Anda di halaman 1dari 15

DOKTER

KARYA PUTU WIJAYA

Banyak yang tidak bisa diatasi oleh ilmu kedokteran. Bagaimana pembuahan di luar rahim,
dalam bayi tabung, dipastikan akan menumbuhkan janin ketika dicangkok ke rahim ibu? Virus
influenza, HIV, flue burung sampai sekarang masih dicari obatnya. Di luar itu masih ada musuh
bayangan yang ampuh: dukun.

Seperti kata Dokter John Manansang yang malang-melintang di belantara Boven Digul,
masyarakat pedalaman cenderung menunda pergi ke dokter, karena lebih dulu mau konsultasi
ke dukun.

Kalau yang sakit sudah sekarat, baru dibawa ke Puskesmas. Biasanya pasien parah langsung
diinfus, sehingga ketika maut tiba, masyarakat cenderung melihan jarum infuslah yang sudah
membunuh. Sulit menjelaskan kalau sudah ajal, tanpa diinfus atau tidur di hotel bintang lima,
manusia tetap mati.

Pada suatu malam, saya dijemput untuk mengobati orang yang menurut dukun dapat kiriman
ular berbisa dalam perutnya. Ketika sampai di Puskesmas, saya lihat tubuh orang itu sudah
kaku. Dia pasti sudah meninggal di rumahnya. Tetapi keluarganya memaksa saya untuk
mengeluarkan ular itu.

“Pak Dokter harus tolong kami. Dia itu kepala keluarga. Hidup-mati kami tergantung pada
dia!”

“Tapi sudah terlambat.”

“Terlambat bagaimana, kami sudah bawa ke mari pakai taksi! Uang kami sudah banyak
keluar!”

“Tapi sebelum dibawa ke mari nampaknya dia sudah tidak ada!”

“Itu tidak mungkin! Setiap hari lima orang dukun kami bergantian menjaga dia Tidak mungkin
roh jahat itu bisa masuk lagi. Pak Dokter mesti keluarkan ular itu dari perutnya!”

“Kalau toh itu benar ada ular dikirim ke perutnya, tidak ada gunanya, sebab orangnya sudah
meninggal.”

“Makanya keluarkan ular itu cepat, Pak Dokter jangan ngomong terus!”

“Kami memang miskin, tidak bisa bayar, tapi ini kewajiban Dokter mesti tolong kita punya
kepala keluarga!”

“Jangan bikin kami tambah susah Dokter! Mentang-mentang kami orang kecil!”
“Cepat bertindak!”

Saya disumpah untuk menjalankan praktek sesuai dengan ethik kedokteran. Tetapi di dalam
hutan, itu tidak berlaku. Saya bisa dibunuh kalau tidak melakukan apa yang mereka minta,
karena saya dokter, saya dianggap wajib bisa menyembuhkan orang sakit.

Disaksikan keluarganya, saya bedah mayat itu. Saya buktikan tidak ada ular di perutnya seperti
kata dukun. Dia mati karena kurang gizi dan salah menegak ramu-ramuan dukun. Tetapi
meskipun sudah melihat kenyataan dengan mata kepalanya sendiri, keluarganya tidak percaya.
Mereka malah menuduh saya yang sudah terlambat bertindak.

“Kalau pak Dokter langsung bertindak tadi, tidak akan terlambat.”

“Terlambat bagaimana?!”

“Kata dukun, ular itu sudah masuk ke dalam tulang-sumsumnya bersatu dengan darah. Di bawa
ke China pun dia akan tetap mati, apalagi hanya ke Puskesmas yang fasilitasnya brengsek ini.
Dokter tidak bertanggungjawab!”

“Dokter harus bertindak!”

“Bertindak bagaimana lagi? Paling banter saya bisa menulis surat kematian pasien supaya bisa
dibawa pulang!”

“Tidak bisa! Kita tidak bisa bawa dia pulang dalam keadaan sudah jadi mayat. Dia harus terus
hidup! Dia kita bawa ke mari untuk maksud supaya dia bisa sembuh. Masak Dokter mau kirim
lagi dia pulang supaya jadi mayat. Kasihan keluarganya, Dokter! Dia itu andalan hidup
keluarganya, tahu?! Dia tidak boleh mati!”

“Tapi ajal itu di tangan Tuhan, kita hanya bisa berusaha!”

“Makanya kau harus berusaha terus Dokter!”

“Berusaha bagaimana lagi?”

“Panggil! Kejar sekarang!”

“Kejar ke mana?”

“Ayo kejar! Kata dukun dia belum jauh. Paling berapa kilometer. Kalau Dokter cepat
bertindak, tidak cuma ngobrol, dia pasri bisa disusul!”

“Disusul?”
“Ah, kau lambat sekali. Beta bilang kejar! Kejar!”

Mereka mendorong saya masuk ke dalam kamar, memaksa saya menarik orang mati itu
kembali dari kematiannya. Mereka bahkan bilang siap membantu saya dengan senjata kalau
nantinya harus berkelahi.

“Kami bisa panggil kawan-kawan yang lain sekarang untuk bantu. Kami juga punya saudara
yang jadi perwira militer. Kita bisa pinjam senjata kalau memang perlu, asal habis jam kantor!”

“Ayo Pak Dokter, jangan terlalu banyak diskusi, nanti terlambat lagi! Kau ini dokter atau
mantri?!”

Saya terpaksa kembali ke dekat mayat itu. Sepanjang malam mereka berjaga di sekitar
Puskesmas dengan segala macam senjata siap tempur. Ada yang menangis, berdoa dan
menyanyi. Dukun pun terus menjalankan upacara, mengeluarkan jampi-jampi agar roh yang
mereka anggap sudah diculik suku lain itu pulang.

Saya bingung. Saya duduk di sisi mayat kehabisan akal. Apa yang harus saya lakukan untuk
keluar dari persoalan yang tidak menyangkut bidang kedokteran itu. Saya tidak mengerti
kehidupan di alam gaib. Akhirnya saya tertidur juga karena terlalu capek.

Pagi-pagi pintu digedor. Orang-orang itu berteriak-teriak tidak sabar, ingin tahu apa hasilnya.
Tubuh yang meninggal pun sudah mulai berbau. Wajahnya meringis kesakitan, seakan-akan
minta cepat-cepat dikuburkan. Waktu itu saya tidak berpikir lagi seperti seorang dokter
sebagaimana yang saya pelajari di kampus. Saya terpaksa menjadi dukun.

Saya rogoh saku, gaji yang saya hendak kirim ke rumah masih utuh. Lalu saya buka pintu.

“Bagaimana?”

“Tenang!”

“Tenang bagaimana? Kami tidak mau Dokter bilang sudah gagal!”

“Saya sudah berusaha..”

“Dan hasilnya?”

“Lumayan.”

“Ah, apa itu itu artinya lumayan, kita orang tidak suka! Itu bahasa orang birokrat yang suka
menipu. Bilang saja terus-terang, berhasil atau tidak?”
“Berhasil.”

Mereka tercengang.

“Jadi dia hidup lagi?”

“Bapak-bapak mau dia hidup lagi atau tidak?”

“Sudah pasti kita mau dia orang hidup lagi. Itu maka kita bawa dia ke mari!”

“Saya sudah mencoba.”

“Terus hasilnya?”

“Itu, ” kata saya menunjuk pada mayat.

Semuanya melihat melewati tubuh saya ke arah mayat itu. Saya berikan ruang agar mereka
lewat, tapi tidak ada yang mau. Bau mayat itu menyebabkan semuanya tertegun. Dukun sendiri
malah mundur selangkah.. Mereka semua nampak bimbang. Kebimbangan itu justru
membangkitkan keberanian saya. Saya mulai tahu apa yang harus dilakukan.

“Ayo!”

Orang-orang itu tambah ragu-ragu, tak percaya apa yang saya katakan. Tak percaya apa yang
sedang mereka lihat.

“Jadi dia hidup lagi?”

Saya mengangguk. Mereka curiga. Tapi tidak ada yang berani memeriksa..

“Kalau dia hidup mengapa tidak bergerak?”

“Dan mengapa bau?”

“Tadi dia sudah hidup, sekarang sedang tidur.”

“Tidur?”

“Ya.. Tidur untuk selamanya.”

“Apa?!!!!”
“Tapi dia meninggalkan pesan.”

“Pesan apaan!? Kita tidak perlu pesan, kita hanya mau supaya dia hidup lagi!!!”

Saya tidak peduli apa yang mereka katakan. Lalu saya mengulurkan amplop uang gaji itu.

“Kata dia sebelum tidur, berikan ini kepada istri, anak-anak dan keluargaku yang aku
tinggalkan. Sampaikan kepada mereka, tenang semua, biarkan aku istirahat sekarang, karena
aku sudah lelah sekali, puluhan tahun berjuang menghidupi keluarga, aku tidak sanggup lagi
bekerja!”

Orang-orang itu terdiam. Mereka hanya memandang amplop yang saya berikan. Tapi kemudian
dukun perlahan-lahan maju. Ia memperhatikan amplop yang saya tunjukkan. Diendus-
endusnya dari jauh. Setelah mengucapkan mantera lalu ia mengulurkan japit untuk
mengambilnya. Setelah merobek dan mengeluarkan isinya, ia menghitung. Bahkan sampai tiga
kali. Kemudian ia melihat kepada orang-orang itu, lantas membagikan uang sambil menahan
beberapa di tangannya.

Orang-orang itu menerima uang tanpa menanyakan apa-apa. Seakan-akan itu memang sudah
hak mereka. Setelah dukun mengeluarkan mantera, mereka lalu bergerak. Beberapa orang
menyanyi, yang lain menghampiri mayat, lalu membawa yang meninggal itu dengan tertib
keluar dari Puskesmas untuk dikuburkan.

Saya sama sekali tidak ingin mengatakan, bahwa saya sudah berhasil membeli kesedihan
mereka dengan uang. Tidak. Saya sama sekali tidak melihat persoalan itu dari kaca-mata orang
kota yang sinis. Apalagi jumlah yang saya berikan juga tidak banyak. Saya hanya mencoba
memahami itu sebagai akibat ulah saya yang berhasil berbicara, menyampaikan duka yang
amat berat bagi mereka itu, dengan bahasa yang mereka pahami.

“Barangkali mereka senang karena saya tidak menyalahkan dukun. Puas karena saya tidak
mencela mereka terlambat membawa sang sakit ke Puskesmas. Tidak melecehkan keberatan
atau protes mereka pada nasib, karena yang meninggal memang benar-benar dibutuhkan oleh
keluarganya sebagai tiang kehidupan. Mungkin juga mereka senang karena saya tidak
mengabaikan perasaan-perasaan mereka, karena saya tidak menganggap kebenaran kota
sayalah yang paling benar.”

Tapi setelah itu banyak perubahan yang terjadi. Saya jadi terseret ke dalam situasi yang
membuat saya lebih gagap. Saya ternyata sudah mengayunkan langkah ke dunia yang sama
sekali asing. Begitu kejeblos, saya langsung kelelap, lantaran saya sama sekali tidak siap.

Sejak itu saya sering diminta untuk mengobati mayat. Profesi saya sebagai dokter yang harus
berhadapan dengan orang yang mau bertahan hidup, berubah menjadi pengurus orang mati.
Walhasil saya sudah menyalahi sumpah. Berkhianat dan berdosa kepada almamater saya.
Tak jarang yang dibawa pada saya mayat dukun yang sebelum mati sudah berkali-kali wanti-
wanti agar nanti dibawa ke Puskesmas. Kalau saya tolak, bisa jadi konflik, karena saya sudah
terlanjur dipercaya. Saya sudah memulai dan membangun sesuatu, kalau saya runtuhkan lagi,
saya akan berhadapan dengan kekecewaan dan bukan tidak mungkin kekerasan.

Setiap kali mengobati mayat, saya tidak punya kiat lain kecuali saya harus merogoh saku,
mengeluarkan duit. Mengulur semacam pelipur, atau apa sajalah namanya, untuk mentolerir
duka yang tak bisa mereka elakkan. Akibatnya saya cepat sekali bangkrut.

Barang-barang saya jual satu per satu sampai saya kehilangan segala-galanya. Termasuk cincin
pemberian ibu saya. Sementara itu kondisi kesehatan di daerah terpencil tambah rawan.
Frekuensi orang mati terus saja bertambah dan semuanya dibawa ke Puskesmas, minta agar
saya mengobatinya.

Pernah saya sampai berpikir itu sudah sampai pada tingkat pemerasan. Saya tidak percaya
orang-orang pedalaman itu sesungguhnya sebodoh itu. Itu bukan kebodohan lagi tetapi justru
kecerdasan. Itu kiat yang dengan lihai menyembunyikan dirinya di balik keluguan. Strategi
“orang bodoh” untuk membunuh lawan pintar yang lebih kuasa dengan halus.

Pada suatu malam, muncul di Puskesmas mayat seorang kepala suku. Badannya penuh dengan
luka parang. Kepalanya sudah putus dari tubuhnya. Rombongan pengantarnya banyak sekali.
Hampir seluruh suku ikut mengarak memenuhi halaman Puskesmas

“Kami berkelahi mempertahankan kehormatan kami dari serangan suku buas., “kata putra
kepala suku, “Sebelum perang, Bapa sudah berpesan kalau terjadi apa-apa supaya dibawa ke
mari. Tolong hidupkan Bapa kami, Dokter, karena kalau sampai dia mati, berarti kami kalah
dan malu besar! Kami mempertaruhkan kehormatan seluruh warga kami!”

Saya termenung di depan mayat itu. Kepalanya bisa saya sambung, tapi ke mana saya cari ganti
nyawanya yang hilang? Para pejuang suku itu berjaga-jaga di sekitar Puskesmas dengan
senjata-senjata mereka. Banyak di antaranya yang terluka, tetapi mereka tidak peduli. Mereka
hanya ingin kepala sukunya kembali hidup supaya pertempuran bisa dilanjutkan.

Saya bingung. Tak ada duit sepeser pun lagi di kantong. Lebih dari itu, duit tak akan mungkin
dapat menyenangkan hati suku kaya yang merasa dipermalukan itu.

Saya benar-benar cemas. Saya kira karir saya sebagai dokter sudah tamat. Di samping itu akhir
hidup saya juga nampak sudah tiba. Mereka pasti akan kecewa sekali, karena saya memang
bukan dukun yang sebenarnya.

Perasaan berdosa yang sejak lama sudah menekan, sekarang menghajar saya. Saya sudah
berpura-pura jadi dukun, agar bisa nyambung dengan masyarakat, tetapi ternyata tidak cukup.
Saya dituntut menjadi dukun yang sebenarnya. Itu mustahil. Mestinya saya sudah cabut sejak
kasus pertama.
Semalam suntuk saya tidak bisa memejamkan mata. Subuh, pintu dibuka dan anak kepala suku
beserta seluruh prajurinya yang berang itu menatap saya.

“Berhasil Dokter?”

Tubuh saya gemetar.

“Jangan kecewakan kami Dokter!

Saya tidak berani menjawab.

“Kehormatan buat kami paling penting. Kami boleh kelaparan karena tidak dapat binatang
perburuan, boleh mati karena wabah penyakit, boleh kocar-kacir karena kebakaran, gempa,
banjir, longsor atau letusan gunung berapi, tapi jangan sampai kalah dan menanggung malu.

Bapa orang kebal yang selalu menang dalam pertempuran . Dia tidak boleh mati karena senjata
lawan. Kehormatan kami akan hilang selama-lamanya. Lebih baik kami musnah daripada
menanggung malu karena kalah!”

“Saya paham itu.”

“Kalau begitu hidupkan lagi Bapa.”

“Saya sudah berusaha.”

“Kami tidak mau hanya usaha. Kami mau ada hasil!”

“Tapi .. “.

“Kalau satu hari tidak cukup, kami bisa tunggu. Bila perlu sebulan atau setahun kami bisa
tunggu di sini, asal dia bisa hidup lagi. Bapa saya itu raja. Apa artinya orang-orang ini, kalau
Bapa tidak ada?”

“Ya itu saya juga mengerti sekali. Kapal tidak bisa jalan tanpa nakhoda!”

“Makanya hidupkan lagi Bapaku. Otaknya rusak juga tidak apa, asal hidup. Bapa saya itu
lambang. Kami semua ada karena dia hidup. Kalau dia mati, kami semua akan mati. Apa
Dokter perlu nyawa pengganti?”

“Apa?”
“Sepuluh bahkan seratus orang dari kami sekarang juga mau menyerahkan nyawanya asal bisa
menggantikan nyawa Bapa. Hidupkan dia sekarang Dokter!”

“Darah tumpah itu bisa diganti dengan tranfusi, tapi nyawa tidak mungkin.”

“Tapi kau Dokter kan?!”

“Betul.”

“Orang-orang lain mati sudah kau hidupkan, kenapa bapa kami tidak? Apa bedanya? Bapaku
itu selalu cinta perdamaian. Dia cinta kami semua. Dia selalu menyanyikan lagu kebangsaan
dan memimpin upacara bendera, tidak seperti orang-orang lain yang pura-pura saja cinta
supaya dapat uang dari negara, tapi cintanya palsu. Kenapa orang yang berjuang seperti Bapa
dibiarkan mati? Ayo Dokter!”

Saya tidak sanggup menjawab.

“Dokter mau biarkan aku punya Bapa mati?”

“Tidak.”

“Kalau begitu hidupkan dia sebab dia sangat mencintai negara! Mengapa orang-orang yang
tidak mencintai negara dibiarkan hidup tapi Bapaku yang berjuang untuk negara tidak? Tolong
Dokter!”

“Beliau sekarang akan meneruskan perjuangan dari dunia maya, supaya musuh dapat
diberantas.”

Anak kepala suku itu kaget.

“Maksud Dokter Bapaku mati?”

Saya tidak mampu menjawab. Anak kepala suku itu sangat kcewa. Mukanya langsung keruh.
Semua pengikutnya marah lalu berteriak-teriak histeris. Mereka melolong seperti binatang liar.
Saya ketakutan. Para prajurit itu mengangkat senjata seperti hendak mencencang apa saja yang
ada di Puskesmas. Semua pegawai meloncat lari menyelamatkan diri.

Karena bingung saya mundur menghampiri meja. Dengan panik, di belakang punggung tangan
saya meraba-raba mencari sesuatu untuk bertahan. Kalau saya harus mati, saya tidak mau mati
terlalu konyol. Kalau kalah, kalahlah dengan indah dan gagah, pesan orang tua saya waktu
kecil.
Harapan saya ada gunting, pisau atau barang tajam lainnya, tidak terkabul. Di laci, tangan saya
hanya menemukan copotan besi bendera mobil yang dikibarkan pada peringatan hari
kemerdekaan. Saya genggam besi itu, lalu mencoba mengambil posisi bertahan. Saya bukan
lagi dokter, saya penakut yang tiba-tiba begitu mencintai hidup walau betapa pun brengseknya.
.

“Diam!!!!” teriak anak kepala suku itu dengan suara menggeledek.

Teriakannya membuat semua terdiam. Saya gemetar. Besi bendera itu terlepas, tetapi cepat
saya gapai lagi, itulah satu-satunya pegangan saya. Anak kepala suku itu menghampiri saya,
hangat nafasnya membuat saya tersiraf.

“Jangan tembak!!!”

Dengan gemetar saya tunjukkan tiang bendera itu.

Anak Kepala Suku tertegun. Ia memperhatikan tiang bendera yang berisi merah-putih kecil
yang sudah kumal. Tiba-tiba saya melihat peluang. Lalau entah darimana datangnya
keberanian, saya berbisik.

“Pahlawan tidak pernah mati. Semangat berjuang tidak bisa mati!”

Pemuda itu terpesona. Ia seakan-akan terpukul oleh suara saya. Orang-orang lain pun tegang.
Mereka memandang kami dengan mata mencorong. Lutut saya tambah lemas. Saya tak
sanggup lagi bicara. Apa pun yang akan terjadi, saya menyerah.

Anak kepala suku itu menggapai tiang bendera. Saya kira sebentar lagi dia akan
menusukkannya ke dada saya. Tapi ajaib, tidak. Pangeran itu memandang bendera kecil itu
dengan takjub, lalu ia menunjukkan kepada teman-temannya.

“Semangat berjuang hidup terus tidak bisa mati!” serunya.

Sedetik hening. Tetapi kemudian semua meledak, bersorak gegap-gempita. Kemudian dengan
khusuk mereka mengusung jasad almarhum dibawa ke desa mereka untuk dikebumikan.

Sejak itu bukan orang mati, tetapi orang yang tidak mau mati yang datang ke Puskesmas.
Mereka tidak hanya mencari obat, tetapi terutama kasih-sayang. Kalau pun kemudian karena
sudah ajal, ada orang sakit yang mati, tapi Puskesmas tidak pernah lagi dianggap sebagai
pembunuh. Saya sendiri tidak peduli lagi apakah saya masih seorang dokter atau sudah jadi
dukun, saya hanya ingin mencintai saudara-saudara saya itu.
ROBOHNYA SURAU KAMI
Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang
bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah
Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah
ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya
ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.

Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di
sana dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia
sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.

Sebagai penajag surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang
dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil
pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id
kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau.
Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya,
sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong
mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang
minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering
diterimanya ialah ucapan terima kasih dan sedikit senyum.

Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau
itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain,
memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering
suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu
kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat
anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang
terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak
di jaga lagi. Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat
disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.

Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku,
karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia
duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan,
seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi
minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar
kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak
disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan
aku tanya Kakek,
“Pisau siapa, Kek?”
“Ajo Sidi.”
“Ajo Sidi?”
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak
ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa
mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi
karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah
karena semua pelakupelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan
ceritanya menjadi pameo akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang
cocok dengan watak pelakupelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat
seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan
seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatang Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo
Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku
ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. “Apa ceritanya, Kek?”
“Siapa?”
“Ajo Sidi.”
“Kurang ajar dia,” Kakek menjawab.
“Kenapa?”
“Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya.”
“Kakek marah?”
“Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah
lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak
karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah
begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar
dan tawakal.”
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi
Kakek, “Bagaimana katanya, Kek?”

Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-
ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, “Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku
sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan?
Terkutukkah
perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?”

Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka
mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
“Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti
orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala
kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah
aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan
manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu?
Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari
esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang
tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari
tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku
baca Kitab-Nya.
Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku
terkejut.Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku
dikatakan manusia terkutuk.”
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, “Ia katakan Kakek begitu,
Kek?”
“Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya.”
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku
mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku
nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
“Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-
orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka
tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah
dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seirang yang di
dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin
akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil
membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang
masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang
masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu
nanti’. Bagai tak habishabisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka,
bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah
Tuhan. Lalu
Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-
nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku
juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia
insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya.
Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus
dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba
menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya
mengalir, diisap kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan
Penyayang, Adil dan Mahatahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan
diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya
dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun
bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti
kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan ia
percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia
terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya,
karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri.
Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh
pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya.
Tapi sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat
beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita
dimasukkan-Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang
ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam
kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin
gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita
berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara
menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang
menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar.
Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling
taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji
kebesaran- Mu,mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di
luar kepala kami.Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang
Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka
sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-
Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ke surga sebagaimana yang
Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang
lainnya,
bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak.
Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka
sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil
tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi
kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka
hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua.
Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan
engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau
negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak
mengeluarkan peluh, tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya
beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak.
Kamu semua mesti masuk neraka. hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka.
Letakkan di keraknya!”
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan
yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di
kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya
saja pada
malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut
masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu
sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir
selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia
berkaum, bersaudara semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek. Dan
besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
“Siapa yang meninggal?” tanyaku kagut.
“Kakek.”
“Kakek?”
“Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia
menggoroh lehernya dengan pisau cukur.”
“Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara,” kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang
tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
“Ia sudah pergi,” jawab istri Ajo Sidi.
“Tidak ia tahu Kakek meninggal?”
“Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis.”
“Dan sekarang,” tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan
Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, “dan sekarang kemana dia?”
“Kerja.”
“Kerja?” tanyaku mengulangi hampa.
“Ya, dia pergi kerja.”
—the end—

Anda mungkin juga menyukai