Yang saya muliakan para alim, para ulama’, para sesepuh dan tokoh masyarakat. desa….
Yang saya hormati, para perangkat desa, shohibul bait dan para hadirin semua.
Ada beberapa hadits yang ingin saya sampaikan disini sebagai refleksi dari makna sebuah
ta’ziyah.
Hadits yang pertama adalah ittaqillaha haitsu ma kunta…..
Kita mungkin sering mendengar anjuran ini, yaitu anjuran agar supaya kita senantiasa
bertaqwa kepada Allah SWT. Dalam setiap khutbah jum’at, khatib selalu mengingatkan
kita akan pentingnya bertaqwa kepada Allah. Khatib selalu berpesan ittaqullaha haqqa
tuqatihi, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa. Arti takwa itu
sendiri adalah imtitsal awamirillah wajtinabu nawahihi, menjalankan perintah-perintah
Allah dan menjauhi larangan-larangannya. Terus, apa hubungannya dengan hadits diatas?
Apa hubungannya dengan kematian? Apa hubungannya dengan kegiatan kita saat ini
yaitu sedang berta’ziyah?
Para hadirin yang saya muliakan
Hadits tersebut sebenarnya berhubungan erat dengan yang namanya kematian.
ittaqillaha haitsu ma kunta….. kenapa kita disuruh bertaqwa kepada Allah dan
diperintahkan untuk mengiringi perbuatan jelek kita dengan perbuatan baik? Mengapa
kita diperintakan untuk bertakwa dimanapun kita berada? Tidak lain dan tidak bukan,
jawabannya adalah karena kita tidak tahu kapan kita akan mati. Semua yang hadir disini
tidak tahu kapan dan dimana kita akan mati. Ada orang yang lagi enak-enak duduk atau
baring, eh… tiba2 mati. Ada orang yang lagi enak-enak makan, ehh… tiba2 tersedak
terus mati. ada yang lagi enak-enak kencing di kamar mandi, pas lagi ambil air untuk
membersihkan kencingnya tiba2 terpeleset, dan OUT. Ada yang lagi enak-enak main-
main sama istri atau suaminya, eh… tiba-tiba GAME OVER. Ada yang lagi enak-enak
naik motor, tiba2 dicium sama bis. Ya… kalo dicium sama istri ato suami sih enak, tapi
kalo yang nyium itu bis…???? Bisa langsung wassalam kita. Dan banyak kejadian2 lain
di sekitar kita yang menunjukkan bahwa ajal tidak bisa diprediksi, tidak bisa diramal dan
tidak bisa ditahu kapan datangnya.
Jadi itulah kenapa kita diperintahkan agar senantiasa bertakwa kepada Allah dimanapun
berada. Agar apa? Agar supaya kita siap setiap saat dalam menghadapi maut. Agar ketika
maut menjemput kita, kita dalam keadaan beriman, kita dalam keadaan bertakwa kepada
Allah SWT. Mudah-mudahan kita semua dianugerahi oleh Allah untuk mendapat gelar
mati dalam keadaan husnul khotimah. Amin…
Masih dalam urusan mati, hadits tersebut dilanjutkan dengan wa itbi’I al sayyi’ata al
hasanata tamhuha… dan ikutilah perbuatan jelekmu dengan perbuatan baik, niscaya
perbuatan baik itu akan menghapus perbuatan jelek tersebut. Poin kedua dalam hadits ini
mengandung unsur social, dengannya dimaksudkan agar setiap kita berbuat jelek atau
berbuat salah kepada orang lain, hendaknya kita langsung mengiringinya dengan
perbuatan baik. Agar apa??? Lagi2 agar supaya ketika nyawa kita dicabut sewaktu-
waktu, kita sudah tidak ada tanggungan lagi dengan orang lain. Nabi SAW bersabda,
tidak akan masuk surga seseorang yang mempunyai hutang. Hutang ini sebenarnya apa?
Hutang dalam hadits ini tidak hanya berupa tanggungan uang, hutang dalam hadits ini
diartikan sebagai tanggungan yang harus diselesaikan dengan orang lain. Contohnya
seperti kita pernah mengumpat orang lain, atau mencelakakan orang lain, kita harus
sesegera mungkin untuk meminta maaf atau menyelesaikannya dengan cara
kekeluargaan, diminta ikhlasnya. Jadi hutang dalam hal ini bukan hanya dikategorikan
dalam hal materi saja, tetapi juga hal2 yang bukan materi, kenapa saya bisa berkata
demikian, karena dalam hadits lain Nabi mengatakan bahwa janji adalah hutang. Maka
ini adalah sebuah penjelasan bahwa hutang kepada manusia yang menyebabkan kita tidak
bisa masuk surga tidak hanya terbatas pada hutang yang sifatnya materi, tapi juga imateri
atau non fisik. Bagaimana kalo kita sudah terlanjur berjanji dan kemudian belum kita
tepati tapi orang yang kita beri janji tersebut meninggal? Sebagian ulama mengatakan,
kita harus mendatangi keluarganya yang masih hidup untuk meminta halalnya, dan
kemudian mendoakan si mayit agar diampuni dosanya oleh Allah. Sebagian ulama lagi
mengatakan, cukup kita mendoakan si Mayit agar diampuni dosanya oleh Allah. Jadi
kembali lagi pada hadits tersebut, bahwa anjuran untuk senantiasa mengiringi perbuatan
jelek dengan perbuatan baik agar supaya kita mempunyai bekal ketika nanti berada di
akhirat, dan seandainya kita dicabut nyawa kita sewaktu-waktu, setidaknya kita tidak
mempunyai tanggungan atau urusan yang belum selesai di dunia ini. agar arwah kita
tidak penasaran, jangan nanti ada kuntilanak berkeliaran di Silae…. Atau
grandong bermunculan di silae….
Para hadirin yang saya hormati
Poin hadits yang ketiga adalah wa khaliq al nas bi khuluqin hasanin, dan pergaulilah
manusia dengan akhlak yang baik. Jadi para hadirin, mati itu sebenarnya bukan masalah
pribadi saja, mati bisa dikatakan juga sebagai bagian dari permasalahan social. Terus apa
hubungannya mati dengan berakhlak yang baik ketika bergaul dalam masyarakat? Apa
kita ingin dipuji ketika kita meninggal nanti? Tidak, bukan itu. Apa juga untungnya
pujian buat kita kalo kita sudah meninggal. Masalahnya adalah apakah ketika kita mati,
kita mampu untuk memandikan diri sendiri, apa kita mampu mengkafani diri sendiri, apa
kita akan berjalan ke kuburan sendiri dan kemudian menimbun tanah sendiri? Tidak
mungkin kan….? Kita pasti butuh orang lain. Dan bagaimana agar supaya orang lain
dengan ikhlas dan senang hati ketika mengantar kita ke liang lahat? Yaitu dengan cara
kita berbuat dan berakhlak baik kepada setiap orang ketika kita masih hidup di dunia.
Dan berbuat baik ini tidak pandang bulu, kita harus berbuat baik kepada setiap orang,
baik besar kecil, tua muda, laki perempuan. Karena apa? Karena kita tidak tahu siapa
yang akan mengusung atau memikul kita ketika kita akan mati nanti. Jangan sampai
karena kita sudah menyalahi banyak orang, kemudian ketika kita mati mereka tidak mau
datang membantu kita…. Wah.. bisa2 ada pocongan berjalan….