Anda di halaman 1dari 3

Kematian yang Indah

Dokter yang telah menjadi sahabatku sejak kecil itu lekas datang. Setelah
memeriksa keadaanku, ia bilang aku tidak mati.

Pagi itu mendadak gaduh gara-gara tubuhku didapati terbujur kaku di atas tempat tidur. Seisi
rumah panik. Mereka mengira telah terjadi sesuatu yang buruk pada diriku. Namun, agaknya
mereka tidak yakin kalau aku sudah mati. Karena itu mereka buru-buru memanggil dokter
yang tinggal tidak jauh dari rumah.

Dokter yang telah menjadi sahabatku sejak kecil itu lekas datang. Setelah memeriksa
keadaanku, ia bilang aku tidak mati. Sialnya, ia minta keluargaku segera membawaku ke
rumah sakit. Sial kukatakan karena aku paling tidak suka rumah sakit. Tempat itu sudah jadi
momok bagiku sejak aku mengalami hal yang sangat tidak menyenangkan ketika dirawat di
sana beberapa waktu yang lalu. Itu membuatku acap mengeluh dan bahkan tidak jarang
mengatakan lebih baik mati saja.

Aku tahu kalau kemudian ada segelintir orang menganggapku tidak waras. Mereka bilang
aku sudah kelewat akrab dengan kematian. Mereka tidak bisa disalahkan. Belakangan aku
memang getol bicara tentang kematian pada setiap kesempatan. Pernah kukatakan bahwa aku
sudah siap untuk mati dan aku menginginkan, kalau mungkin, kematian yang indah dan tak
terduga seperti kematian Lahiri Mahasaya. Dalam Autobiography of a Yogi Paramahansa
Yogananda mengungkapkan, yogi yang adalah guru dari gurunya itu mengakhiri hidupnya
dengan penuh kesadaran dalam posisi duduk bersila beberapa menit setelah selesai
memberikan ceramah.

Aku tidak ingin kematian yang begitu lamban sebagaimana dikeluhkan Arie Smith dalam
ePilog-nya Putu Fajar Arcana. Tidak beda dengan pelukis Belanda yang tutup usia di Bali itu,
aku juga mengharapkan kematian yang tidak lamban biar tidak terlalu membebani keluarga
yang kutinggalkan.

Untuk itu mesti kusiapkan uang secukupnya. Aku tidak ingin keluarga yang kutinggalkan
sampai berutang setelah kematianku. Asal tahu saja, orang Bali seperti diriku membutuhkan
biaya kematian yang hampir setara dengan biaya hidup untuk beberapa bulan. Tentu beda
dengan orang berada yang bisa menghabiskan uang yang dapat membiayai hidup bertahun-
tahun.

Mungkin ada yang bertanya, tidakkah aku takut menghadapi kematian? Dulu pernah. Saking
takutnya aku bahkan berharap dapat hidup selama mungkin alih-alih hanya ingin hidup seribu
tahun lagi seperti Chairil Anwar. Akan tetapi, sejak menyandang sebutan manusia lanjut usia
dan menyadari diri tidak cukup berguna lagi bagi orang lain, maka kematian mulai menjadi
bagian dari cita-cita. Menjadi peristiwa yang ditunggu-tunggu dengan penuh harapan, apalagi
setelah mengetahui bahwa kematian bukanlah akhir dari segalanya.

Aku telah membaca beberapa kitab yang membuatku tahu dan percaya bahwa kehidupan dan
kematian itu bagian dari siklus dari tiada ke ada dan dari ada ke tiada. Demikian terus
berproses menuju kesempurnaan. Beberapa sistem kepercayaan menyebutnya tumimbal lahir.
Dan bila kelak aku dilahirkan kembali di planet bernama Bumi ini, aku berharap akan
menjalani kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya.

Aku ingin menjadi orang yang lebih bermartabat. Menjadi orang yang berjiwa besar dalam
menghadapi segala tantangan hidup. Menjadi orang yang dicintai banyak orang meski tetap
dinyinyiri orang-orang iri hati. Tidak gampang marah dan memperlakukan bawahan
seenaknya jika aku punya kekuasaan. Tidak seenaknya membunuh orang yang mengetahui
rahasiaku, dan seterusnya. Pendeknya, aku ingin menjadi orang yang mendekati sempurna.

Sayangnya tidak ada yang dapat menjamin semua keinginan mulia itu akan bisa terwujud.
Tidak usah muluk-muluk dan tidak usah terlalu jauh. Merealisasikan keinginan untuk mati
saja, seperti saat ini, tidaklah gampang. Tetapi aku tidak boleh menyerah. Cita-cita harus
terus diperjuangkan.

Agaknya ada yang salah dengan upaya yang telah kulakukan. Sepertinya kepasrahanku dalam
menerima kematian belum total. Dengan kata lain masih ada bagian dari diriku yang masih
menginginkan kehidupan. Jika konflik seperti ini masih ada, bagaimana upayaku bisa
membuahkan hasil?

Upaya pertama yang langsung berhasil memang jarang ada. Maka dari itu aku tidak akan
membiarkan kegagalan membuat langkahku surut. Seperti orang-orang sukses di bidang apa
pun, aku juga harus percaya bahwa setiap kegagalan adalah anak tangga menuju
keberhasilan. Seperti orang jatuh yang bangkit kembali, aku harus melakukan yang lebih baik
dari sebelumnya.

Tidak masalah jika kematianku tidak seindah kematian Lahiri Mahasaya. Toh aku bukan
beliau yang dengan sesuka hati dapat menghentikan napas dan denyut jantung. Mati sebagai
orang Bali dengan cara yang kupilih sudah begitu indah bagiku.

Bukankah mati sebagai orang Bali saja sudah indah? Itu keindahan. Keindahan yang tercipta
dari penyelenggaraan upacara ngaben yang berbalut seni budaya unik sehingga menjadi
tontonan para turis. Di tempat lain, kematian seseorang pada umumnya merupakan peristiwa
duka yang patut diratapi, tetapi ini beda. Malah dirayakan. Makanya tidak perlu heran kalau
almarhum mantan Menteri Parwisata, Pos dan Telekomunikasi Joop Ave berpesan sebelum
wafat agar upacara kematiannya diselenggarakan di Bali.

Agar aku tidak dibawa ke rumah sakit, harus kutunjukkan kepada keluargaku bahwa aku
baik-baik saja. Maka perlahan kubuka mata dan kuregangkan tubuh mirip kucing sedang
menggeliat, tak peduli apa pun reaksi mereka.
Kubiarkan hidupku mengalir sebagaimana biasa sebelum kuputuskan mempraktekkan lagi
cara meraih kematian yang telah menjadi obsesiku. Kupilih malam hari saat orang-orang
sudah lelap dibuai mimpi agar tidak ada yang mengganggu.

Perlahan kubaringkan tubuh di atas tempat tidur. Tanganku terjulur lurus di sisi kanan dan
kiri tubuh meniru postur yoga yang disebut savasana. Napas yang masuk dan keluar kuatur
sehalus mungkin sambil merapal mantra yang dirahasiakan para guru.

Kubayangkan kondisi santai mulai mengalir dari ujung-ujung jemari kaki, terus perlahan
merambat naik melewati kedua telapak kaki, pergelangan, betis dan lutut. Lalu menjelajahi
paha dan ujung-ujung jemari tangan, lanjut naik ke selangkangan dan pergelangan kedua
tangan, merayapi bokong dan perut bagian bawah.

Perasaan mengambang mulai terasa ketika aliran itu mencapai wilayah dada. Kupikir
keinginanku akan segera terwujud. Maka kubiarkan proses itu berlanjut, melampaui leher dan
wajah. Saat mulai menyentuh dahi, tubuhku terasa seringan awan. Aku merasa begitu
bahagia. Tak pernah aku mengalami sensasi seperti itu sebelumnya. Seakan punya sayap aku
melayang meninggalkan tubuhku yang terbaring damai di atas tempat tidur.

Kunikmati pengalaman baru itu dengan berputar-putar di sekitar kamar. Kuamati tumpukan
buku referensi di dekat laptop di atas meja sambil tersenyum sebelum kudekati rak buku di
sisi dinding yang tidak dapat menampung semua buku yang kumiliki, mirip dengan rak buku
di ruang tamu yang jarang dipakai menerima tamu. Kucoba menyudul langit-lagit kamar
tetapi kepalaku tidak meyentuh apa-apa. Setelah itu pandanganku tertancap pada jam dinding.
Jarumnya yang pendek menunjuk angka tujuh…

Tiba-tiba ada yang menggedor jendela kamarku dengan keras. Aku melesat kembali ke dalam
tubuhku dan terpikir olehku bahwa aku akan gagal lagi. Ada saja yang menghalangi, umpatku
dalam hati.

Sambil menahan perasaan kesal kuabaikan gedoran di jendela yang tak kunjung berhenti.
Rupanya mereka jengkel karena tidak kupedulikan sehingga gedoran itu dibuat semakin keras
sampai menggetarkan tempat tidurku.

“Bangun…! Cepat keluar…! Gempa…!”

Teriakan itu membuat mataku terbeliak dan seketika teringat pada bencana gempa bumi
beruntun yang pernah terjadi bertahun-tahun lalu. Waktu itu aku sedang bertugas di ujung
timur Pulau Bali. Aku dan teman-teman sekantor sepakat untuk melakukan sesuatu yang
berbeda pada hari Minggu itu. Kami memutuskan bergabung dengan kelompok relawan yang
datang ke desa-desa terpencil untuk memeriksa keadaan dan siap memberikan pertolongan
jika diperlukan. Aku ingat bagaimana kami mengeluarkan seorang perempuan tua yang
tubuhnya gepeng tertindih kerangka dan atap rumah yang rubuh. Keadaannya sangat
mengenaskan.

Tentu saja aku tidak mau mati seperti itu. Karenanya serta-merta kutinggalkan tempat tidur
dan cepat menuju pintu. Setelah pintu terbuka, kulihat orang-orang di luar pada
memandangku dengan tatapan aneh.

Ketut Sugiartha tinggal di Tabanan, Bali. Esai, puisi, cerpen dan novel yang ditulisnya
dimuat di berbagai media cetak dan daring. Telah menerbitkan 13 buku tunggal dan 3 buku
bersama meliputi kumpulan cerpen dan novel.

Anda mungkin juga menyukai