Anda di halaman 1dari 2

Hilangnya Akibat Khilafku Memang, letak kantorku sangat strategis.

Dan aku tak


sadar, bangunan seperti itu juga telah melalaikanku dari
“Allahu Akbar… Allahu Akbar!” mendengarkan suara azan. Tiba-tiba ada perasaan tak
Alunan azan membahana dari masjid seantero kota nyaman hinggap di bagian tubuhku yang paling dalam.
Surabaya. Udara pagi terasa menelusuk tulang hingga Menyeringai, menelusuk relung hatiku. Aku merasakan
mendorong tanganku menarik selimut dan ketaknyamanan tak bertepi. Jangan lupa sholat Nak!…
menyempurnakan posisiku, menutupi seluruh bagian sekelebat bayangan wanita 50 tahun-an lewat di ruang
tubuhku. otakku. Namun segera kuenyahkan perasaan dan
“Allahu Akbar… Allhu Akbar!” bayangan itu.
Seruan itu kembali mengoyak telingaku. Akhh… mataku Tok..tok..tok! Partikel-partikel pada daun pintuku
terasa berat sekali. Kurasakan lelah yang mendera di bergerak menghasilkan gelombang bunyi yang
sekujur tubuh. Kututup kedua telingaku dengan bantal. berfrekuensi tinggi dan mengejutkanku.
Aku tak hendak mendengarkan seruan itu. “Masuk!” jawabku sekenanya.
“Asyhadu anlaa ilaaha illalloh…!” “Pak Rio, saya minta izin 15 menit keluar dulu…!” kata
Aku tak sanggup lagi. Mataku telah tergembok rapat. seorang lelaki, yang aku selalu sapa dengan panggilan Pak
Semalaman aku berhadapan dengan seabrek tugas kantor Halim.
yang harus kuselesaikan hari kemarin. Keadaan seperti ini “Dari kemarin kok izan-izin terus! Bapak tidak lihat apa
sering terjadi saat aku sedang kelelahan tak bisa kantor kita sedang banyak orderan?! Baru setahun jadi
mengahantarkan tubuhku ke kedinginan air yang karyawan di sini sudah berani sering-sering izin!”
menyergapku. Aku kalah pada keadaan. Sebenarnya tidak jawabku.
juga begitu. Aku terserang penyakit malas. Karena “Iya, saya tau, Pak… insya Allah nanti setelah saya
kesibukanku yang makin menggila. Aku rasa, aku butuh kembali, saya selesaikan tugas saya.
istirahat yang cukup. Baiklah! Sepuluh menit! “ kata Pak Halim dengan
Kriiingg… kring…! suara jam weaker mengejutkanku gemetar.
hingga aku terbangun dari tidur yang tak begitu nyaman.
Pukul tujuh. Artinya, aku harus segera bersiap-siap pergi Aku marah.
ke kantor. Aku harus lekas menemui relasi dan klien- Entah apa yang membuatku marah. Mungkin rasa
klienku, tak boleh terlambat. Tak lama kemudian, hand berkuasalah yang selama ini telah mengalahkanku.
phoneku berdering. “Hallo… dengan Rio, ada apa Selama ini memang aku selalu sensitif jika sedang
menghubungi saya pagi-pagi begini?” jawabku di telpon. berhadapan dengan karyawan-karyawanku. Aku selalu
“Baik saya segera ke kantor!” sambungku, lalu bergegas memposisikan diriku sebagai bos. Aku merasa bahwa aku
aku bersiap-siap. berkuasa atas hidup mereka. Aku merasa hidup mereka
Dalam sekejap BMW-ku melaju melewati jalanan kota ada di tanganku. Kapan pun aku bisa membuat mereka
yang mulai dilanda macet dan berbaur dengan aroma kehilangan pekerjaan. Dan selama ini, jika ada karyawan
CO2. Udara yang seharusnya masih segar dan sehat yang ku-PHK, banyak dari mereka yang memohon-mohon
sepagi ini, telah dilalap kentalnya kadar karbondioksida padaku untuk dikembalikan pekerjaannya. Tapi kurasakan
yang membanjiri Surabaya. Namun aku sudah bersahabat keanehan kini, aku merasa tak enak hati setelah
dengan segala keadaan ini, karena mencari uang adalah memarahi
hidupku. Kesibukan duniawi yang membawaku kepada
kenyamanan lahir, telah membuatku puas. Pak Halim, seorang karyawan yang setiap pukul 12.00 dan
Dulu, waktu Ibu masih hidup, aku selalu dibanjiri oleh 15.00 meminta izin untuk keluar sejenak. Yang mukanya
nasihatnya agar aku tak meninggalkan shalat. Tapi selalu teduh menghadapi keegoisanku. Selalu sabar
nikmatnya dunia kini membuatku berpikir, untuk apa aku menghadapi luapan emosiku yang kerap meledak-ledak di
shalat? Toh rezeki itu aku yang kejar sendiri. Ia tak akan hadapannya. Setahuku dia berasal dari keluarga yang
datang ketika aku hanya berdiam diri dan shalat di rumah. kurang mampu. Tapi aku juga tahu dia mempunyai
Kalau aku begitu, jadilah aku orang yang miskin, yang potensi yang besar untuk memajukan perusahaanku.
hanya mengharap belas kasihan orang lain untuk dapat Karena itulah, aku tetap mempertahankannya di
makan barang sehari. Tak mungkin uang akan turun dari perusahaanku. Pun ia tak pernah melalaikan tugasnya. Ia
langit seperti hujan. Mustahil. Dan jadi orang miskin itu sangat bertanggung jawab. Lantas apa yang membuat aku
hanya merusak martabat manusia. Membuat aib saja. marah-marah padanya hari ini dan tak jarang pada hari-
“Assalamualaikum! Selamat pagi, Bos!” sapa seorang hari lain?
karyawan. “Pagi..” aku menjawab tanpa menoleh. Aku Lama sekali orang ini! Aku membatin sambil
menerobos ruang dan waktu, berjalan angkuh layaknya menunggu Pak Halim yang sudah hampir setengah jam
seorang bos. Itulah hari-hariku. Ya, seperti yang aku tak muncul-muncul juga di hadapanku.
ceritakan sebelumnya. Aku puas dengan semua Aku tahu, Pak Halim izin keluar hanya untuk menunaikan
kecukupan yang aku miliki sekarang. Limpahan harta. shalat; yang seharusnya aku pun melakukannya. Namun
Kesenangan dunia membuatku perlahan melupakan karena sering melalaikannya, aku jadi terbiasa tidak
bahkan tak merasa ada orang yang telah melahirkanku melaksanakan shalat. Aku tak merasa berdosa. Aku
dulu. Bagiku, itu memang sudah takdir. Dan sekarang aku membiasakan diriku tuk tidak mendengarkan hatiku.
bisa mengubah takdir dengan tanganku. Haahh… aku “Maaf, Pak! Tadi saya harus…” kata Pak Halim sebelum
senang dengan hidupku. aku tanya kenapa dia lama.
Ruang kantorku sengaja dirancang kedap suara, karena ”Ah… Alasan saja Anda ini! Mulai besok, Anda tidak boleh
aku menginginkan kenyamanan ketika berada di duduk di kursi itu lagi!” potongku tanpa mau mendengar
dalamnya. Aku tak mau terganggu oleh deru mesin alasannya.
kendaraan yang berlalu hilir mudik di sekitar kantorku.
Pak Halim paham apa maksud ucapanku dan ia lalu Aduhh… kurasakan nyeri yang tak terperi di
berpamitan setelah mengucapkan terima kasih. Aku telah bagian kepalaku. Cairan hangat mengalir dari kedua
memecatnya. telingaku. Aku tak dapat menahan rasa nyeri yang amat
sangat ini. Bu,… maafkan aku…!
Sejak kejadian itu, aku kini sering merenung. Aku “Ini peringatan buatmu, Nak! Kembalilah!” itu
sendiri kini yang harus memikirkan nasib perusahaanku. adalah kalimat terakhir ibu yang masih dapat kudengar
Dalam kondisi diriku yang seperti ini, bayangan wanita tua dan kuingat. Ingatanku hilang seiring hilangnya
yang selalu mengingatkanku akan shalat pun selalu bayangannya.
muncul setiap kali aku membutuhkan konsentrasi untuk “Di mana aku? Mana Ibu ..? “Samar-samar
memikirkan nasib perusahaan. Keputusan yang kuambil kulihat wajah yang tak asing itu duduk di sampingku. Pak
tak pernah tepat kini. Alhasil, perusahaanku pun gulung Halim? Kau kah yang membawaku ke rumah sakit ini?!
tikar. Utang di mana-mana. sembari bertanya-tanya pada diriku sendiri, mulutku
Aghhhhrrrhhh…! Aku marah pada diriku sendiri. Aku terus berkomat-kamit.
terlalu egois. Kalau saja Pak Halim masih mendampingiku, Pak Halim hanya memandangiku haru. Air
aku tak akan sesusah ini. Ah… aku menyesal. matanya mengalir. Sesekali ia seperti mengucapkan
Kustarter BMW-ku, mesin berbunyi halus. Tanpa sesuatu kepadaku. Tapi aku tak mendengar apa-apa.
konsentrasi yang penuh, aku melaju.. Kali ini tak tahu aku “Astaghfirullohalazhiim…!!!” Aku berteriak mengharapkan
akan pergi ke mana. Aku tak tahu, ingin aku kembali ke ampunan dari Allah. Namun lagi-lagi, aku tak mendengar
kampung halaman, meminta maaf pada ibuku, teriakanku sendiri. Tiba-tiba telingaku sakit. Dan aku baru
menziarahi kuburnya, aku malu. Pun begitu juga kepada sadar, kecelakaan malam itu membuatku tak dapat
saudara-saudaraku. Pak Halim, yang terkadang menjadi mendengar dan mungkin juga tak dapat berbicara. Aku
tempat curhatku, kini tak ada lagi di sampingku. Nak, tuli.
bagaimanapun, jangan tinggalkan shalat! Itu adalah
ibadah yang pertama kali dihisab.” Tiba-tiba bayangan Ibu Tak ada yang lain yang bisa kulakukan. Hanya
muncul lagi di kaca depan mobilku. Menghalangi jeritan dalam hati yang mampu aku teriakkan. Tubuhku
pandanganku ke depan.“Nak! Kembalilah kejalan Tuhan- menggigil, kurasakan ngilu di ulu hatiku, seperti ditusuk
Mu!” Kali ini keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. sembilu. Dalam dan semakin dalam. Aku ingin shalat. Jam
Aku menggigil. Perasaanku tak karuan. “Nak! Ingatlah… di dinding kamar putih itu menunjukkan pukul dua belas
semua harta benda hanya titipannya… kembalilah!” siang, waktu yang aku gunakan untuk memarahi Pak
Tidaakk…! Klakson dari mobil belakangku Halim yang izin keluar untuk melaksanakan shalat. Waktu
membuat konsentrasiku makin membuyar. Sorotan ketika aku sering mengunci rapat-rapat telingaku dari
cahaya lampu dari mobil yang berlawanan arah denganku suara azan yang mengalun syahdu. Dan kini suara itu
menyilaukan pandangan ini, saat bayangan Ibu hilang, benar-benar tak dapat lagi kudengar.Selama-lamanya.
yang kulihat hanya cahaya terang. Terang sekali, hingga
aku tak nyaris buta. Klakson dari belakang terus
beriringan. (Nurainun; Majalah Annida)
Ciiitttt! Brakkkk!!

SOAL KOMPETENSI MEMBACA!


1.    Analisis unsur-unsur intrinsik dari cerpen tersebut dan tuliskan buktinya!
2.    Tentukan nilai kehidupan yang dapat diambil dari cerpen tersebut!

Unsur Isi Bukti


Tema .............. -
Tokoh
Watak Dst

SOAL KOMPETENSI MENULIS


Topik : Kegiatan MTs Unggulan Nuris
Pokok-pokok berita :
Apa : Pentas Seni
Siapa (penyelenggara) : OSIM
Di mana : Lapangan Madrasah
Kapan :  28 Pebruari 2019
Mengapa :   – Program rutin OSIM
                      – Pengembangan kreativitas siswa
                       - Sarana peningkatan persahabatan antar Madrasah.
Bagaimana : – Suasana meriah dengan tema Islami
                        - MTs An nuriyah mengisi acara band
                        - MTs Nurul Huda mengisi musikalisasi puisi
                        - MTs Masyithoh mengisi pembacaan puisi 
                        - Anggota panitia memakai pakaian Islami
                        - Acara berlangsung dari pukul 08.00 s.d. 16.30

Anda mungkin juga menyukai