Kelopak mataku terasa berat. Rasa penat menggelayuti seluruh tubuh. Muka dan
sekujur badan terasa lengket oleh peluh yang mengering. Sejak enam bulan lalu
bertugas sebagai dokter Puskesmas di wilayah agak terpencil ini, hari ini adalah hari
paginya menyetir sendiri mobil Puskesmas Keliling yang reyot itu ke ibukota kabupaten
sejauh 100 km, dilanjutkan rapat sampai siang di kantor dinas kesehatan. Dalam
perjalanan pulang, roda belakang mobil terperosok ke jalan berlumpur, terpaksa jalan
kaki ke desa terdekat mencari bantuan. Petang hari sampai di rumah, belasan pasien
sudah menunggu untuk dilayani. Baru saja selesai, jam sembilan malam, bidan desa
melaporkan ada ibu yang kejang-kejang. Terpaksa harus dibawa ke rumah sakit
kabupaten, dengan mobil yang sama, yang lagi-lagi mogok dalam perjalanan pulang.
Seperti disedot ke dalam pusaran sumur ketiadaan yang dalam... aku sempat
tidak ingat apa-apa lagi. Tiada mimpi. Tiada igauan. Hanya kehampaan yang melayang
semakin dalam. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang menahanku. Seperti kait terhujam ke
belakang otakku, kemudian dihelakan hingga terkerek naik ke permukaan. Kesadaran
“Ayah.. ayah.. aduuh susah sekali dibangunkan!” Lamat-lamat kudengar suara istriku.
“Bangunlah... orang itu menggedor-gedor pintu terus.”
Kemudian telingaku juga menangkap suara lain... brok! brok! brok! Suara pintu
mata aku menggeliatkan badan. Berat sekali rasanya untuk bangun. Aku beranjak
Ketika kesadaranku baru mulai terasa penuh, suara gedoran pintu itu malah berhenti.
Hening sejurus... tiba-tiba dhuarr!! krompyanggg!!
Aku tersentak kaget. Istriku pun demikian. Kesadaranku langsung kembali 100%.
Aku bergegas ke ke arah suara itu berasal. Di ruang depan, ruang tamu yang sekaligus
dijadikan ruang praktek, kudapati kaca jendela telah hancur, pecahannya berserakan di
lantai. Sebuah batu sebesar bola tenis tergeletak di meja. Ada bekas benturan di
dinding, menandakan batu itu memantul di dinding sebelum jatuh ke atas meja.
Terlihat melalui kaca jendela yang pecah, tiga orang laki-laki berdiri di depan rumah.
Salah seorang yang termuda dan badannya paling besar, berjalan mendekat dengan
telunjuk terangkat menudingku. “Bangsat kau! Orang sudah mampus baru kau buka
pintu!”
tadi ke sini kau tidak ada. Sore ke sini masih belum ada. Sampai sekarang dipanggil
“Ya Allah, Pak. Pagi tadi kan saya rapat dinas di kabupaten. Sorenya mana ada
bapak ke sini?! Kalau sakit dari pagi kenapa tidak ke Puskesmas saja, kan ada petugas
“Heh, banyak alasan pula!” orang itu membentak. “Apa gunanya dokter di sini?
Tiap kali orang sakit kau tak pernah ada. Tahu ndak kamu.. aku ini ketua (menyebut
“Aku tidak ada urusan dengan (kusebut nama LSM itu). Aku kerja bukan kamu
yang menggaji. Lagipula tugasku bukan hanya mengobati orang, banyak pekerjaan lain
“Enak aja kau ngomong... Kau ini digaji dengan uang rakyat. Kamilah rakyat!
Kamilah tuanmu di sini! Bupati saja takut dengan kami. Lihat besok, kudatangkan
Pertengkaran pun memanas dan sepertinya bisa berujung kekerasan. Orang itu
sudah siap melayangkan tinjunya. Tiba-tiba ada yang menarik bajuku dari belakang.
“Sudahlah,” katanya setengah berbisik. “Tengah malam begini, tak ada gunanya
orang lain yang dari tadi hanya termangu. “Apakah kalian datang ke sini hanya untuk
“Eh ya.. anu Bu, ini paman saya... sakit perut.” kata yang seorang menunjuk orang
tua di sebelahnya.
“Yang sakit masuklah!” istriku melambaikan tangan. Semula bapak tua itu ragu-
ragu, tapi kemudian masuk juga ke dalam rumah. Pemuda yang beringas itu terdiam
saja melihatnya.
“Periksalah dulu!” bisik istriku lagi sambil menarik tanganku. “Urusan lain bisa
Walaupun hatiku masih panas, tapi akhirnya kuturuti juga perkataan istriku untuk
memeriksa bapak tua itu. Nada bicaraku agak lain saat menanyainya tentang sakit yang
dideritanya, pendek-pendek dan tidak ramah seperti biasanya. Juga saat memegang
jarum suntik dan menghisap obat dari ampulnya, kelihatan tanganku masih gemetar
karena hati yang menahan amarah. Saat kuberikan obat-obat yang harus diminumnya
di rumah, wajahnya menatapku (dengan air muka yang aku tahu artinya : berapa?).
Tapi aku enggan menanggapi dan dengan gerakan kepala menyuruhnya keluar.
dengan suara pelan hampir tak terdengar, “Maafkan kami. Kami tak bermaksud
begini...” Aku tak begitu memperhatikan. Kubukakan pintu untuk secara halus
menyuruhnya pergi.
Orang tua itu berbicara kepada pemuda beringas itu, sepertinya menyuruh
memberikan uang atau apa kepadaku, tapi pemuda itu hanya mengangkat bahu dan
pergi begitu saja. Kedua orang itu memandangku sejenak, seperti mengucap
terimakasih dengan wajah tak enak, kemudian berjalan pergi mengikuti pemuda itu.
Tentang pemuda beringas itu, masih lekat dalam ingatanku kejadian sebulan yang lalu.
Waktu itu dia membawa seorang anak yang terluka lengannya karena bermain
pisau. Lukanya mengalirkan darah, walau tidak seberapa parah, tapi anak itu meraung-
raung terus. Ketika akan menjahit luka itu, baru kuingat bahwa alat-alatnya belum
disterilkan. Kututup luka itu dengan kasa steril dan kutinggalkan ke dapur untuk
merebus dahulu alat-alat bedah minorku. Tiba-tiba pemuda itu menerobos masuk ke
dapur, membentak dan menarik kerah bajuku. Ia bilang aku lambat melayani anaknya
Terlalu. Kali ini tak akan kubiarkan, aku mengutuk dalam hati.
***
Pagi hari, aku bergegas hendak melapor ke Mapolsek, tapi kemudian kuputuskan
untuk lebih dulu menemui kepala desa setempat. Mendengar kejadian itu, seperti
yang kuduga, kepala desa mencegahku untuk lapor polisi. Ia berjanji akan
menyelesaikannya secara adat. Aku pun melunak, tapi memberinya batas waktu 1 x 24
Hingga siang hari belum ada kabar dari kepala desa. Rasa kesal, marah, dan
24 jam. Ketika hampir jam sembilan malam tak juga ada kabar apapun, aku kehilangan
kepercayaan pada kepala desa itu. Melihat beringasnya pemuda itu, kuragukan bahwa
Ketika aku baru saja mengunci pintu setelah pasien terakhir yang kulayani
pulang, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu. Kuintip dari jendela (yang masih
bolong) ternyata kepala desa bersama bapak tua yang kemarin sakit itu.
Kepala desa itu menarik nafas panjang sebelum mulai berbicara. “Saya sedang
“Sakit? Sakit apa? Kemarin dia sehat-sehat saja waktu melempari rumahku.
Bapak lihat sendiri akibatnya...” kataku sambil menunjuk jendela yang tak berkaca lagi.
“Ya saya tahu... tapi sejak tadi pagi katanya dia sakit perut. Sekarang makin parah
“Sakit atau pura-pura sakit? Apa dia takut akan diperkarakan ke polisi?”
“Saya tidak tahu Pak Dokter, tapi saya pegang badannya memang panas sekali,
dan sekarang tak bisa diajak bicara lagi, malah meracau seperti orang kesurupan.”
“Lalu?”
“Ya.. justru saya datang sekarang ini mewakili keluarganya untuk minta maaf
Dan kemarin.. lebih buruk lagi, ia merusak rumahku ketika akan minta tolong untuk
mengobati bapaknya. Apakah saya bukan manusia yang tak bisa merasa sakit hati?
Berani-beraninya sekarang minta tolong lagi sedangkan kemarahan dalam hati saya
belum hilang. Saya tidak yakin bisa bertindak profesional dengan beban perasaan
seperti ini!”
Bapak tua disampingnya hanya menunduk, meneteskan air mata, tidak berkata
sepatahpun. Akhirnya mereka pun mohon diri setelah jelas tak ada lagi yang bisa
dibicarakan denganku.
“Mengapa dibuang kesempatan yang begitu bagus?” Aku kaget mendengar suara
istriku yang tiba-tiba menyela dari balik tirai, ketika aku masih termangu memandang
orang... tapi bisakah membuktikan bahwa semua atas dasar keikhlasan? Banyak alasan
untuk menolong: karena uang, karena kasihan, karena tugas, karena menyukai
“Terus?”
“Saat kita harus menolong orang yang kita benci, saat itu kita tidak punya alasan
lain untuk menolong selain keikhlasan. Kelak saat Ayah berdoa, maka Ayahbisa dengan
bangga menyebut di hadapan Allah bahwa Ayah pernah menolong seseorang dengan
Aku tercenung. Tak ada kata-kata lain lagi terdengar dari balik tirai. Apa yang
baru saja kudengar sudah jelas maknanya, tidak perlu penjelasan lain lagi. Kumasukkan
alat-alat medisku ke dalam tas kecil yang biasa kubawa kala mengunjungi pasien di
menasehati diriku sendiri bahwa Dia sedang menyaksikan apa yang akan kulakukan.