Anda di halaman 1dari 3

Cerpen Haderi Ideris: Rahasiakan Jati Diriku

Tetesan embun masih membasahi rerumputan di kiri - kanan jalan yang aku lalui,
burung jalak, perkutut, melantunkan lagu kedamaian, mengiringi hembusan angin
perlahan.
Ah�sudah lama aku tidak melewati jalan ini, begitu sepi, beda dari lima tahun
sebelumnya, biasanya jam segini sudah ramai dilalui orang.
Sepuluh meter dari tempatku berdiri, ada bangku panjang yang tertancap kokoh di
bawah rindang dedaunan. Aku coba istirahat di bangku itu.
Tidak jauh dari tempat dudukku ada seseorang yang duduk membelakangiku, kepalanya
menunduk, aku dengar sayup-sayup isak tangis, sementara derai daun pohon yang
ditiup angin menambah suasana pilu.
Aku membatin, kejadian apa yang menimpa dirinya, sehingga dia bermuram durja
seperti itu, kehilangan anak, atau ditinggal mati suaminya barangkali, atau
kematian anak yang dia sanyangi atau ditinggal sang kekasih, atau, atau, atau. Aah�
ngapain aku tanya dalam hati, lebih baik aku hampiri saja dia.
�Maaf Nak, apa gerangan yang membuatmu bersedih?�
Tidak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. �Dimana rumah mu biar bapak antar
pulang. Tidak baik seorang gadis sendirian di sini, berbahaya!�
Berbagai pertanyaan yang aku lontarkan, tidak satupun ia jawab, hanya tangis
sebagai jawabannya.
Karena masih penasaran, keesokan harinya, aku lewat di jalan itu lagi, ternyata
gadis itu masih ada di tempatnya seperti kemaren, aku bertanya dalam hati, apakah
dia tidak pulang?, atau dia pagi- pagi sudah berangkat dari rumah dan duduk-duduk
di tampat ini, melepaskan kesedihannya.
Nak.., setiap ada malam, pasti ada siang, tidak selamanya gelap. setiap kesusahan
pasti ada kemudahan, tidak ada permasalahan yang tidak mungkin diselesaikan, kalau
kita mau berbagi dengan orang lain, coba ceritakan apa masalah yang kau hadapi,
dengan begitu, dapat mengurangi beban penderitaanmu.
Ia mengangkat wajahnya, menatapku. Mulutnya bergetar, kata-katanya terbata: �
A,a,aku�, ia terisak.
�Tidak ada seorang pun yang dapat meringankan penderitaanku, tidak ada seorang pun
yang dapat menonolongku, bahkan semua orang di kampung ini mencela, menghinaku.
Mereka tidak salah kalau mereka menghina dan mencelaku karena memang aku pantas
dihina dan dicela. Aku sangat menyesal, penyesalan yang tak ada ujungnya�.
�Memangnya apa yang terjadi?�
�Berat, sangat berat, dosa yang aku perbuat sangat besar, mungkin sudah memenuhi
langit dan bumi�. Ia menunup wajahnya dengan kedua tangannya, ia senggugukkan.
�Dosaku tak terampuni, aku sudah menjadi seorang pembunuh� Ia semakin terisak, �aku
sudah membunuh darah dagingku sendiri�.
�MasyaAllah, Innalillah� sentakku
�Dosa di atas dosa Pak, aku hamil di luar nikah, orang yang menghamiliku tidak mau
bertanggung jawab, aku menanggung malu, aku putus asa, akal sehatku tidak jalan
lagi sampai akhirnya, aku nekat bunuh diri dengan memotong urat nadi tanganku,
namun aku masih tertolong, sampai akhirnya aku melahirkan, aku menyesal dan malu,
punya anak tanpa ayah, aku tidak berpikir panjang, anak yang baru aku lahirkan yang
tak tahu apa-apa, tidak berdosa, aku buang ke sungai�. Tangisannya makin memilukan.
�Tidak ada orang yang tidak pernah berbuat dosa Nak, Karena kita adalah tempat
salah dan hilap. Sebesar apapun dosa yang kita perbuat, sungguh rahmat dan ampunan
Allah sangat besar dan luas melebihi dosa yang kita perbuat. Penyesalan yang kau
tunjukkan adalah bukti penyadaran terhadap kesalahan. Selama kita mau bertobat
dengan sungguh. Allah akan menerima tobat dan mengampuni kita�
�Benarkah?, aku bisa terampuni�
�Asal kita mau bertekad untuk memperbaiki diri, aku yakin Allah akan mengampunimu,
mohon ampun dan bertobatlah, kembalilah kepada Allah.

***

Semenjak pertemuan itu aku tidak pernah melihatnya lagi duduk di tempat itu. Dua
bulan berselang, aku bertemu dengannya di tempat yang berbeda, di pasar, aku
melihat perempuan itu penampilannya tidak lagi seperti orang kebanyakan, ia
berpenampilan seperti orang abnormal.
Apa yang terjadi?

***

�Aku memang sudah berubah, Pak. Aku coba memperbaiki diri. Dan inilah hasilnya,
sebagaimana yang Bapak lihat�.
�Ya, aku mengerti kamu memang sudah berubah, tapi mengapa harus seperti ini?�
Begini, waktu itu tepat jam dua dinihari, seperti biasa aku melaksanakan shalat
tahajjud, sebagaimana yang Bapak anjurkan, setelah shalat aku mohon ampun kepada
Allah, aku ucapkan astaghfirullah dengan penuh penyesalan, aku menangis mengingat
dosa-dosa yang pernah aku lakukan. Tiba-tiba, tubuhku seperti melayang, berputar
masuk sebuah lorong yang gelap, bau anyir darah dan bangkai menyeruak masuk
penciumanku, perutku mulai mual, bergolak dan akhirnya menguras seisi perutku.
Tubuhku berhenti berputar, ternyata tubuhku semakin ringan, aku melayang seperti
kapas, terus melayang sehingga aku tiba di ujung lorong.
Aku melihat secercah cahaya, dari kejauhan, kecil seperti bola, tapi cukup untuk
menerangi sekitarnya, cahaya itu menuju ke arahku, semakin dekat, cahaya itu
semakin membesar, membesar dan membesar, sampai akhirnya pecah di hadapanku,
membentuk tujuh buah bola cahaya.
Satu persatu bola cahaya bergerak ke arahku. Bola cahaya pertama masuk dan
bersemayam di kepalaku, terasa dingin, bola cahaya kedua bersemayam di dua
tanganku, bola cahaya ketiga merasuk pada kedua kakiku, yang keempat bersemayam di
perutku, bola kelima meresap di kedua mataku, bola keenam mengendap di kedua
telingaku. Tubuhku semakin menggigil. Tiba pada bola yang terakhir. Ia bergerak
surut ke belakang dan berputar, aku mengira ia akan meninggalkanku, ternyata ia
hanya mengambil ancang-ancang untuk melakukan serangan.
Di luar dugaanku, ternyata benturan keras bola itu mengilangkan rasa dingin di
tubuhku. Namun, dadaku terasa remuk.
Aku berusaha bangkit. Aku terus berusaha, sampai akhirnya aku berhasil berdiri.
Ketika aku berhasil tegak dengan kedua kaki yang belum seimbang, bola itu
menghantam dadaku lagi, akhirnya aku tersungkur lagi.
Aku merasakan nyeri yang teramat sangat. Aku pasrah. Tidak ada kekuatan lagi yang
bisa aku kerahkan untuk berdiri, disaat aku tersungkur dan merasa tidak berdaya,
tidak ada lagi kemampuan yang bisa aku upayakan, bola cahaya berhenti menyerangku.
Perlahan namun pasti, cahaya itu mulai bergerak lagi ke arahku, Saat-saat yang
mendebarkan, mungkinkah ajalku akan tiba? Cahaya itu terus bergerak. Ketika cahaya
itu sampai persis di hadapanku, ia berhenti, kemudia berputar mengelilingiku
sebanyak tujuh putaran, kemudian kembali ke hadapanku.
Jantungku berdetak kencang, nafasku memburu, aku pasrah dengan kemungkinan yang
terburuk yang akan menimpaku.
Tiba-tiba bola cahaya itu berputar sangat cepat sehingga menimbulkan bunyi yang
sangat memekakkan telingaku. Aku tidak sanggup menutup kedua telingaku, karena aku
sudah tidak berdaya. Tangan dan kakiku tidak sanggup aku gerakkan, cahaya itu terus
berputar di porosnya sampai mengepulkan asap yang tebal sehingga asap itu
menyelimuti tubuhku dan menutupi pandanganku.
Perlahan asap mulai menipis, bunyi bising mulai berkurang. Perlahan asap tadi
berubah menjadi cahaya dan membentuk sesosok tubuh. Alangkah terkejutnya aku,
sesosok tubuh itu ternyata diriku sendiri. Allahuakbar� subhanallah..., masyaallah.
Aku terus menyungkur dan merasakan ketiadaan. Ketika aku memandang langit,
wajahku ada disitu. Ketika memandang bulan dan bintang yang indah ternyata wajahku
juga ada di situ. Dalam jilatan api yang menyala, di setiap tangisan bayi, disetiap
tawa, canda dan kesedihan, siang dan malam, di setiap warna, di setiap sudut, ruang
dan waktu. Allahuakbar�..
Aku merasakan kesejukan, kedamaian abadi. Namun, setelah aku kembali pada puncak
kesadaran. Akal dan jiwaku memaksaku untuk menyembunyikan jati diriku yang
sebenarnya. Aku diperintahkan menjadi manusia abnormal, agar senantiasa merasakan
kelemahan, rasa hina, dan selalu berhajat kepada Sang Pencipta jagat raya.
Begitulah Pak, hanya Bapak yang tahu ceritaku ini, Tolong rahasikan jati diriku.

Sumber:
https://web.facebook.com/notes/haderi-ideris/cerpen-rahasiakan-jati-diriku-terbit-
14-peb-2010-di-bpost/364928213812

Anda mungkin juga menyukai