Anda di halaman 1dari 30

1

PROLOG
Rindu yang tak kunjung pulang.
Aku masih memikirkan bagaimana caranya
untuk melupakanmu. Tapi, Aku masih menunggu
kesempatan yang bisa membuat kita kembali
bertemu.

Dia gadis biasa, baginya mencintai adalah hal


yang asing. Bahkan ia tak pernah membayangkan
akan terjebak diantara dua hati. Shima Asmara, gadis
cantik yang menyukai kucing.
Ia hanya gadis yang setiap harinya
melakukan aktifitas biasa, terkesan monoton. Ia
terlahir dari keluarga yang harmonis. Ayah dan
Ibunya memperlakukannya seperti putri dari
kerajaan, ia dimanjakan dengan fasilitas seadanya.
Tapi, kesan manja tak pernah terlihat dari
perilakunya sehari-hari. Ia di didik dengan baik.
Sang Kakak, Haru Asmara, juga tak kalah
memperlakukannya layaknya seorang putri. Bahkan
jika dibandingkan dengan kedua orangtua mereka,
Sang Kakak lah yang selalu berperan penting dalam
kehidupan adiknya, pendapatnya tentang sang Adik
selalu dijadikan titik akhir dari keputusan.
Harus menjadi kebanggaan keluarga, harus
selalu membahagiakan keluarga. Tapi, harus kembali
pulang pada keluarga. Itu yang ditekankan sang
Kakak pada adik satu-satunya, kesayangan keluarga.

2
Bukan tanpa alasan. Si Adik yang baru saja
menginjak usia sembilanbelas tahun itu yang
menginginkan jauh dari keluarga, menetap di kota
orang. Bahkan ia baru saja dinyatakan LULUS dari
Sekolah Menengah Atas nya. Ia ingin belajar mandiri,
katanya.
Keputusan berat harus diambil, terlebih ia
seorang wanita. Berada di kota orang sendirian
tanpa pengawasan. Orangtua mana yang rela
melepaskan anak gadisnya pergi jauh dari rumah.
Tapi dengan bantuan sang Kakak, meyakinkan kedua
orangtua mereka bahwa mungkin saja merantau
memang sudah menjadi takdir si bungsu.
Dengan berat hati. Dan tentu saja dengan
wejangan-wejangan yang harus bisa si bungsu
terapkan nantinya, Ia dilepas. Pergi merantau di kota
orang, dengan bekal seadanya, ia berniat
melanjutkan studi dan mencari pekerjaan di tempat
baru nya nanti.

"Sayang, kamu yakin? Nak, menetap di kota orang itu


enggak gampang lho. Apa kamu enggak kuliah atau
kerja di daerah sini saja?." Ibunya berkata, mereka
sedang merapihkan barang bawaan si bungsu.

"Yakin, Bu. Ibu do'a yang kuat ya. Shima yakin, ini
jalannya Shima."

3
"Kamu hati-hati disana nya ya! Terus kabarin ibu,
jangan lupa makan, sholat tepat waktu! Kalau kamu
capek, pulang ya, Nak."

"Pasti Bu, sejauh apapun Shima pergi. Tempat Shima


pulang itu disini, Ibu jangan terlalu khawatir ya.
Nanti Ibu sakit, Shima pasti baik-baik aja disana."

"Gimana Ibu enggak khawatir? Kamu gadisnya Ibu.


Gadisnya Ayah."
"Bu..." tiba-tiba sosok pria paruh baya
menginterupsi.

"Adek jangan dibikin sedih dong. Kita kan udah


sepakat biarin Adek merantau."
"Ibu masih enggak rela, Yah. Adek kalau sakit pasti
harus dipeluk dulu biar bisa bobo. " Ucap Sang Ibu
yang sudah sangat mengenal putri satu-satunya itu.

"Shima pasti sehat terus kok, Bu. Ibu jangan


khawatir dan berpikiran yang enggak-enggak dulu
ya." Shima meraih tubuh sang Ibu untuk dipeluk. Ia
tahu perasaan Ibunya, Ia juga merasa enggan untuk
pergi, tapi jika tidak diambil, kesempatan tidak akan
datang dua kali.

"Iya Bu, Kakak yakin kok Shima bisa jaga diri." Haru
yang baru saja selesai memanaskan motornya, ikut
bersuara meringankan beban sang Ibu.

4
"Kamu ini sama aja kayak Ayah, Kak. Sayang, Nak
dengerin Ibu. Pokoknya kalau sampai kamu ada
masalah atau apapun itu hal-hal kecil yang buat
kamu enggak nyaman disana, langsung kabarin Ibu
ya! Biar kamu langsung pulang. Kita cari kerjaan lain
disini buat kamu."

"Iya Bu, Iya." Ujar Shima. Ia tahu sang Ibu tidak akan
berhenti bicara jika ia tidak segera mengiyakan
wejangan-wejangannya.

"Kakak anterin Adek dulu ya, Bu, Yah."


"Shima pamit Ayah, Ibu."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam"
Keduanya berlalu meninggalkan pekarangan
rumah setelah berpamitan, mencium punggung
tangan Ibu dan Ayah. Keduanya semakin menjauhi
area rumah sampai tidak dapat lagi melihat
lambaian tangan kedua orangtua mereka.
Setengah jam perjalanan mereka tempuh
untuk sampai ke terminal bus. Tempat dimana
Shima akan pergi untuk sampai ke tujuan. Kurang
lebih delapan jam perjalanan yang akan ia tempuh
menuju tempat tujuannya yaitu Yogyakarta.
Ia akan meninggalkan sementara kota
kelahirannya, kota dimana ia dibesarkan dengan
penuh kehangatan dan keharmonisan. Kota dengan
suasana penduduk yang ramah, Kota Kembang,
Bandung.

5
Selama setengah jam perjalanan, si Kakak
banyak sekali diam. Shima tidak tahu harus
mengatakan apa, ia tidak terbiasa mencairkan
suasana seperti yang Kakaknya lakukan. Ia akan
memilih diam jika lawan bicaranya pun sama diam.

"Dek, kamu enggak takut sendirian disana? Kakak


temenin sebulan dua bulanan ya, biar kamu adaptasi
dulu, abis itu kakak pulang." Ucap si Kakak setelah
mereka sampai di tempat tujuan.

Oh. Akhirnya sang Kakak bersuara.

"No. Shima udah bilang berapa kali? Enggak. Tetap


enggak."

Si kakak melengkungkan bibirnya membentuk garis


kurva kebawah.

"Dih, apaan sok imut gitu?"

"Kamu enggak kasihan apa? Nanti kalau misalnya


Ibu atau Ayah sakit gimana? Siapa yang rawat?"

"Ya Kakak lah, makanya Kakak enggak usah ikut."

"Nanti kalau mereka kangen gimana?"

"Mereka? Atau Kakak?"

6
"Ish, mereka lah. Ngapain Kakak kangen kamu,
bocah tengil."
"Dih, bocah tengil gini juga sering ya aku manjain
Kakak. Pijetin, elus-elus rambutnya kalau lagi
pusing."

Si Kakak terkekeh, memang tak hanya ia


yang selalu memanjakan adik bungsunya itu.
Kenyataannya ia juga tak kalah manja pada si adik.
Apalagi jika mereka ditinggalkan hanya berdua di
rumah ketika Ayah dan Ibu pergi keluar kota untuk
bisnis kecil Ayah mereka. Saling menjaga dan saling
memanjakan sudah menjadi keseharian bagi
keduanya.

"Kamu sering-sering kabarin Kakak ya! Jangan


sampai sakit. Nanti enggak ada yang rawat kamu
kalau jauh gini, repot."

"Iya, bawel."

"Nih, bekal dari Kakak. Kakak tahu, kerjaan Kakak


enggak begitu hebat. Sampai-sampai kamu memilih
merantau jauh dari keluarga. Kakak minta maaf ya,
kakak belum bisa cukupin apa maunya kamu." Ujar
sang Kakak memberi uang dua lembar seratus
ribuan.

Kali ini berbalik, si bungsu yang melengkungkan


bibirnya kebawah.

7
"Kak, jangan ngomong gitu dong. Shima kan jadi
berat pergi nya."

Haru kembali terkekeh, melihat wajah gemas


adiknya, ia mengusap halus pucuk kepala sang Adik.

"Adek Kakak udah gede ya, rasanya baru kemarin


Kakak gendong kamu, pas kamu ketiduran di ruang
tv. Sekarang udah mau kerja tapi malah jauh."

Tak tahan dengan ucapan sang Kakak yang


membuat suasana menjadi haru, ia memeluk erat
Kakaknya tanda perpisahan.

"Jangan lupa rumah ya, dek. Ingat! Kalau kamu sedih,


kalau kamu punya masalah, ingat rumah! Dimana
kamu menetap, dimana kamu kembali pulang."

"Iya, Kak. Shima pasti ingat terus sama kalian. Jaga


Ibu sama Ayah ya Kak, Shima janji bawa bahagia
buat kalian nanti."

"Iya, Kakak percaya. Kakak yakin ini jalan buat kamu


sukses. Pokoknya kamu harus pintar-pintar jaga diri.
Nanti kalau bekal dari Kakak kurang, Kakak kirim
lagi ya. Untung kemarin kita keburu dulu bikin
rekening buat kamu. Jadi enggak susah kalau mau
kirim uang."

8
"Enggak. Shima enggak mau Kakak kirim uang buat
Shima terus. Uang yang Kakak kasih sekarang bakal
Shima simpan kalau nanti ada keperluan mendesak
aja baru Shima pakai. Ayah sama Ibu juga udah kasih
bekal yang cukup banyak, Kak. Kakak enggak usah
khawatir ya."

"Good girl. Pokoknya kalau kurang kabarin Kakak.


Ingat! Kakak, Ayah, Ibu, itu rumahnya kamu." Haru
mencium pucuk kepala adiknya, memberikan tanda
bahwa ia benar-benar menyayangi adik bungsunya
itu.

"Makasih, Kak. Shima sayang Kakak." Balas si adik


kembali mengeratkan pelukannya.
"Iya, Kamu juga tahu kan? Kakak lebih sayang
kamu."
"No. Shima yang paling sayang sama Kakak."

Kakaknya tersenyum, ia tahu si adik tak akan


pernah mau mengalah perihal mengungkapkan
perasaan seperti ini.

"Iya, iya sayang. Kamu yang paling sayang Kakak."

Si Adik melonggarkan pelukannya, menatap binar


kakaknya. Senyumnya merekah.

9
"Kak, ayo foto bareng. Buat kenang-kenangan.
Lumayan bisa pamer ke Ayah sama Ibu, ini pertama
kalinya Shima lihat Kakak matanya berkaca-kaca."

Tawa si adik mengudara, seiring dengan


tangan yang mengangkat ponselnya. Klik. Satu
jepretan pada kamera ponselnya, ia sengaja tak
menunggu sang Kakak memilih gaya.

"Ish, Kakak belum gaya lho itu. Mana sini ulangi lagi
ah."

"Enggak mau." Si adik mengejek, menjulurkan


lidahnya.

"Kamu ini emang tengil banget sih, enggak heran."

"Dih, suka-suka aku dong."

Tawa keduanya kembali merekah.

"Bus nya udah ada, Kak. Shima pilih tempat duduk


dulu ya, Kak."

"Sini, biar Kakak yang masukkin tas nya. Kamu


duduk di dekat jendela aja ya, biar enggak bosen bisa
lihat-lihat jalan."

"Iya, Kak."

10
Haru mengantarkan adiknya memasuki Bus memilih
tempat duduk di dekat jendela.

"Jaga diri ya, kabarin Kakak kalau udah sampai


tempat kos."

"Siap bos."

Shima mencium punggung tangan sang Kakak.

"Assalamu'alaikum Kak."

"Wa'alaikumussalam sayang, hati-hati ya, jaga diri."


Ucap Haru mengusap pucuk kepala adiknya.

Shima tersenyum dan mengangguk


membalas ucapan Kakaknya. Bus yang Shima
tumpangi menyalakan mesin, dan mulai berjalan
pergi menjauhi terminal, dengan lambaian tangan
Haru dan Shima yang terhalang jendela Bus.
Haru kembali mengendarai motornya,
setelah Bus yang ditumpangi sang Adik pergi sampai
tak terlihat sedikitpun. Bulir air mata kembali turun
membasahi pipinya, ia tak biasa menangis didepan
orang lain. Kenyataannya, memang ia yang sangat
berat melepas kepergian adiknya. Ia merasa gagal
menjadi Kakak, tak bisa memenuhi kebutuhan
adiknya yang bahkan memang bukan sepenuhnya
menjadi tugasnya. Tapi rasanya ia memiliki

11
kewajiban untuk membuat adiknya bahagia dengan
kehidupannya.
Delapan jam perjalanan yang Shima tempuh
untuk sampai ke tempat tujuan. Ia tak berhenti di
terminal saja, butuh sekitar tigapuluh menit lagi
untuk sampai di tempatnya menetap di kota ini.
Shima membuka ponselnya, menggulir aplikasi,
membuka aplikasi hijau, memesan ojeg secara online
supaya ia segera tiba di tempatnya menetap untuk
beberapa waktu kedepan.

12
2. Mendung
Berjalan sendirian tidak akan selalu
membuatmu kesepian. Kadang semesta
memberikan kita waktu untuk berdiri dan
melangkah dengan kaki kita sendiri tanpa
bantuan siapapun.

Shima tiba di tempat kosnya sekitar pukul


setengah duabelas malam, ia segera memasuki
kamarnya. Kamar yang hanya berukuran enam
kali tujuh meter persegi ini sudah difasilitasi
dengan kamar mandi dan dapur kecil didalam
ruangan. Sebelum menetapkan akan tinggal di
tempat ini, Shima sempat mencari tempat lain di
daerah tempatnya akan bekerja, tapi disana
tidak sebagus fasilitas tempatnya sekarang ini.
Akhirnya ia lebih memilih tempat ini yang mana
harus menempuh jarak kurang lebih duapuluh
menit untuk tiba di tempatnya bekerja.

'Kabarin Kakak sekarang atau nanti ya?'


Batinnya setelah sampai di kamar kosnya.
Tanpa berpikir lama, ia membuka ponselnya.

13
Kak Aru♡
(Hari ini)
23.34

Anda
Kak, Shima udah sampe kamar kos. Mau beres-
beres terus istirahat, Kakak udah tidur ya? Ya
udah selamat malam♡
Setelah mengirim pesan, Shima langsung
beristirahat tanpa mengetahui sang Kakak
sudah membalas pesannya.

Kak Aru♡
(23.55)
Belum sayang, Kakak belum tidur. Ya udah iya
kamu istirahat aja, pasti capek. Nanti Kakak
bilang ke Ayah Ibu kamu udah sampe. Istirahat
ya cantik♡

Ketika bangun Shima membersihkan tempat


tidurnya dan membereskan barang-barang yang
belum sempat ia bereskan semalam karena
terlalu lelah. Ia kembali membuka ponselnya.

'Oh, semalam langsung Kakak balas? Ya sudah


lah enggak usah dibalas lagi deh.' Batin Shima, ia
terkekeh.

Shima cenderung menyukai gaya komunikasi


secara langsung daripada via chat ataupun
telepon. Ia lebih suka berbicara dan
mengutarakan perasaannya secara langsung,

14
dan tidak memendam apapun. Apalagi pada
sang Kakak. Ia bahkan cenderung lebih ekspresif
dibandingkan Kakaknya yang terlihat dingin dan
cuek.

Shima POV

Sekarang hari pertama aku berada di kota


orang. Semalan saat sampai di tempat kos, aku
langsung tertidur setelah membereskan
separuh barang bawaan dan mengirim pesan
pada Kak Aru. Entah bagaimana jadinya nanti
setelah aku jauh dari rumah. Apa aku akan
bertahan lama di kota ini? Ah, baru saja
semalam aku sudah memikirkan hal-hal buruk.

Padahal Ibu dan Ayah sampai susah sekali


melepaskan aku. Harusnya aku lebih semangat
lagi supaya aku bisa buktikan pada orang-orang
disana kalau aku juga bisa sukses dengan caraku
sendiri.

Semoga di tempat ini aku menemukan bahagia


juga. Setelah kepergian dia, rasanya aku sulit
sekali membuka hati. Bahkan mungkin akan
sulit rasanya menemukan cinta yang lain. Dia
kemana ya? Sudah lama sekali rasanya hilang
kabar. Ah, tapi aku siapa? Aku bukan siapa-
siapanya.

Senja Giovandra. Senyumnya manis, sifatnya


baik, rasanya nyaman saat bersama dia.

15
Ucapannya membuat suasana menjadi hangat.
Aku bertemu dengannya di penghujung tahun,
di pinggir Kota tanpa sengaja. Sayangnya itu jadi
pertemuan pertama sekaligus terakhir. Aku
hanya sempat mengetahui namanya, dan
membicarakan hal-hal kecil bersamanya.
Anehnya pertemuan pertama itu justru
membuat aku yakin kalau suatu saat nanti kita
pasti akan bertemu kembali, walaupun entah
kapan.

Aku berusaha mencari namanya di sosial media,


sekedar ingin bertegur sapa atau bertukar kabar
dan berbicara hal-hal lainnya lagi. Tapi nihil, aku
tidak menemukan apapun di halaman pencarian
atas namanya.
"Duh, aku mikirin apa sih? Fokus Shima. Ingat
tujuan kamu disini itu untuk apa."

Author POV

Disisi lain, ada seorang pria yang sedang


menggenggam buket bunga. Berjalan melewati
pekarangan yang dipenuhi batu-batu nisan.
Melirik nama disetiap batu nisan, mencari satu
Batu Nisan dengan nama Asma Saharani, milik
sang Mama.

Setelah tiba di batu nisan bertuliskan nama


indah sang Mama, ia bersimpuh di samping batu
nisan itu. Dua tahun tanpanya membuat Senja
Giovandra kehilangan harapan hidup. Berharap

16
bahwa kehilangan Mamanya hanyalah sebuah
mimpi --Ia terus menyangkal kenyataan yang
menyakitkan itu--.

"Ma, dua tahun ini Gio kehilangan harapan. Gio


belum sempat kenalin dia ke Mama. Dia cantik
Ma, senyumnya indah hampir mirip Mama.
Bahkan nama kalian juga mirip, Ma. Gio masih
berusaha cari dia. Gio nyesel enggak minta
nomor kontaknya dulu. Setelah pertemuan
pertama itu, Gio enggak pernah ketemu dia lagi,
Ma." Ia bercerita pada batu nisan di sampingnya.
Berharap sang Mama mendengarnya dari atas
sana.

"Gio kangen Mama. Papa makin parah, Ma. Dia


bahkan jadi suka mabuk-mabukkan dan
ngabisin uang Gio. Gio enggak tahu harus
gimana lagi, Ma. Gio capek Ma, Gio mau susul
Mama aja. Tapi Gio sayang Papa." Lanjutnya.

Yang tak pernah diketahui orang lain. Ia menjadi


lebih sering bercerita pada benda mati setelah
kepergian sang Mama, walaupun tidak
didengarkan, setidaknya ia merasa lega karena
tidak merasa sendirian. Setelah kehilangan
Mama nya, rumah yang tadinya hangat dengan
suara tawa di ruang keluarga, atau di ruang
makan ditengah-tengah makan malam, hilang
sudah.

17
Sang Mama yang pergi lebih dulu membuat hati
dan mental Papanya terguncang. Beliau yang tak
pernah menyentuh alkohol itu mulai banyak
minum setelah ditinggal pergi mendiang
istrinya. Bahkan entah berapa banyak uang
terbuang sia-sia karena dihabiskan untuk
berjudi.

Senja Giovandra yang merupakan anak tunggal


yang hanya mengandalkan penghasilan
orangtua nya. Setahun setelah kepergian sang
Mama, Papa nya terkena phk karena beliau tidak
masuk kerja hampir tiga bulan lamanya.

Alhasil, Gio hanya bisa mencari kerja ditengah-


tengah kegiatan kampusnya. Ia bahkan sempat
terancam dikeluarkan dari kampus karena
keterlambatannya membayar uang semester. Ia
mencari kerja mengandalkan kemampuannya
bermain musik, setelah sempat mengikuti
berbagai macam pelatihan dan tentunya les alat
musik. Akhirnya ia bisa memanfaatkan
kemampuan dan hasil pelatihannya dengan
membuka les privat musik, khusus alat musik
piano dan gitar.

Bukan hanya membuka les privat, ia juga


bekerja di sebuah toko dua puluh empat jam
yang membuka lowongan pekerja paruh waktu
seperti dirinya. Ia biasanya mulai bekerja paruh
waktu saat malam tiba. Karena untungnya ia
mengambil kelas reguler yang dilaksanakan

18
pagi hari. Setidaknya ada waktu siang atau sore
sampai malam supaya ia bisa bekerja mencari
uang untuk menyambung hidupnya dengan
sang Papa. Karena setelah terkena phk, Papanya
sudah tidak bekerja lagi, beliau hanya sibuk
mabuk dengan teman-temannya dan juga
menghamburkan uang anaknya.

"Ma, Gio pulang dulu ya. Do'ain Gio sehat dan


kuat ya, Ma." Kemudian ia meletakkan buket
bunga yang ia bawa di batu nisan milik sang
Mama.
.
Matanya berbinar menatap langit malam.
Suasana hatinya sedang baik. Sudah beberapa
hari dia berada di kota orang, jauh dari
keluarganya. Ia berjalan sembari bersenandung
riang menyanyikan lagu favoritnya, Justin
bieber-ghost.
Waktu menunjukkan pukul setengah delapan
malam. Waktu dimana dirinya baru saja
menyelesaikan pekerjaannya, walaupun masih
menjadi trainee. Ia diterima bekerja di sebuah
perusahaan telekomunikasi.

Sebelum ia menerima panggilan kerja tersebut,


Ia sudah mendaftarkan dirinya juga di kampus
sekitar daerah tempatnya tinggal. Menunggu
pengumuman diterima atau tidaknya ia di
kampus pilihannya itu. Mungkin jika ia diterima,
ia akan mengikuti kelas karyawan, dimana ia
akan berangkat hanya pada waktu siang hari,

19
dan di hari kamis-jum'at-sabtu saja. Paginya ia
gunakan untuk berkerja.

Ia berdiri di pinggir jalan menunggu


jemputannya. Ia memesan ojeg online. Tak
menunggu lama, ojeg pesanannya sampai.
Kurang lebih limabelas menit untuknya sampai
di tempat kos. Ia langsung merebahkan
tubuhnya, tak peduli kemeja kerja yang masih
melekat pada tubuhnya. Hingga satu panggilan
mengejutkannya, membuatnya kembali duduk
menegakkan tubuhnya sebelum menerima
panggilan dari nomor yang sangat ia kenal.

"Kakak.. ih ini udah malam lho, ngapain


nelpon?"

"Assalamu'alaikum. Halo? Ini dengan Shima


Asmara?"

'Kenapa yang angkat cewek?'-batin Shima

"Wa'alaikumussalam, iya, ini dengan siapa ya?"

"Saya dari pihak rumah sakit ingin


memberitahukan keadaan pasien yang bernama
Haru Asmara, kami sedang menunggu
kedatangan keluarganya karena saat ditemukan
pada kecelakaan tadi pasien hanya sendirian.
Kemudian saya melihat ponselnya, mohon maaf
sebelumnya, tapi panggilan terakhir yang pasien
lakukan adalah bersama Anda. Apakah anda
keluarganya?"

20
"Hah? Apa ini serius? Iya iya aku adiknya.
Rumah sakit mana? Kecelakaan gimana?
Dimana?"

"Begini Mba, biar saya share lokasi rumah


sakitnya lewat ponsel ini. Mengenai
kecelakaannya maaf saya kurang tahu, saya
hanya disuruh untuk menghubungi keluarganya."

"Oke, aku kesana sekarang. Makasih."

Panggilan ditutup. Dengan gelisah, dengan hati


yang tak tenang Shima mengenakan jaketnya,
memesan kembali ojeg online pada ponselnya
setelah mendapatkan lokasi tempat dimana
sang Kakak berada, ia keluar dari tempat kos
nya dan pergi setelah memastikan kamar kos
nya terkunci.

"Kak Aru ini keras kepala banget sih? Shima kan


udah bilang jangan nyusul masih aja ngeyel.
Mana pake motor lagi, kan jauh banget Bandung
ke Yogya. Gini kan jadinya bikin khawatir."
Monolognya ketika berjalan di lorong rumah
sakit setelah ia bertanya melalui resepsionis
tempat dimana Kakaknya berada.

Saat tiba di ruangan sang Kakak, ia segera


duduk di samping ranjang kakaknya.
Ruangannya ramai, karena memang bukan
ruangan khusus VIP, ada pasien lain dan tentu
saja ada pengunjung pasien lainnya.

21
"Kak, belum bangun ya?"

"Kakak ini kenapa sih, ngeyel banget. Ima kan


udah bilang, jangan nyusul. Gini kan jadinya,
untung Kakak gak parah lukanya. Untung motor
kesayangan Kakak juga gak parah rusaknya."
Shima bermonolog, ia tahu sang Kakak mungkin
belum bisa mendengarkan ocehan nya saat ini.

"Kak, Ima marah ah. Awas nanti kalau bangun


Ima cuekkin, bodo amat."

Shima kembali diam. Ia menggenggam hangat


tangan milik sang Kakak. Menundukkan
kepalanya, rasa lelahnya hari ini semakin
bertambah karena melihat kondisi sang Kakak.

Memang tidak terlalu parah, hanya saja ini


pertama kali sang Kakak sampai dirawat di
rumah sakit. Langit cerah yang ia tatap tadi
selepas pulang dari tempat kerjanya, berubah
mendung seketika.

Beberapa menit Shima hendak mencoba untuk


meraih mimpinya, tetapi tiba-tiba ada satu
tangan kekar mengelus lembut kepalanya.

"Sayang, maaf." Shima mendongakkan


kepalanya. Menatap mata hitam legam milik
sang Kakak.

22
"Kakak gak apa-apa kan? Apa yang sakit?" Shima
bertanya sembari mencoba mencari luka lain di
tubuh sang Kakak, sejauh yang ia lihat hanya
ada dua goresan pada lutut sang Kakak, itu pun
sudah diberi perban.

"Tangannya ada yang sakit gak?"

"Sayang, maafin Kakak."

Shima berdecak, ia malas jika sudah mendengar


kata sayang dari mulut sang Kakak. Ia tahu,
setelah ini Kakaknya akan berperilaku manja, ia
sudah tahu pasti sang Kakak tidak ingin
mendengarkan amarahnya yang ia redam sedari
tadi.

"Denger! Ima gak suka ya Kakak keras kepala


kayak gini lagi, abis sembuh pulang! Kembali ke
rumah, atau Ima bakalan marah sama Kakak,
selamanya."

"Ya udah, kakak mendingan gak usah sembuh


biar sama kamu disini terus, gak apa-apa kamu
marah juga. Daripada kamu sendirian."

"Ish, kok ngomongnya gitu sih?"

"Sayang, kamu itu perempuan. Ini kota orang,


dan kamu disini sendirian, gak baik. Kakak cari
kerja disini aja, udah izin kok sama Ayah Ibu."

23
"Enggak. Gak bisa. Nanti kalau Ayah atau Ibu
kangen pengen video call'an gimana? Kan kalau
Kakak disana bisa pakai hp nya Kakak."

"Kakak udah beliin Ibu hp kok sebelum kesini."

"Hah? Itu pakai uang siapa? Itu pakai tabungan


Kakak? Ya Allah boros banget Kak. Sekarang
uang tabungan Kakak tinggal berapa? Kakak
juga ninggalin pekerjaan Kakak? Jangan-jangan
Kakak resign dari pekerjaan Kakak?"

"Maaf, sayang." Haru menundukkan kepalanya.

"Lihat Ima, Kakak. Kok malah nunduk? Jadi


bener? Kakak resign dari pekerjaan Kakak, terus
Kakak kesini? Mau cari kerja disini? Kak, cari
kerja kan susah, kakak sendiri tahu. Kakak udah
enak lho kerja disana. Deket juga sama Ayah
Ibu." Shima mencoba meraih dagu sang Kakak
yang menundukkan kepalanya.

"Kak, Ima enggak mau kalau Kakak disini susah


cari kerja. Sekarang gimana? Kakak udah resign
disana, terus disini baru mau cari kerja lagi pasti
lama dapat nya."

"Enggak, sayang. Kakak udah nyari-nyari kok.


Sama udah kirim surat lamaran juga. Kamu
enggak perlu khawatir."

24
"Ima gak mau, Kak. Ima mau Kakak jagain Ayah
sama Ibu. Kalau kita berdua pergi, nanti yang
jagain mereka siapa Kak?"

"Ibu yang nyuruh Kakak kesini."

"Ibu El?"

Haru mengangguk menjawab pertanyaan sang


adik.

"Ibu gak mungkin biarin Kakak pergi gitu aja.


Gimana sama Ayah?"

"Ayah juga kasih izin kok, sayang."

"Mana nomor Ibu?"

"Sayang, nanti aja di tempat kos kamu ya telpon


Ibu nya. Sekarang pasti masih pada tidur."

"Mana nomornya, Kak. Ima minta sekarang. Di


tas hp nya?"

"Iya."

Terpaksa Haru memberikan tas nya.


Membiarkan Shima mengambil sendiri benda
yang ia cari.

Shima mulai mengetikkan nama Ibu pada kotak


pencarian di ponsel milik sang Kakak. Setelah

25
menemukannya ia segera menekan tombol
panggil. Ia melakukan panggilan pada ponsel
milik sang Kakak, karena jika menggunakan
ponselnya, sang Ibu bisa saja belum menyimpan
kontak miliknya.

"Halo, Assalamu'alaikum, Kak gimana? Udah


sampe? Ini udah subuh sih pasti udah sampe
kan? Atau masih istirahat di jalan?"

"Wa'alaikumussalam bu, ini Ima."

"Lho, dek?. Kok hp nya Kakak sama kamu?"

"Ibu El."

"Sayang? Kenapa? Ini Ima lagi marah nih pasti.


Kenapa, sayang?"

"Ini apa maksudnya? Kenapa Kakak kesini?


Beneran ibu yang kasih izin?"

"Sayang.."

"Bu.. beberapa hari lalu kan kita udah sepakat.


Kakak disana aja jagain kalian, Ima disini enggak
apa-apa sendirian juga Bu."

"Tapi, sayang. Kamu itu perempuan, Nak. Ibu


enggak mau kamu kenapa-kenapa disana. Kamu
itu anak perempuan ibu satu-satunya. Ibu mau

26
kamu pulang dalam keadaan sehat dan selamat,
Nak."

"Bu, kalau kayak begini malah Ima yang


kepikiran kalian. Ima gak mau ya, Ima gak suka
khawatir kayak gini. Kalau kalian ada apa-apa
gimana? Siapa yang jagain kalian nanti?"

Shima terisak. Mengusap lembut pipinya yang


telah basah oleh bulir air mata.

"Sayang, jangan nangis. Ibu sayang Ima, ibu juga


sayang Kak Aru. Kalian jangan khawatir soal
kami. Kami pasti baik-baik aja, kami pasti bisa
jaga diri kami, bukan tugas kalian buat jaga kami
sekarang. Nak, kamu sama Kakak harusnya
masih jadi tanggungjawab kami, kami minta
maaf, karena enggak bisa kasih kemewahan
buat kalian."

"Bu.. jangan gini. Ima enggak pernah pikirin


kemewahan apapun. Ima sayang kalian, Ima gak
mau kalian mikir kalau Ima ngerasa kurang
karena ninggalin kalian kerja disini. Ima cuman
mau bahagiakan kalian nanti di hari tua. Biar
kalian enggak dihina lagi Bu, Ima gak mau lihat
kalian sakit hati lagi."

Shima semakin terisak. Haru yang melihat


adiknya semakin larut dalam tangisan
mengambil alih ponsel yang digenggam sang
adik.

27
"Bu, Ima makin kenceng nangisnya. Udah dulu
ya telponnya Bu. Nanti Aru telpon lagi."

Panggilan di akhiri setelah sang Ibu mengiyakan


ucapan si anak sulung, dan membiarkan si
sulung menenangkan adiknya terlebih dahulu.

"Sini, Kakak peluk." Haru merangkul tubuh sang


adik. Shima terisak didalam pelukan hangat
Kakaknya, ia kecewa pada dirinya sendiri. Sang
ibu sampai mengira kalau ia merasa kurang
dengan kehidupannya, karena ia memang tidak
pernah diberikan kemewahan oleh orangtua
nya sedari kecil. Ia selalu diajarkan untuk hidup
sederhana

28
29
30

Anda mungkin juga menyukai