Anda di halaman 1dari 5

LIK YEM DAN UMAR

Saat aku hendak menghampiri Umar untuk berangkat sekolah, aku mendengar suara
tangisan dari dalam rumah Umar. Tangis sedu yang berusaha ditahan. “Assalamu’alaikum,”
aku ucapakan salam sesaat samapi di depan pintu. “Wa…..aaa’alaikumsalam warahmatullah
wabarukatuh,” jawab suara perempuan dari dalam rumah. Benar saja mata ibu Umar terlihat
sembab. Habis menangis rupanya. Telapak tangannya berusaha menghapus airmata yang
mesih tertinggal.

“Umar ada, Lik Yem?” tanyaku kepada Lik Siyem yang berdiri di depanku. Mataku
melihat kedalam tak ada suara Umar. Kemanakah dia geragan? Tanyaku dalam hati.

“Masuk sik sini, duduk-duduk dulu!” jawab Lik Siyem dengan suara agak serak.

Akupun masuk dan duduk di tepi amben.

Lagi-lagi Lik Siyem menangis kembali meski cuma sebentar. Beliau berhenti
sebentar, kayaknya bersiap untuk bercerita apa yang telah terjadi. Aku merasa kasihan kepada
wanita paruh baya ini. Hanya hidup berdua bersama anak satu-satunya Umar, setelah
ditinggal suaminya. Menurut kabar yang beredar dalam kampong, suami Lik Siyem masuk
penjara karena berjudi. Entah itu benar atau tidak aku sendiri tidak tahu.

“Umar dibawa pergi sama bapaknya tadi malam,” menangis kemabali Lik Siyem.
“Umar dibawa paksa oleh bajingan itu. Ibu gak punya daya untuk memberi perlawanan.”

“Dibawa pergi kemana, Bu?” tanyaku menyahut. Lik Siyem hanya menggeleng
kepala sebagai jawaban tidak tahu.”Tapi bukankah – maaf- Lik Karjo dipenjara Lik?” agak
takut juga bertanya begitu. Takut menyinggung perasaan Lik Siyem yang masih bersedih.

“Aku juga tidak tahu, Le!! Tiba-tiba saja semalam bajingan itu datang dan langsung
membawa pergi Umar. Meski sudah aku menolaknya!! Hikss….hikss..hiksss…..”

“Sudahlah Lik!!” entah aku harus berkata apa. Umurku masih terlalu kecil untuk hal
ini. “Semua pasti Allah yang ngatur, Lik. Lik Siyem yang penting berdoa agar Umar diberi
keselamatan dimanapun dia berada sekarang ini.”

Jam dinding sudah menunjukkan pukul 07.00 WIB. Aku meminta pamit untuk
berangkat sekolah, meski sebenarnya aku enggan untuk berangkat. Kasihan Lik Siyem!
Ujarku sendiri dalam hati.

*****

Umar dan aku berteman sudah sejak kecil. Sahabat karib yang paling dapat aku
andalkan. Rumah kami lumayan jauh, tapi itu tidak akan jadi halangan. Bapakku adalah
kepala RT desa setempat. Lik Siyem dengan ibuku merupakan teman sewaktu SD. Karena
ibu lebih tua dari ibunya umar sesuai tradisi kampong aku harus memanggilnya Lik.
Persahabatan ibu turun temurun kepada anaknya.
Kemana ada aku pasti ada Umar. Kami selalu pergi bersama, bahakan pernah nyolong
mangga milik Pak Yahya, kyai dusun setempat.

“Mar, kamu sudah dapat berapa?” tanyaku mendongak ke atas melihat Umar.

“Belum dapat banyak ini!! Karungnya juga masih belum penuh. Nih lihat….”
Diperlihatkannya karung tempat beras cap Bulog kepadaku. Meski semut rangrang mengigiti
Umar, Umar tak merasa kesakitan. Bener-bener nih anak!

“Ntar Pak Yai keburu pulang dari sawah!!” cemasku. Tapi Umar malah makin naik ke
atas.

Kecemasanku ternyata terjawab sudah. Walau bukan Pak Yai dalam perkiraanku,
tetapi malah lebih parah lagi. Siapa lagi kalau bukan Mbah Sipah, ibu dari Pak Yahya. Nenek
ini galaknya minta ampun. Pernah dulu kami diceramahi berjam-jam karena melempari
mangga miliknya dengan batu.

“Gawat Mar gawat!! Mbah Sipah keluar tuh! Mampus deh kita!!”

Akhirnya kami tertangkap juga oleh Mbah Sipah. Meski kami dapat lolos tetapi
mangganya masih tidk sempat kami selamatkan. Rugi deh, perjuangan kami mencuri
mangga. Hehehe…

Sejak itu kenakalan kami makin menjadi-jadi. Namanya juga abak kecil.

*******

Sudah sepuluh tahun lebih berlalu. Waktu yang begitu capat dan begitu menyiksa
untuk Lik Siyem. Selama itu pula belum pernah beliau mendengar kabar anaknay, Umar.
Bapak sudah berusaha mencari informasi keberadaan di kota. Tetapi hasilnya juga nihil.

Aku sudah menyelesaikan sekolah SMAku. Bapak menginginkan aku untuk


meneruskan kuliah ke Semarang. Karena lebih dekat dengan kampung kami. Selain itu juga
demi sebuah janji, janji yang tidak akan kau lupakan seumur hidup. Selanjutnya aku harus
hidup di kota sendirian karena orangtua tidak memiliki sanak keluarga di sini. Setiap sebula
sekali atau dua minggu sekali aku pulang ke rumah untuk menjenguk keadaan rumah.

“Keadaan Lik Siyem gimana, Mak?” tanyaku dalam telpon.

“Kesehatannya semakin menurun, Le! Kemarin saja bapakmu mengantar ke


puskemas. Apa kamu tidak ketemu Umar di Semarang tho Le?” Jawab Ibu dari ujung
seberang.

“Kasihan ya Mak, Lik Siyem? Emang Umar ada di Semarang apa Mak? Mak ini
aneh-aneh saja!! Bapak kemana, Mak?”

“Ya sapa tahu aja, Le, Umar ada di Semarang!! Bapakmu sedang bantu-bantu di
tempate Lik Hudi. Anaknya mau nikah besuk. Lik Hudi kemarin tanya tentang kamu, kamu
bisa pulang tidak untuk rewang!” jelas ibu.
“Owh gitu! InsyaAllah Mak, biar ntar besuk pagi-pagi aku pulang!! Ya sudah ya Mak.
Salam buat bapak adik dan nenek di rumah, assalamu’alaikum….!!” Kataku mengakhiri
sambungan telepon.

“Wa’alaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh”

*******

Selama ini tugas-tugas kuliah membuat sibuk akan semua hal. Juga akan janji kecilku
dulu. Setelah menelpon ibu tadi dan mengetahui keadaan Lik Siyem, aku serasa diingatkan
akan janji itu kembali. Yah, mungkin ini pertanda aku harus kesana? Kata hatiku mantap.

Karena semua tugas-tugas smester ini sudah kelar. Dan memasuki masa liburan
semesteran, aku putuskankan untuk mengemasi barang dan segera pulang kerumah. Sudah
dua bulan ini aku membatalkan kepulangan karena begitu padatnya jadwal ujian dan tugas-
tugas perkuliahan.

“Alhamdulillah ya Allah! Akhirnya hambamu ini dapat memenuhi janji hamba!” aku
rentangkan tangan dan melihat sekitar.

Ya, aku telah berdiri di Masjid Agung Semarang. Suatu kebanggan tersendiri dan
kekosongan tersendiri. Bangga karena akulah yang pertama kali menginjakkan kaki dan
kosong karena tidak ada Umar di sampingku saat ini. Masih jelas dalam ingatanku janji kami
berdua.

“Kamu lihat, Wi! Akulah yang akan menginjakkan kaki pertama kali di masjid
ternesar se-Jawa Tengah, hehehehe….” Lagaknya dengan tawa yang renyah.

“Emang kamu tahu dimana masjid itu berada?” tanyaku sangsi.

“Kemarin kan Pak Yahya bilang kalo Masjid Agung berada di Semarang,” ia
menyenggolkan pundaknya ke pundakku.

“Oke. Kita lihat siapa yang pertama kali,” jawabku tak mau kalah

“Hahahahahahaha…..” kami tertawa bersama.

Tetapi saat ini hanya ada aku sendirian disini. Tanpa Umar di sampingku.

“Dimanakah kau Umar? Dimanapun kau berada, aku telah di sini, Mar. Di Masjid
Agung seperti janji kita dulu!!” ujarku dalam hati.

Azdan shalat Ashar telah berkumandang. Suara sang muadzin begitu merdu. Menusuk
kalbu setiap yang mendengarkan. Siapakah sang pemilik suara merdu ini? Langkahku
semakin mantap untuk mengambil air wudlu. Subhanallah, dzikirku dalam hati.

Dingin terasa ketika memasuki ruangan utama masjid. Mungkin hasil pekerjaan AC
yang dipasang. Ruangan yang penuh ukiran nan indah. Tak kalah indah dengan suara sang
muadzin. Seorang pria dengan rambut gondrong dan tinggi meliuk-liukkan suaranya.
Selesai adzan pria tersebut melihat ke belakang. Melihat para jamaah apa sudah ada
yang datang, mungkin. Melihat wajah pria tersebut. Aku diingatkan oleh seseorang. Ya,
seseorang yang telah lama aku kenal. Tapi apa benar? Aahhh, mungkin aku hanya
berhalusinasi. Tapi…. Tapi….. alisnya, matanya, hidungnya dan wajah itu. Tidak salah lagi.
Ya, dialah orangnya. Umar.

Subhanallah, Maha Suci Allah dengan segala rahmatnya, ucapku tak henti-hentinya.

“Subhanallah, ni benar kamu kan, Mar?” tanyaku seraya mendekati pria yang aku
kenal sebagai Umar itu.

Pria tersebut juga tercenung. “Subhanallah,” ucap Umar. Tak kuasa airmatanya
menetes.

“Subhanallah, Mar! Ini benar kamu Umar!!” aku peluk dia dengan erat. Akhirnya
Engkau pertemukan juga dengan Umar ya Allah.

“Subhanallah, ini kamu Dwi?” kata Umar diiringi tangisan haru, memelukku erat.
Bagaimana mungkin aku juga tidak ikut menangis!

******

Singkatnya, Umar meminta pamit sama pimpinan masjid untuk pulang. Umar hanya
menumpang dan diberi pekerjaan sebagai muadzin. Ia mengaku lupa kampung kami. Ia
dibawa ayahnya ke Semarang untuk hidup bersama istri barunya. Disana ia dipaksa bekerja
sebagai pembantu. Setelah bapaknya meninggal, ia kabur dari rumah itu dan ditemukan oleh
pengurus masjid.

“Tak ada yang berubah, Mar! Masih seperti sedia kala!”

Aku mengantar Umar kembali ke rumahnya. Rumah dimana ia merasakan


kebahagiaan bersama ibunya. Rumah dimana ia dibesarkan dengan kasih sayang dan cinta
tulus dari Lik Siyem.

“Assalamu’alaikum,” salam Umar dengan mata berkaca-kaca. Sudah berapa lamakah


ia meninggalkan ibunya selama ini. Ibu yang paling ia cintai.

“Wa’alaikumsalam…. Tadi berkatnya sudah dianter sama pak RT,” jawab suara dari
dalam rumah. Wanita itu membuka pintu dan melihat siapa yang datang.

Lik Siyem hanya berdiri di tempat. Matanya berkaca-kaca melihat siapa yang datang.
“Subhanallah” ujarnya sembari menangis bahagia. “Ya Allah, Umar!! Ini beneran anak
emak?” dipeluknya Umar dengan semangat. “Ya Mak, ini Umar sudah pulang!!”

“Kemana saja kamu, Nak? Emak cemas selama ini!”

“Umar sudah pulang, Mak! Dan tidak akan meninggalkan emak sendirian lagi!!”
Berderai-derai airmata yang mengalir. Tangis bahagia dari ibu dan anak yang sudah
terpisah sekian lama. Aku juga bisa merasakan apa yang mereka rasakan saat ini. Bergunung-
gunung kerinduan menjulang akhirnya malam ini sudah meleleh dengan bertemunya Umar
dan ibunya.

Aku tak kuasa menahan untuk tidak menangis. Kebahagiaan mereka juga
kebahagiaanku juga. Umar sudah aku anggap saudara sendiri dan Lik Siyem layaknya ibu
bagiku.

“Alhamdulillah ya Allah, Engkau telah tunjukkan kuasa-Mu dengan mempertemukan


mereka berdua,” syukurku dalam hati. Ternyata di belakangku sudah berdiri Bapak dan Ibu
serta warga lainnya. Mereka juga terharu dengan pertemuan ini.

“Kalau Umar menjadi muadzin Masjid Agung selama ini. Berarti dia duluan yang
menginjakkan kaki duluan disana. Hehehehehe…….”

*******

Sik = dulu, masuk dulu.

Amben = tempat tidur

Le = sebutan untuk anak

Mak = dari kata emak, yang berarti ibu

Tempate = tempatnya, imbuhan e berarti –nya.

Anda mungkin juga menyukai