Anda di halaman 1dari 8

Sendu, Rindu untuk Palu

Sumber : Instagram @anglmaria

Gempa Palu masih teringat jelas di ingatan. Tak lama setelah gempa terjadi,
tsunami setinggi 1,5 meter menghantam bibir pantai kota Palu dan Mamuju. Karena
peristiwa itu, lebih dari 2.000 orang kehilangan nyawa. Mereka terseret ke lautan,
terkubur dalam lumpur, menjadi korban likuifaksi, dan banyak yang dinyatakan hilang.
Tak heran, peristiwa ini dinobatkan sebagai gempa yang paling banyak menelan korban
jiwa pada 2018. Selayaknya sebuah bencana tak ada yang mengharapkan itu datang.
Namun nampaknya jika terjadi pun tidak ada yang bisa menolaknya. Betapa kita kecil
di hadapan Semesta.
Saya sebagai penulis sangat beruntung bisa memiliki banyak teman dengan
beberapa pengalaman. Teman saya ini adalah seorang yang sangat memperhatikan sisi
kemanusiaan. Terbukti dari beberapa pengalamannya menjadi seorang relawan
bencana mulai dari Gempa Palu hingg Tsunami Banten. Seorang perempuan yang
terbiasa dipandang remeh dalam budaya patriarki.
Namanya adalah Angelina Melania Maria, lahir di Jakarta, 23 Januari 1997.
Menjadi seorang perempuan nampaknya bukan suatu halangan untuk membantu
sesama. Bukan juga halangan untuk mengerjakan hal-hal di lapangan. Terbukti dari
kontribusi dari seorang yang bisa dipanggil Angel ini. Di kalangan para relawan dan
temannya biasa memanggilnya dengan sebutan “kuli’. Sebutan yang cukup aneh jika
dibandingkan dengan orangnya. Ia bercerita mengapa ia bisa disebut sebagai “kuli”.
Jadi, semsa dia berkuliah teman-temannya sangat salut kepadanya karena biasa
mengerjakan hal-hal lapangan yang biasa dikerjakan pria.
Kesadaraan inilah yang menjadikan ‘Si Kuli’ terus melanjutkan dedikasinya
terhadap kemanusiaan. Rasa kasihnya berbanding terbalik dengan sikap yang tegar
dalam dirinya. Bukan hal yang mudah ketika seseorang harus pergi ke tempat yang
penuh dengan sendu dan tangis haru korban. Bahkan saya pun tidak mampu untuk
membayangkan jika harus benar-benar terjadi.
Melalu kisah itulah saya tertarik dengan ceritanya. Banyak kisah yang dialami
ketika dia bertugas. Semua kisah di sini harus dilihat dari sudut pandang yang positif
sehingga memiliki hasil yang positif. Tujuannya supaya setiap dari kita bisa menyadari
dan mendapatkan sebuah nilai yang tersembunyi dari sebuah musibah.
Berikut penulis akan menulis ulang tentang sebuah penglaman dari pengalaman
‘Si Kuli’ dari sudut pandang seorang relawan.
“Saya adalah salah satu mahasiswi dari Universitas Tarumanegara yang
berangkat ke Palu saat itu. Saat itu adalah kali pertama saya berangkat dengan Pesawat
Hercules. Pengalaman saya di pesawat itu sangat berkesan, saya duduk berhimpit
dengan barang keperluan bantuan maupun barang lainnya. Pengalaman ini tidak akan
pernah saya lupakan seumur hidup saya.
Sesampainya di sana, kami tidur di salah satu mess bertempat di Universitas
Tadulako. Di sana saya berkenalan dengan teman-teman baru. Di sana saya berperan
sebagai Tim Trauma Healing. Jadi, tugas saya adalah membantu mendengarkan keluh
kesah korban. Tim relawan di palu Bersatu dari berbagai macam kampus di
JABODETABEK. Kami dikumpulkan menjadi satu, lalu di sana kami dibagi menjadi
2 tim. Ada tim yang ditugaskan di daerah Donggala dan satu tim ke daerah Sigi. Saya
ditugaskan ke daerah Donggala dan Tompe.
Di Donggala saya bersama tim membuka forum untuk adik-adik SMAN 1
Donggala. Pengalaman saya di sana adalah juga ikut membantu membuat video klip
mereka untuk salah satu lagunya. Selain itu, saya juga membawa amanat berupa
kumpulan buku-buku yang saya dan tim bawa dari Jakarta. Buku tersebut saya bagikan
di sana kepada adik-adik SMA. Saya sangat terkejut dengan responnya, ternyata
mereka merespon sangat amat baik. Minat baca mereka di sana masih amat tinggi. Tak
disangka cita-cita mereka pun juga masih sangat orisinil seperti layaknya anak-anak di
usia belia.
Pada saat itu saya dan tim membuka forum kecil atau kelompok kecil, ada
seorang anak yang menceritakan kepanikannya pada saat gempa dan tsunami itu
terjadi. Mereka panik bukan main, saat terdengar bahwa aka nada tsunami. Sedangkan
saat itu mereka tidak tahu harus kemana lagi, karena mereka sudah ada di dataran
tinggi. Mereka bilang “kami harus lari kemana lagi kak, sedangkan kami sudah di
dataran tinggi, kami hanya bisa pasrah. Semua pelajaran Geografi yang kami pelajari
tidak ada artinya, karena itu semua sudah kuasa Tuhan. Saya kaget Ketika tsunami dan
gempa di Palu itu tidak merata. Menurut saya seperti Tuhan pilih-pilih”.
Hati mana yang tak sedih mendengar kesedihan adik-adik. Saya sangat sedih
Ketika itu. Saat saya berada di Donggala ada seorang ibu Ketika saya ingin pulang dan
bus sudah dinyalakan. Ketika ibu itu mendengar suara bus akan pergi, beliau menangis
menjerit. Ibu itu teringat Kembali pada saat tsunami itu akan terjadi. Saya ingat ada
satu cerita dari seorang anak Sekolah Dasar. Ketika itu dia sedang ingin makan malam
bersama keluarganya, lalu tiba-tiba gempa itu datang begitu saja. Anak tersebut tidak
tahu harus minta tolong kepada siapa. Pada saat gempa terjadi hingga saya turun
menjadi relawan, mereka hanya tidur di lempengan seng yang mereka buat untuk
bertahan hidup.
Di lain sisi saya senang, karena anak-anak di sana bisa cepat pulih. Saya juga
mempunyai cerita dari seorang anak Sekolah Dasar yang berbeda dari sebelumnya.
Ternyata mereka mempunyai Instagram. Menurut saya itu hal yang sangat lucu, karena
pada saat saya SD saya belum merasakan hal seperti itu. Saya bahkan masih bermain
tanah merah, betapa berbedanya masa kecil saya. Lucunya mereka juga menanyakan
Instagram saya. Disitu saya sadar bahwa perkembangan teknologi sangat cepat.
Lalu ada salah satu anak yang saya tanyakan “kamu cita-citanya mau jadi apa?”.
“aku mau jadi relawan kak” jawab anak itu. Lalu saya menanyakan lagi “kenapa kamu
ingin jadi relawan?”. “karena saya ingin membantu banyak orang seperti kakak”
balasnya. Disitu hati saya langsung terenyuh.Di sana saya belajar bersyukur, karena
Tuhan masih sayang sama saya dengan menjaga keluarga saya.”
Menjadi relawan memang tidak mudah, tapi bukan suatu hal yang tak mungkin
juga. Jika seseorang sudah memiliki tekad yang kuat untuk kemanusiaan pastilah akan
dilakukan sekeras apapun itu. Dari cara Angel menjadi seorang relawan dan
mengajarkan kepada adik-adik di sana selama masa pemulihan ternyata menciptakan
relawan-relawan baru. Mereka adalah adik-adik tersebut. Mereka melihat dari
pengalaman yang terjadi kepadanya. Selain itu, mereka juga berharap akan menjadi
relawan di kemudian hari.
Begitu pengalaman ‘Si Kuli’ berada di Palu ketika masa pemulihan sesaat
setelah bencana melanda. Tak hanya pengalaman Gempa Palu. Ia juga membagikan
sedikit cerita lain dari sudut pandang yang berbeda pula.
Setap Detik Ada Cerita

Sumber : getwallpapers.com

Tak hanya pengalaman biasa yang Angel dapatkan dari beberapa kegiatan
menjadi relawan. Bahkan hal-hal unik ini juga bisa didapatkan ketika menjadi relawan.
Angel juga pernah memaparkan beberapa pengalaman horornya kepada orang lain.
Tujuannya bukan semata-mata untuk menakuti orang atau bahkan mengungkit sendu
itu kembali. Lebih dari itu banyak pesan dan nilai yang bisa didapatkan dari hal-hal
yang dianggap sensitif ini. Bahkan hal positif ada di dalam bencana jika kita mau
melihat dari sudut pandang yang optimis.
Perlu diberitahu bahwa kisah ini adalah pengalaman pribadi yang didapatkan
Angel. Tentunya setiap dari kita mempunyai pengalaman yang serupa atau bahkan
berbeda. Di satu sisi ada kalanya kita untuk bersedih, tapi haruslah bangkit dengan
optimisme. Masa depan tidak bisa dihindari dan masa depan bisa yang baik bisa
didapatkan melalui pelajaran di masa lalu. Berikut kisahnya yang diutarakan Angel.
“Saya adalah salah satu anak divtit. Di situ saya membantu salah satu teman
saya. Perlu diketahui bahwa dia adalah seorang yang mudah sekali merasakan hal
seperti itu , atau dalam bahasa lainnya sensitif. Pada akhirnya saya harus memback up
dia, saya harus menemani dia . Percaya atau tidak, kami selalu saling memberikan
“energi”. Pada saat itu saya melewati jembatan dan ketika berada di bekas reruntuhan
rumah, saya seperti merasakan ada suara tangisan dan jeritan. Sepertinya “mereka”
belum siap meninggalkan dunia dalam keadaan seperti itu. Di situ saya hanya
menangis, karena saya tidak kuat. Di tempat itu saya hanya bisa melihat foto keluarga
yang tersisa. Saya merasakan kesedihan yang teramat sangat.
Sampai akhirnya ada salah satu teman saya yang mengalami pengalaman
spiritual dan dia berkata “buat apa kalian ke sini? Kalau kalian hanya ingin pamer kalau
kalian masih hidup. Buat apa? Lebih baik kalian pulang, kami hanya butuh doa”. Di
situ saya langsung terdiam dan tidak bisa berkata-kata lagi.
Ini adalah pengalaman yang tidak pernah akan saya lupakan sampai kapan pun.
Pasti akan saya ceritakan ke anak serta cucu saya nanti.
Jangan pernah lupa untuk berbuat baik, bahkan hal sekecil apapun. Kita tidak
tahu kematian itu akan datang kapan. Jangan berbuat baik karena hanya menjadi
relawan, jadi orang biasa pun kita harus berbuat baik kepada sesama. Meskipun orang-
orang menyakiti kita, janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan. Balaslah
kejahatan dengan kebaikan.”
Pesan yang ingin penulis samapaikan pada tulisan kali ini adalah bahwa kita
adalah sebuah entitas yang kecil dibanding dengan semesta raya ini. Dengan menyadari
hal itu tentunya bisa membuat kita lebih rendah hati dan menyadari diri. Bahwa selama
ini yang membuat kita hancur adalah sikap ego kita sendiri. Selain itu penulis mendapat
nilai untuk berbuat baik kepada setiap dari kita. Berbuat baik tidak harus untuk orang
lain. Dengan berbuat baik kepada diri sendiri mungkin juga akan berdampak pada
orang lain.
Tekad Kuat di Banten

Sumber : Instagram @anglmaria

Terakhir kisah datang masih dari “Si Kuli”. Di sini ternyata dia menceritakan
pengalamannya ketika ada Tsunami Banten. Pada tanggal 22 Desember 2018, peristiwa
tsunami yang disebabkan oleh letusan Anak Krakatau di Selat Sunda menghantam
daerah pesisir Banten dan Lampung, Indonesia. Sedikitnya 426 orang tewas dan 7.202
terluka dan 23 orang hilang akibat peristiwa ini. Menurut Badan Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), tsunami disebabkan pasang tinggi dan longsor
bawah laut karena letusan gunung tersebut. Berikut kisahnya.
“Saat itu status Banten masih siaga. Pada saat saya baru turun dari daerah
Baduy, saya mendapat kabar bahwa di Banten telah terjadi tsunami dan saat itu ada
teman saya. Ketika saya menjadi relawan di sana, saya sudah pasrah dan dosen
pembimbing saya mengatakan “Angel kamu Kembali sekarang. Kalau kamu tidak
Kembali maka kampus tidak akan bertanggung jawab”. “Tidak apa-apa bu bila kampus
tidak tanggung jawab. Hati nurani saya memanggil saya untuk tetap menjadi relawan.
Saya ikhlas semisal saya pun tiada di sana, karena niat saya benar-benar ingin
membantu” balas saya.
Pada saat itu, saya bisa melihat Gunung Anak Krakatau dari posko dan ketika
itu juga statusnya dinaikkan menjadi amat siaga. Indikasinya adalah bahwa air di hilir
surut. Namun, ternyata Tuhan berkehendak lain. Tuhan melindungi kami semua. Di
situ saya hanya berpasrah.
Dalam keadaan seperti itu, saya memberi kabar kepada adik saya “Bet, maafin
gw ya. Gw titip mamah sama papah kalo kenapa-kenapa”. Adik saya pun menjawab
“Kak, kalau Tuhan izinin lu pergi ke sana untuk jadi relawan maka lu akan pulang juga
dengan selamat. Tuhan tau isi hati lu”. Tsunami itu pun tidak terjadi sampai saya
akhirnya pulang dan kami semua selamat.”
Dari cerita kali ini kita bisa mendapatkan nilai untuk berkomitmen pada diri
sendiri. Secara konsisten Angel telah membuktikan tekad yang kuat. Angel terus
konsisten walaupun dia menyadari bahwa ini juga hal yang berbahaya. Bisakah kita
bayangkan bagaimana para korban jika orang-orang seperti Angel tidak ada? Harus
disadari bahwa setiap kita tidak bisa hidup tanpa adanya orang lain. Ketika mengalami
kesulitan bersama tentu kita sebagai manusia harus saling membantu. Sekian kisah dari
“Si Kuli” yang bisa penulis bagikan. Harapannya semoga bisa dilihat dari sedut
pandang yang positif dan memberi nilai kepada para pembacanya.

Anda mungkin juga menyukai