Anda di halaman 1dari 5

Di samping mu

Gelap, sunyi, kosong. Hanya itu yang terlihat sejauh mata memandang. Hanya ada
aku dan genangan air setinggi mata kaki memenuhi seisi ruangan. Entah sudah berapa
lama aku berada di ruangan aneh ini. Aku bahkan tak tau sekarang sudah pukul
berapa maupun sebatas mengetahui apakah sekarang siang atau malam. Tiba-tiba
selarik cahaya muncul. Menghadirkan dua sosok di depanku. Mataku membulat
ketika dua sosok di depan ku memperjelas wujud mereka
“Nera! Liam!” aku bangkit dan sosok di depanku berlari menjauh ketika nama itu ku
seru kan. Aku berlari mengejar, namun, kaki ini begitu berat untuk di gerakkan,
seolah ada sesuatu yang menahannya
“jangan tinggalkan aku!” seruku jatuh bangun. Dua sosok itu terurs berlari menjauh
“NERA! LIAM!” entah apa yang menahannya, kakiku tak lagi bisa bergerak. Yang ku
lakukan hanya bisa berseru, meminta mereka berhenti menjauh. Namun, mereka
justru hilang di balik pintu berbalut cahaya yang menyilaukan mata. Meninggalkanku
dengan tangis dan kekosongan hidup.

Aku tersentak bangun ketika jam alarm berbunyi nyaring. Jam menunjukkan pukul
05.00, sudah saatnya bangkit dan memulai hari. Aku menyibak selimut dan pergi
keluar kamar. Dengan malas, aku meraih sikat gigi dan menyikat gigi. Lalu mencuci
muka dan mengikat rambut dengan asal. Kemudian memulai mandi.

Selesai mandi, ku pergi ke dapur dan mengambil sepotong roti tawar dari dalam
bungkusnya. Ku makan roti itu sembari membuat teh manis. Habis sepotong roti dan
segelas teh itu, aku meraih tasku lalu pergi keluar rumah. Ku berjalan mencari angkot
untuk pergi ke sekolah. Beruntung, satu angkot berhenti di depanku, segera, aku naik
kedalam angkot.

Pagi ini, sekolah terlihat ramai. Para murid berlalu lalang di berbagai tempat
“pagi nir” aku mengangguk dan membalas lambaian tangan ketika seseorang
menyapa di depan kelas. Aku duduk dan memandang birunya langit pagi dari dalam
kelas. 2 sampai 3 burung merpati terbang melintas dan bertengger di pohon besar di
belakang sekolah. Ah, nera sangat menyukai burung. Dia pasti senang melihat 3
burung itu bertengger disana. Aku menoleh kearah barisan bangku di sebelah kanan di
barisan ketiga. Bangku itu dulunya ditempati oleh nera. Begitu aku datang, nera akan
datang menyambut, memberikan senyum cerahnya. Disampingnya adalah bangku
milik liam. Sering kali, aku menemukan mereka asik mengobrol berdua. Namun,
sekarang semua itu hilang. Sirna.

Aku duduk memandang lapangan dengan tatapan kosong. Begitu pun ketika melihat
papan pengumuman peringkat di mading sekolah. Aku sudah tak peduli nilai, aku tak
lagi punya impian, aku tak lagi punya mimpi. Hidupku rasanya hampa, kosong. Sejak
mereka pergi, seluruh warna dalam hidupku luntur dengan mudah. Petunjuk hidupku
pun hilang. Aku hidup tanpa memiliki tujuan, tanpa memiliki petunjuk. Aku hanya
berjalan mengikuti alur
“Kamu sedang apa nir?” aku menoleh, terlihat Dwi, teman sekelasku duduk
disampingku. Aku tak menjawab, kembali menatap lapangan dengan tatapan kosong
“Kamu memikirkan mereka?” lagi-lagi, aku diam membisu
“Kamu tau nir, kehilangan itu berat. Namun, jangan biarkan hal itu
menenggelamkanmu dalam lubang lara. Jika memang sudah waktunya, kau harus
menerimanya. Bagaimana pun, semua manusia akan berakhir mati. Termasuk aku dan
kamu” aku mengeratkan kepalan tangan kala mendengar penjelasan panjang Dwi.
Menyebalkan. Dengan mudahnya ia berbicara begitu. Seolah semuanya mudah untuk
di lalui. Ah, Dia bisa dengan mudah bilang begitu karena ia tak mengalaminya. Tak
merasakan langsung bagaimana rasanya kehilangan dan bagaimana jiwamu terasa
kosong karena kehilangan. Rela tak semudah kata yang terucap di mulut, rela itu sulit.
Karena terlanjur kesal, aku meninggalkan Dwi sendirian. Membiarkannya
kebinggungan.

Hari berikutnya lebih parah lagi, satu sekolah mulai menyebarkan gosip tak benar soal
diriku. Semua orang membicarakanku sekarang. Begitu pun hari berikutnya, semua
orang mulai mengolok-olokku. Menjauhiku. Sampai telingaku bosan mendengar
semua olokkan itu. Walau begitu, aku tetap tak bisa menerimanya. Setiap hari, saat
aku izin ke kamar mandi, aku selalu menangis dalam senyap. Mereka mengolokku
karena mereka tak tau apa yang sebenarnya terjadi. Mereka sok tau, mereka
mengolokku bermodal gossip yang mereka terima. Tapi, omongannya melekit sekali.
Nera, Liam, kenapa kalian pergi? Harusnya aku yang pergi. Biarlah kalian beruda
hidup disini dengan bahagia. Aku tak sanggup lagi. Semua itu terlalu berat untukku.
Kalian membuat hidupku hampa. Membuat hidupku kosong. Setelah kalian pergi,
beribu masalah lain muncul. Membuatku semakin mempertanyakan kehadiranku di
dunia. Untuk apa aku ada disini? Bahkan aku merasa tak pantas menghirup udara
yang ada disini. Cukup, tolong biarkan aku bernapas. Biarkan aku beristirahat. Namun
seolah kau tidak membiarkanku melakukannya. Mengapa semua ini harus terjadi?.
kau membuatku semakin rapuh. Tolong, sekali saja. Biarkan aku menjalani hidup ini
dengan merelakan mereka dan mengikhlaskan mereka.

Dirumah, aku menaruh sembarang tas di lantai kamar. Lalu merebahkan diri di kasur.
Ingatan masa lalu berputar seperti gulungan film di dalam kepalaku. Aku
mengingatnya dengan jelas, saat cahaya si jago merah menyala terang dari dalam
gedung, kami bertiga yang berusaha lari dari maut, dan saat Nera dan Liam di
nyatakan tewas. Semua itu membuat mataku berkaca-kaca, sakit mengingatnya.
Hanya menambah luka dan lara. Seandainya waktu dalam di putar kembali, aku akan
menyelematkan mereka. Lantas mendapat akhir bahagia. Mereka akan terus ada di
sampingku, menemaniku. Ah, seharusnya aku ikut saja bersama mereka. Pergi keatas
sana untuk selamanya. Aku lebih baik pergi bersama mereka daripada harus
menagung perihnya masa lalu itu. Itu hanya membuatku sengsara karena penyesalan
yang terus datang. Aku bangkit dari kasur dan meraih jaket. Lantas pergi
meninggalkan rumah.

Malam itu, aku tiba di gedung tempat Nera dan Liam pergi untuk selamanya. Dari
atas rooftop, aku bisa melihat indahnya kota dengan lampu-lampu yang menerangi
jalan dan gedung lain. Angin malam bertiup memainkan anak rambutku, membuat
udara sejuk. Aku menyeret kaki ku menuju pinggir rooftop lalu memantapkan tekad.
Saat tubuh ini hendak terhempas jatuh, seseorang menahannya
“APA YANG KAU LAKUKAN NIR?!” bentaknya sembari menarikku menjauh dari
pinggir rooftop. Ia adalah Juni, anak tetangga sebelah yang satu sekolah denganku. Ia
tau kabar soal tewasnya Nera dan Liam dalam insiden kebakaran itu. Ia juga tau kalau
aku akrab dengan mereka
“Apa itu tadi, kau mencoba bunuh diri?!” aku diam menatap kosong sosoknya yang
memasang raut marah
“Nir, aku tau kau terluka kehilangan mereka. Aku tau jiwa mu sekarang sedang
kosong. Aku tau kau rapuh dibuatnya. Tapi, kau tak perlu berbuat sampai sejauh ini.
Mungkin kau berpikir, seharusnya kau mati bersama mereka daripada harus hidup
dengan memikul perasaan bersalah seumur hidup. Tapi, semua itu harus kau terima.
Sesakit apapun itu. Aku pernah mengalaminya, saat bapak pergi. Hidupku seakan
hancur berserakan. Aku juga sempat berpikir untuk menyusulnya. Tapi, bapak datang
menemui ku lewat mimpi. Ia bilang bahwa, kehidupan adalah anugerah terbaik dari
yang maha kuasa. Tak ada yang bisa memprediksi bahwa kebakaran itu akan terjadi,
itu sudah takdir. Lalu, jangan pikirkan perkataan orang-orang tentangmu. Mereka
hanyalah orang-orang tidak berguna di dalam hidupmu. Yang kerjanya hanya bisa
mengolok tanpa bukti” Juni menggengam erat tanganku
“Karena itu, aku akan menemanimu, bertahan dari ombak ujian yang terus
menggempur” ia memelukku erat, aku membalasnya dengan bulir air mata mengalir
membahasi pipi.

Sejak hari itu, Juni terus menemaniku persis seperti yang ia ucapkan saat di puncak
gedung. Dia selalu bersedia mendengar semua cerita keluh kesahku. Kami jadi akrab
satu sama lain.
“Terimakasih Juni, kamu mau terus berada di sampingku. Menemani dan mengajariku
banyak hal soal kehidupan” Juni tersenyum lembut
“Tak masalah Nir, jika malam itu aku tidak datang, mungkin kau sekarang tak ada di
sini. Melainkan sudah menyatu dengan tanah. Aku bersyukur aku datang tepat waktu”
aku tertawa kecil. Aku bersyukur orang yang mencegahku waktu itu adalah Juni.

Perlahan, semua mulai membaik. Keadaan mulai kondusif. Aku dapat menghirup
napas setelah sekian lama tak menghirupnya dengan lega. Semua berkat Juni. Jasa nya
tak akan pernah ku lupakan. Sungguh, terimakasih. Terimakasih telah menghadirkan
Juni di dalam hidupku. Namun, disaat aku dapat menghirup napas lega, sebuah
masalah besar muncul. Menghantamku keras, menjatuhkanku kembali ke lubang lara.

“Ju-Juni” seluruh tubuhku gemetar ketika melihat tubuh Juni berbaring kaku di kasur
putih. Darah mengumpal di seragamnya. Berbagai alat medis menempel di badannya.
Perban juga terlihat melilit beberapa bagian tubuhnya. Cobaan apa lagi ini? Mengapa
disaat aku berhasil menjalani hidup dengan ringan, selalu saja masalah besar muncul
“kondisinya sekarang sedang kritis, kemungkinan, ia akan sadar dalam 3 hari
kedepan. Itu pun jika menunjukkan kemajuan” aku menatap sendu dokter lepas
menjelaskan kondisi Juni. Ku genggam tangan Juni erat, mataku berkaca-kaca.
Apakah aku akan kehilangan lagi? Apa kau tak puas membuatku tersiksa karena
kehilangan? Aku hanya ingin akhir yang bahagia. Aku hanya menjalani hidupku tanpa
harus memikul beban berat. Dokter mengelus lembut pundakku, berusaha
menguatkan. Kemudian, aku pamit pulang.

Sudah 5 hari sejak Juni terbaring kaku di rumah sakit. Kondisinya masih sama.
Matanya tertutup, berbagai alat medis menempel di badannya. Aku menatapnya pilu.
Aku rindu Juni. Aku rindu ia berjalan di sampingku, Mendampingi ku. Sekarang, tak
ada yang bisa kulakukan. Hanya bisa berharap dan menyerahkan semuanya pada yang
maha kuasa. Mau berusaha pun, berusaha bagaimana? Aku sudah tak punya harapan
lagi. Disaat aku tengah menatapnya penuh harap, tangan Juni mendadak bergerak.
Perlahan tapi pasti, matanya mulai terbuka. Mataku membulat tak percaya. Juni
menoleh padaku
“Nir, apa yang terjadi?” aku tak menjawab pertanyaan, melainkan langsung memeluk
nya erat. Melepas semua rasa rindu yang ku pendam sendiri sejak 5 hari terakhir. Air
mataku kembali lolos, tapi kali ini adalah air mata bahagia.

Setelah 3 bulan, juni di nyatakan sembuh. Ia bisa pulang dari rumah sakit.
Terimakasih, sudah membiarkan Juni tetap ada disini. Nera, Liam, aku merelakan
kalian. Aku mengerti, bahwa memang rela itu tidak mudah. Namun, waktu bisa
melakukannya. Aku belajar, bahwa mengikhlaskan dan merelakan itu tak semudah
kata yang terucap, namun kau tetap harus melakukannya. Demi menjalani hidup yang
lebih baik dan menjalani hidup dengan bahagia.

Anda mungkin juga menyukai