Anda di halaman 1dari 4

Aku memberanikan diri untuk datang ke psikolog tiga bulan yang lalu.

Sekarang adalah
kali ketiga aku akan melakukan konseling. Permasalahan di lingkungan kerja adalah yang paling
berat dan membuat stress. Aku seorang perantauan yang hidup di tanah timur. Namun
lingkungan kerja tidak seratus persen asli orang timur. Sebagian besar pegawai berasal dari tanah
jawa, sedangkan aku kelahiran sumatera, pegawai satu-satunya yang bertugas di pulau timor.
Keadaan lingkungan kerjaku benar-benar membuatku sangat frustrasi. Aku tak bisa tidur
sepanjang malam dan tidak bisa mengontrol pikiranku. Imajinasiku lari kemana-mana. Banyak
suara dan ajakan untuk melakukan hal yang jahat, terkadang juga ajakan untuk mengakhiri
hidup. Karena itu, kuputuskan untuk memberanikan diri datang ke psikolog.
Aku duduk di sofa ruang tunggu rumah sakit jiwa. Jadwal konseling sekitar 30 menit lagi.
Kucoba memejamkan mata sejenak dan menyandarkan kepala pada sandaran sofa yang empuk.
“saya tidak bisa membantu anda. Anda tidak menonjol sama sekali akhir-akhir ini.”
Kata-kata itu masih terekam di benakku. Aku bertanya-tanya, aksi seperti apa yang harus
kulakukan untuk membuat mereka beranggapan aku ini menonjol?
Dunia memang penuh tanda tanya. Selama empat tahun mengabdikan diri di tanah ini dan
berusaha melakukan tugas sebaik mungkin, namun masih saja dianggap diam. Apakah semua
orang harus pintar berakting dan beraksi di depan layar? Kalau defenisi bekerja itu tampil di
panggung, lalu siapa yang akan mengatur panggung di belakanganya? Terkadang manusia tak
bisa memahami bahwa semua orang punya keunikannya masing-masing.
“hahaha,” tak sadar aku tertawa sendiri.
Kubuka mata, menarik waktu-waktu yang menggores hati dan kembali pada kini. Aku
menatap jam dinding berbentuk persegi bergambarkan pita hijau. Jam menunjukkan pukul 16.00
wita. Masih tersisa 30 menit lagi untuk bertemu psikolog. Aku datang terlalu cepat. Entah benar
atau tidak, aku mulai gusar akan waktu. Aku tak bisa mengatur waktuku, aku selalu ingin
terburu-buru walau kenyataannya aku belum terlambat hendak melakukan sesuatu. Aku mulai
menggerak-gerakkan tangan dan kaki. Mulai gusar menunggu untuk dipanggil.
Ditengah-tengah keresahanku, datang seorang pria. Dia mengenakan sweater lengan
Panjang, celana jeans dan sepatu keds. Agaknya dia berumur kepala tiga.
“permisi,” ucapnya memberi syarat untuk duduk di sebelahku.
“silahkan”
Dia lalu duduk. Namun aku heran, dia mengangkat kakinya dan menyilangkan kedua
kaki di atas sofa, kemudian menoleh ke arahku dan tersenyum tipis.
Belum selesai heranku akan tingkahnya, aku terkejut saat menatap wajahnya. Putih dan
pucat. “agaknya dia sakit apa?” aku berbisik dalam hati.
Aku mengeluarkan ponsel dari dalam tas dan mencoba untuk berselancar pada dunia
maya untuk membunuh waktu. Namun belum sampai satu menit, pria itu mengajakku berbicara.
“hai” katanya sambil tersenyum.
“ya?”
“sedang menunggu dokter?”
“iya, kenapa?”
“tidak apa-apa,” ucapnya sambil terus tersenyum menatapku, sampai aku merasa sangat
aneh. Aku ingin menghindar, namun lagi-lagi dia berbicara padaku, “kamu pasti bukan asli orang
sini,” katanya dengan pasti.
“iya, saya orang dari luar provinsi”
“oh, iya. Saya sudah duga”
Aku mengangguk-anggukkan kepala. Saat hendak menghindar, lagi-lagi dia berbicara.
“saya sudah lihat kamu tiga kali ke sini.”
Aku mulai merasa aneh dan sedikit was-was.
“boleh saya tahu nama kamu siapa?” dia bertanya.
“nama saya Jenar. Tapi maaf saya tidak kenal kamu.”
“oh iya, maaf Jenar kalau kamu risih. Kenalkan, nama saya sandi,” dia mengulurkan
tangan kanannya.
Aku menyambut salamnya dengan sedikit grogi. Belum pernah aku berkenalan dengan
orang baru yang aneh dengan cara yang sedikit aneh pula.
“dulu saya seringkali ke sini mengantar sahabat saya. Saya menunggu sampai berjam-jam
sampai dia selesai menemui dokter,” Katanya
“oh ya?” tanyaku seadanya.
“dia mirip dengan kamu,” katanya sambil menatapku lekat-lekat.
Aku mulai sedikit takut dengan orang asing ini. Kupalingkan wajah dan mencoba untuk
tidak menatapnya dan memainkan ponselku.
“Namanya Terah…”
Dia mulai bergumam lagi. Kali ini aku hanya memandangnya dari ujung ekor mata,
berusaha untuk acuh, namun dia tetap melanjutnya perkataannya.
“perempuan itu tidak lahir di sini. Setelah ditinggal mati ibunya, bapaknya membawanya
ke sini. Dia sangat miskin dan kurang makan. Sejak kecil dia terus dibully. Kasihan dia tidak
punya teman.”
“kamu sahabatnya?” tanyaku
“iya, hanya saya sahabatnya”
“lalu?” aku terheran-heran mengapa pria ini bercerita tentang kisah orang lain.
“saya ingin bantu dia,” katanya dengan lesuh.
“yaaa.. tinggal bantu saja toh,” ucapku mengernyitkan dahi, masih bingung.
Bukannya menjawab kebingungaku, dia malah lanjut bercerita “karena ingin mengubah
kemiskinannya, sesudah besar dia menjual dirinya.”
Kata-kata itu membuatku membelalak “Hah?”
“dia pergi merantau dan kasih jual diri untuk memenuhi kebutuhannya. Namun karena
bapaknya sakit, dia pulang kembali ke kampungnya. Lagi-lagi dirinya menjadi bahan omongan.
Sampai suatu saat bapaknya meninggal.”
Aku ternganga mendengarkan cerita pria Bernama Sandi ini. Apa agaknya yang
membuatnya bercerita tentang masalah hidup orang kepadaku, orang sama sekali belum dia
kenal.
“lantas, apa gerangan urusannya sama saya?” tanyaku heran.
“Saya sudah lama mencarinya kemana-mana, tapi tidak ketemu. Saya takut terjadi
sesuatu yang buruk padanya, seandainya kamu bisa bantu saya”
“loh, kan kamu ini sahabatnya, kenapa harus saya?” aku mulai berpikir bahwa jangan-
jangan orang ini adalah penderita gangguan jiwa.
“saya tidak bisa. Saya sakit. Saya tidak bisa melakukan aktivitas seperti orang-orang pada
umumnya. Kamu lihat wajah saya, saya sedang sakit. Saya bahkan tidak tahu apakah saya bisa
berjalan esok hari atau tidak”
“hah?” aku terperangah lagi, sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dia bicarakan.
“baiklah, akan saya jelaskan secara perlahan kepada kamu. Saya punya seorang sahabat
perempuan, Namanya Terah Melati. Dia keturunan jawa-timor. Ibu jawa, bapak timor. Setiap
bulan saya kerap mengantarkannya ke tempat ini untuk bertemu psikolog. Saya sudah kenal dia
sejak kecil. Dulu saya sempat bantu dia untuk bisa dirawat di rumah sakit, namun suatu saat dia
menghilang, dan keadaan saya yang sakit tidak bisa menemukannya lagi. Saya ingin kamu
menolongnya, tolong bantu dia"
“tapi, kenapa harus saya?” Aku masih terheran-heran.
“ingat ya, Namanya Terah Melati”
Aku menggeleng-gelengkan kepala dan menaikkan bahu, benar-benar tak mengerti.
Tidak lama kemudian petugas memanggil namaku dengan keras “nona Alie Jenar!”
Aku menoleh pada sumber suara, dan bangkit. Sambil berlalu kutatap wajah lelaki itu.
Dia tersenyum sambil berbisik, “saya percaya kamu.”
Langkahku semakin cepat menuju ruangan dokter dan mengumpat “dasar orang sakit
jiwa.”
***

Anda mungkin juga menyukai