berlalu lalang, membuat beberapa orang terkejut dan bergegas membuka payung mereka atau berlari untuk sekadar berteduh diantara ruko – ruko bangunan yang berjejer sesak. Tak terkecuali diriku yang langsung membuka payung ketika kusadari hujan mulai turun. Kulangkahkan kaki kearah salah satu bangunan yang cukup luas diseberang ruko yang berjejer, yang tak lain adalah sebuah café. Ketika masuk kulipat payung dan memasuki ruang kecil dibelakang dapur. Ya, aku adalah pemilik café saat ini dan rung kecil ini adalah kantorku.
Aku adalah penerus usaha ini setelah kedua orang tuaku
meninggal karena kecelakaan. Saat itu aku berumur 18 tahun, tak terasa sudah 2 tahun aku memimpin usaha ini. Cafe Hujan, itulah nama yang diberikan alm. Kakekku ketika café ini didirikan oleh beliau. Cafe ini memiliki nuansa klasik bercampur vintage yang aku kombinasikan agar lebih menarik. Sekarang ini, café menjadi tempat yang sering dikunjungi masyarakat menengah ke atas. Mahasiswa dan pegawai kantoran yang paling sering datang kemari.
Cukup melelahkan hanya duduk dibalik meja kecil itu,
aku keluar dan melihat – lihat area café yang tidak terlalu ramai. Wajar saja, di luar masih hujan sehingga jarang ada yang mau keluar rumah, aku terpaku sejenak saat mencapai meja kosong persis samping jendela café. Meja itu tidak terlalu besar dengan dua kursi dibawahnya. Meja ini membawa kembali semua kenanganku tentang dia, seseorang yang sangat berarti di hidupku selain keluargaku. Dia yang membuatku mengerti arti dari cinta dan benci di waktu yang sama.
Masih segar di ingatanku masa – masa ketika aku
masih SMA, dia terkadang mampir ke café hanya untuk memesan satu minuman atau duduk diam mengamatiku bekerja.
“ Lyka, lo gk capek apa ? Abis sekolah langsung kerja
“ Yah, kadang capek sih. Tapi lo tau sendiri kalau gue
suka aja bantu- bantu ortu. Kayak yang gak tau gue aja lo Soman.” Jawabku sedikit terkikik.
Soman, itu nama cowok dengan tubuh jangkung, kulit
putih, dan wajah tampan yang mampu membuat seluruh sekolahku terpesona padanya saat itu. Ia menjadi sohibku sejak ia membelaku dari perundungan yang dilakukan teman sebayaku. Kami sering melakukan berbagai hal bersama, karakternya agak nakal tapi disisi lain juga baik. Sisi baiknya hanya ada disaat bersamaku saja. Hingga tak terasa 3 tahun aku dan dia menjalani kehidupan SMA dengan suka dan dukanya. Aku dan dia berjanji kalau kami akan berkuliah di kampus yang sama. Hingga suatu hari, di hujan deras ketika aku membereskan meja café kulihat dia datang dengan baju yang basah kuyup. Matanya terlihat kosong seakan tidak ada kehidupan, aku yang kaget menanyakan berbagai pertanyaan tapi ia tak mau jawab.
Pasti karena orang tuanya, ia selalu bercerita padaku
kalau hubungannya dengan orang tuanya tidak baik. Ia selalu merasa kalau orang tuanta selalu membandingkannya dengan kakaknya yang sukses dan pintar. Padahal aku selalu merasa kalau dia itu jenius, dia bilang kalau orang tuanya seakan membencinya dari lahir. Aku yang dulu mendengar itu sangat sedih hingga menangis, akupun menyemangatinya dan berkata kalau ia bisa ke rumahku kalau ada masalah.
Orang tuaku sudah terbiasa dengan keberadaan Soman,
malah aku merasa kalau Soman dianggap sebagai kakakku oleh mereka. Setelah makan ia masih diam, aku membersihkan piring dan kembali melihatnya. Ia menatap jendela dan udara luar yang hujan, akupun mengajaknya pulang.
Karena aku tidak membawa motor, aku dan dia
memutuskan untuk berjalan menggunakan paying. Dia terus bercerita tentang perlakuan orang tuanya pada dirinya, aku yang mendengarkannya sangat terkejut. Jujur saja kalau aku menjadi dia aku tidak akan kuat, aku menenangkannya dan berkata semua akan baik – baik saja mulai sekarang. Dia hanya tersenyum kecil dan mengacak – acak rambutku.
Aku agak kesal dan hendak mengomelinya, namun aku
mengurungkan niatku. Lihat saja Wajahnya yang lesu dan tatapan mata yang kosong itu. Ia seakan tidak mempunyai nyawa lagi, aku tidak tahan melihatnya seperti itu. Kulepas payung itu dan memeluknya dengan erat.
“ Soman! Kumohon! Seberat apapun masalahmu,
lepaskan semuanya!! Aku tidak sanggup melihatmu seperti ini!! Lepaskan Soman! Awan saja akan memuntahkan butiran hujan yang ia punya jika terlalu banyak. Apalagi kita manusia yang lemah tentu wajar untuk melepaskan masalah kita demi kebaikan kita sendiri ingat itu!” Seruku menantang suara hujan yang deras.
Aku melihat wajahnya diantara hujan, ia terlihat sangat
terkejut. Sesaat kemudian ia tersenyum dan membalas pelukanku lebih erat. “ Terima kasih Lyka, hanya kamu yang mengerti aku dan menyemangatiku. Terima kasih menyadarkanku arti dari hidupku.” Balasnya lalu ia menangis seakan melepaskan segala beban yang ia punya. Kami berpelukan diantara hujan, tidak peduli basah dan dingin yang menusuk kulit ini tidak terasa. Malah kami merasakan kehangatan yang dating dari hati kami, setelah beberapa saat kami memutuskan melanjutkan perjalanan pulang. TIba – tiba….
“ Lyka AWAS!!” Teriak Soman.
Aku yang bingung seketika merasa ada orang yang
mendorongku hingga aku terbanting cukup keras. Tubuhku kesakitan , aku mencoba duduk dan melihat sekitar mencari Soman. Namun, tidak jauh dari hadapanku kulihat tubuh Soman terbaring dengan darah bersimbah di area kepalanya. Kulihat sebuah mobil didekatnya langsung pergi dengan cepat.Tubuhku gemetar dan air mataku keluar tak terkendali.
“ SOMAAAAN!!” Teriakku sambil berdiri dan
menghampiri tubuhnya.
Kuangkat kepalanya ke pangkuanku, aku menangis dan
berteriak memanggil namanya. Aku berteriak minta tolong hingga suaraku serak. Dia membuka matanya sedikit dan tangannya terangkat dan memegangi wajahku.
“ Syu…kurlah kamu…. baik – baik… sa..ja… Ma-
maaf… kayak…nya.. a-aku.. gk …bisa…nemenin lo… lagi.” Katanya lemah. “Jangan bilang apapun! Lo harus hidup!” Jeritku frustasi.
“ Maaf… bikin lo.. nangis. Lo ha…rus….baha…
gia….Ly…ka.” Lanjutnya dengan tersenyum lemah.
Seketika matanya tertutup dan tangannya terjatuh ke
tanah, aku tertegun dan mulai panik. Kugoncangkan badannya yang semakin mendingin dan memanggil – manggil namanya. Namun ia tak bangun lagi, aku menangis dan menjerit seperti orang gila pada hari itu.
Tanpa sadar aku meneteskan air mata mengingat
kejadian itu, aku duduk dan memperhatikan langit. Aku sadar kalau mengharapkan keberadaannya hanya tinggal anganku semata, namun aku harus menghadapi ini dengan tabah. Ketika aku hendak berdiri, dihadapanku berdiri seseorang yang sangat mirip dengan Soman.
Aku yang tertegun seketika bertanya “ Ka-kamu siapa ?”