PROLOG
Rindu yang tak kunjung pulang.
Aku masih memikirkan bagaimana caranya
untuk melupakanmu. Tapi, Aku masih menunggu
kesempatan yang bisa membuat kita kembali
bertemu.
2
Bukan tanpa alasan. Si Adik yang baru saja
menginjak usia sembilanbelas tahun itu yang
menginginkan jauh dari keluarga, menetap di kota
orang. Bahkan ia baru saja dinyatakan LULUS dari
Sekolah Menengah Atas nya. Ia ingin belajar mandiri,
katanya.
Keputusan berat harus diambil, terlebih ia
seorang wanita. Berada di kota orang sendirian
tanpa pengawasan. Orangtua mana yang rela
melepaskan anak gadisnya pergi jauh dari rumah.
Tapi dengan bantuan sang Kakak, meyakinkan kedua
orangtua mereka bahwa mungkin saja merantau
memang sudah menjadi takdir si bungsu.
Dengan berat hati. Dan tentu saja dengan
wejangan-wejangan yang harus bisa si bungsu
terapkan nantinya, Ia dilepas. Pergi merantau di kota
orang, dengan bekal seadanya, ia berniat
melanjutkan studi dan mencari pekerjaan di tempat
baru nya nanti.
"Yakin, Bu. Ibu do'a yang kuat ya. Shima yakin, ini
jalannya Shima."
3
"Kamu hati-hati disana nya ya! Terus kabarin ibu,
jangan lupa makan, sholat tepat waktu! Kalau kamu
capek, pulang ya, Nak."
"Iya Bu, Kakak yakin kok Shima bisa jaga diri." Haru
yang baru saja selesai memanaskan motornya, ikut
bersuara meringankan beban sang Ibu.
4
"Kamu ini sama aja kayak Ayah, Kak. Sayang, Nak
dengerin Ibu. Pokoknya kalau sampai kamu ada
masalah atau apapun itu hal-hal kecil yang buat
kamu enggak nyaman disana, langsung kabarin Ibu
ya! Biar kamu langsung pulang. Kita cari kerjaan lain
disini buat kamu."
"Iya Bu, Iya." Ujar Shima. Ia tahu sang Ibu tidak akan
berhenti bicara jika ia tidak segera mengiyakan
wejangan-wejangannya.
5
Selama setengah jam perjalanan, si Kakak
banyak sekali diam. Shima tidak tahu harus
mengatakan apa, ia tidak terbiasa mencairkan
suasana seperti yang Kakaknya lakukan. Ia akan
memilih diam jika lawan bicaranya pun sama diam.
6
"Ish, mereka lah. Ngapain Kakak kangen kamu,
bocah tengil."
"Dih, bocah tengil gini juga sering ya aku manjain
Kakak. Pijetin, elus-elus rambutnya kalau lagi
pusing."
"Iya, bawel."
7
"Kak, jangan ngomong gitu dong. Shima kan jadi
berat pergi nya."
8
"Enggak. Shima enggak mau Kakak kirim uang buat
Shima terus. Uang yang Kakak kasih sekarang bakal
Shima simpan kalau nanti ada keperluan mendesak
aja baru Shima pakai. Ayah sama Ibu juga udah kasih
bekal yang cukup banyak, Kak. Kakak enggak usah
khawatir ya."
9
"Kak, ayo foto bareng. Buat kenang-kenangan.
Lumayan bisa pamer ke Ayah sama Ibu, ini pertama
kalinya Shima lihat Kakak matanya berkaca-kaca."
"Ish, Kakak belum gaya lho itu. Mana sini ulangi lagi
ah."
"Iya, Kak."
10
Haru mengantarkan adiknya memasuki Bus memilih
tempat duduk di dekat jendela.
"Siap bos."
"Assalamu'alaikum Kak."
11
kewajiban untuk membuat adiknya bahagia dengan
kehidupannya.
Delapan jam perjalanan yang Shima tempuh
untuk sampai ke tempat tujuan. Ia tak berhenti di
terminal saja, butuh sekitar tigapuluh menit lagi
untuk sampai di tempatnya menetap di kota ini.
Shima membuka ponselnya, menggulir aplikasi,
membuka aplikasi hijau, memesan ojeg secara online
supaya ia segera tiba di tempatnya menetap untuk
beberapa waktu kedepan.
12
2. Mendung
Berjalan sendirian tidak akan selalu
membuatmu kesepian. Kadang semesta
memberikan kita waktu untuk berdiri dan
melangkah dengan kaki kita sendiri tanpa
bantuan siapapun.
13
Kak Aru♡
(Hari ini)
23.34
Anda
Kak, Shima udah sampe kamar kos. Mau beres-
beres terus istirahat, Kakak udah tidur ya? Ya
udah selamat malam♡
Setelah mengirim pesan, Shima langsung
beristirahat tanpa mengetahui sang Kakak
sudah membalas pesannya.
Kak Aru♡
(23.55)
Belum sayang, Kakak belum tidur. Ya udah iya
kamu istirahat aja, pasti capek. Nanti Kakak
bilang ke Ayah Ibu kamu udah sampe. Istirahat
ya cantik♡
14
dan tidak memendam apapun. Apalagi pada
sang Kakak. Ia bahkan cenderung lebih ekspresif
dibandingkan Kakaknya yang terlihat dingin dan
cuek.
Shima POV
15
Ucapannya membuat suasana menjadi hangat.
Aku bertemu dengannya di penghujung tahun,
di pinggir Kota tanpa sengaja. Sayangnya itu jadi
pertemuan pertama sekaligus terakhir. Aku
hanya sempat mengetahui namanya, dan
membicarakan hal-hal kecil bersamanya.
Anehnya pertemuan pertama itu justru
membuat aku yakin kalau suatu saat nanti kita
pasti akan bertemu kembali, walaupun entah
kapan.
Author POV
16
bahwa kehilangan Mamanya hanyalah sebuah
mimpi --Ia terus menyangkal kenyataan yang
menyakitkan itu--.
17
Sang Mama yang pergi lebih dulu membuat hati
dan mental Papanya terguncang. Beliau yang tak
pernah menyentuh alkohol itu mulai banyak
minum setelah ditinggal pergi mendiang
istrinya. Bahkan entah berapa banyak uang
terbuang sia-sia karena dihabiskan untuk
berjudi.
18
pagi hari. Setidaknya ada waktu siang atau sore
sampai malam supaya ia bisa bekerja mencari
uang untuk menyambung hidupnya dengan
sang Papa. Karena setelah terkena phk, Papanya
sudah tidak bekerja lagi, beliau hanya sibuk
mabuk dengan teman-temannya dan juga
menghamburkan uang anaknya.
19
dan di hari kamis-jum'at-sabtu saja. Paginya ia
gunakan untuk berkerja.
20
"Hah? Apa ini serius? Iya iya aku adiknya.
Rumah sakit mana? Kecelakaan gimana?
Dimana?"
21
"Kak, belum bangun ya?"
22
"Kakak gak apa-apa kan? Apa yang sakit?" Shima
bertanya sembari mencoba mencari luka lain di
tubuh sang Kakak, sejauh yang ia lihat hanya
ada dua goresan pada lutut sang Kakak, itu pun
sudah diberi perban.
23
"Enggak. Gak bisa. Nanti kalau Ayah atau Ibu
kangen pengen video call'an gimana? Kan kalau
Kakak disana bisa pakai hp nya Kakak."
24
"Ima gak mau, Kak. Ima mau Kakak jagain Ayah
sama Ibu. Kalau kita berdua pergi, nanti yang
jagain mereka siapa Kak?"
"Ibu El?"
"Iya."
25
menemukannya ia segera menekan tombol
panggil. Ia melakukan panggilan pada ponsel
milik sang Kakak, karena jika menggunakan
ponselnya, sang Ibu bisa saja belum menyimpan
kontak miliknya.
"Ibu El."
"Sayang.."
26
kamu pulang dalam keadaan sehat dan selamat,
Nak."
27
"Bu, Ima makin kenceng nangisnya. Udah dulu
ya telponnya Bu. Nanti Aru telpon lagi."
28
29
30