Anda di halaman 1dari 5

SEPASANG BOLA MATA

Senja mulai redup, hujan mulai turun membasahi sekujur tubuhku beserta
rumah-rumah raga yang tak bernyawa. Aku meratapi nasib sembari melihat foto kami
yang diambil beberapa bulan yang lalu. Bagai pungguk merindukan bulan, aku
menunggu di sini berharap suara yang sirna itu akan kudengar kembali. Kaki ini pun
kupaksa untuk beranjak dan pulang, tak peduli dengan penampilanku yang lusuh.
Setelah tiba di rumah, seorang wanita paruh baya dari rumah berlari memelukku.
"Badanmu panas, ayo masuk!" suruhnya.
Aku mengangguk, dengan sempoyongan aku berjalan ke kamar, mengganti
pakaian, lalu menunggu ibu mengompresku. Ketika berbaring, mataku berat untuk
terbuka. Beberapa pertanyaan dari ibu hanya kubalas dengan dehaman, karena bibirku
kelu.
"Hafizah, ayo cepat bergegas, temanmu sudah datang!"
Mataku sontak terbuka lebar dengan ringan mendengar suara itu, seperti suara
ibuku. Aku terheran ketika melihat tubuhku berdiri di sudut ruangan dan sibuk bersiap
untuk berangkat ke sekolah. Apakah ini mimpi? Mengapa waktu berlalu begitu cepat?
Padahal aku baru tiba di rumah sore hari. Tak lama kemudian datang seorang laki-laki
yang berjalan ke ibuku, ragaku yang berada di dekatnya ditembus, ini di luar nalar,
jikalau laki-laki itu bisa melewatiku, apakah itu artinya aku sudah meninggal dan
bergentayangan di rumahku sendiri? Entahlah.
“Permisi, Bu. Seperti biasa mau ngajak Hafizah berangkat bareng hehe,” ucap
laki-laki itu.
“Iya, Nak. Itu Hafizah sebentar lagi sudah siap,” jawab ibuku sambil
membawakan tas ransel sekolah milik putri semata wayangnya.
Aku merasa suara itu familiar dan tidak asing. Warna suara baritone dan sedikit
pecicilan. Ya, tidak salah lagi, indera pendengaranku hafal betul dengan suara itu.
Aku juga teringat dengan foto yang selalu kubawa ke mana pun aku pergi. Benar, dia
Samuel, satu-satunya yang sudi berteman begitu dekat denganku dan juga menjadi
navigasiku ke sekolah.
“Samuel, aku tidak menyangka akan melihatmu lagi setelah selama ini hanya
bisa melihatmu dari foto,” getar dalam batinku.
Sepasang langkah berangkat menyusuri pagi yang kali ini sinar matahari sudah
sedikit lebih terang dari biasanya.
"Sam, apa kamu melihatku memakai dasi?" tanyaku. Tiba-tiba berhenti di tengah
perjalanan.
"Ya Tuhan, kamu tidak pakai dasi!" pekik Samuel. Ia segera melepas dasi lalu
memakaikannya padaku sembari berkata, "Pakai saja dasiku. Kamu tidak usah
khawatir."
Lima belas menit berlalu, tibalah kami di depan gerbang sekolah, di sekolah
menengah atas inklusi inilah Allah mempertemukanku dengan Samuel, juga teman-
teman yang lain. Meski diriku tidak sempurna, Allah memberikanku kesempatan yang
sama dengan orang-orang yang lebih beruntung dariku untuk memperoleh pendidikan.
Kembali ke awal saat diriku dan Sam hendak masuk, aku melihat guru dan satpam
menghadang kami.
"Haduh, Samuel, Hafizah! Pak Deni bingung sama kalian, anak pintar tapi suka
terlambat!" Pria paruh baya yang tak lain adalah guru kami. "Nah ini, Sam tidak pakai
dasi pula," imbuhnya.
Saat diriku hendak membela Sam, Sam seketika berdiri di depanku seakan
menjadi perisai pelindungku dari amarah Pak Deni.
"Maaf, Pak. Tadi saya kebelet hehe. Hafizah juga terlambat karena menunggu
saya," dustanya.
"Banyak alasan. Sekarang kalian lari keliling lapangan empat putaran!" sentak
Pak Deni dengan geleng-geleng kepala.
"Jadi delapan putaran, ya, Pak? Hafizah biar saya yang mewakili."
Awalnya aku menolak, namun si kepala batu itu selalu saja membuatku merasa
bersalah. Tanpa berkata-kata lagi, kami menyalimi kedua pria di depan kami. Aku
digandeng olehnya berjalan dengan pelan.
"Sam, maafkan aku telah membuatmu mendapat hukuman. Aku akan
menemanimu."
"Hukuman itu bagiku hanya sebesar biji jagung," katanya. "Zah, apa kamu tidak
langsung ke kelas saja?" Aku menggeleng, menolak keras tawaran itu.
Tiba di lapangan, diriku duduk di bawah pohon rindang menunggu Sam
menjalani hukuman. Selesai itu, ia beristirahat dan minum air.
"Bagaimana bisa laki-laki setampan dirimu bersahabat dengan gadis buta
sepertiku, Sam?" Pertanyaan itu juga refleks muncul dalam benakku. Kuakhiri
kesedihanku yang datang tiba-tiba tadi.
Tak hanya mendapat hukuman dari guru di depan gerbang, Sam juga mendapat
hukuman membersihkan toilet dari guru yang mengajar. Aku ingin ikut namun guru
tidak memperbolehkan. Setelah istirahat tiba, ia masuk. Aku menyambutnya.
"Aku lapar, ayo ke kantin!" ajaknya. Kami pun menuju ke kantin yang kuingat
namanya adalah 'Kantin Nusantara', tempat kami biasa mendinginkan pikiran setelah
pembelajaran. Tempat ini juga yang menyediakan menu masakan dari Sabang sampai
Merauke. Kami pun duduk dan memesan. Tak butuh waktu lama, pesanan pun jadi.
"Anak Medan di depanku ini sekarang sudah suka makan nasi pecel, ya?" ujarku
menggodanya.
Samuel tertawa mengiyakan. "Anak Madiun di depanku ini juga sudah suka
makan mi gomak ternyata."
Kami berdoa dengan cara masing-masing sebelum makan. Tiba di suapan
terakhir, Samuel membuka suara lagi.
"Pulang sekolah nanti, aku ingin mengajakmu mencetak foto kita." Samuel
menggenggam tanganku. "Oh, iya. Orang tuaku baru saja pulang dari luar negeri.
Mereka mengundangmu dan ibu untuk makan malam. Mereka tidak sabar melihat
orang yang selalu kuceritakan melalui telepon. Ingat, tidak usah berhias diri, soalnya
kamu sudah cantik." Aku mengangguk tersenyum.
Setelah berbincang cukup lama, bel pun berdenting. Semua siswa berhamburan
masuk ke kelas untuk melanjutkan pembelajaran hingga jam pulang tiba. Matahari
siang ini begitu menyengat, membuat kami seperti pisang kepok yang direbus tanpa
air. Seperti ucapannya di sekolah tadi, Samuel mengajakku ke tempat pencetakan foto.
Diriku pun menerima secarik kertas tebal dari Sam. "Sam, aku jadi ingin sekali
bisa melihat foto ini, tapi sayang, mataku buta."
"Hei, kamu ini bicara apa?"
Aku mengalihkan pembicaraan. "Hm, bagaimana ekspresi kita di foto?"
"Tentu saja bahagia. Apalagi aku."
Bibirku mengulas senyum. Ia mulai menggandeng tanganku lagi.
Mengantarkanku sampai tiba di depan rumah.
"Bagaimana aku dan ibu bisa ke rumahmu? Sedangkan kami tidak tahu
alamatnya," tanyaku.
Samuel menepuk dahinya. "Oh, iya. Rumahku ada di Jalan Ahmad Yani 12,
Perumahan Tanjung Asri. Ibumu pasti tahu."
Aku tersenyum. "Aku tidak sabar bertemu dengan kedua orang tuamu." Ia turut
tersenyum, lantas Sam pun meninggalkan perkarangan rumahku untuk pulang.
Ketika hari sudah mulai gelap, aku dan ibu pun berangkat. Setelah menempuh
perjalanan, kami pun tiba. Aku terkejut ketika melihat rumah Sam yang ternyata bak
istana. Berbeda dengan keadaan rumah yang kutinggali dan itu pun ibu harus banting
tulang melunasi sewanya tiap bulan.
Ibu mengetuk pintu, tak lama kemudian, Sam menyambut kami. Kami pun
masuk, tiba ke ruangan tengah yang megah, Sam memandu kami untuk masuk ke
ruang makan. Aku ingin sekali pergi dari rumah ini, aku benar-benar takut.
Berkebalikan dengan diriku di mimpi ini, dia begitu bersemangat.
"Hafizah, Bu Nisa, mereka orang tua saya. Bu Maria dan Pak Abraham," ucap
Sam. Papa dan mamanya sontak memandang kami. Suasana menjadi sunyi. Suara
batuk dari Pak Abraham memecah keheningan.
"Hafizah, ayo kita pergi! Asal kamu tahu, Nak. Pria itu lah penyebab ayahmu
meninggal dan membuat kedua matamu menjadi seperti sekarang ini. Dia yang sudah
menabrak kita dan pergi tanpa bertanggungjawab!" murka ibuku menunjuk Pak
Abraham yang mencoba mendekat ke arah kami.
"Bu, tolong maafkan saya."
"Apa permintaan maaf bapak dapat mengembalikan penglihatan anak saya? Atau
bisa membuat suami saya hidup lagi? Bapak sudah membuat masa depan anak saya
hancur! Selama ini bapak pergi ke mana saja ketika kami dalam keadaan terpuruk?!
Ayo, Hafizah. Kita memang tidak seharusnya ke sini!"
Sam menahan tanganku saat hendak pergi. Namun ibuku menepis tangannya
dengan kasar dan mendorongnya. Aku iba melihatnya, sayang sekali dulu aku tidak
melihat Sam jatuh, apalagi menolongnya. Aku melihat Sam mengejar kami meski
berkali-kali ibu melarang. Kali ini ia bergelayutan di kaki ibuku sembari menangis.
"Cukup. Mulai detik ini menjauhlah dari Hafizah! Saya tidak rela anak saya
berteman dengan anak seorang pembunuh!" sarkas ibu. Ibu menarikku dengan kasar,
sampai tongkat yang membantuku berjalan tertinggal. Samuel bangkit, ia mengejarku
lagi.
"Tolong, Bu. Jangan pisahkan Sam dan Hafizah."
Persetan Sam, darah ibuku sudah mendidih. Kami menyeberang, karena rumah
Sam dekat dengan jalan raya. Tiba-tiba suara klakson membuat kami terkejut. Aku
juga menyaksikan Sam mendorong tubuhku dan ibu. Dentuman keras itu membuat
hatiku sangat hancur.
"Samuel!" teriak Bu Maria dan Pak Abraham histeris.
Sam digendong oleh papanya dan segera menuju ke rumah sakit, begitupun aku
dan ibu. Tiba di rumah sakit, aku melihat Samuel terbaring lemah setelah menjalani
perawatan gawat darurat. Pak Abraham keluar dari ruangan, kudengar ia akan
menyerahkan diri pada pihak yang berwajib. Ibu hanya terdiam, matanya tak lepas
memandang Sam yang terbaring lemah berjuang di antara garis hidup dan mati.
"Sam, tolong bertahan untukku, ayo bangun, bukankah tadi kamu menahanku?
Sekarang aku ada di sini," ujarku mengoceh sendiri.
"Mama...." Samuel membuka mata. "Bu Nisa, Hafizah?" Hatiku bergetar kala
mendengar suaranya begitu lemah. Mata sendunya memandang kami semua. "Jangan
menangis, kalian adalah perempuan yang kuat. Untuk Hafizah, jaga dirimu baik-baik,
ya? Tugasku menjagamu akan segera selesai. Sepasang bola mataku akan
membuatmu bisa melihat lagi."
Suara alat rekam denyut jantung berbunyi panjang. Bu Maria memeluk tubuh
putranya. Aku menutup mata karena merasakan perih yang begitu menusuk.
Begitupun kakiku yang lemas, karena tak kuat, aku menjatuhkan diriku ke lantai.
Tubuhku merasakan sakit dan mataku terbuka kembali. Ternyata semua ini hanyalah
mimpi. Mimpi yang begitu nyata seolah membawaku kembali ke kejadian-kejadian
yang dulu hanya bisa kudengar. Inilah kisahku, Hafizah, gadis penyandang disabilitas
yang memiliki sahabat seperti malaikat. Sejak mataku bisa melihat dunia, di situ aku
tidak pernah melihat sosoknya lagi.

Anda mungkin juga menyukai