya karena ekspresi di wajahku.
Aku memandang Sisca dan menarik napas dalam untuk bisa
bicara.
“ Sis, kita pulang!” ujarku dengan nada mendesak.
Tanpa tanya-tanya lagi Sisca segera membereskan barang-
barangnya. Ia meminta maaf pada Kak Sarah karena harus berhenti di
tengah permainan. Kak Sarah tidak menggubrisnya. Ia malah pergi
keluar dengan terburu-buru. Entah dia pergi kemana.
Selesai membereskan barang aku dan Sisca bergegas turun ke
bawah. `J` sudah tidak ada di ruang tamu. Aku mencari Om dan Tante
tapi kata Mbok Ati mereka sedang keluar. Kutitip pesan pada Mbok
Ati untuk Om dan Tante. Jangan sampai mereka menganggap aku
tidak sopan karena meninggalkan rumah mereka tanpa pesan.
“ Dis, lo ngga ngomong dulu sama `J`?” tanya Sisca saat kami
sudah berada di taksi.
Aku tidak menjawab pertanyaan Sisca karena aku tahu dia
sudah tahu jawabannya. Saat ini aku tidak bisa melihat wajah `J`. Aku
masih sakit.
Baiklah, sikapku memang kekanakan dan tidak dewasa tapi
aku memang sudah tidak tahan. Aku tidak tahu harus bersikap seperti
apa lagi pada `J` karena aku serba salah.
Aku tidak suka dengan caranya menatapku!! Aku tidak suka
cara dia bicara! Aku tidak suka pada semua bagian yang ada pada
dirinya!!
Aku kesal sekali sampai rasanya ingin menangis. Rasanya aku
takut sekali kalau `J` benar-benar tidak ingin bertemu denganku tapi
aku juga tidak mau diperlakukan seperti tadi. Aku ngga pernah tahu
apa yang ada dalam pikirannya. Setidaknya ia menjelaskan kenapa dia
mendiamkan aku meskipun mungkin aku tahu apa yang akan ia
katakan. Aku paling tidak suka jika dibuat bingung!
“ Dis, jangan nangis dong. Lo kenapa?”
128
Sisca menatapku salah tingkah. Aku sendiri tidak dapat
menghentikan tangisku. Aku rasa karena aku sudah tidak tahan. Aku
tidak pernah merasa sesakit ini.
“ Gua ngga apa-apa kok. Lo ngga usah cemas.”
Aku menundukkan kepalaku dan mengusap air mataku cepat-
cepat. Aku rasa masalah seperti ini tidak pantas untuk aku tangisi.
Aku baru kenal ‘J’ tidak ada sebulan. Buat apa aku
menangisinya.Terserah `J` kalau mau terus marah.
Terserah...
Tapi ngga bisa...Aku ngga bisa kehilangan ‘J’. Ada yang harus
aku tahu darinya. Ada yang harus aku katakan padanya...
***

129
BAB XVI

Aku menutup kupingku dengan kesal mendengar omelan


keempat kakakku yang tidak ada hentinya. Mereka semua
menyalahkan kelakuanku yang membuat Gladis pergi.
“ Seharusnya kamu bisa bersikap dewasa! Kamu `kan tahu
kalau dia tidak ingat waktu kalian kecil dulu. Kamu ngga bisa nahan
emosi apa?” omel Ka Ribka sambil mencubitku dengan gemas. Aku
hanya diam tidak membalas.
Mereka ngga ngerti masalahnya. Mungkin sebenarnya bukan
hanya karena dia lupa pada masa kecil kami tapi....Tapi karena aku
ngga bisa bersama dia. Aku ngga bisa bersama Gladis dengan leluasa.
Aku marah pada diriku sendiri...Aku tidak ingin menyakitinya
tapi yang terjadi malah begini..
“ `J`, coba kamu ngomong dengan jujur tentang perasaan
kamu yang sesungguhnya. Mungkin dengan begitu kamu akan merasa
lega.”
Hatiku tergelitik mendengar kata-kata Kak Hana. Selama ini
aku tidak pernah berpikir untuk menceritakan perasaanku pada siapa
pun. Aku merasa tidak perlu dan pasti memalukan. Tapi sepertinya
sekarang aku tidak dapat menahannya lagi. Aku harus menceritakan
apa yang aku rasakan.
Mungkin aku memang cowo cengeng tapi aku juga tidak mau
merasakan perasaan yang menyiksaku ini. Aku merasa bukan diriku
yang sebenarnya.
“ Aku...Aku ngga tahu Ka. Aku ngga mau menyakiti dia tapi
yang terjadi malah aku benar-benar menyakitinya. Aku memang
marah karena dia melupakan masa kecil kami tapi bukan hanya
itu...Aku malah lebih marah pada diriku sendiri. Aku ngga bisa...Aku
ngga bisa bersama Gladis dengan leluasa...Aku....” aku menyelesaikan
ceritaku susah payah. Rasanya aku ingin meledak. Hatiku seperti
disobek-sobek.
Kakak-kakakku terdiam dan menarik nafas serempak. Kak
Hana memeluk bahuku sementara Kak Ribka mengacak-acak

130
rambutku. Kak Sarah dan Kak Magda hanya tersenyum lembut
mengerti padaku. Mereka membuatku semakin ingin menangis.
“ Kamu selalu begitu. Apa salahnya kalau marah? Jangan
menahan emosimu. Tidak baik memendam emosimu dengan cara itu.
Memang baik kalau kamu menahan amarah tapi tidak baik kalau
kamu menyangkalnya. Lihat sekarang akibatnya! Cobalah untuk
mengatakan apa yang saat ini kamu rasakan supaya orang yang ada
disekeliling kamu ngga bingung. Aku rasa Gladis marah pun karena
dia tidak mengerti kenapa kamu marah. Kalau kakak jadi dia pasti
akan melakukan hal yang sama. Coba kamu tanyakan perasaan Gladis
dan tanya pada dirimu sendiri. Apa yang sebenarnya kamu inginkan.
Kalau kamu tidak ingin menyakiti keduanya ternyata keduanya yang
malah akan sakit. Kamu harus memutuskan ‘J’. Memang harus ada
yang dikorbankan tetapi itu lebih baik daripada akhirnya kalian
bertiga yang merasa sakit.”
Nasehat Kak Hana membuka mataku. Ternyata selama ini aku
tidak memutuskan apa pun..Aku takut Gladis menolakku...Aku takut
tidak bisa bersama dia lagi...Aku takut ia merasakan sakit...Tapi di sisi
lain aku merasa bertanggung jawab pada hubunganku dengan
Julian...Aku bersikap kekanakan dengan tidak mengambil keputusan.
Aku malah telah menyakiti keduanya....
“ Masih ada kesempatan untuk memperbaiki. Ada baiknya
kamu minta maaf sama Gladis dan menyelesaikan semuanya.
Kayaknya dia sakit hati banget loh.” Kak Magda membangunkanku
dari lamunan. Di otakku langsung teringat wajah Gladis yang begitu
marah dan sakit hati. Aku sudah melakukan kesalahan. Aku harus
minta maaf.
Bagaimana mungkin aku mengatakan padanya kalau kami
seharusnya tidak pernah bertemu lagi padahal saat kami
bertemu...Saat itu aku begitu bahagia..
“ Nih, kunci mobil. Sekalipun dia bukan PH lo, lo tetep ngga
akan marah `kan? Inget kata-kata kakak-kakakmu ini, sayangi dia
seperti Tuhan menyayangi dia. Jangan karena kamu menginginkan
dia.”
“ Kasih tanpa syarat. Aku tahu Kak. Aku juga pengen yang
terbaik buat dia.”
131
Kak Hana mengangguk membenarkan kesimpulanku.
Kemudian dengan semangat dari kakak-kakakku, aku pergi untuk
menyusul Gladis.
Entah apakah dia akan memaafkanku tapi aku yakin dia akan
memaafkanku karena dia adalah gadis yang baik. Dia pasti akan
mengerti dengan apa yang akan kuceritakan padanya.
Mungkin dia akan mengatakan kalau dia hanya menganggapku
sebagai kakak tapi siapa peduli. Aku menyayanginya dan aku ingin
dia tahu itu. Aku ingin dia tahu dan mengijinkan aku bisa memberi
yang terbaik untuknya....
***
Kakiku terasa berat saat mendengar kalau Gladis ternyata
langsung pulang ke Cilegon. Dia tidak meninggalkan pesan apa pun.
Aku meneleponnya beberapa kali pun Gladis tidak
mengangkat. Bahkan dia langsung menolaknya.
Apa aku harus menyusulnya ke Cilegon? Aku tidak bisa
menunggu sampai besok. Aku harus menemuinya sekarang juga. Aku
tidak mau kehilangan Gladis!
Bergegas aku kembali ke mobilku untuk menyusul Gladis.
Aku ingin hubungan kami membaik walaupun hanya sebagai saudara.
Aku ingin Gladis tahu kalau aku sangat tulus menyayanginya.
Aku........
BUUUUUUUKKKKK!!
Tiba-tiba sebuah benda berat menghantam belakang kepalaku.
Kepalaku langsung terasa pusing sekali. Aku berbalik dan terbelalak
melihat Hans berdiri dengan penuh amarah padaku. Di tangannya
sudah siap pipa besi kembali mengayun untuk dihantamkan ke
kepalaku.
Aku tidak sempat menghindar dan kurasakan benda logam itu
menghancurkan kepalaku. Aku bisa mendengar tengkorakku yang
retak.
Kepalaku terasa berat luar biasa. Dalam sekejap beratnya
seperti bertambah berton-ton. Aku menjatuhkan diriku ke tanah dan
menunggu Hans memmberikan pukulan berikutnya. Penglihatanku
mulai rabun dan kurasakan darah mengalir deras dari bagian kepalaku
yang terasa sakit.
132
Aku mendengar suara jeritan disekelilingku dan samar-samar
kulihat mulai banyak orang berkumpul. Beberapa dari mereka
langsung menyerbu Hans dan memukulinya sementara yang lain
menghampiriku dan memanggil-manggilku.
Wajah mereka tidak dapat kulihat dan lama-kelamaan
semuanya menjadi gelap. Rasa sakit dikepalaku pun perlahan hilang
dan aku tidak merasakan apa-apa lagi.
Apakah aku akan mati?
***
“ Jacob! Jacob!”
Aku membuka mataku perlahan dan memandang wajah Gladis
yang ada dihadapanku. Ia memandangku penuh khawatir.
“ Gladis! Gua cari kemana-mana!”
Aku bangkit duduk untuk memegang bahu Gladis tapi aku
tidak menyentuhnya. Tubuhku seperti udara, tidak ada daging ataupun
tulang.
Aku memandang tanganku dan ada cahaya yang keluar dari
tubuhku. Sama seperti saat Gladis menjadi roh.
Tunggu! Rasanya ingatanku kembali semua. Semua ingatan
yang sangat detail! Waktu aku masih kecil! Waktu aku melamar
Gladis dan saat aku bertemu malaikat! Aku pernah bertemu
malaikat!?
Dan....sekarang dia ada di hadapanku sedang tersenyum
padaku.
Aku keluar dari tubuhku dan membiarkan Gladis menangis
memanggil-manggil namaku. Aku seperti di tarik ke arah malaikat itu.
“ Aku sudah mati?” tanyaku dengan harapan aku belum mati
karena aku belum minta maaf pada Gladis.
Malaikat maut itu hanya tersenyum dan merangkulku dengan
hangat.
“ Lihat saja nanti. Aku hanya datang membawa pesan singkat
dari Tuhan.
Yang mengerti isi hatimu yang sesungguhnya hanyalah Tuhan
karena itu katakan apa yang kamu pikirkan pada orang yang kamu
percaya supaya tidak ada kesalah pahaman. Komunikasi manusia
terbatas karena itu butuh banyak komunikasi dan penjelasan.
133
Intinya sih begitu. Jadi, jangan berharap orang akan mengerti
dirimu kalau kamu sendiri tidak pernah mengatakan apa yang kamu
rasakan.
Satu lagi, jujurlah pada hatimu.”
Aku tertawa kaku mendengar kata-kata malaikat. Benar-benar
suatu pesan peringatan tapi memang benar makanya aku merasa malu
sekali. Aku memang selalu berharap orang lain mengerti aku tanpa
aku perlu mengatakan semua pikiranku pada orang lain.
Terdengar sangat egois ya?
“ Lalu, kenapa aku tidak bisa sadar dari komaku hari ini juga?
Atau kau membawa nyawaku sekarang?”
“ Ada beberapa hal lain yang harus orang-orang sekelilingmu
alami dan pelajari dari kejadian ini. Kalau kamu cepat sadar atau mati
nanti kejadian itu tidak akan terjadi.”
Aku mengangguk mengerti. Memang sudah rencana Tuhan
aku mengalami hal ini ya?
“ Ngomong-ngomong kenapa Gladis dan aku tidak bisa
mengingat hal-hal yang terjadi saat dia menjadi roh? Padahal saat-saat
itu sangat berarti bagiku. Dan sepertinya kejadian-kejadian itulah
yang membuat perasaanku begitu kuat pada Gladis.”
Malaikat tersenyum mengerti dan hanya menepuk-nepuk
bahuku agar aku tabah. Memang harus bisa tabah kalau kenangan
yang sangat berarti malah tidak bisa kita ingat.
“ Itu aturan dari Bos. Hanya orang-orang terpilih yang boleh
mengingatnya. Ok? Aku harus segera pergi, masih banyak tugas.
Ingat, cobalah untuk lebih jujur pada dirimu sendiri. Ok? Bye! God
bless u!”
Aku melihat langit-langit kamar ICU terbuka dan menembus
ke tempat yang penuh cahaya. Malaikat itu naik bersama cahaya yang
turun dari sana..
“ Selama kau masih di dunia cobalah melihat-lihat kehidupan
orang-orang yang kau cintai, yang tidak akan kau temui di kehidupan
biasa.” Pesan malaikat itu sebelum langit-langit kamar kembali
menutup dan kembali gelap gulita.
Yah, mungkin aku bisa memanfaatkan saat-saat seperti ini.

134
“ Gladis, jangan bersikap seperti ini. Ini semua bukan
salahmu.”
Aku menoleh ke arah tubuhku berbaring. Gladis masih duduk
di samping ranjangku dan terus menangis tapi kali ini lebih tenang.
“ Kalau waktu itu aku ngga pulang, dia pasti ngga akan
ngalamin ini semua `Ka.” Gladis kembali terisak dan tersedu. Aku
hanya bisa menarik nafas dengan berat melihatnya.
Sekali lagi aku menyakitinya. Aku seperti tidak punya
pekerjaan lain selain membuatnya marah, kesal atau sedih. Sepertinya
dia tidak akan bahagia jika bersamaku.
Aku hanya ingin melihat dia bisa bahagia.
“ Gladis, ada Vicky di luar. Kamu harus menemui dia. Sudah
seminggu dia nyariin kamu.”
Kak Ribka tiba-tiba masuk dan membujuk Gladis. Gladis tidak
menoleh. Dia terus memandangi tubuhku yang banyak ditempeli
kabel dan selang. Aku tampak jelek sekali.
Lama Gladis tidak bergerak tapi perlahan kemudian ia bangkit
berdiri. Ia menggenggam tanganku pelan seolah tidak ingin berpisah
dan dengan berat hati ia meninggalkan ruang ICU. Aku mengikutinya
keluar.
Di luar Vicky menunggu dengan sangat cemas. Ia langsung
menghampiri Gladis saat Gladis keluar dari ruang ICU.
“ Dis, kamu kemana aja? Aku cemas sekali.”
Gladis tersenyum pahit dan perlahan duduk di bangku untuk
keluarga pasien menunggu.
“ Gua cuma nungguin `J` aja kok, Vic. Lo ngga usah cemas.”
“ Gimana aku ngga cemas, aku ngga liat kamu beberapa hari
ini tanpa kabar yang jelas.”
Gladis memandang Vicky dengan permohonan maaf dan
Vicky langsung terdiam. Ia duduk di samping Gladis dan
memandangi cewe itu dengan pandangan prihatin.
Vicky merangkul Gladis dan membiarkan kepala Gladis
bersandar di bahunya. Pemandangan ini sedikit membuatku keki.
Mereka tidak bicara apa-apa tapi tiba-tiba perlahan Gladis
menangis. Ia menutupi wajahnya dengan kedua tangannya dan
duduknya menjadi terbungkuk untuk menahan suara tangisnya.
135
“ Dis....Kamu ngga apa-apa `kan?”
Gladis tidak menjawab pertanyaan Vicky yang prihatin
memandangnya. Gladis menoleh pada Vicky dan membuat Vicky
semakin prihatin.
Wajah Gladis tampak memerah. Tangisnya seperti bukan
tangis kesedihan tapi malahan seperti amarah.
“ Ini semua gara-gara gua Vic. Seharusnya gua ngga bersikap
kekanakan....Seharusnya gua bisa nahan amarah gua.....Tapi gua
malah ninggalin dia dan akhirnya....... Ini semua gara-gara gua, Vic.”
Aku terpaku memandang Gladis yang terus menangis
menyalahkan dirinya sendiri. Aku belum pernah melihat dia seperti
ini. Aku seperti bisa merasakan luka dihatinya.
Ini bukan salahmu, Dis. Bukan salahmu...
“ Gladis....ini semua bukan salah lo....” bisikku pelan sambil
berusaha menghapus air matanya. Tapi sama seperti saat ia sedang
koma, aku tidak bisa mengusap air matanya.
Selalu begini........disaat dia benar-benar membutuhkan
seseorang untuk memeluknya atau menggenggam tangannya aku tidak
bisa menyentuhnya sekalipun aku ada di sisinya. Padahal di saat
seperti inilah aku ingin dia tahu kalau aku akan selalu ada untuk
berbagi duka dengannya. Kalau aku sangat peduli pada dirinya.
“ Gladis...........”
Tiba-tiba Vicky meraih bahu Gladis dan memeluknya erat-
erat. Gladis membalas pelukan Vicky dan menangis semakin keras.
Mungkin memang aku tidak akan pernah bisa bersamanya.
Selama dia memiliki orang-orang yang peduli dan menyayanginya
aku tidak akan pernah dibutuhkan.
***

136
BAB XVII

Hari ini hujan turun deras sekali padahal masih musim kering.
Aku mengetuk-ngetukkan jariku sambil memandang keluar jendela
kamar `J` untuk mengingat-ngingat apa yang tadi dipesankan Kak
Helen untuk aku bawa untuk `J`.
Peralatan mandi, handuk, Kitab Suci, buku renungan
dan........Apa lagi ya? Oh, catatan harian `J`.
Aku bangkit berdiri dan membuka lemari buku `J`. Ada
beberapa buku harian di sana. Sepertinya semuanya sudah ia tulis
sejak lama. Beberapa sudah penuh dan aku mengambil yang setengah
penuh.
Saat aku menariknya dari lemari itu aku menyenggol pajangan
berbentuk bola dunia. Bola itu jatuh ke atas karpet dan menggelinding
ke bawah tempat tidur.
Bergegas aku berlutut dan mengulurkan tanganku ke bawah
tempat tidur. Aku menggapai sejauh mungkin untuk menemukan bola
itu tapi tampaknya bola itu menggelinding begitu jauh. Aku
merundukkan badanku lebih dalam dan terus mencari bola itu.
Aku tidak menyerah mencari dan akhirnya mendapatkannya
dengan susah payah. Nafasku sampai ngosngosan. Saat aku menarik
tanganku, aku menyenggol sebuah kotak.

137
Aku menariknya keluar. Ternyata sebuah kotak usang.
Tampaknya belum terlalu lama tapi sudah sangat berdebu. Mungkin
tidak pernah dibuka.
Aku membuka kotak itu dengan penasaran. Kenapa `J`
menyimpan benda seperti ini di bawah tempat tidur?
Di dalam kotak itu ada dua barang. Hasil foto box dan sebuah
kotak perhiasan. Aku mengambil fotonya dan tersenyum geli melihat
`J` yang tertawa dan tersenyum. Hanya saja foto itu tampak aneh. `J`
seperti berfoto dengan orang lain padahal dia sendirian.
Foto itu mengingatkan aku pada suatu hal yang penting dan
menghangatkan hatiku. Dan tanpa kusadari aku mulai menangis. Foto
ini membuat dadaku sesak. Hatiku seperti menjerit-jerit..
Aku meletakkan foto itu kembali ke tempatnya dan
mengambil kotak perhiasan. Aku membuka kotak itu dan menahan
nafasku.
Kalung yang indah. Kalung itu dihiasi liontin dengan bentuk
kristal salju. Entah kenapa hatiku terasa semakin teriris. Kugenggam
kalung itu erat-erat.
Foto itu, kalung itu...Semuanya membuatku teringat pada ‘J’.
‘J’ yang dua tahun lalu datang dan muncul dalam hidupku...
‘J’ yang baik. Yang selalu menghiburku dan memberikanku
semangat. Yang tidak ingin kehilanganku dan bahkan ia
mengorbankan nyawanya untukku....
Apa?
Apa maksudnya? Apa benar ‘J’ melakukan semua itu
untukku? Tapi aku tidak ingat...Benarkah ‘J’ melakukan itu semua?
Sepertinya aku mulai gila...Aku pasti salah. Aku mengenal ‘J’
hanya 2 hari jadi tidak mungkin ‘J’ melakukan itu semua untukku dua
tahun yang lalu.
Aku mengembalikan kalung itu ke tempatnya dan menyimpan
kotak ini ke dalam tas milik `J` bersama dengan barang-barangnya
yang lain. Mungkin `J` membutuhkannya sekalipun sepertinya tidak.
Kututup tas `J` setelah merasa yakin sudah membawa semua
pesanan Kak Helen. Setelah itu bergegas aku membawanya ke bawah.
Aku harus membawanya ke rumah sakit.

138
Di depan Vicky sudah menungguku dengan mobil milik Tante.
Dia tidak mau masuk. Entah kenapa.
“ Gladis!”
Aku menghentikan langkahku saat tiba-tiba seseorang
memanggilku. Aku menoleh ke arah ruang tamu. Ternyata Julian.
Ia bangkit dari sofa dan mendekatiku dengan pandangan tidak
suka. Sampai di hadapanku ia memandang tas bawaanku. Ekspresinya
semakin menunjukkan kalau ia ingin aku keluar dari rumah itu.
“ Mau dibawa kemana itu?” tanyanya seperti polisi yang
mencegat penjahat.
“ Ke rumah sakit.” Jawabku dengan tenang.
Julian mengangguk mengerti tapi tetap dengan pandangan
angkuh dan tidak suka padaku.
Kami terdiam beberapa saat. Julian seperti berpikir keras
untuk mengatakan sesuatu sementara aku terus menunggu untuk dia
memulai bicara. Akhirnya Julian menarik nafas dan memandangku
dengan memelas.
“ Kamu suka sama `J`?” tanyanya dengan putus asa.
Aku hanya bisa terpaku mendengar pertanyaan dan perubahan
wajah Julian yang begitu cepat. Wajahnya berubah dari wanita yang
angkuh menjadi seperti gadis kecil yang tidak berdaya.
“ Gua.....Gua cuma menganggap dia sebagai saudara. Cuma
itu....” jawabku dengan tidak yakin.
Julian menggeleng menolak jawabanku. Wajahnya tampak
frustasi sekali. Ia memainkan kuku dan menundukkan kepalanya.
Saat ia mengangkat kepalanya air matanya membanjiri
pipinya. Ia menangis sesenggukkan seperti orang yang menumpahkan
tangisnya setelah sekian lama.
“ Dia....dia ngga nganggep kamu kayak gitu....Dia suka kamu,
Dis. Selama ini dia ngga pernah peduli sama cewe mana pun termasuk
gua....” Julian menceritakan isi hatinya sambil sesenggukan.
Apakah dia mengadu padaku?
“ Gua terus menunggu dia memalingkan hatinya ke gua tapi
dia ngga pernah buka kesempatan walau sedikit pun....Waktu gua liat
dia khawatir banget tentang lo yang dia sukain sejak kecil, gua
ngerasa putus asa.....Dia ngga pernah berpaling dari siapa pun....
139
Ternyata selama ini memang cuma elo yang ada di hati dia....Gua
ngga bisa terima itu semua....”
Aku terpaku mendengar semua isi hati Julian. Aku tidak bisa
komentar apa-apa.
“ Sekarang dia ada di rumah sakit....Gua pengen ada di dekat
dia tapi gua tahu kehadiran gua pasti percuma.....Memang hanya elo
yang dia perluin di sisinya, Dis. Ngeliat elo gua jadi lepas
tangan....Gua ngga bisa nyelip diantar kalian berdua....”
Aku membuka mulutku beberapa kali untuk bicara tapi
akhirnya aku tidak tahu apa yang ingin aku katakan. Yang keluar dari
mulutku hanya sebuah helaan nafas.
“ `J`....Dia terlalu baik tapi terkadang juga sangat dingin dan
menyebalkan. Dia selalu mengikuti apa mau orang tuanya tentang
pertunangan kami. Padahal dari kakak-kakaknya gua denger dia ngga
mau ditunangin. Gua nunggu kepastian dari dia selama 2 tahun tapi
dia ngga ngomong apa-apa. Ngomong `ya` ngga, ngomong `tidak`
juga ngga. Gua jadi bingung. Sekaranng gua udah liat sendiri perasaan
dia. Gua jadi ngerasa dipermainkan. Seperti cewe bodoh yang merasa
dicintai padahal tidak sama sekali. Gua terus menghibur diri dengan
meyakinkan diri gua kalau `J` memang sayang sama gua. Tapi akhir-
akhir ini setelah kemunculan lo gua merasa ngga yakin. Dan
semuanya bikin gua berpikir lebih dalam....Ternyata selama ini status
gua ngegantung. Tunangan iya tapi lebih seperti penguntit. Dia ngga
pernah bilang sayang tapi juga ngga pernah menolak apapun yang gua
berikan atau gua ajak. Padahal gua cuma butuh ketegasan. Gua nuntut
ketegasan perasaannya. Gua ngga mau dia tunangan sama gua hanya
karena orang tuanya.”
Julian menghela nafasnya dan berusaha mengusap air
matanya. Lalu sosok Julian yang angkuh muncul kembali dalam
dirinya.
“ Tolong kasih tahu hal ini sama `J` ya?”
Julian memandangku dengan tanpa ekspresi. Aku hanya
mengangguk untuk mengiyakan.
Ia merogoh tasnya dan mengeluarkan sebuah kotak cincin dan
menyerahkannya padaku.

140
“ Katakan pada dia kalau ngga ada salahnya untuk mengatakan
perasaan yang sesungguhnya. Ngga perlu ditutupin. Itu akan lebih
baik dari pada diam saja menunggu dan akhirnya malah jadi salah
paham.”
Setelah berkata seperti itu ia pergi meninggalkanku yang
terpaku berdiri. Aku berusaha mencerna maksud semua perkataan
Julian. Dan akhirnya aku hanya menyimpulkan kalau Julian marah
pada `J`.
Aku memandang kotak cincin di tanganku dan segera
memasukkannya ke dalam saku jaketku sebelum di hatiku muncul
keinginan untuk membukanya.
TIN! TIN!
Terdengar suara klakson mobil tanda kalau Vicky sudah tidak
sabar menunggu. Bergegas aku keluar untuk naik ke mobil.
“ Sori lama.” Ujarku sambil meletakkan tas `J` di jok
belakang.
“ Ngga apa-apa.”
Aku tersenyum berterima kasih atas pengertian Vicky tapi ia
tidak membalas senyumku. Ia malah memalingkan muka dan mulai
berkonsentrasi menyetir.
Aku merasa berterima kasih karena Vicky menemaniku
selama aku menemani `J` di rumah sakit. Tapi aku merasakan kalau
dia tidak suka jika aku terus bercerita tentang `J`.
Semula memang ia tampak bersimpati mendengar ceritaku tapi
lama kelamaan dia terlihat sebal dan tidak suka.
“ Aku dengar Hans sudah tidak punya kesempatan lagi bebas
dari tuduhan. Bukti-buktinya terlalu kuat dan kemungkinan
hukumannya akan diperpanjang.”
Aku menarik nafas mendengar cerita Vicky.
Hans.........
Ada rasa kasihan padanya tapi juga ada amarah.
“ Waktu itu di radio masalah Hans dijadiin topik pembicaraan.
Katanya psikolog yang menangani kasus Hans, Hans bertingkah
kejam karena sejak kecil sering menerima kekerasan fisik maupun
psikologis dari ayahnya. Ibunya juga tidak pernah menyentuhnya
sama sekali. Makanya Hans tumbuh menjadi pribadi yang kejam.”
141
Aku menarik nafasku lagi. Hasil diskusi tentang Hans memang
membuatku berempati pada Hans. Aku menjadi tidak bisa marah
sekalipun memang ada rasa itu.
Apa Hans bisa merasakan rasa sakit yang sama seperti yang
aku rasakan? Apa dia akan merasa begitu pedih saat kehilangan orang
yang dia cintai sama seperti yang aku rasakan? Bukankah dia juga
manusia?
Sama seperti Julian yang angkuh tapi ternyata memiliki
perasaan juga...Aku pikir tadinya ia tidak punya perasaan...
Aku menyandarkan kepalaku ke kaca jendela karena merasa
begitu lelah. Rasanya aku ingin cepat-cepat sampai rumah sakit dan
memastikan `J` akan baik-baik saja. Atau mungkin dia sudah sadar.
Semoga saja.
Sekilas aku melirik ke arah kaca spion untuk melihat wajahku.
Pucat sekali dan tampak sekali kalau aku sedang kelelahan.
Wajahku tampak suram tidak cerah seperti wajah `J` yang ada
di belakangku.
`J`?!
“ `J`!!”
Aku menoleh ke belakang tapi tidak menemukan siapa pun.
Yang ada hanya tas milik `J`.
Kulihat kembali ke kaca spion. Tidak ada siapa pun di
belakangku. Apa mungkin aku berhalusinasi karena terlalu lelah?
Mungkin iya. Mungkin iya.
“ Ada apa, Dis?” tanya Vicky dengan nada khawatir.
Aku menggeleng pelan tetapi dengan terus memikirkan
peristiwa tadi. Bayangan `J` tampak begitu nyata. Tubuhnya
memancarkan sinar dan ia tampak sangat sedih.
Aku harus segera menemui `J`!
***
“ Ngga bisa, Dis! Kita ngga bisa masuk. Kita harus menunggu
di sini!”
Kak Helen dan Kak Sarah menahan tubuhku agar aku tidak
memaksa masuk ke ruang operasi.

142
Saat aku pergi untuk mengambil barang-barang, `J`
mengalami kejang-kejang. Dokter bilang dia harus segera dioperasi
kalau tidak dia tidak akan selamat.
Aku terus berontak untuk masuk menemani `J`. Aku takut dia
mengalami sesuatu dan aku tidak ada di sisinya. Aku terus berusaha
melepaskan pegangan tangan Kak Helen dan Kak Sarah tapi mereka
terlalu kuat memegangku.
“Aku mau ketemu `J`!!”, seruku dengan putus asa hingga yan
terdengar hanya erangan kesakitan.
“ Gladis, kamu harus tenang. Jangan bersikap seperti ini. `J`
akan baik-baik saja. Cobalah mengerti, yang `J` butuhkan saat ini
adalah doamu. Yang penting doamu bisa memohon Tuhan untuk
menjaga dan menyembuhkannya.” Tiba-tiba saja Tante sudah ada di
dekatku dan memandangku dengan penuh permohonan.
Aku terdiam mendengar kata-kata Tante. Tubuhku langsung
terasa lemas karena perasaanku yang campur aduk. Aku ingin
menangis tapi yang keluar dari mulutku hanya bisikan meminta
ampun pada Tuhan.
Aku lupa pada satu hal yang terpenting dalam hidupku, doa.
Satu-satunya hal yang bisa membuatku tenang dan menjawab semua
persoalanku.
Kak Sarah menuntunku pelan untuk duduk di bangku. Saat
aku sudah duduk aku langsung membungkukkan tubuhku dan
memohon pada Tuhan untuk menyembuhkan `J` bagaimana pun
caranya. Aku memohon mukjizat Tuhan bisa terjadi saat ini juga.
Tapi bagaimana kalau memang ini waktunya `J`? Bagaimana
kalau ini memang waktunya `J` pergi?
Aku memandang kakiku dan berpikir keras untuk menjawb
pertanyaan-pertanyaan dan ketakutan di hatiku.
Apa aku siap jika `J` meninggalkanku? Apa aku siap
ditinggalkan `J` tanpa sempat memperbaiki hubungan kami?
Rasa takut di dadaku semakin besar dan lama kelamaan semua
pertanyaan itu membuatku putus asa. Jika Tuhan sudah
menginginkannya aku bisa buat apa?
Aku bisa buat apa......

143
“ KehendakMu yang jadi Tuhan. KehendakMu yang jadi
Tuhan. KehendakMu yang jadi Tuhan.”
Aku memandang Tante yang duduk di sebelahku. Ia menutup
matanya dan melipat tangannya. Air mata mengalir deras di pipinya.
Ia terus mendoakan hal yang sama berulang-ulang. Semakin lama
suaranya bergetar sampai akhirnya yang terdengar hanya isakan tangis
yang sangat perih .
Aku terpaku memandang Tante. Aku melihat seorang wanita
yang begitu ketakutan kehilangan anak kesayangannya tapi ia
berusaha untuk tidak menentang kehendak Tuhan. Melihat wajah
Tante yang begitu tersiksa, seperti bisa merasakan betapa sakitnya
jika harus kehilangan anak tetapi harus tetap bersyukur karena itu
kehendak Tuhan.
Aku melihat ke arah kakak-kakak `J` yang menunggu dengan
sabar. Mereka pun tampak cemas tetapi sepertinya mereka cukup
tenang. Kak Helen menyadari tatapanku dan tersenyum padaku. Ia
menghampiriku dan duduk di sebelahku. Rangkulan tangannya
dibahuku membuatku merasa tenang.
“ Dia anak yang baik. Kakak percaya apa pun yang Tuhan
inginkan terjadi dalam hidupnya itulah yang terbaik. Dan apapun yang
akan kita terima dari kejadian ini kita akan baik-baik saja....Jangan
takut sekalipun memang kita takut....”
Kak Helen memelukku erat dan aku membalasnya tak kalah
erat. Aku merasakan ketegaran Kak Helen yang luar biasa.
Tapi tiba-tiba kurasakan sesuatu yang basah menetes di
bahuku dan kudengar Kak Helen berdoa dengan terisak.
“ Tuhan, jika memang umur adikku pendek aku tidak apa-
apa...Tapi tolong Tuhan....jangan dengan cara seperti ini.... Aku
merasa tidak siap......Aku mohon...Aku mohon....Namun....Namun...
kehendakMu yang jadi Tuhan...kehendakMu yang jadi...”
Bisikan doa Kak Helen semakin membuatku memeluknya
erat. Aku ingin dia bisa merasakan ketenangan. Aku ingin dia bisa
merasa lega dan tidak takut.
Entahlah, mendengar doa mereka aku tidak merasakan
ketakutan yang besar lagi. Aku malah merasa tenang dan hangat di

144
hatiku. Aku merasa percaya kalau apa pun yang terjadi `J` akan
mendapat yang terbaik.
Aku menutup mataku dan bersyukur karena bisa berada
ditengah-tengah keluarga ini. Mereka begitu percaya apa pun yang
terjadi pada `J` pastilah yang terbaik. Mereka memang keluarga yang
aneh..Aneh dan luar biasa... Aku pun percaya...Aku percaya......
Sekali pun akhirnya aku tetap memohon Tuhan memberi kesempatan
untuk aku bisa memperbaiki hubungan dengan `J`.
“ Gladis! Gladis!”
Aku membuka mataku saat namaku dipanggil. Dan aku
langsung terpaku saat melihat wajah `J` yang tersenyum padaku.
Lidahku kelu dan hanya bisa mengeluarkan suara tidak jelas.
Jantungku berdegup kencang seakan mau meledak.
Aku memandangnya dan hanya bisa memandangnya tanpa
bisa berpaling.
Yang ada dihadapanku benar-benar `J`. Dari tubuhnya keluar
cahaya yang sangat terang sama persis dengan yang tadi kulihat di
kaca spion.
Aku ingin menyebut namanya tapi hanya bibirku yang
bergerak tanpa suara. Hatiku meluap-luap dengan perasaan senang
hingga aku tak bisa menahan air mataku.
Aku mengangkat tanganku untuk menyentuh wajah `J`. Aku
ingin meyakinkan diriku kalau itu bukan mimpi. Dan saat aku
menyentuhnya aku bisa merasakan ada kehangatan yang mengalir dari
tanganku sampai ke seluruh tubuhku.
`J` tampak terkejut saat aku menyentuh wajahnya. Aku terus
menyentuh wajah `J` hingga tidak bisa menahan tangisku. Aku
mengangkat tanganku yang satu lagi dan akhirnya menyentuhnya
dengan kedua tanganku.
Aku merasakan diriku terus menangis terisak tapi yang keluar
dari mulutku tawa bahagia. `J` tersenyum lembut padaku dan
memegang kedua tanganku.
Ia menarikku dan membawaku pergi dari tempat itu. Aku
tidak mendengarkan seruan kakak-kakak `J` yang memanggilku. Aku
mengikuti `J` ke kamar tempat dia di rawat.

145
Ia berhenti di depan tasnya yang tadi kubawakan dan
memandangku seolah meminta aku membukanya. Perlahan aku
mendekati tas itu dan membukanya.
`J` memandang ke arah kotak yang tadi aku temukan dan aku
pun mengambilnya. Aku membuka kotak itu dan mengeluarkan
isinya. Ia hanya mengambil kotak perhiasan dan mengeluarkan kalung
yang ada di dalamnya.
Perlahan ia mengenakan kalung itu padaku dan ia tersenyum
puas memandang kalung yang menghias di leherku. Aku membalas
senyumnya dan memandangnya dengan penuh kerinduan.
Ia memegang wajahku dengan kedua tangannya dan
mendekatkan wajahnya dan mengecup keningku dengan sangat
hangat. Dan setelah itu ia memelukku dan.........
Tiba-tiba saja kami sudah ada di pantai. Di hadapan kami
matahari sedang terbit dengan indahnya. Aku seperti pernah
melihatnya.
Aku berpaling pada ‘J’ dan ia tersenyum lebar sekali. Senyum
yang selalu ia tunjukkan jika sedang merasa lucu. Apanya yang
lucu..?
‘J’ meraih bahuku dan tanpa persetujuanku tiba-tiba saja ia
memelukku walaupun yang kurasakan hanyalah udara yang hangat.
Dan entah kenapa saat ia memelukku kepalaku seperti terbentur keras
sekali dan semuannya yang pernah kulupakan muncul dengan cepat
tanpa bisa kukendalikan.
Semua ingatanku tentang diri ‘J’ muncul ke permukaan
kesadaranku. Bagaimana dulu waktu kecil ia menggangguku. Saat ia
ketakutan karena memecahkan pot Mama, saat ia melamarku dengan
wajah malu-malu, melindungi aku dari anjing galak, bermain ibu-
ibuan, memanjat pohon tetangga bersama, mencari kumbang, dan saat
aku menerima surat darinya tapi aku tidak membacanya. Aku marah
sekali padanya karena dia meninggalkanku. Lalu aku memutuskan
untuk melupakannya.
Ternyata.....sejak aku melihatnya berdiri di depan pagar
rumahku aku sudah mengaguminya. Dengan gigi ompongnya dia
tersenyum padaku dan memberikan sebuah hadiah padaku. Sebuah

146
bunga rumput sebagai tanda perkenalan dan sejak itu aku terus
mengaguminya.....
Ingatanku terus bergulir seperti sebuah film. Lalu aku melihat
saat-saat itu. Saat aku terbaring koma di rumah sakit sementara rohku
mencari-cari cara untuk kembali ke tubuhku.
`J` terus menemaniku dan menghiburku. Dia selalu bersamaku
dan menghilangkan rasa sedihku. Bahkan dia mengorbankan
nyawanya untukku..
Melihat semua memori itu membuatku merasa lemas. Aku
semakin dalam menundukkan kepalaku dan tangisku menjadi-jadi
sekalipun aku tak mengeluarkan suara dari mulutku.
Aku terus menundukkan kepalaku dalam-dalam karena
perasaan bersalah, senang, dan sedih yang menekan dadaku. Aku
terus menangis, terus menangis dan menangis sampai akhirnya aku
benar-benar merasa lelah.
Aku mengangkat kepalaku dan memandang ‘J’ dengan
permohonan maaf.
“ Maaf...” bisikku pelan.
“ Ngga ada yang perlu dimaafin. Akhirnya gua ngerti kenapa
selama ini gua susah banget buat menganggap lo bukan siapa-siapa...”
‘J’ menarik napas dalam dan tersenyum lebar lagi. Ia tampak
sangat lega dan bahagia sekali. Ia memelukku lagi dan tertawa pelan.
“ Ternyata pengorbananku ngga sia-sia. Kamu bisa hidup dan
aku bisa ketemu kamu lagi. Aku bahkan bisa nyentuh kamu.
Hahaha..Ngga kayak waktu itu. Aku frustasi banget gara-gara hasil
fotonya ngga ada kamu di situ.”
Aku tersenyum pahit mendengar kata-kata ‘J’. Sekarang, aku
yang tidak bisa menyentuhnya. Aku tidak bisa memukulnya atau
mencubitnya...
“ Makasih banget ya ‘J’ buat pengorbanan kamu.
Kamu....Memang kakak terbaik yang pernah aku punya....”
Tawa ‘J’ langsung menghilang saat mendengar kata-kata
terakhirku. Ia memandangku dengan tajam dan mengatupkan
rahangnya dengan kencang.
Aku rasa aku berbuat salah lagi...
“ Gladis..Aku ngga mau jadi kakak kamu..”
147
Bener ‘kan. Apa dia begitu bencinya sampai ngga mau jadi
kakakku? Aku terlalu jahat ya?
“ Selama ini aku ngga jujur sama kamu. Aku ngga mau jadi
kakak kamu dan aku juga ngga mau jadi tunangan Julian..Aku..Aku
pengen kamu yang ada disamping aku setiap hari...Bikinin aku
makanan kesukaanku, bikinin kopi buat aku waktu aku kerja,
nemenin aku nonton...”
Aku menahan napasku mendengar kata-kata ‘J’ yang begitu
jujur. Hatiku terasa berbunga-bunga...Tapi apa yang dia maksud sama
yang dengan aku maksud ‘kan?
“ Lo..lo kira gua babu lo!” protesku berusaha menutupi rasa
ge-erku.
‘J’ mengerutkan keningnya kesal. Ia memandangku dengan
gemas dan tangannya seperti bersiap mengacak-acak rambutku. Tapi
dia tidak akan bisa melakukannya...Padahal aku lebih senang kalau
dia bisa mengacak-acak rambutku...
“ Siapa yang mau jadiin kamu babu?!”
Aku menyeringai mendengar kata-kata .’J’ yang terdengar
sangat kesal. Ia diam sesaat dan kemudian tersenyum mengerti.
“Aku tahu kamu malu. Ngga apa-apa. Aku ngerti kok. Kamu
memang senang jadi babu haahaha...” ‘J’ tertawa sendiri mendengar
leluconnya.
Dengan gemas aku mencoba memukulnya...tapi yang kupukul
hanya udara. Aku terdiam sesaat memandang tubuh ‘J’ yang
berbayang. Inikah yang dirasakan ‘J’ saat itu? Ingin melakukan
sesuatu tapi tidak dapat melakukannya.
“ ‘J’ kapan kamu akan kembali ke badan kamu?” tanyaku
dengan gugup. Tiba-tiba saja aku membayangkan hal yang tidak-
tidak. Bagaimana kalau ‘J’ akan terus seperti ini? Bagaimana kalau
aku tidak bisa menyentuhnya lagi? Bagaimana kalau ‘J’ mati? Atau
memang dia sudah mati? Tidak! Tidak!
Aku memandang ‘J’ dengan ngeri dan ia tampak bingung
menatapku.
“ ‘J’, kamu belum mati ‘kan? Lo pasti balik ke tubuh lo ‘kan?”
tanyaku dengan memaksa.

148
‘J’ hanya terdiam dan tidak menjawab. Ia malah mengalihkan
pembicaraan.
“ Sekarang yang penting aku pengen kamu tahu perasaan
aku.”
‘J’ mendekatiku dan membelai wajahku pelan. Aku hanya
merasakan sapuan udara.
Aku ngga mau kayak gini! Yang aku mau aku benar-benar
bisa merasakan tangannya ‘J’. Aku ingin bisa memeluknya atau
setidaknya aku bisa memukulnya dan memastikan kalau dia masih
hidup.
“ Gladis, aku sayang sama kamu. Kalau selama ini mungkin
aku terus membuat kamu merasa sedih, itu karena aku ngga mau
menyakiti kamu. Tapi ternyata caraku salah...Aku ngga mau
hubungan kita kacau hanya karena tindakan bodohku. Seandainya
nanti aku pergi, setidaknya hubungan kita sebagai sahabat tetap
berjalan baik....Jangan sampai aku meninggalkan kenangan yang pahit
padamu...”
Aku kesal!!! Kenapa dia bicara seperti itu seolah-olah dia akan
mati!! Dan..Dan kenapa dia bicara sebagai sahabat?!! Aku ngga mau
jadi sahabatnya!!
“ Bener kamu cuma mau jadi sahabat aku..? Kamu cuma mau
jadi sahabat aku..?”tanyaku disela tangisku. Aku menuntutnya untuk
berkata jujur. Aku ingin dia menganggapku lebih dari sekedar
sahabat...Aku juga tidak mau dia jadi kakakku!!
“ Ngga...Aku pengen kamu jadi pendamping hidupku...”
Ada perasaan hangat yang menyambar hatiku saat ‘J’
mengatakannya. Dan perasaan hangat itu semakin membuatku sesak.
“ Kalau gitu jangan tinggalin aku...Jangan tinggalin aku kayak
waktu itu! Jangan tinggalin aku ‘J’!!”
Aku menjadi histeris saat kulihat dibelakang ‘J’ ada orang
yang mendekati kami. Orang yang dulu pernah ingin menjemputku....
“ ‘J’ jangan tinggalin aku! Jangan tinggalin aku!!! Kamu udah
janji mau jagain aku!!”
Aku terus berusaha menangkap tangan ‘J’ dan ingin
membawanya pergi tetapi tetap tidak bisa. Aku benar-benar frustasi.

149
Aku ngga mau ‘J’ dibawa! Masih ada banyak hal yang ingin
aku lakukan bersamanya!
Aku ngga akan membiarkan ‘J’ dibawa! Ngga akan!
“ Gladis...Gladis....” ‘J’ memanggilku pelan membuatku
berhenti untuk menangkap tangannya. Aku memandangnya dengan
putus asa...Aku tak bisa melihat wajahnya karena mataku banjir oleh
air mata.
“ Jangan pergi..Huk..Huk...Jangan pergi...” mohonku tanpa
bisa lagi memaksa.
Aku terduduk lemah di atas pasir dan tak tahu harus berbuat
apa untuk bisa membawa ‘J’ pergi. Malaikat itu sudah berdiri di
samping ‘J’. Ia menghampiriku dan memandangku dengan tenang.
“ Kenapa sekarang...? Aku tidak mau ‘J’ pergi...” bisikku
gemetar dan memandangnya dengan memohon.
“ Apa kau percaya pada Tuhan?”
Aku terdiam mendengar pertanyaan malaikat itu. Jika sudah
membawa nama Tuhan aku bisa apa?
Semuanya adalah kehendak Tuhan...Aku tidak bisa apa-apa..
“ Jangan berpikir seperti itu. Kau selalu bisa melakukan
sesuatu untuk ‘J’. Doamu, perasaanmu...dan kepercayaanmu pada
Tuhan kalau apa pun yang Tuhan berikan padanya adalah yang
terbaik untuknya.”
Mendengar kata-kata malaikat itu ada kehangat yang
kurasakan. Rasa takut kehilangan ‘J’ seketika hilang begitu saja.
Aku berpaling pada ‘J’ dan ia tersenyum lembut padaku. Aku
harus mengatakan yang kurasakan padanya...
“ Aku sayang kamu juga ‘J’...Bukan sebagai kakak...Tapi
karena kamu ‘J’..” bisikku dan ‘J’ tersenyum semakin lebar. Matanya
berbinar memancarkan kebahagiaan.
Aku tidak mau terjadi hal yang buruk pada ‘J’ hanya karena
keegoisanku. Kalau memang ini waktunya...
Malaikat kematian itu memandangku dan tersenyum lembut.
Ia tidak bicara apa-apa. Tiba-tiba saja ia mengulurkan tangannya dan
menutup mataku.
Tepat saat aku menutup mataku, kurasakan tubuhku terbanting
dengan keras dan semuanya menjadi gelap.
150
***
Entah sejak kapan aku sudah tertidur di kamar rawat ‘J’.
Sepertinya tadi aku bermimpi. Seorang malaikat membawa ‘J’ pergi.
Tung..tunggu! Apakah mimpi itu pertanda!
Aku menahan napasku dan tiba-tiba merasakan benda dingin
melingkari leherku. Aku menyentuhnya dan ternyata sebuah kalung.
Kalung yang tadi ia temukan di kamar ‘J’.
Sejak kapan aku memakainya?
‘J’....
Kurasakan jantungku berdegup kencang dan ketakutan yang
lebih besar dari sebelumnya menyerangku. Aku punya firasat buruk..
“ Gladis!!!”
Tiba-tiba Vicky muncul di pintu kamar dengan nafas ngos-
ngosan. Ia memandangku dengan wajah yang tidak bisa kutebak...
“ Dis, `J`...”
Sebelum Vicky menyelesaikan kalimatnya bergegas aku
berlari menuju ruang operasi.
Aku terus berdoa agar `J` tidak mati. Aku terus berdoa... tapi
biar kehendak Tuhan yang jadi.....Tapi jangan sekarang Tuhan!!!
***

BAB XVIII
151
Julian memandangku tanpa ekspresi. Wajahnya yang tegas
seolah tidak ingin melihat wajahku.
Julian berpaling padaku dan akhirnya menatapku.
“ Gua kecewa. Tapi gua mengerti kok. Thank you atas
kejujuran lo.”
Aku hanya diam memandangnya sampai ia pergi dan
meninggalkanku sendirian di terminal bus.
Pesan `J` telah aku sampaikan padanya dan aku rasa sekalipun
menyakitkan ia tetap merasa puas karena `J` memberikan kepastian
padanya.
“ Lo bener-bener mau pulang?”
Suara Vicky membuatku terlonjak. Aku berpaling padanya
dan menerima air mineral yang ia sodorkan padaku.
“Bokap minta gua kerja di tempat dia gimana gua bisa nolak.”
“ Padahal `kan gua masih pengen ngobrol banyak.”
“ Ntar `kan gua balik, Vic.”
Vicky tersenyum simpul dan mengulurkan tangannya dan aku
menyambutnya. Sekalipun ia tidak bicara aku tahu adalah ucapan
selamat jalan darinya.
“ Aku pulang ya? Sampai jumpa 3 bulan lagi.”
Aku naik ke bus dan meninggalkan Vicky yang melambai
padaku. Dengan cepat aku mengambil tempat duduk di dekat jendela
untuk melihat Vicky dan melambai padanya.
Ia tidak beranjak sama sekali sampai bus berjalan.
Vicky adalah cowo yang baik. Kemarin dia menyatakan
perasaannya padaku dan tebakan `J` benar. Sayangnya aku tidak bisa
menyambut perasaannya padaku. Tapi biar begitu Vicky tetap
bersikap baik dan tulus padaku. Ia tidak memandangku dengan sinis
atau menuduhku dengan berbagai tuduhan seperti yang dilakukan
kebanyakan pria yang ditolak Sisca.
Aku pasti akan sering menghubungi Vicky.
Tiga bulan aku tidak akan ke Jakarta sama sekali karena Papa
meminta aku membantu di kantornya. Tidak apa, dengan bekerja aku
pasti bisa melupakan rasa rinduku pada `J`.
152
“ Cincinnya kenapa ngga dipake!”
Aku terlonjak saat seseorang tiba-tiba meraih tanganku dan
menariknya dengan keras. Spontan aku memukulnya.
PLAK!
“ Hei, ini gua!”
Orang itu langsung melepas jaket yang menutupi setengah
wajahnya, kacamatanya dan topinya. Aku terdiam memandangnya.
“ Ngapain di sini? Bukannya kamu lagi sibuk?” tanyaku
dengan sinis.
“ Jangan galak gitu dong. Gua `kan mau minta maaf.”
“ Ngejar gua cuma buat minta maaf? Niat sendiri atau ngga
tuh?”
“ Hehehe...disuruh..”
Aku memalingkan wajahku dengan kesal. Dia memang
menyebalkan.
“ Dis, jangan gitu dong! Masak kamu kabur cuma gara-gara
masalah kecil.”
“ Siapa yang kabur?”
“ Kata Sisca.”
“ Bercanda aja! Gua bukan cewe yang kayak gitu ya!?”
“ Oh ya? Padahal dulu pernah kabur tuh gara-gara....”
“ Itu `kan beda!”
“ Pokoknya kamu ngga boleh kabur! Lagian cincin kamu
mana?”
“ Aku simpen.”
“ Itu cincin `kan bukan untuk disimpen tapi untuk dipake.”
“ Semau gua dong.”
‘J` terdiam memandangku dan ia menarik nafasnya dalam. Ia
membetulkan duduknya dan tidak berniat bicara lagi.
Apa dia kesal? Kenapa jadi dia yang kesal?
“ Terserah deh. Menyia-nyiakan orang ganteng begitu saja.
Pasti kamu akan menyesal.”
Aku mencibirkan mulutku. Narsisnya ngga hilang sama sekali.
Sepertinya pukulan Hans dikepalanya kurang keras. Sayang Hans
baru keluar 10 tahun lagi.

153
Aku terus memandang ke arah jendela tapi sebenarnya yang
aku lihat adalah bayangan `J` yang terpantul di kaca. Ia terus
memandangiku dengan gusar. Beberapa kali ia membetulkan posisi
duduknya, menggaruk-garuk kepalanya yang mulai kembali
ditumbuhi rambut, mencari-cari sesuatu tapi tidak tahu apa yang
dicari.
Aku menoleh padanya ia langsung terdiam.
“ Bisa diam ngga?” tanyaku dengan kesal walau pun itu pura-
pura.
`J` memandangku tanpa ekspresi dan tiba-tiba ia menyeringai.
“ Dis, jangan marah dong. Ok, aku jujur. Aku yang kabur dari
rumah. Papa sama Mama ngga ngijinin aku nyusul kamu makanya
aku kabur. Hadiah kamu memang aku hilangin tapi bukan berarti aku
ngga menghargai kamu. Aku....aku....Aduuuuhhhh...susah banget sih
ngomongnya. Yaaaa...AKU SAYANG SAMA KAMU!”
Aku terlonjak mendengar kalimat `J` yang terakhir yang ia
katakan dengan keras dan susah payah. Semua orang di bus sampai
menatap ke arah kami.
“ Dasar gombal.” Bisikku sambil kembali melihat ke arah
jendela untuk menutupi wajahku yang merona dan jantungku yang
berdegup kencang. Bukan karena tatapan orang banyak tapi karena
kata-kata `J`. Baru kali ini dia mengatakannya padaku.
Hmmmmm.....Aku senang sekali....Hihihihi
“ Makanya gua ngga mau ngomong dengan jujur apa isi hati
gua yang sebenarnya. Ya, kayak gini ini reaksinya. Jujur salah, ngga
jujur salah.”
Aku tersenyum geli melihat ekspresi kesal `J` yang terlihat di
kaca jendela. Ia terus menggerutu sambil melirik berharap padaku.
Sepertinya sudah cukup aku membuatnya gusar. Lama-lama
aku kasihan juga. Lagipula dia sudah mempermalukan dirinya sampai
aku dibawa-bawa malu.
Aku menoleh padanya dan memandangnya yang sedang
menahan rasa sakit.
Ya, ampun! Aku lupa kalau sebenarnya dia masih perlu
banyak istirahat.
“ `J`, kamu ngga apa-apa?” tanyaku khawatir.
154
Kubetulkan posisi kursinya agar ia bisa setengah berbaring.
Kurogoh tasku dan mengambil jaketku. Jaket itu memang tidak terlalu
tebal tapi cukup untuk menghangatkannya.
“ Aturan kamu ngga usah nyusul aku.” Ujarku sambil
mengusap keringat dingin di wajahnya dengan sapu tanganku.
“ Aku ngga mau kamu marah sama aku, Dis. Aku ngga mau
kejadian waktu kecil atau pun yang kemarin terulang lagi. Aku harus
memperbaiki kesalah pahaman supaya kita ngga jadi musuh dan kalau
kita udah berantem pasti ada kejadian aneh-aneh.”
`J` mengusap-usap kepalanya yang terasa sakit sambil
memandangku dengan tulus. Aku hanya bisa tersenyum mengerti
karena aku pun tidak ingin mengalami kejadian yang sama lagi.
Rasanya terlalu sakit hanya karena salah paham kami harus terpisah
jauh bahkan sampai hampir kehilangan nyawa.
“ Iya, aku juga ngga marah-marah banget kok. Aku balik
karena Papa nyuruh aku bantuin di kantor. Cuma tiga bulan kok.”
“ Kenapa ngga bilang dari tadi?!” tanya `J` dengan kesal.
Aku tersenyum geli tanpa menjawab. Akhirnya ia hanya bisa
menghela napas. Ia meraih tanganku dan memandang jari manisku.
“ Cincin kamu mana?”
“ Aku simpen.”
“ Kok disimpen sih....”
“ Biar ngga hilang. Aku ngga mau itu cincin hilang.”
“ Ngapain takut! Punyaku aku pakai terus ngga hilang kok.”
“ Iya deh bos.”
Aku merogoh tasku dan mengambil cincin yang kusimpan di
kotak khusus. Cincin itu baru saja melingkar di jariku 1 minggu yang
lalu, beberapa hari setelah `J` sadar.
Waktu itu tiba-tiba `J` menarik tanganku di depan semua
keluarganya dan memasang cincin itu di jariku tanpa tanya-tanya lagi.
Lalu dia memaksaku memasang cincin yang satu lagi di jarinya. Aku
melakukannya dengan bingung walau aku mengerti maksudnya.
Yah, biar dipaksa, di dalam hatiku pun tidak menolak.
`J` senyum-senyum sendiri saat aku memasang kembali cincin
itu di jariku. Aku mencibir padanya dan ia hanya menyeringai.
“ Aku akan memamerkanmu pada Ryan.”
155
“ Jangan sembarangan! Dia sudah mau punya anak.”
“ Oh ya? Terus kapan kita punya anak?”
“ Hahahaha...jangan nanti anak gua bisa ancur. Soalnya
bapanya kayak kamu.”
“ Kayaknya kamu pernah ngomong kayak gitu juga deh.”
“ Iya, kapan ya?”
“ Kalau gitu aku tanya deh sama kamu sekali lagi.”
“ Apaan?”
“ Maukah kau menjadi ibu dari anak-anakku.”
“ Ralat, kalau kalimat itu baru kali ini kamu katakan.”
“ Yah, pokoknya jawab aja, Neng!”
“ Nggg....gimana ya?”
Aku berpura-pura memikirkan apa yang harus kujawab untuk
membuat `J` gusar dan kesal. Tapi tentu saja jawabannya `iya` karena
sejak 17 tahun lalu aku sudah mengatakan `iya`.
Sampai kapan pun akan kujawab `iya` sekalipun kenanganku
dengannya dilenyapkan. Atau hubungan kami terpisah oleh karena
kesalah pahaman. Akhirnya pasti jawabanku tetap `ya`.
“ Ok, boleh aja. Lo cowo yang lumayan kok.”
Ok, karena sejak pertama kali bertemu denganmu memang
jawabanku sudah `ya`!
****

156

Anda mungkin juga menyukai