Anda di halaman 1dari 8

KACA PECAH

Karya: Nicholas Kresna Wijaya

Jam satu malam lewat lima menit.

Kelopak mataku terasa berat. Rasa penat menggelayuti seluruh tubuh. Muka dan

sekujur badan terasa lengket oleh peluh yang mengering. Sejak enam bulan lalu

bertugas sebagai dokter Puskesmas di wilayah agak terpencil ini, hari ini adalah hari

paling melelahkan bagiku.

Bagaimana tidak? Setelah kemarin semalaman lembur mengerjakan laporan,

paginya menyetir sendiri mobil Puskesmas Keliling yang reyot itu ke ibukota kabupaten

sejauh 100 km, dilanjutkan rapat sampai siang di kantor dinas kesehatan. Dalam

perjalanan pulang, roda belakang mobil terperosok ke jalan berlumpur, terpaksa jalan

kaki ke desa terdekat mencari bantuan. Petang hari sampai di rumah, belasan pasien

sudah menunggu untuk dilayani. Baru saja selesai, jam sembilan malam, bidan desa

melaporkan ada ibu yang kejang-kejang. Terpaksa harus dibawa ke rumah sakit

kabupaten, dengan mobil yang sama, yang lagi-lagi mogok dalam perjalanan pulang.

Ternyata tangki BBMnya bocor. Hadeww... capeknya! Sesampainya di rumah aku

langsung menghempaskan diri ke atas ranjang.

Seperti disedot ke dalam pusaran sumur ketiadaan yang dalam... aku sempat

tidak ingat apa-apa lagi. Tiada mimpi. Tiada igauan. Hanya kehampaan yang melayang

semakin dalam. Tapi tiba-tiba ada sesuatu yang menahanku. Seperti kait terhujam ke
belakang otakku, kemudian dihelakan hingga terkerek naik ke permukaan. Kesadaran

yang semula kucampakkan, tiba-tiba kembali merengkuh dan memagutku.

“Ayah.. ayah.. aduuh susah sekali dibangunkan!” Lamat-lamat kudengar suara istriku.
“Bangunlah... orang itu menggedor-gedor pintu terus.”

Kemudian telingaku juga menangkap suara lain... brok! brok! brok! Suara pintu

depan digedor-gedor, disertai teriak orang memanggil. Sambil mengedip-ngedipkan

mata aku menggeliatkan badan. Berat sekali rasanya untuk bangun. Aku beranjak

duduk di tepi ranjang, berusaha mengumpulkan kesadaranku kembali. Suara gedoran

di pintu semakin keras.

Ketika kesadaranku baru mulai terasa penuh, suara gedoran pintu itu malah berhenti.
Hening sejurus... tiba-tiba dhuarr!! krompyanggg!!

Aku tersentak kaget. Istriku pun demikian. Kesadaranku langsung kembali 100%.

Aku bergegas ke ke arah suara itu berasal. Di ruang depan, ruang tamu yang sekaligus

dijadikan ruang praktek, kudapati kaca jendela telah hancur, pecahannya berserakan di

lantai. Sebuah batu sebesar bola tenis tergeletak di meja. Ada bekas benturan di

dinding, menandakan batu itu memantul di dinding sebelum jatuh ke atas meja.

Terlihat melalui kaca jendela yang pecah, tiga orang laki-laki berdiri di depan rumah.

Kubuka pintu dan keluar. “Ada apa ini?” sergahku.

Salah seorang yang termuda dan badannya paling besar, berjalan mendekat dengan

telunjuk terangkat menudingku. “Bangsat kau! Orang sudah mampus baru kau buka

pintu!”

“Apa maksudmu?” suaraku gemetar karena menahan geram.


“Masih nanya lagi... Lihat nih, bapakku dari pagi mencret belum juga diobati. Pagi

tadi ke sini kau tidak ada. Sore ke sini masih belum ada. Sampai sekarang dipanggil

nggak keluar-keluar.” sahut orang itu.

“Ya Allah, Pak. Pagi tadi kan saya rapat dinas di kabupaten. Sorenya mana ada

bapak ke sini?! Kalau sakit dari pagi kenapa tidak ke Puskesmas saja, kan ada petugas

lain walaupun saya tidak ada?!”

“Heh, banyak alasan pula!” orang itu membentak. “Apa gunanya dokter di sini?

Tiap kali orang sakit kau tak pernah ada. Tahu ndak kamu.. aku ini ketua (menyebut

sebuah nama LSM) di sini.”

“Aku tidak ada urusan dengan (kusebut nama LSM itu). Aku kerja bukan kamu

yang menggaji. Lagipula tugasku bukan hanya mengobati orang, banyak pekerjaan lain

dibebankan pemerintah padaku.”

“Enak aja kau ngomong... Kau ini digaji dengan uang rakyat. Kamilah rakyat!

Kamilah tuanmu di sini! Bupati saja takut dengan kami. Lihat besok, kudatangkan

seribu orang, kululuhlantakkan tempat ini!”

Pertengkaran pun memanas dan sepertinya bisa berujung kekerasan. Orang itu

sudah siap melayangkan tinjunya. Tiba-tiba ada yang menarik bajuku dari belakang.

Aku menoleh, ternyata istriku.

“Sudahlah,” katanya setengah berbisik. “Tengah malam begini, tak ada gunanya

bertengkar, membahayakan dirimu sendiri.”


“Hai Pak...” tiba-tiba istriku menyela dari balik punggungku. Ia menyapa kedua

orang lain yang dari tadi hanya termangu. “Apakah kalian datang ke sini hanya untuk

bertengkar? Siapa sebenarnya yang sakit?”

“Eh ya.. anu Bu, ini paman saya... sakit perut.” kata yang seorang menunjuk orang

tua di sebelahnya.

“Yang sakit masuklah!” istriku melambaikan tangan. Semula bapak tua itu ragu-

ragu, tapi kemudian masuk juga ke dalam rumah. Pemuda yang beringas itu terdiam

saja melihatnya.

“Periksalah dulu!” bisik istriku lagi sambil menarik tanganku. “Urusan lain bisa

ditunda besok pagi.”

Walaupun hatiku masih panas, tapi akhirnya kuturuti juga perkataan istriku untuk

memeriksa bapak tua itu. Nada bicaraku agak lain saat menanyainya tentang sakit yang

dideritanya, pendek-pendek dan tidak ramah seperti biasanya. Juga saat memegang

jarum suntik dan menghisap obat dari ampulnya, kelihatan tanganku masih gemetar

karena hati yang menahan amarah. Saat kuberikan obat-obat yang harus diminumnya

di rumah, wajahnya menatapku (dengan air muka yang aku tahu artinya : berapa?).

Tapi aku enggan menanggapi dan dengan gerakan kepala menyuruhnya keluar.

Di dekat pintu orang itu memegang tanganku, seraya mengatakan sesuatu

dengan suara pelan hampir tak terdengar, “Maafkan kami. Kami tak bermaksud

begini...” Aku tak begitu memperhatikan. Kubukakan pintu untuk secara halus

menyuruhnya pergi.
Orang tua itu berbicara kepada pemuda beringas itu, sepertinya menyuruh

memberikan uang atau apa kepadaku, tapi pemuda itu hanya mengangkat bahu dan

pergi begitu saja. Kedua orang itu memandangku sejenak, seperti mengucap

terimakasih dengan wajah tak enak, kemudian berjalan pergi mengikuti pemuda itu.

“Kali ini takkan kubiarkan dia lolos begitu saja,”

“Terserah, apapun... lakukanlah besok pagi, sekarang tidurlah!” ujar istriku.

Tentang pemuda beringas itu, masih lekat dalam ingatanku kejadian sebulan yang lalu.

Waktu itu dia membawa seorang anak yang terluka lengannya karena bermain

pisau. Lukanya mengalirkan darah, walau tidak seberapa parah, tapi anak itu meraung-

raung terus. Ketika akan menjahit luka itu, baru kuingat bahwa alat-alatnya belum

disterilkan. Kututup luka itu dengan kasa steril dan kutinggalkan ke dapur untuk

merebus dahulu alat-alat bedah minorku. Tiba-tiba pemuda itu menerobos masuk ke

dapur, membentak dan menarik kerah bajuku. Ia bilang aku lambat melayani anaknya

sampai hampir mati kehabisan darah.

Terlalu. Kali ini tak akan kubiarkan, aku mengutuk dalam hati.
***
Pagi hari, aku bergegas hendak melapor ke Mapolsek, tapi kemudian kuputuskan

untuk lebih dulu menemui kepala desa setempat. Mendengar kejadian itu, seperti

yang kuduga, kepala desa mencegahku untuk lapor polisi. Ia berjanji akan

menyelesaikannya secara adat. Aku pun melunak, tapi memberinya batas waktu 1 x 24

jam untuk segera bertindak.

Hingga siang hari belum ada kabar dari kepala desa. Rasa kesal, marah, dan

dendam kembali mengusikku. Hampir aku memutuskan untuk langsung ke kantor


polisi saja, tapi istriku mengingatkan bahwa aku sudah berjanji untuk memberi waktu

24 jam. Ketika hampir jam sembilan malam tak juga ada kabar apapun, aku kehilangan

kepercayaan pada kepala desa itu. Melihat beringasnya pemuda itu, kuragukan bahwa

cara “kekeluargaan” akan bisa menjinakkannya.

Ketika aku baru saja mengunci pintu setelah pasien terakhir yang kulayani

pulang, tiba-tiba ada orang yang mengetuk pintu. Kuintip dari jendela (yang masih

bolong) ternyata kepala desa bersama bapak tua yang kemarin sakit itu.

“Jadi bagaimana kelanjutannya Pak?” tanyaku begitu mereka kupersilahkan

masuk dan kami duduk bersama di ruang tamu.

Kepala desa itu menarik nafas panjang sebelum mulai berbicara. “Saya sedang

berusaha menyelesaikan masalah ini, Pak Dokter. Tapi masalahnya pelaku

pengrusakan yang Anda laporkan ini sedang sakit...”

“Sakit? Sakit apa? Kemarin dia sehat-sehat saja waktu melempari rumahku.

Bapak lihat sendiri akibatnya...” kataku sambil menunjuk jendela yang tak berkaca lagi.

“Ya saya tahu... tapi sejak tadi pagi katanya dia sakit perut. Sekarang makin parah

hingga tak bisa berdiri lagi.”

“Sakit atau pura-pura sakit? Apa dia takut akan diperkarakan ke polisi?”

“Saya tidak tahu Pak Dokter, tapi saya pegang badannya memang panas sekali,

dan sekarang tak bisa diajak bicara lagi, malah meracau seperti orang kesurupan.”

“Lalu?”
“Ya.. justru saya datang sekarang ini mewakili keluarganya untuk minta maaf

sekaligus minta tolong Pak Dokter untuk mengobatinya.”


“Apa? Orang ini sudah bersikap kasar ketika pertama kali aku menolong anaknya.

Dan kemarin.. lebih buruk lagi, ia merusak rumahku ketika akan minta tolong untuk

mengobati bapaknya. Apakah saya bukan manusia yang tak bisa merasa sakit hati?

Berani-beraninya sekarang minta tolong lagi sedangkan kemarahan dalam hati saya

belum hilang. Saya tidak yakin bisa bertindak profesional dengan beban perasaan

seperti ini!”

Kepala desa hanya mengangguk-angguk sambil sesekali menarik nafas panjang.

Bapak tua disampingnya hanya menunduk, meneteskan air mata, tidak berkata

sepatahpun. Akhirnya mereka pun mohon diri setelah jelas tak ada lagi yang bisa

dibicarakan denganku.

“Mengapa dibuang kesempatan yang begitu bagus?” Aku kaget mendengar suara

istriku yang tiba-tiba menyela dari balik tirai, ketika aku masih termangu memandang

kepergian kedua orang itu.

“Kesempatan? Apa maksudmu?”

“Kesempatan untuk membuktikan keikhlasan. Selama ini Ayah banyak menolong

orang... tapi bisakah membuktikan bahwa semua atas dasar keikhlasan? Banyak alasan

untuk menolong: karena uang, karena kasihan, karena tugas, karena menyukai

seseorang, karena ingin dapat pujian... banyak lagi alasan lain.”

“Terus?”
“Saat kita harus menolong orang yang kita benci, saat itu kita tidak punya alasan

lain untuk menolong selain keikhlasan. Kelak saat Ayah berdoa, maka Ayahbisa dengan
bangga menyebut di hadapan Allah bahwa Ayah pernah menolong seseorang dengan

tanpa alasan lain selain ikhlas semata.”

Aku tercenung. Tak ada kata-kata lain lagi terdengar dari balik tirai. Apa yang

baru saja kudengar sudah jelas maknanya, tidak perlu penjelasan lain lagi. Kumasukkan

alat-alat medisku ke dalam tas kecil yang biasa kubawa kala mengunjungi pasien di

rumahnya. Saat keluar rumah, kusempatkan memandang ke langit sebentar,

menasehati diriku sendiri bahwa Dia sedang menyaksikan apa yang akan kulakukan.

Dengan langkah-langkah ringan aku berjalan, ke rumah pemecah kaca itu.

Anda mungkin juga menyukai