Anda di halaman 1dari 10

SUAMIKU SEORANG TERORIS

Bom meledak di hadapanku. Sebelum aku merasakan sakitnya, tubuhku seakan hancur.
Yah, Ritz Carlton menjadi penginapanku saat kejadian bom 27 Juli itu. Aku yang saat itu ingin
melihat Manchester United tidak pernah menduga akan terjadi kejadian seperti itu.
“Din, Din??” dihadapanku bukan hanya satu orang, ratusan orang berhamburan. Aku
hanya melihat sosok cowok yang sepertinya menolongku karena aku berada dipangkuannya.
Tangan dan dahinya berdarah. Dia terlihat cemas dan sepertinya aku mengenalnya.
“Ada apa ini? Ada apa? Sepertinya sesuatu yang aneh terjadi! Tapi apa?” Sesaat aku
hampir menyadarinya dalam hatiku, cowok itu menyuntikkan sesuatu kepadaku yang membuat
aku tertidur. Sebelum aku tertidur pulas, seseorang memanggil cowok itu, “Feza, beri dia morfin
lagi! Keadaannya akan…” Setelah itu aku tidak mendengar apa-apa, namun aku bahagia karena
aku tau namanya. Dia adalah Feza.
“Kenapa aku di rumah sakit? Kenapa aku tidak tidur di hotel? Kenapa kenapa kenapa???”
Pertanyaan bertubi-tubi menghapiriku dan aku segera tersadar saat seorang cowok bernama Feza
menghampiriku. Tangan dan dahinya diperban dan banyak luka lecet disana.
“Din??” Aku sedikit sebal juga, kharismanya yang tinggi membuat nadanya terkesan
dipaksa lembut. Aku sekarang ingat jika dia yang menolongku. Sesaat aku ingat masa kuliahku
dulu. Yah Feza bukan hanya seorang mahasiswa kedokteran, namun dia juga seorang presiden
BEM, Menteri EM, anggota Rohis dan seorang yang tetap pintar dengan kharismanya yang
tinggi. Namun sepertinya kurang kerjaan dia mengingat namaku yang tidak pernah dilirik
seorang cowokpun dan berbeda dengan dia karena dia memiliki ribuan penggemar di Fakultas
Kedokteran.
“………….” Aku berusaha bicara namun sulit. Aku marah pada diriku sendiri kenapa
seperti ini. Aku memutuskan untuk setengah duduk dan akhirnya aku berhasil.
“Kak Feza?”
“Hm?” Aku yang masang muka serius membuat kharismanya semakin meninggi dan dia
selalu bisa menyeimbangkan kondisinya.
“Terima kasih” Aku bingung harus ngomong apa karena ternyata dia sibuk dengan
handphone-nya. Yah biasanya urusan fakultas, universitas, ataupun urusan keprofesiannya yang
hampir kelar. “Kenapa sesibuk ini dia masih sempat menemuiku ya??? Wah pasti dia suka sama
aku! Apa lagi kalo tidak suka? Apa mungkin cinta mati ma aku ya?” Aku berbicara dalam hati
sendiri. Tiba-tiba aku terlalu berpikiran jauh dan…
“Hahahahahahaha” Kebodohanku membawa aku tertawa sendiri karena mikir yang aneh-
aneh.
“Din?” Hanya 2 kata sejauh ini yang dia ucapkan; Din dan Hm. Alamak…
“Tadi Saya bilang terima kasih tapi belum dijawab, Makanya Saya tertawa gak jelas biar
Kak Feza sadar” Kali ini aku berbohong. Dan aku sebal, lagi-lagi HP-nya berbunyi.
Aku marah bukan karena Kak Feza, namun karena pikiranku yang bilang kalau seorang
Presiden BEM itu mencintai seorang cewek item, tinggi hanya 150 cm, dan fisik di bawah rata-
rata. Aku menutup kepalaku dengan bantal. Melihat itu, Feza tertawa kecil tanpa melepas
wibawanya.
“Maaf Din, Saya masih mengurusi TA” Suasana hening sebentar. “Din, menurutmu,
kamu terkena fraktur cranii ringan, sedang, apa berat? Kamu kan udah semester 5, pasti tau khan
gimana ciri spesifiknya?”
“Grrrrrrrrrrrr” Disaat seperti ini, teganya dia berbicara seperti itu. “Eee, kayaknya Aku
gak terkena fraktur crania, mungkin fraktur hepar kali (emang ada???)” Ucapku dalam hati. Feza
hanya diam dan langsung mengambil bantal yang diatas kepalaku kemudian dia pegang seperti
boneka. “Maksudnya apa?”
“Kak Feza, kenapa tahu saya? Kenapa jenguk saya? Dan kenapa tahu nama Saya? Saya
kira Kak Feza punya teman dari fakultas dan universitas ditambah ingatan Kakak yang super luar
biasa mengenai anatomi, namun kenapa masih ingat Saya?” akhirnya aku mengatakannya
dengan lantang dan Feza diam terkejut. Kharismanya sedikit hilang namun hanya beberapa puluh
detik, kharismanya pulih. “Karena Saya mencintaimu Din. Saya ingin jadi pacarnya Dini. Jika
boleh, Saya ingin menikahi Dini” Grrrrrrrr. Itulah yang aku harapkan. Jawaban dasyat yang aku
harapkan. Namun…
“Bagaimana bisa Saya melupakan panitia yang jatuh dari tangga, sepatunya melayang,
dan rok sobek di depan Saya!” itulah jawabannya dan wajahku merah padam. Memang benar
dan ini bukan gurauan jika aku yang tidak pernah memakai sepatu berhak saat itu disarankan
memakai sepatu formil. Dan saat itu, aku yang goblok ini membeli sepatu dengan hak 5 cm.
Karena tidak terbiasa, saat menuruni tannga, aku jatuh dan sepatuku benar-benar melayang dan
rokku yang aku beli sehari sebelumnya juga robek. Pertama kali aku tersenyum karena di
depanku saat itu cewek semua, namun dalam kebodohanku itu saat aku melihat arah kiri, ada
Presiden BEM disana, benar-benar melongo melihatku yang jatuh seperti itu. Feza hanya
tersenyum kecil dan beberapa menit permisi pulang, meninggalkan aku yang bodoh ini. “Jangan
mimpi deh Din” Itulah ungkapan hatiku saat ini.
“Akhirnya pulang! Wah, semoga Mama, Papa tidak tahu hal ini! Bismillah!” Memang
benar dan memang anak durhaka. Aku ijin dengan dalih pergi ke Bogor buat reuni ma anak
SMA-ku dulu dan semuanya terkena imbasnya. Bom benar-benar di depanku. Dalam
termenungku, aku kaget dan merasa ada sesuatu yang aneh. Aku langsung berlari kembali ke
rumah sakit.
“Maaf pihak Rumah Sakit tidak mengetahui” Jawaban pihak Rumah Sakit yang benar-
benar di luar harapan. Aku segera naik taksi menuju Ritz Carlton yang ternyata banyak wartawan
dan area tertutup. Di sana, terdapat banyak petugas keamanan dan aku sangat berharap dapat
menemukan jawabannya. Setelah aku bertanya sekitar 13 petugas keamanan, akhirnya aku
menemukan jawabannya. Aku menangis, menangis dan menelpon seseorang disana.

“Assalamualaikum” Jawab orang itu. Suara ribut disana dan aku hapal dimana itu. aku naik taksi
lagi dan menuju ke rumah sakit lagi. Aku berlari dan berlari dan aku menemukannya. Dia tidak
jauh dari kamar tempat aku menginap. Yah, tempat aku dirawat tadi. Aku menangis, menangis,
dan berlutut di hadapannya. Keseimbangannya dia hilang dan dia duduk melihatku heran.
Tangisanku semakin menjadi.
“Kak Feza, terima kasih terima kasih…” Aku tak peduli keadaan disana. Aku menangis
dan segera menciumi tangan kanannya hingga tangan Feza basah. Dia sangat kaget hingga tidak
bisa berkata apa-apa. Dia mengggiringku ke kamar tempat aku menginap tadi. Aku masih
sesenggukan.
“Saya tahu sekarang. Saya tahu kenapa Saya bisa sampai selamat, padahal saya sangat
dekat dengan arah ledakan itu!” Aku mengatur napas
Feza hanya diam. “Kak, kenapa tidak bilang ke Saya kalau Kakak benar-benar menolong
Saya! Kakak hanya cuek! Saya ingin berterima kasih Kak! Kak!” Tidak ada jawaban disana.
Feza hanya diam. Aku semakin menagis. Aku tidak mempedulikan harga diriku lagi. Sesegera
aku langsung menuju tempat Kak Feza duduk dan berlutut disana. Aku menangis dihadapan Kak
Feza. Aku tahu ada yang aneh. Keadaan Feza dengan aku, lebih parah dia. Luka lecetnya ada di
mana-mana, padahal dia tidak menginap di Ritz Carlton.
“Din, bangun Din!” Feza berusaha membangunkanku. Aku memegang tangan kanannya erat dan
menaruh di dahiku. Aku menangis disana.
“Kak menikahlah dengan Saya!” Itulah kata singkatku. Feza yang tadi setengah berdiri saat
berusaha membangunkanku langsung duduk, tak berdaya.
“Saya tahu Kakak memiliki ratusan perempuan yang mencintai Kakak. Saya tahu Saya tidak
pantas melihat Kakak! Namun Kak, Saya akan berusaha menjadikan Kakak sebagai suami
terbaik! Saya akan berusaha menjadi istri terbaik Kak! Saya akan menuruti perintah Kakak!”
Aku yang selalu menghormati Feza sepertinya lepas kendali. Suasana hening dan sekitar 10
menit, cowok itu melepas tanganku dan tersenyum. Aku bahagia karena sebelum kita pergi, dia
tersenyum dengan sepatah kata mengiyakan. “Subhanallah”. Pria yang selalu aku hormati
menikah denganku. Sujud syukur aku limpahkan kepada Allah SWT. Meskipun aku masih
semester 5 dan Kak Feza semester 9, kita tetap menikah. Kita melakukan hal tersebut karena kita
sangat takut jika nantinya kita berbuat zina.
Satu tahun kita menikah, Feza banyak membantu dalam pelajaran kedokteran. Aku
bertambah kagum padanya karena sekarang aku tahu bagaimana dia benar-benar mengatur
waktunya. Dia orang nomor satu di kampus yang paling sibuk namun IP dia stabil dan selalu
naik. Saat ini IP dia 4. Agendanya benar-benar padat dan dia bisa mengatur dalam membaginya.
Setiap hari hanya ada 5 jam, dari jam 2-7 pagi.
Suatu hari aku menanyakan bagaimana bisa dia melakukan hal seperti itu, dan
jawabannya selalu melekat di hatiku.
“Mudah Din, selalu konsisten jika HIDUP adalah AMANAH! Amanah dari Allah SWT.
Sayang kan jika kita membuang-buang waktu yang semakin lama semakin habis saja” Feza
tersenyum manis dan mencubit pipiku. Setelah itu, dia pamit keluar. Dia selalu bilang kemana
dia akan pergi, sampai jam berapa, dan cepat akan pulang. Dia selalu menepati janjinya
meskipun jika sudah sampai, dia akan belajar dan mengajariku belajar. Dia benar-benar gila
belajar. Namun aku kagum dengannya. Agendanya selalu diotak-atik, dicorat-coret jika tidak
sesuai. Karena keramatnya, aku tidak boleh membukanya sama sekali, namun aku
menghargainya.
Gerimis bulan Desenber menyelimutiku. Saat itu aku sedang berada di taman sendirian,
menunggu seseorang yang berjanji akan datang. Tubuhku basah namun hatiku tetap kering.
Entah kenapa dia tidak biasa seperti ini. Aku putuskan untuk pulang dan aku terkejut disana. Di
dekat taman, terdapat sebuah danau. Dalam gerimis yang mendung itu, aku masih dapat melihat
Feza sedang duduk termenung. “Kenapa dia selalu bersembunyi dariku?” Itulah yang membuat
aku heran. Feza memang selalu datang jika ada janji. Namun tindakannya sama seperti saat aku
masih berada di rumah sakit. Dalam gerimis yang mendung itu, aku menghampirinya dan dia
kaget. Tubuhnya basah dan aku tidak pernah melihat dia setampan itu. namun dia kelihatan
sedikit berbeda. Dia kelihatan sedih dan kharisma yang menjadi kharakternya selama ini
sepertinya luluh. Dia menangis dan memelukku dengan sangat erat. Ada penyesalan disana.
“Kak, hujan semakin deras. Lebih baik kita berteduh. Sepertinya Kakak sakit! Kak?” Aku
cemas bukan main karena sesedih apapun, kharismanya tidak pernah lenyap hanya saat ini
perkecualian. Dia diam dan saat aku hendak berdiri, dia menarik tanganku dan memelukku lagi
seperti akan kehilangan sesuatu.
“Jangan! Jangan pergi dariku! Jangan pergi. Aku mohon. Din, aku mencintaimu”
ucapnya pelan dan bergetar. Tidak pernah dia berbicara kata “aku”, tidak pernah dia berbicara
“mencintaiku”, dan tidak pernah dia seperti ini. Aku khawatir, sangat khawatir.
“Din. Jika Kau tahu kalau aku semakin mencintai belajar hingga IP-ku 4 adalah karena
aku menghormati kamu sebagai istri. Kamu yang berani melamarku lebih dulu, padahal aku yang
mencintaimu dari dulu tidak pernah berani melamarmu. Aku terlalu mencintaimu Din sampai
aku tidak berani memilikimu. Aku terlalu menghormatimu” sayang Feza hanya mengucapkannya
dalam hati. Dalam gerimis yang semakin deras disertai angin, Feza menangis dalam hujan.
“Lebih baik Kamu menikah dengan orang lain” dalam hujan setelah dia melepas
pelukannya, dia berbicara seperti itu.
Suasana hening beberapa saat.
“Tidak! Apa alasan Kakak! Apa kata cinta tadi adalah pemanis dari perpisahan yang
direncakan Kakak” aku marah, aku mendekat ke danau, melihat cerminan wajahku dalam air
berselimut gerimis yang semakin deras. Benar, wajahku memang tak pantas dibanggakan.
“Kak, Saya cinta Kakak! Aku selalu berusaha menjalankan motto Kakak jika ‘Hidup
adalah Amanah’. Itu kenapa Saya gak mempedulikan urusan kecantikan. Karena lebih baik, uang
yang Saya tabung diberikan ke masjid! Semuanya karena Kakak! Kalau cerai, Saya takut jauh
dari Allah SWT” aku berusaha mendekat ke Feza, namun dia berusaha menghindar. Yang bisa
aku lakukan hanya melihat danau dan melihat wajahku.
Dalam gerimis yang berubah menjadi hujan deras, aku menangis dan memaksa diriku
untuk mendekat. Feza melepasnya namun aku berusaha memeluk dia dengann paksa. Feza hanya
diam. Aku hanya bisa memeluk punggungnya karena aku tidak pernah berani melihat
pandangannya saat ini. padahal tanpa sepengetahuan Dini, perasaan Feza sama dengan Dini.
“Kau bodoh mencintaiku! Kau bodoh! Benar ucapan cinta tadi adalah kata perpisahan
dariku” Kita akhiri saja. Kau terlalu meyusahkan. Urusan Saya benar-benar kacau karena kamu
Din” Dia melepaskan kedua tangan Dini. Aku menangis dan menangis. Hujan deras disertai
langit yang gelap membuat suasana hatiku semakin kacau. Air hujan tidak akan membuat hatiku
menjadi lebih baik namun menjadi perumpamaan air hujan yang turun semakin deras adalah
perwakilan hatiku saat ini.
“ Bukannya Feza cinta karena Saya bodoh? Apa Saya terlalu jelek buat kakak! Kakak
bilang cinta Saya karena Saya lucu?” aku benar-benar memohon namun Feza hanya melihat
lurus ke danau.
“Benar! Din, kapan Saya bilang ‘cinta’? kata cinta terakhir dari Saya hanya untuk
menghiburmu! Hanya itu!” Feza meninggalkan aku sendirian bertahtakan linangan air mata.
“Kak, maaf jika Saya terlalu jelek buat Kakak!” aku terduduk lemas dengan hujan
semakin deras. Aku hanya bisa melihat punggung orang yang aku sayangi itu semakin menjauh,
menjauh, dan menjauh. Menghilang diantara pepohonon rindang hingga tercium bau basahnya
pohon-pohon. 2 minggu penuh aku sakit, 2 minggu penuh itu pula aku selalu mengunjungi danau
terakhir tempat kita berjumpa. Ku selalu tersenyum pedih saat teringat Feza memelukku dan
bilang jika mencintaiku. Aku datang ke tempat itu setiap hari sambil menunggu hujan datang.
Yah bulan Desember, bulan penuh hujan dan tangis.
2 bulan kita berpisah, proses sidang yang membuang materi dan tenaga membuat aku
semakin menderita. Dalam proses sidang, Feza selalu absen. Pengacara yang ternyata ayahnya
sendiri selalu berbicara hal-hal di luar perceraian hanya untuk menghiburku. Ternyata ayahnya
Feza juga menyesali akan perceraian ini.
“Dini, mungkin ini bisa merubah keputusan.” Ayah Feza memberiku surat. Aku heran.
“Ini dari Jesh” Aku kaget sekaligus gembira. Memang dalam keluarganya, Feza dipanggil
Jesh. Sesegera aku berterima kasih dan segera pamit.
Di rumah, jantungku benar-benar tak karuan. Aku membuka surat itu dengan gemetar
“Aku tahu Kak Feza bagaimana baiknya kamu” aku segera membuka surat itu dan
ternyata kosong. Aku heran dan berusaha mencari isinya, namun tak ada. Aku segera menutup
surat itu kembali. Kecewa…
Namun aku terkejut karena di bawah lantai ada sebuah foto terbalik. Ternyata foto tadi
adalah isi surat yang terjatuh. Dalam gambaran foto, terdapat beberapa orang disana. Semuanya
orang asing, seperti Taliban atau semacamnya. Dan Dini terkejut karena pemimpin yang berdiri
sendirian, yang sepertinya sedang memberi arahan dan dia adalah Ahmad Feza. Aku tidak
percaya jika Kak Feza yang mengirimnya sendiri.
Aku pingsan dan tidak sadarkan 3 hari. Aku sadar sekarang kenapa Kak Feza mengetahui
aku, padahal dia tidak menginap di Ritz Carlton. Apa dia yang merencakan semuanya??? Aku
teringat jika dia pernah bercerita jika saat kejadian dia berada di luar hotel tersebut. Apa dia
terkejut saat melihatku sehingga dia merelakan nyawanya? Nyawa pemimpin teroris??? Aku
berusaha menjauhkan pikiran buruk. Segera aku berwudlu setelah keadaan membaik dan sholat
tahajjud. Dalam temaram malam, dalam kesepian malam, dalam linangan air mata, aku bersujud
dan menyerahkan semuanya pada Allah SWT.
“Ya Allah, Hamba yakin suami hamba merupakan suami terbaik yang diberikan oleh
Allah SWT! Dia benar-benar mengajariku apa arti sholat, apa arti sedekah, apa arti hidup yang
kekal, dan apa arti panggung sandiwara di dunia ini. Hamba yakin suami hamba tidak akan
seperti itu karena dia tahu arti Islam sebenarnya. Aku menceritakan semua keluh kesahku saat
itu. Allah merupakan Maha Pendengar. Aku menangis dalam sujudku dan aku sangat bersyukur
masih ada yang melindungi aku, yang selalu memelukku saat aku seperti ini. Dialah Allah SWT,
Maha Segala Maha. Aku menangis disana, sedih dan bersyukur karena kehangatan menjalariku,
dan aku yakin saat itu Allah SWT mendengarku. Aku tidak akan lupa perkataan suamiku jika
kita berjalan medekati Allah SWT, Allah SWT akan berlari mendekat dan jika kita berlari, Allah
SWT akan berlari 100 kali lebih cepat. Saat ini, aku sangat merasakan kehangatan disana. Aku
semakin menangis bahagia karena ternyata Allah SWT menemani dan mendengarkan segala
keluh kesahku.
Dini tidak tahu jika saat itu, Feza mendatanginya dan menangis. “Maaf Din aku
berbohong padamu.” Feza berjalan lunglai menuju masjid terdekat dan memohon ampun pada
Allah SWT. “Ya Allah, jika keputusan hamba salah, jika keputusan hamba untuk bercerai tidak
tepat, tolong bantu hamba Ya Allah! Hingga saat ini hamba belum dapat menyatakan bagaimana
tingginya rasa kagum hamba terhadap istri hamba! Dia membuat hamba paling bersyukur.
Karena dia, hamba selalu melihat bawah dan rasa syukur hamba terus bertambah! Namun hamba
terlalu kotor buat dia! Hamba teroris! Kenapa sahabat hamba dapat menjerumuskan hamba
kepada hal-hal seperti ini?” Feza menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Allah SWT seperti
yang dilakukan sang istri saat ini. Hati Feza sakit, “Istriku, maafkan suamimu! Engkau terlalu
berharga! Suamimu yang sangat mencintaimu ini tidak akan rela jika terjadi sesuatu padamu”
dalam tangis, Feza berdoa demi kesembuhan, kebahagiaan demi sang istri. Dia tidak
memedulikan lagi.
Setelah sholat tahajjud, dia memutuskan sesuatu dan menaruh buku catatan keramatnya
yang dulunya Dini dilarang membukanya di depan pintu tempat Dini menginap. “Dini, Saya
sangat mencintaimu dan saya sangat bersyukur memiliki istri sepertimu”. Dia langsung memilih
tempat aman untuk menghubungi seseorang. “Aku harus mempublikasikan ke media! Namaku
sudah tidak penting lagi” Dia menelpon pihak kepolisian dan memberikan alamat email serta
passwordnya. Tidak ada rasa gugup pada diri Feza, dia siap kapanpun kematian menjemput. Dia
tahu Allah SWT berada disampingnya. Dia tidak mau lagi jika Islam dijadikan seperti ini. “Islam
bukan seperti ini! Islam mengharamkan teroris! Allah lindungi hamba dalam berjihad! Jihad
yang benar. Dia berbicara dengan tegas jika pihak kepolisian mutlak membuka filenya kurang
dari 2 menit dan mutlak segera menyimpannya jika tidak semuanya akan hilang.
Feza ambruk seketika saat dia berbicara serius dengan pihak polisi. Tembakan kedap
suara oleh Sniper tepat dilakukan di jantung dan os frontal (kepala depan). Feza meninggal
seketika. Rasa lega Feza terlihat disana. Dalam kematiannya, wajah bersihnya yang bercahaya,
dia tersenyum, persis mati syahid. Wallahu alam. Membongkar kebohongan berkedok Islam.
Feza bahagia karena keputusan perceraiannya tepat karena Feza bisa meyakinkan ex
golongannya jika dia membenci Dini. Karena itu, Dini tidak pernah disandera karena
pengorbanan Feza.
Saat kejadian, Dini yang sedang memanjatkan doa merasa ada yang menyuruh keluar.
Dini berlari mencari seseorang sambil memgang buku catatan Feza. Dia belum membacanya
namun dia yakin ada sesuatu yang ganjil. Dini berlari dalam kesunyian RS dan menangis tanpa
sebab. Dini tidak tahu kenapa tiba-tiba menangis hingga dia menemukan seseorang tergeletak di
dekat musholla besar itu. Dialah Feza.
Dini menjerit dan menangis. Dia berlari dan menubruk tubuh Feza yang sudah tidak
berdaya. “Apa yang Kakak lakukan! Kak, bangun!” Dini tidak bisa berkata apa-apa. Dia
menangis dan menangis, “Ya Allah, tolonglah suamiku! Ya Allah! Dimana Engkau Ya Allah?”
Tolong, tolong! Dini semakin menangis karena Feza memgang kertas yang berisi nomor telepon
polisi dan juga menuliskan seuntai kata disana.
“Terima kasih karena percaya, Kakak mencintaimu.”
Dini menangis dan menangis. Dia mencium pipi Feza hingga akhirnya pingsan di atas
tubuh Feza.
Berkat Feza, kepolisian berhasil mentransfer data-data penting kurang dari 2 menit dan
menangkap gombong teroris sebelum berhasil kabur. Ternyata alasan mereka merekrut Feza
dengan paksa karena nama dan kejeniusan Feza selain di dunia kedokteran.
Dini mengerti bagaimana pengabdian sejati, bagaimana mencintai atas nama Allah SWT!
Dalam buku catatannya, Feza menceritakan jika dia terjerumus pada teroris saat temannya
mengenalkan kepada teman-temannya. Feza terkejut jika orang-orang tersebut salah. Sebenarnya
foto yang diberikan kepada Dini yaitu saat Feza berkukuh jika Islam yang benar sungguh agung,
tidak pernah menhalalkan terorisme. Dan saat kejadian bom, Feza sama sekali tidak terlibat. Dia
berada di luar hotel karena dia tahu jika Dini menginap di hotel Ritz Carlton dan dia berusaha
menelpon kepolisian namun ternyata berhasil disadap.
Sebenarnya Feza sama sekali tidak terlibat dalam terorisme. Yang paling disesalkan Feza
karena dia dihadapi 2 pilihan, Dini atau polisi. Dia tidak bisa menghubungi polisi karena
disadap, dia tidak bisa berlari ke kantor polisi karena Dini belum dapat ditemukan padahal waktu
pemboman Feza tidak tahu karena dia berhenti dengan paksa namun dia hanya mengetahui
harinya. Itulah yang membuat Feza bersalah.
Dia langsung mengambil wudlu dan memanjatkan doa khususnya untuk suaminya.
“Ya Allah, hamba yakin suami hamba melakukan hal yang benar! Suami hamba
menyerahkan nyawa kepada-Mu sebagai perwujudan rasa cinta kepada-Mu! Suamiku,
insyaAllah engkau berada disisi Allah! Istrimu doakan engkau berada di surga dan bumi
meluaskan alam kuburmu dengan ketenangan disana. Ya Allah, hamba akan meniru suami
hamba! Hamba akan mengabdi pada-Mu!
Dalam hujan bulan Desember, Dini berjalan menuju danau dekat rumahnya! Dia ingat
saat itu jika suuami tercintanya bicara jika dia mencintai Dini. Dan aku tersenyum dalam tangis
keikhlasan karena hal itu benar. “Terima kasih suamiku, telah mengenalkan arti sesungguhnya
Islam dan cinta atas agama padaku!”
“Feza engkau tetap menjadi suamiku dan tetap terungkai di hatiku. Aku selalu
mencintaimu” dalam hujan Dini menangis karena teringat memori di danau tersebut. Feza yang
sangat tampan dalam hujan. “Yah setampan hatinya.”

Anda mungkin juga menyukai