Anda di halaman 1dari 126

Fb.

me/overebook

Rindukan Aku

by

Andros Luvena

1
Fb.me/overebook

PROLOG

Aku sedang mewarnai buku bergambar bersama Gagah ketika tawa seorang
wanita menarik perhatian kami. Aku menoleh ke asal suara, melihat Gagah juga
melakukan hal yang sama denganku. Kami melihat Tanta Delita memasuki
ruangan bersama seorang pria yang membuatku tertawa kecil karena perutnya
yang buncit.

Tante Delita masuk ke kamarnya, diikuti laki-laki itu, melewati kami yang
duduk di depan pintu kamarnya. Lalu mereka menutup pintu kamar. Kemudian
kami mendengar suara cekikikan Tante Delita.

“Gah,” panggilku mencoba menarik perhatian Gagah yang masih


memperhatikan pintu kamar yang tertutup rapat.

Gagah tetap bergeming mendengar panggilanku, masih dengan keasikannya


memperhatikan pintu kamar Tante Delita. Kini suara cekikan Tante Delita
berubah menjadi suara-suara yang terdengar aneh di telingaku. Meski aku
sering mendengar suara seperti itu sebelumnya -bukan hanya suara Tante
Delita, tapi juga suara tante-tante lain yang tinggal di sini-, tapi suara itu tetap
membuat bulu-bulu di leherku meremang.

Aku ingat, terkadang mama juga membawa seorang pria ke kamarnya, dan dia
akan melarangku masuk ke dalam kamar.

Tiba-tiba Gagah berdiri dari duduknya, menghampiri dinding kamar tante Delita
yang terbuat dari bilik. Tangannya mengorek-ngorek bilik tersebut, membuat
lubang sebesar ibu jari. Lalu dia membungkuk, melihat melalui lubang tersebut.

“Gagah,” panggilku dengan suara berbisik, memperhatikan sekelilingku,


khawatir ada yang melihat perbuatan Gagah.

2
Fb.me/overebook

Tanpa menoleh padaku, Gagah melambaikan tangannya ke arahku. “Sini,


Amy!” katanya. Bibirnya menyunggingkan senyum yang aneh.

Aku menggelengkan kepalaku.

Melihat aku yang tidak mau mendekat ke arahnya, Gagah menghampiriku.


Menarik tanganku dan mengajaknya ke bilik tersebut.

“Lihatlah!” perintahnya dengan suara pelan, nyaris berbisik.

Aku kembali menggeleng, teringat pesan mama yang melarangku untuk


mengintip siapapun. “Aku takut dimarahi Mama.” Bisikku.

“Tidak apa-apa, kalau Mamamu marah, aku akan melindungimu.” Kata Gagah
membujukku.

Aku tetap menggelengkan kepalaku. Suara-suara dari dalam kamar terdengar


lebih keras, dibarengi dengan suara deritan-deritan kayu.

Gagah kembali melihat ke dalam lubang, “Mereka hanya bermain kuda-


kudaan.” Bisik Gagah.

Aku menelengkan kepalaku ingin tahu,”Kuda-kudaan?” tanyaku.

“Iya. Tante Delita menaiki Om itu.” jawab Gagah, “Kau ingin lihat?” tanyanya
seraya menegakkan tubuhnya kembali.

Aku agak mendongak menatapnya ragu, meski aku tiga tahun terlahir lebih dulu
dari Gagah, tapi tinggi Gagah jauh melebihi aku.

“Lihatlah!” kata Gagah lagi.

Aku masih ragu, namun akhirnya kembali aku menggelengkan kepalaku.

“Ya sudah,” gumam Gagah, kemudian dia membungkuk lagi. “Hei, Om itu
ngempeng kaya bayi.” Kata Gagah sambil cekikikan.

3
Fb.me/overebook

Aku menggoyang-goyang bahu Gagah. “Ayo, Gah. Jangan di sini.”

“Sebentar, Amy.” Bisiknya lagi. “Apa aku sudah bilang kalau mereka
telanjang?” tanya Gagah kemudian.

“Mereka telanjang?”

Gagah mengangukkan kepalanya.

“Kenapa telanjang kalau main kuda-kudaan?”

Gagah mendengus, “Bodoh. Memang harus seperti itu.”

Suara deheman membuat aku dan Gagah menegakkan tubuh kami dan berbalik.
Aku mengkeret ketakutan melihat siapa yang memergoki kami, Gagah
menggeser tubuhnya ke depanku, seakan ingin melindungiku dari amukan
wanita dewasa yang kini berdiri garang di hadapanku.

“Mamih ...” bisik Gagah dengan cengiran pada wajahnya. Aku heran kenapa dia
masih bisa tertawa di depan mamihnya yang terlihat marah.

“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanya Mamih. Tangan gemuknya yang
penuh dengan gelang emas menggerak-gerakkan kipasnya. Membuat gelang-
gelang tersebut saling berbenturan dan menimbulkan bunyi yang terdengar
indah di telingaku.

Tapi aku sedang tidak ingin menikmati bunyi gelang itu kali ini.

“Jawab!” bentak Mamih membuat aku terlonjak dan semakin menyembunyikan


tubuhku di belakang Gagah.

Gagah menggaruk-garuk tengkuknya, “Aku dan Amy hanya sedang mewarnai,


Mih. Tuh.” Jawab Gagah, tangannya menunjuk buku mewarnai kami dengan
pensil warna yang berserakan di sekitarnya.

4
Fb.me/overebook

Mamih mengulurkan tangannya dan menjewer telinga Gagah. “Pintar alasan


kamu ya.” gumamnya geram, lalu menarik jewerannya hingga Gagah tergeret
mengikuti langkah Mamih yang meninggalkan tempat itu.

“Aduduh ... Mih, sakit Mih ....”

Aku masih mendengar suara Gagah sampai dia sudah tidak terlihat lagi.

Kemudian aku buru-buru membereskan buku mewarnai dan pensil warnaku,


cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

®RatuBuku

5
Fb.me/overebook

SATU

Semua ini berawal dari waktu. Waktu adalah benih dari segalanya wahai
Dhananjaya. Jika tiba saatnya, sang waktu akan mengambil sesuai
kehendaknya. (Perkataan Resi Vyata pada Arjuna)

Karenanya, aku harus berlari sekencang-kencangnya sebelum dia


mengambil semua yang ada padaku.

Suasana temaram, sudah menjadi ciri khas komplek Kembang Dadap ketika
malam menjelang. Aku berjalan tergesa-gesa menyusuri sebuah gang sempit,
menyelinap masuk ke dalam sebuah bilik.

“Amy, kaukah itu nak?” suara parau yang kukenal bertanya padaku, menyusul
kemudian suara batuknya.

“Ya, Ma.” Jawabku menghampiri satu-satunya ranjang kecil yang ada di kamar
ini. Mengambil segelas air putih dan meminumkannya pada wanita renta yang
telah melahirkanku 25 tahun silam.

“Kenapa baru pulang?” tanya Mama ketika sudah minum.

“Tadi Mba Vero nitip beli obat, Ma. Jadi, Amy pulangnya mampir dulu ke
apotik.” Jelasku. Meletakkan kembali gelas itu ke atas meja dan menutupnya.

Mama kembali terbatuk.

“Mama sudah makan?” tanyaku.

“Sudah, tadi sore Mamih sendiri yang nyuapin Mama.”

“O ya?” aku berhutang banyak pada Mamih.

6
Fb.me/overebook

“Ya.” Mama terdiam.

Aku tahu Mama sedang memperhatikanku, tapi aku pura-pura sibuk melipat
baju.

“Amy.”

Aku mendongak, “Ya Ma.”

“Dia baik-baik saja.”

Aku kembali menunduk, melanjutkan pekerjaan yang tadi terhenti. Tanganku


tiba-tiba menjadi gemetar. Aku menumpuk baju jadi satu, kemudian berdiri.
“Amy mandi dulu, Ma.” Kataku meraih handuk dan peralatan mandi milikku.

Mama tidak menjawabku.

Ada lima kamar mandi di belakang, kami menggunakannya secara bergantian.

Selesai mandi, aku kembali ke kamar. Melihat Mama yang sudah terlelap. Aku
menggantungkan handukku di tempatnya dan meletakkan kembali perlengkapan
mandiku. Lalu menghampiri Mama, memandangnya dengan sayang.

Aku membetulkan letak selimutnya, mengecup dahinya lembut. “Amy sayang


Mama.” Bisikku.

Perlahan aku berjalan menuju meja kecil, membuka lacinya dengan kunci yang
ada di saku celanaku, mengambil buku bersampul hitam dan sebuah pulpen.
Kemudian menutup lagi laci tersebut, menguncinya dengan hati-hati. Lalu aku
mengambil sebuah selimut dan senter. Berjalan mengendap-endap menuju
pintu, membukanya pelan-pelan.

Aku keluar dari kamar, melangkahkan kakiku ke belakang. Di mana rumah


Mamih berada. Rumah Mamih adalah satu-satunya bangunan yang bukan

7
Fb.me/overebook

terbuat dari bilik, melainkan keseluruhan dindingnya terbuat dari tembok.


Bagian atasnya dipakai untuk tempat jemuran.

Aku menaiki tangga besi yang curam menuju tempat jemuran. Sampai di atas,
aku menggelar selimutku, berbaring telentang dengan kedua tanganku sebagai
bantalnya. Menatap bintang-bintang yang bertebaran memenuhi langit malam.

“Jangan menangis. Aku akan membawamu ke suatu tempat yang sangat indah.”

“Benarkah?”

Gagah mengangguk, “Tapi berjanjilah kau tidak akan pernah menangis lagi.”

“Aku berjanji.”

Aku tersenyum mengingat kejadian 15 tahun yang lalu. Ke tempat inilah Gagah
membawaku, kami membawa banyak lilin dan menyalakannya, lalu berbaring
di sekitarnya.

Gagah.

Menyebut namanya saja membuat denyut jantungku bekerja lebih keras. Apa
kabarmu sekarang? Apa kau baik-baik saja? Tentu saja. Mama baru
memberitahuku tadi, dia pasti mendengarnya dari Mamih. Mungkin Mamih
baru menerima telepon darinya.

Aku membalikkan tubuhku, tengkurap. Menyalakan senter dan membuka buku


bersampul hitam yang kubawa. Membalik beberapa lembar ke halaman awal.

22 Juni 2010

Hari ini kau pergi ...

Kau bertengkar dengan Mamih, aku tidak tahu apa yang kalian
pertengkarkan. Tapi itu membuatmu sangat marah.

8
Fb.me/overebook

Aku berpapasan denganmu di pintu keluar. Melihatmu memakai ransel


besar di punggungmu ... aku merasa khawatir.

“Kau mau pergi?” tanyaku.

Kau hanya mengangguk tanpa melihatku.

“Kemana?” tanyaku lagi.

Kali ini kau memandangku. Mata hitammu terlihat sedih. “Aku akan
pergi jauh, Amy.” Katamu lirih.

“Apakah kau akan kembali?”

“Ya. Suatu saat aku akan kembali.”

Aku memegang lenganmu, mendongak untuk menatapmu. “Jangan pergi.


Kumohon.” Pintaku berharap kau berubah pikiran.

Tapi kau tidak menjawabku. Kau hanya meloloskan peganganku dari


tanganmu. Lalu berjalan meninggalkanku.

“Gah.” Panggilku.

Kau menghentikan langkahmu tanpa menoleh.

“Apa kau akan merindukanku.” Tanyaku memberanikan diri.

Kau tidak menjawab. Hanya kembali melangkah ... meninggalkanku.

Aku merebahkan kepalaku menyamping bersebelahan dengan buku itu. Meraih


pulpen, aku menuliskan satu kalimat di atasnya ... „aku merindukanmu‟.

Sebaris air mata membasahi pipiku. Dadaku terasa sesak. Lalu, aku tertidur
dalam kesedihanku.

®RatuBuku

9
Fb.me/overebook

Kokok ayam jantan membangunkanku, aku tersentak dan segera bangun dari
tidurku. Terburu-buru membungkus buku dan senterku dengan selimut, lalu
setengah berlari menuruni tangga besi. Kakiku dengan lincah melewati undakan
demi undakan, tanpa takut tergelincir. Aku sudah terbiasa melakukan ini.

Sampai di depan kamarku, aku masuk dengan hati-hati. Melihat Mama yang
masih tertidur pulas. Aku agak tenang karenanya.

Menguap, aku mengikat rambut sebahuku menjadi satu dan menggelungnya ke


atas. Mendekati dua keranjang penuh cucian kotor yang ada di sudut kamar.
Mengangkat salah satu keranjang dan membawanya ke sumur. Lalu kembali
lagi untuk mengambil keranjang yang satunya.

Aku mencuci semua pakaian penghuni komplek Kembang Dadap. Mendapatkan


banyak uang sebagai bayarannya. Penghuni komplek sangat royal padaku, kalau
mereka lagi banyak rejeki, mereka selalu memberikan uang berlebih sebagai
upah mencucikan baju mereka. Terkadang, aku mendapatkan baju-baju bekas
yang sudah tidak mereka pakai. Tapi aku tidak berani memakainya. Pakaian
mereka sangat minim dan terbuka.

“Banyak sekali cucianmu, Amy.”

Aku mendongak, melihat Megy yang baru datang. “Iya.” Jawabku. “Mau mandi
Meg?”

“Iya, tapi masih kepagian nih.” Megy jongkok di depanku, “Eh, bajuku yang
kemaren sudah?” tanyanya.

“Tinggal disetrika, nanti siang aku antar.” Kataku.

“Sorean juga gak pa-pa kok.” Megy mengulurkan tangannya ke bak cucianku,
mengambil sebuah baju dan menguceknya.

“Eh, jangan Meg, biar aku aja.” Cegahku merasa tidak enak.

10
Fb.me/overebook

“Santai aja keles, aku juga biasa, di kampung kaya ginian.”

“Ah, tapi kan aku dibayar.” Gumamku.

“Sudah ga pa-pa.”

Aku tidak mencegah lagi, untuk gadis sekeras kepala Megy, percuma melarang
apa yang ingin dia kerjakan.

“Makasih, ya.” gumamku.

Megy hanya tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya.

“Hoi, lagi pada ngapain.”

Mba Vero, Kak Vely dan Kanya yang baru datang menghampiri kami.

Aku hanya tersenyum pada mereka.

“Eh, My. Makasih ya, kemaren dah beliin obatnya, badanku jadi ga sakit lagi.”
kata Mba Vero.

Aku mengangguk.

“Jadi bisa nerima tamu lagi dong.” Goda Megy.

“Pasti, lah. Semalem aja aku dapet empat tamu.” Jawab Mba Vero disambut
cekikikan gadis lainnya.

Aku hanya senyum-senyum mendengarkan mereka. Perbincangan seperti ini


sudah menjadi rutinitas setiap pagi.

“Masih banyak ya, My. Aku bantuin ya?” kata Kanya, tanpa menunggu
jawabanku dia ikut mengucek baju.

Kak Vely menimba air, dan mengisi ember-emberku, Mba Vero membilas baju-
baju yang sudah di cuci.

11
Fb.me/overebook

“Eh, ko malah jadi pada nyuci sih. Jangan dong.” Seruku berusaha mencegah
mereka. Tapi mereka tidak mendengarkanku.

Aku menepis tangan-tangan mereka, menjauhkan mereka dari cucianku.


Usahaku tidak berhasil, mereka malah mencipratiku dengan air sabun.
Akhirnya, jadilah kami mencuci baju sambil perang air sabun. Saling menciprat,
meledek, mencubit kemudian tertawa bersama ketika Mba Vero yang paling tua
di antara kami bercerita tentang tingkah para tamunya semalam.

Pekerjaanku selesai dengan cepat. Aku berpamitan untuk menjemur cucianku,


sementara mereka bersiap-siap untuk mandi.

Selesai menjemur, aku mandi, lalu kembali ke kamar. Sudah pukul tujuh pagi.
Mama masih terlelap, aku membiarkannya, tersenyum melihat wajahnya yang
tampak tenang.

Aku menyiapkan setumpuk baju yang harus kusetrika. Mulai menyetrikanya


satu per satu. Pukul 8.30, setrikaanku selesai. Aku membagi-baginya menjadi
beberapa keranjang, masih ada waktu satu setengah jam sampai aku berangkat
kerja, aku memutuskan untuk mengantar pakaian-pakaian ini terlebih dahulu
sebelum berangkat kerja.

Keranjang terkahir yang kuantar milik Mamih, aku mengetuk pintu rumahnya.

“Yaaa sebentar.” Suara khas Mamih terdengar menyahuti ketukanku.

Pintu terbuka, wajah terpoles make up tebal melongok dari dalam.

“Eh, Amy. Masuk My.” Mamih membuka pintu lebar-lebar.

Aku masuk ke dalam, menuju tempat penyimpanan baju Mamih, lalu


menatanya ke dalam lemari seperti yang biasa aku lakukan.

“Bagaimana kabar Mamamu?” tanya Mamih.

12
Fb.me/overebook

“Masih tidur, Mih. Tadi Amy mau bangunin kasihan.” Jawabku.

“Obatnya masih ada?”

“Masih Mih.” Aku selesai menata baju. “Sudah selesai, Mih. Amy ke kamar
dulu ya.”

“Tunggu sebentar.” Terburu-buru Mamih menuju dapur, keluar lagi dengan


membawa rantang. “Tadi Mamih beli bubur ayam buat Mamamu.” Katanya
seraya menyodorkan rantang tersebut.

Aku menerimanya. “Makasih ya, Mih. Jadi ngrepotin.”

“Ah, enggak.” Kata Mamih. Lalu dia merogoh sakunya dan meletakkan
beberapa lembar uang ratusan ribu ke tanganku. “Ini yang bulan kemarin ya.”

Aku mengangguk, “Iya, Mih. Makasih banyak.” Kataku suka cita.

Mamih menepuk-nepuk pundakku. “Ya ya. Sudah sana. Kasihan, Mamamu


belum makan.”

Kembali aku menganggukkan kepalaku. Lalu berpamitan pada Mamih.

Sampai di kamarku, aku menghampiri Mama. Tersenyum melihatnya yang


masih terlelap. Aku duduk di sampingnya, menepuk pipinya perlahan dengan
tangan kiriku, sedangkan tangan kananku memegang rantang bubur.

“Ma.” Panggilku pelan.

Mama bergeming. Aku menepuk pipinya lagi, merasa khawatir ketika


merasakan kulitnya yang dingin. Aku menepuk lebih keras, Mama tetap
bergeming.

Kali ini aku panik, aku membuka selimut Mama dan mencari-cari pergelangan
tangannya. meraba nadinya ....

13
Fb.me/overebook

Rantang bubur yang kupegang terjatuh, suaranya riuh saat menyentuh lantai.
Tanganku gemetar ketika tidak menemukan denyut pada nadinya.

“MAMA ....” Teriakku histeris, sebelum akhirnya tubuhku terasa lemas dan
semuanya menjadi gelap.

®RatuBuku

14
Fb.me/overebook

DUA

Aku menempelkan kepalaku menyamping ke atas gundukan tanah merah yang


bertabur bunga-bunga warna warni. Tanah yang semula kering kini basah
karena tetesan hujan yang tiba-tiba turun, menghasilkan aroma petrichor yang
memenuhi indera penciumanku.

Aku tidak peduli dengan aroma petrichor, aku tidak peduli dengan hujan deras
yang kini menghujamiku dengan tetesan-tetesannya, membuat bajuku menjadi
kuyup. Yang aku pedulikan sekarang ... kepergian Mama untuk selamanya.

“Amy ....” Megy memanggilku lirih.

Aku tahu dia menungguiku dari tadi, membawa payung hitam yang tidak bisa
melindunginya dari tetesan air hujan.

“Kita harus pulang.” Gumamnya lagi.

Aku tidak menjawabnya, tenggorokanku terlalu kering untuk mengucapkan


sesuatu. Aku memejamkan mataku sekilas, membuat aliran hangat dari sudut
mataku kembali turun, berbaur dengan air hujan yang membasahi wajahku.

Megy berjongkok di sampingku, kerudung hitamnya yang terjuntai melambai-


lambai tertiup angin, menyapu gundukan tanah merah di depanku. “Kau harus
kuat, Sayang ...” bisikya. “Mamamu akan sedih kalau tahu kau seperti ini.”

Aku meremas segumpal tanah dengan tanganku yang gemetar.

“Berjuanglah. Tuhan akan mengambil semuanya pada waktunya.”

Aku kembali memejamkan mataku. Tidak menolak ketika Megy


membimbingku untuk berdiri.

15
Fb.me/overebook

Bersandar pada bahu Megy, aku menyeret langkahku. Membiarkannya


membawaku menuju mobil yang menunggu kami.

Air hujan membuat kaca mobil menjadi berembun, aku meletakkan ujung-ujung
jari tangan kananku ke atasnya, menyandarkan kepalaku pada jendela mobil.

Semua yang ada di dalam mobil terdiam. Membuat suasana semakin kelam.

Kini ... aku tidak punya siapa-siapa lagi. Semua pergi meninggalkanku ....

®RatuBuku

Melalui hari-hari tanpa Mama menjadi berat buatku. Aku akan tertegun saat
membuka pintu kamar sepulang bekerja, berharap mendengar suara paraunya
yang menyapaku ... atau mendengar suara batuknya, atau mendengar deru
napasnya yang seperti kelelahan. Lalu, aku akan tersadar, semua itu tidak akan
mungkin bisa aku dengar lagi.

Aku melakukan kegiatanku seperti biasa, mencuci baju penghuni komplek


Kembang Dadap, menyetrika, bekerja. Melakukuan rutinitasku setiap pagi.

Terkadang Megy membantuku mencuci, besoknya Kayna, besoknya lagi Kak


Vely. Atau Mba Vero yang secara rutin mengirimi aku sarapan, Melisa yang
setiap sore menemaniku, bergantian dengan Julia dan Erika. Lalu Mamih akan
menemaniku sampai aku tertidur. Mereka tidak pernah membiarkanku sendiri.

Tiga bulan seperti itu, aku nyaris melupakan kesedihanku. Aku mulai bisa
tersenyum lagi, terkadang tertawa ketika Mba Vero kembali menceritakan
tingkah para tamunya.

16
Fb.me/overebook

Aku kembali pada kebiasaanku yang dulu, berbaring di tempat jemuran seraya
menghitung bintang, berharap suatu saat aku akan bisa menghitung
kesemuanya.

Kemudian, paginya kembali menjalankan rutinitasku.

Satu malam, Mamih memanggilku.

“Duduklah, Amy!” Katanya.

Aku duduk di hadapannya. Mamih menatapku dan tersenyum, matanya terlihat


lelah, tubuhnya yang dulu gemuk dan segar, kini mulai mengurus. Kulit-
kulitnya yang mengendur, bergelambir pada bagian lengan dan dagunya. Tapi
dia tetap cantik dengan make up tebal yang terpoles di wajahnya.

Mamih meletakkan amplop putih ke atas meja yang ada di depannya. “Amy,
Mamamu pernah berpesan pada Mamih agar menjagamu seperrti anakku
sendiri.” Mamih menghela napas, “Sejauh ini Mamih berusaha melakukannya
dengan baik.”

Aku menundukkan kepalaku.

“Mamih pikir, sekarang sudah waktunya kau mandiri. Jangan salah sangka,
Mamih tidak mengusirmu. Tapi Mamih pikir, tempat ini tidak baik untukmu.
Kau gadis baik, bukan di sini tempatnya.”

“Amy suka di sini, Mih ...” bisikku lirih.

“Mamih tahu, kita sudah seperti keluarga. Tapi Mamih sudah tua, tidak akan
bisa selamanya menjaga kamu.” Mamih mendorong amplop yang dipegangnya
ke arahku, “Pergilah mengenal dunia, Nak. Mamih tahu kau bisa menjadi lebih
baik.”

17
Fb.me/overebook

Aku tidak menerima amplop itu, masih tetap menundukkan kepalaku. “Amy
akan tetap di sini. Amy lahir di tempat ini, besar di sini. Amy enggak akan pergi
dari Kembang Dadap. Jadikan Amy anggota, Mih.”

Aku tidak bisa melihat Mamih, tapi aku tahu dia terkejut mendengar
keputusanku.

“Mamamu tidak akan suka kalau mendengar ini, Amy.” Gumamnya menarik
napas panjang.

Aku terdiam. Aku tahu itu. Mama ingin aku mendapatkan pekerjaan yang baik,
bukan seperti dia. Tapi aku tidak akan bisa meninggalkan tempat ini, ada yang
kutunggu di sini.

“Tolong pikirkan lagi, Amy.”

“Amy sudah mantap, Mih. Amy tidak akan berubah pikiran.”

“Mamih sedih mendengarnya.”

Aku terdiam, tapi tidak merubah keputusanku.

®RatuBuku

Malam ini, di usiaku yang ke 25 tahun, untuk pertama kalinya aku berdandan.
Megy dan Mba Vero membantuku. Mereka memoleskan make up minimalis
pada wajahku, lalu menata rambutku menjadi ikal dan memberikan jepitan
berbentuk kembang dadap pada salah satu sisinya. Aksesoris wajib yang di
pakai penghuni komplek Kembang Dadap.

Megy memilihkan baju untukku, salah satu dari yang diberikan penghuni
komplek padaku. Gaun model bakcless hitam selutut yang menempel ketat pada

18
Fb.me/overebook

tubuhku. Dengan hiasan manik-manik pada bagian dadanya yang bergaris leher
V.

“Apa tidak ada baju yang lain?” tanyaku kurang nyaman.

“Ini sudah yang paling tertutup.” Kata Megy.

“Kau bercanda.” Gumamku.

Megy tertawa, mengeluarkan semua baju yang ada di lemariku, akhirnya aku
setuju dengannya.

Mba Vero meminjamkan sepatu hak tingginya yang mempunyai warna senada
dengan gaunku.

“Kau terlihat sangat cantik.” Decak Mba Vero.

“Dan seksi.” Sambung Megy. “Wah, pendapatanku bakalan menurun drastis.”


Guraunya di sambut tawa Mba Vero.

Aku hanya tersenyum mendengar gurauan mereka.

“Sudah siap?” Mamih memasuki kamarku dan tertegun ketika melihatku. “Kau
sangat cantik.” Bisiknya lirih, menatapku sedih. “Aku masih berharap kau
berubah pikiran.”

Aku menggelengkan kepalaku.

“Ya, sudah. Ayo keluar!” Kata Mamih.

Aku mengikuti Mamih keluar dari kamarku, beriringan dengan Megy dan Mba
Vero.

Memasuki ruangan tempat semua berkumpul, aku merasa risih ketika hampir
semua mata memandangku. Beberapa orang lelaki terlihat langsung

19
Fb.me/overebook

menghampiri Mamih. Lalu Mamih mengajak mereka ke sudut ruangan. Aku


tahu mereka sedang melakukan penawaran terhadapku.

“Santai saja.” Bisik Megy di telingaku. Kakinya bergoyang mengikuti irama


musik yang berdentum.

Aku hanya mengangguk.

Mba Vero menghampiriku dengan membawa sebuah gelas, menyodorkannya


padaku. “Ini akan membuatmu lebih relax.” Katanya.

Aku menerima gelas itu dan meminumnya, mengernyit ketika merasakan asam
di lidahku.

Benar saja, beberapa saat kemudian, aku merasa lebih santai.

“Amy.” Mamih memanggilku.

Aku melihatnya melangkah ke arahku bersama seorang pria yang terlihat


berusia awal 40an.

“Kenalkan ini Mas Rangga.” Kata Mamih, “Kau akan menemaninya malam
ini.”

Aku menganggukkan kepalaku dan mengulurkan tanganku pada Mas Rangga.

Mas Rangga tersenyum tipis, menyambut uluran tanganku hangat.

“Ajak Mas Rangga ke kamarmu!” perintah Mamih lembut.

Aku mengangguk gugup, menggandeng tangan mas Rangga ke kamarku.

Sampai di kamar, aku menutup pintu kamar dan menguncinya. Jantungku


berdetak kencang, tidak tahu apa yang harus kulakukan selanjutnya.

“Kemarilah!” Panggil Mas Rangga. Suaranya terdengar berwibawa.

20
Fb.me/overebook

Aku menghampirinya, duduk di sampingnya.

Mas Rangga menggenggam tanganku, “Tidak usah buru-buru, aku tahu ini baru
buatmu.”

Aku menunduk, menghargai pengertiannya.

“Berapa umurmu?” tanya Mas Rangga seraya membuka jaketnya.

“25 tahun.” Jawabku pelan.

Mas Rangga menggeser duduknya agar lebih dekat denganku, mendekatkan


mulutnya pada leherku. Berlama-lama di sana.

Perasaan gugup lebih menguasaiku, tapi aku berusaha mengikuti permainannya.


Aku wanita dewasa, aku bisa melakukan ini.

Saat aku terbangun, Mas Rangga masih tertidur dengan tangannya yang
melingkar di pinggangku. Aku menyingkirkannya hati-hati. Tapi ketika aku
mencoba bangun, tangan kokoh itu kembali melingkari pinggangku, kali ini
lebih kuat.

“Satu kali lagi saja.” Bisiknya dengan suara serak khas bangun tidur, menciumi
punggung telanjangku.

®RatuBuku

Aku sudah selesai mandi ketika Mamih masuk ke kamarku. Mas rangga sudah
pergi sejak satu jam yang lalu.

Mamih duduk di ranjangku yang sudah rapi. Menatapku yang sedang menyisir
rambut.

“Siapa yang pertama?” tanya Mamih mengejutkanku.

21
Fb.me/overebook

Mamih menghela napas, “Mas Rangga bilang, semalam bukan yang pertama
buatmu.”

Aku menatap Mamih takut-takut.

“Jangan takut. Mas Rangga tidak marah.” Mamih mendesah. “Meski Mamih
mengatakan kau masih perawan.”

Aku menundukkan kepalaku.

“Itu tidak menjadi masalah buat Mas Rangga, dia sangat puas denganmu dan
tidak mengambil kembali uangnya.”

Aku memberanikan diri kembali mengangkat kepalaku, berjalan menghampiri


mamih dan duduk di sampingnya.

“Mamih hanya ingin tahu, siapa yang pertama. Apa pria itu memaksamu?”

Aku menggelengkan kepalaku.

“Gagah?”

Aku mendongak dan menatap Mamih terkejut.

“Gagah kan?”

Aku kembali menunduk. “Maafkan Amy, Mih.” Bisikku lirih.

Mamih memelukku, “Bukan salahmu. Oh, Amy ... andai Gagah mau kembali,
aku akan dengan senang hati menerimamu menjadi menantuku.”

Sudut mataku terasa panas mendengarnya.

Kapan kau kembali, Gagah. Aku merindukanmu ... sangat ....

®RatuBuku

22
Fb.me/overebook

TIGA

6 tahun kemudian.

Mamih meninggal. Kabar itu menyebar dengan cepat. Kembang Dadap menjadi
muram, tidak ada keceriaan seperti hari-hari biasa. Semua penghuni komplek
terlihat bersedih, tidak terkecuali aku yang kini tengah berkumpul bersama yang
lain. Tak ada yang banyak bicara setelah acara pemakaman Mamih. Hati kami
terasa gamang memikirkan apa yang terjadi selanjutnya dengan kami. Apa
tempat ini akan ditutup? Lalu bagaimana dengan nasib kami?

Sore ini, aku duduk di atas atap sendirian. Menatap langit senja yang tampak
temaram. Bola jingga besar yang mulai kembali ke peraduan, menghadirkan
semburat kemerahan. Beberapa burung terlihat terbang melintas di bawahnya,
bersiap untuk pulang.

Gagah akan pulang.

Aku mendengarnya siang tadi, gosip yang beredar dia akan menggantikan
Mamih. Sekarang, aku merasa bingung apa harus gembira atau bersedih dengan
kematian Mamih.

Terpikir dalam benakku, apa dia merindukan aku? Apa dia akan merangkul
pundakku -seperti biasa yang dia lakukan dulu- jika kami bertemu? Apa
senyumnya masih terlihat sama seperti dulu? Dengan cengiran khas yang selalu
membuatku tertawa jika melihatnya.

“Kau tahu, Amy. Kalau aku dewasa, aku akan bermain kuda-kudaan
bersamamu.”

Aku menatapnya polos. “Bermain kuda-kudaan?”

23
Fb.me/overebook

“Ya, seperti yang dilakukan Tante Delita sama Om Perut Buncit.”

“Kenapa harus menunggu dewasa?”

Gagah menatapku meremehkan, seolah dia tahu segalanya. “Kata Mamih, kita
hanya boleh bermain saat sudah dewasa.”

“Kenapa?”

Kali ini Gagah menggaruk-garuk belakang telinganya, “Aku enggak tahu ...”
gumamnya berpikir, “ayo tanya Mamih.” Gagah menyeret tanganku setengah
berlari.

Aku berlari di belakang Gagah, hanya dengan melihat punggungnya, percaya


sepenuhnya kepada langkahnya.

Kami menemukan Mamih yang tengah berbincang dengan seorang wanita yang
menawarkan perhiasan.

“Mih. Kenapa aku dan Amy tidak boleh bermain kuda-kudaan seperti Tante
Delita, sekarang?”

Gerakan tangan Mamih yang sedang menggoyangkan gelang yang dicobanya


terhenti, menoleh ke arah kami cepat, wajahnya merah padam.

“Sebentar ya, Jeng.” Katanya tersenyum kikuk pada tamunya yang sedang
menahan tawa. Berdiri untuk menjewer telinga Gagah dan menariknya ke
belakang.

Aku yanng masih bergandengan tangan dengan Gagah ikut terseret Mamih.

“Kamu jangan bikin Mamih malu dong, Gah.” Bisik Mamih terlihat kesal,
melepaskan jewerannya.

Gagah mengusap-usap telinganya yang merah, “Kenapa Mih? Gagah Cuma


tanya kenapa Gagah dan Amy tidak boleh main ...”

24
Fb.me/overebook

Ucapan Gagah terhenti, ketika Mamih membekap mulutnya. Lalu Mamih


menggiring kami ke dapur. Membuka pintu belakang dan menyuruh kami
keluar.

“Mamih belum jawab.” Protes Gagah bertahan di tempatnya.

Mamih menghela napas, “Karena kalau kau lakukan sekarang, Gagaaah ...”
gumam Mamih geram, “Amy akan kesakitan. Kau mau Amy kesakitan?”

Gagah menggeleng cepat. Lalu menyeret tenganku meninggalkan tempat itu.

Aku tersenyum geli mengingat memory itu. Mencerna kalimat-kalimat yang


terucap setelah aku dewasa sungguh sangat berbeda dengan dulu. Kejadian itu
sering menjadi lelucon Mamih bersama para penghuni komplek ketika kami
remaja, menjadi bahan ledekan buat kami. Membuat wajahku dan Gagah
memerah setiap kali mendengar kisah tersebut.

Aku merebahkan tubuhku telentang, masih menatap langit yang mulai


menggelap. Bulan sabit yang bersinar keperakan mulai muncul menggantikan
cahaya terang sang mentari, berdampingan dengan bintang-bintang yang
tersebar memenuhi langit malam.

Gagah tidak suka melihat aku kesakitan, dulu ... dia akan menangis lebih keras
dariku setiap aku terluka karena terjatuh atau tanganku berdarah karena teriris
pisau. Itu berlanjut sampai aku beranjak remaja ....

“Amy!”

Bahuku tertarik ke balakang ketika Gagah meraihnya dan membalik tubuhku


hingga berhadapan dengannya.

Aku mengangkat kedua alisku tinggi-tinggi melihat wajahnya yang pucat pasi.
“Kau kenapa? Tanyaku heran.

25
Fb.me/overebook

“Kau sakit?” dia balik bertanya dengan nada khawatir.

Aku menggeleng.

“Lalu kenapa rokmu ada darahnya?”

Aku terkejut, memutar tubuhku untuk melihat bagian belakang rok. Gagah
benar, ada noda darah yang melebar pada rok biruku.

“Kau sakit Amy ...” kata Gagah mengernyit seolah sedang menahan sakit yang
amat sangat. Lalu dia menurunkan tas, melepas seragam putih yang
dikenakannya dan mengikatkan seragam itu di pinggangku, hingga bagian
belakang rokku tertutup. “Aku akan membawamu ke rumah sakit.” Gumamnya
mengambil kembali tasnya yang tergeletak di tanah kemudian membimbingku.

Aku yang masih bingung berjalan mengikuti Gagah yang kini hanya
mengenakan kaos singlet berpasangan dengan celana merah SD-nya.

Gagah membawaku ke rumah sakit kecil yang letaknya tidak jauh dari gedung
sekolah kami, tangannya tak pernah lepas dari tanganku. Sampai di dalam
rumah sakit, kami menghampiri seorang perawat yang tengah berjalan di
lorong.

“Ada apa, Dik?” tanya perawat itu membungkuk ke arah kami.

“Teman saya sakit, Kak.” Kata Gagah menoleh ke arahku dan mempererat
genggaman tangannya pada tanganku.

Perawat itu tersenyum, “Kalian daftar aja sama kakak perawat yang di sana,”
katanya menunjuk seorang perawat yang duduk di belakang loket pendaftaran.

Gagah menengok ke arah perawat yang dimaksud, kemudian kembali berpaling


ke perawat yang di depan kami. “Teman saya tidak bisa menunggu, Kak. Dia
mengeluarkan banyak darah.”

26
Fb.me/overebook

Kali ini perawat itu terlihat terkejut, berpaling ke arahku. “Kau masih bisa
berjalan, Dik?” tanyanya padaku.

Aku hanya menganguk.

“Kalian ikuti kakak, ya..” Kata kak perawat, kemudian dia berbalik dan
melangkah cepat.

Setengah berlari kami mengikuti langkah kak perawat, sampai di depan sebuah
ruangan dengan tulisan UGD pada pintunya.

Kak perawat membuka pintu, mengajak kami masuk ke dalam ruangan, lalu dia
meletakkan papan yang dari tadi didekapnya ke atas meja, dan menghampiriku.

“Dimana yang mengeluarkan darah?” tanya kak perawat.

Gagah membuka seragam yang diikatkannya pada pinggangku, kemudian


membalik tubuhku agar membelakangi kak perawat, memperlihatkan noda
darah pada rokku.

Aku mendengar kak perawat menghela napas, kemudian membalik tubuhku


agar menghadapnya, memegang kedua bahuku dan tersenyum.

“Berapa umurmu?” tanyanya mengusap kepalaku.

“13 tahun, Kak.” Jawabku.

“Dan kau?” tanya kak perawat lagi pada Gagah.

“10 tahun.” Jawab Gagah cemberut. “Amy kesakitan Kak, Kakak harus cepat
mengobati dia, bukannya mengajak kami mengobrol. Aku tidak suka melihat
Amy sakit.”

Senyum kak perawat semakin lebar, “Kakak tidak melihat Amy kesakitan.”
Gumamnya melirikku.

27
Fb.me/overebook

Aku memang tidak merasakan sakit, hanya perutku yang sedikit mulas karena
gugup.

“Tapi dia berdarah.” Gagah bersikeras.

Kak perawat tertawa, Gagah semakin cemberut karenanya.

“Okey, siapa nama pria kecil ini Amy?” tanya kak perawat padaku.

“Gagah.” Jawabku pelan.

“Gagah, sekarang kamu keluar biar Kakak bisa memeriksa temanmu, okey?”

Gagah terlihat ragu. Tapi kemudian dia mengangguk dan meninggalkan kami
keluar dari ruangan setelah sebelumnya menatapku sedih.

Aku menutup wajahku mengingat itu, benar-benar kejadian yang memalukan.


Saat itu adalah hari pertama aku mendapatkan menstruasi. Mama tidak pernah
memberitahuku sebelumnya, jadi aku sama sekali tidak mengerti. Justru kak
perawat itu yang pertama kali memberitahuku, memberikan pengertian kenapa
wanita mendapatkan menstruasi ... proses terjadinya haid ... dan mengajariku
menggunakan pembalut yang benar.

Besok aku bisa melihat Gagah lagi ... setelah 10 tahun terlewati, apa dia masih
terlihat sama? Apa dia akan tetap bersikap baik padaku? Apa dia masih akan
menatapku dengan tatapan yang sama seperti dulu. Seperti malam itu .... ketika
untuk terakhir kalinya aku dan dia berbaring di tempat yang sama denganku
berbaring saat ini.

“Lihat, bintang itu bersinar lebih terang daripada yang lainnya.” kataku
menunjuk salah satu cahaya di gelapnya langit malam.

Gagah terkekeh, “Honey Amy, itu planet bukan bintang.”

28
Fb.me/overebook

Aku memalingkan wajahku menghadapnya, “Darimana kau tahu?” tanyaku


menahan debaran jantung yang semakin kencang ketika melihat wajah
tampannya dari dekat.

“Honey Amy, bintang akan selalu berkelap-kelip sedangkan planet tidak. Yang
kau lihat itu, apa dia berkelap-kelip?”

Aku kembali menatap langit, kemudian menggeleng pelan.

“Berarti itu planet. Kau tahu itu planet apa?”

Kembali aku menggeleng.

“Planet Venus.” Lalu Gagah menunjuk ke tiga buah bintang yang membentuk
garis sejajar. “Itu baru bintang, kau lihat ketiga bintang itu berkelap-kelip kan?”

Aku mengangguk, “Ketiga bintang itu terlihat sangat indah ...” gumamku.

Gagah lebih mendekatkan kepalanya padaku, tangannya kembali menunjuk


ketiga bintang itu. “Yang itu namanya Mintaka, bawahnya Alnilam, yang satu
lagi Alnitak.”

Debaran jantungku semakin kencang,merasakan hembusan napasnya di pipiku.

“Kau lihat di sebelah kiri ketiga bintang itu?” Gagah agak menggeser letak
telunjuknya. “Ada dua bintang di sana, yang terang bernama Rigel dan yang
redup bernama Saiph. Terus di sebelah kanan ketiga bintang yang sejajar ada
dua bintang lagi,” Gagah kembali menggeser jari telunjuknya ke arah yang
berlawanan, melewati bintang Mintaka, Alnilam dan Alnitak, “yang berwarna
merah namanya Betelgeuse, sedangkan yang putih agak redup itu namanya
Bellatrix.”

Aku terpana mendengar penjelasan Gagah, tak kusangka bintang-bintang itu


memiliki nama yang terdengar indah di telingaku.

29
Fb.me/overebook

“Mereka bergabung menjadi satu membentuk rasi bintang Orion.” Lanjut Gagah
menurunkan tangannya, berpaling ke arahku. “Kau lihat kabut tipis sayup-sayup
di antara ketujuh bintang itu, Honey Amy?”

Aku menajamkan penglihatanku, kemudian mengangguk ketika melihat kabut


tipis yang berada di tengah-tengah rasi Orion.”

“Itu disebut Nebula, tempat terlahirnya bintang-bintang.”

Aku membelalakkan mataku, berpaling ke arah Gagah tak percaya.


“Benarkah?” gumamku, terperangkap pada keindahan matanya yang tengah
menatapku.

Gagah mengangguk dan tersenyum, tanpa melepaskan tatapannya dariku.

“Aku gadis 21 tahun yang bodoh, sama sekali tidak mengerti tentang itu.”
gumamku rendah diri.

“Kau tidak bodoh Honey Amy, aku tahu karena aku mempelajarinya di
sekolah.”

Mataku meredup, “Kalau Mama tidak sakit-sakitan, mungkin aku bisa sekolah
SMA sepertimu ... dan aku akan tahu lebih dulu tentang bintang-bintang itu.”

Gagah mengulurkan tangannya, menyentuh pipiku lembut. “Sekarang kau juga


tau kan? Aku memberitahumu.”

Aku mengangguk dan tersenyum padanya, merasakan sentuhannya yang terasa


hangat di pipiku. Agak kecewa ketika Gagah kembali menarik tangannya.

“Ada sebuah kisah mytologi tentang rasi bintang Orion.” Kata Gagah
membalikkan tubuhnya menyamping, menghadap kepadaku.

“Ceritakanlah.” Aku melakukan hal yang sama sehingga kami saling


berhadapan.

30
Fb.me/overebook

“Dulu ada seorang pemburu dari bangsa Boetia yang tampan dan perkasa
bernama Orion. Dia menjalin cinta dengan Eos sang Dewi Fajar. Menjelang
fajar, Eos akan membuka gerbang istana emasnya di timur, kemudian akan
terbang dengan sayap-sayapnya yang bersinar redup namun makin lama makin
terang. Melintasi angkasa dari timur ke barat menghalau bintang-bintang
memasuki Sungai Ocean, kecuali rasi ursa Mayor dan Minor yang tak pernah
tenggelam dan terbit di ufuk saat fajar menyingsing maupun senja menjelang.
Eos membawa sekendi air dingin dalam perjalanannya dan memercikkan air
tersebut ke atas permukaan rerumputan, dedaunan, dan bunga-bungaan sebagai
embun pagi.” Gagah berhenti, tersenyum saat melihatku menatapnya tak
berkedip. “Kau suka mendengarnya, Honey Amy?” bisiknya.

Aku mengangguk, “Lanjutkan.” Pintaku.

“Karena kecantikan Eos yang teramat sangat ...” Gagah menatapku sayu,
meletakkan ujung jarinya di atas pipiku dan menjalankannya pelan sampai ke
ujung dagu. “Orion menjadi sangat tergila-gila padanya, sehingga mengucapkan
sesumbar akan memusnahkan semua hewan buas di muka bumi dan
mempersembahkannya untuk Eos.”

Aku harus menjaga konsentrasiku ketika jari Gagah meluncur turun ke leherku.

“Apollo yang mendengar sesumbar Orion mengirim seekor kalajengking


raksasa untuk membunuhnya. Namun Eos memohon bantuan pada Diana untuk
menyelamatkan kekasihnya, Diana yang menyanyangi Orion sebagai sesama
pemburu bersedia untuk menyelamatkannya. Pada saat Orion sedang dikejar-
kejar kalajengking raksasa, Diana bersiap-siap membidikkan anak panahnya
untuk membunuh kalajengking tersebut. Tiba-tiba Apollo muncul dan
mengaburkan pandangan Diana ...”

31
Fb.me/overebook

Aku tercekat dan menahan napas bersamaan dengan ujung jari Gagah yang
menekan ceruk di pangkal leherku. Jantungku berdebar kencang, entah karena
kisah itu atau apa yang dilakukan Gagah.

“Sehingga anak panahnya meleset dan mengenai Orion yang tewas seketika.”
Lanjut Gagah, jarinya kembali berkelana menyusuri leher dan bahuku. “Diana
yang berduka karena tidak bisa menyelamatkan Orion kemudian menempatkan
Orion di angkasa sebagai rasi bintang Orion. Sedangkan kalajengking raksasa
itu oleh Apollo juga di tempatkan di angkasa sebagai rasi bintang Scorpion
dalam posisi sedang memburu Orion.” Gagah menghela napas, “ Cerita
berakhir...” bisiknya parau, jarinya mulai menyusuri dadaku.

Rasanya ... dadaku akan meledak karena menahan napas terlalu lama.

“Bernapas, Honey Amy ...” bisik Gagah lagi, mendekatkan bibirnya ke arahku.

Aku terbelalak, menyadari jarak kami yang semakin dekat, dan saat dia benar-
benar dekat ... aku memejamkan mataku, merasakan sentuhan bibirnya pada
bibirku.

Aku terhanyut dengan ciumannya, juga sentuhan tangannya yang


membangkitkan setiap sel-sel di tubuhku yang tertidur. Debaran pada jantungku
berdetak semakin kencang, menghadirkan sensasi aneh yang menyenangkan,
membuat aku melayang dan terbuai. Sampai rasa sakit yang teramat
menyentakku, membuat pelangi yang kulihat berubah menjadi pendar-pendar
bintang yang bertebaran di sekitarku. Aku menggigit bibir bawahku menahan
rasa sakit itu, merasakan sesuatu yang basah mengalir dari ujung mataku,
namun perlahan rasa sakit itu berkurang, berubah menjadi sesuatu yang lebih
nyata. Seakan gumpalan gulali berada dalam genggamanku, dan aku pun
kembali terhanyut ....

32
Fb.me/overebook

Aku terbangun dari euforia yang kurasakan dan melihat Gagah yang meringkuk
di sampingku. Wajahnya terlihat muram dan sedih, aku memeluknya ...
mencoba untuk menghiburnya, meski aku sendiri merasa bingung dengan apa
yang terjadi. Yang ingin kulakukan sekarang hanyalah menghilangkan wajah
sedih Gagah.

“Hei, apa yang membuatmu sedih?” tanyaku pelan.

“Aku menyakitimu, aku sudah menyakitimu, Honey Amy ....” bisiknya dengan
suara parau.

“Itu tidak benar, kau tidak menyakitiku. Aku baik-baik saja sekarang.”

“Aku melihat kau kesakitan tadi, dan aku tidak bisa berhenti ... aku terus
melakukannya meski melihatmu kesakitan.”

“Jangan bodoh,” bisikku dengan wajah memerah. “tadi aku memang kesakitan,
sekarang aku baik-baik saja.”

“Kau yakin?”

Aku mengangguk.

“Aku berjanji tidak akan melakukannya lagi, Honey Amy. Aku tidak suka
melihatmu kesakitan.” Gumamnya, lalu dia membantu merapikan pakaianku,
kemudian berdiri dan mengulurkan tangannya padaku.

Aku menyambut uluran tangannya, bangun dan berdiri di samping Gagah.


Melihat ke bawah ketika merasakan ada yang mengalir di kakiku. Gagah
mengikuti arah pandanganku, dengan cahaya temaram lampu yang ada di salah
satu sudut atap, kami bisa melihat ada cairan kental di kakiku.

33
Fb.me/overebook

Gagah berjongkok, menyentuh cairan itu dan mendekatkannya ke hidungnya,


lalu mendongak menatapku khawatir. “Kau berdarah, Honey Amy. Apa kau
haid?”

Aku menggeleng, aku baru selesai haid dua hari yang lalu.

Kali ini Gagah terlihat panik, “Kau harus ke rumah sakit Honey Amy.” Dia
berdiri dan menyeretku.

Aku bertahan di tempatku, perasaanku mengatakan aku baik-baik saja. Aku


pernah mendengar wanita akan mengeluarkan darah saat pertama kali
berhubungan dengan laki-laki. “Tidak Gagah, aku baik-baik saja.”

“Tapi kau berdarah.” Gagah bersikeras.

“Aku baik-baik saja, percaya padaku.” Gumamku dengan penekanan pada kata-
kataku.

Gagah menatapku sedih. “Maafkan aku Honey Amy ....”

Honey Amy ....

Entah sejak kapan Gagah selalu memanggilku dengan panggilan itu, dan aku
suka saat mendengar nama „Honey Amy‟ terucap dari bibirnya.

Apa aku masih menjadi „Honey Amy‟ buat Gagah ....

®RatuBuku

34
Fb.me/overebook

EMPAT

Aku melihatnya ... hanya berjarak 7 langkah di depanku, menatapku dengan


sorot mata yang selama ini aku rindukan. 10 tahun berlalu dan dia terlihat
semakin dewasa ... rambut hitam ikalnya terlihat berantakan, kulitnya yang
kecoklatan berkilau saat sinar mentari mengenai keringat di lengan berototnya...
dagunya dipenuhi cambang-cambang kecil karena belum bercukur, sungguh aku
sangat merindukan dia.

“Gagah ...” bibirku terasa bergetar saat membisikkan namanya.

Wajah Gagah mengeras, pandangan matanya tiba-tiba berubah menjadi dingin.


“Hai, Amy? Kau baik-baik saja?”

Sesaat aku terpana—dia tidak memanggilku „Honey Amy‟—lalu


menganggukkan kepala, “Ya, aku baik.”

“Bagus.” Gumamnya sinis. Membetulkan letak ransel di bahunya, dan berjalan


melewatiku.

Begitu sajakah? Apa dia tidak merindukanku?

Kenapa hatiku terasa perih?

Aku tidak bisa menyembunyikan kesedihanku, hancur dan terluka melihat sikap
Gagah padaku.

“Kau kenapa?” tanya Megy ketika kami berkumpul di ruang tengah,


menyambut kedatangan Gagah.

Aku tidak menjawab pertanyaan Megy, memperhatikan Gagah dari kejauhan.


Melihatnya yang sedang berdiskusi dengan beberapa orang kepercayaan
Mamih.

35
Fb.me/overebook

Aku mendengar Megy menghela napas, “Dia tidak bersikap baik padamu ya?”
desahnya pelan.

Aku berdiri, “Aku mau ke kamar.” Gumamku.

“Aku temani.” Megy ikut berdiri.

“Kalian mau ke mana?!”

Aku dan Megy terdiam, melihat Gagah yang menatap kami tajam.

“Amy sakit, aku akan menemani dia ke kamar.” Megy menjawab pertanyaan
Gagah gugup, bagaimanapun sikap mengintimidasinya membuat orang yang
tidak mengenal dia akan ketakutan.

Tapi aku mengenalnya, aku hanya bisa menatapnya sedih.

“Siapa namamu?” tanya Gagah pada Megy.

“Megy.”

“Kemari Megy, biarkan Amy istirahat di kamarnya.” Aneh, suara Gagah


berubah menjadi lembut. “Megy, kemari!” Gagah mengulang perintahnya,
“Duduk di sampingku.”

Megy menatapku bingung.

“Pergilah, aku tidak apa-apa.” Gumamku pelan.

Megy melangkah menghampiri Gagah, melirikku meminta maaf dan duduk di


samping Gagah. Gagah memeluk bahu Megy, merapatkan tubuh Megy ke
tubuhnya.

Aku memalingkan wajah sedih, mencoba menyembunyikan air mata yang ingin
menyeruak begitu saja. Lalu berjalan perlahan menuju kamarku.

Megy sangat cantik, wajar kalau Gagah tertarik padanya.

36
Fb.me/overebook

Aku menghempaskan tubuh ke atas kasur kapuk yang mulai mengeras.


Meringkukkan tubuh menyamping, menatap bilik yang menjadi penyekat
kamar, yang semakin lama semakin kabur dari pandangan ....

“Honey Amy ... Honey Amy ....”

Aku mendongak mendengar Gagah memanggilku. Melihatnya berjongkok di


hadapanku. Seragam putih merahnya tampak basah tertimpa curahan hujan.
Tidak jauh berbeda dengan seragam biruku.

“Kenapa kau menangis?” tanya Gagah mengulurkan tangan, menyentuh pipiku.

Aku menatap wajahnya yang mengabur karena mataku penuh air mata.
Menggelengkan kepala kuat-kuat.

Gagah memicingkan mata, menatapku curiga. “Kau berbohong padaku, Honey


Amy.”

Aku kembali menunduk, lirih ... sebuah kalimat terucap dari bibirku. “Apa anak
seorang pelacur sepertiku, akan menjadi pelacur juga?”

“Siapa yang mengatakan itu padamu?”

Aku kembali mendongak, menatap Gagah khawatir, lalu menggelengkan


kepala. Merasakan tangan Gagah yang menegang di pipiku, melihat ekspresi
wajahnya berubah mengeras.

“Siapa yang mengatakan itu padamu?” ulangnya masih dengan ekspresi yang
sama.

“Radita.” Bisikku.

“Apa dia melakukan sesuatu padamu?”

Aku menunduk.

37
Fb.me/overebook

“Apa yang dia lakukan?” suara Gagah mengeras.

“D-dia ... dia mencoba ... mencium bibirku.”

Gagah berdiri, tangannya terkepal di samping tubuhnya. Lalu berlari


meninggalkanku.

“Gagaaah ... tunggu.” Panik aku ikut berdiri dan berlari mengejarnya.

Aku tahu apa yang akan dilakukan Gagah. Aku harus mencegahnya, anak kelas
6 SD tidak akan mungkin bisa melawan siswa kelas 9.

Aku kehilangan Gagah, dia menghilang begitu saja. Di bawah curahan hujan,
aku memutar tubuhku, mencari sosok yang kini menghilang dari pandangan.

“Kemana kau, Gah ...” bisikku lirih.

Dahan yang bergoyang, menjatuhkan tetesan-tetesan air. Angin berhembus


kencang menerbangkan sebagian rambutku, membuat aku harus menyibaknya
berkali-kali. Aku melepas sepatu dan menentengnya di tangan, menajamkan
pendengaran ketika mendengar suara teriakan di antara deru hujan.

Berlari, aku menuju asal suara itu. Menjatuhkan sepatu dan menutup mulut
dengan kedua tangan melihat apa yang kusaksikan.

Gagah terlihat kalap memukuli Radita. Bertubi-tubi .... Darah segar menetes
dari sudut bibir Radita, matanya sudah mulai meredup.

“Berhenti, Gah!” teriakku lebih mengkhawatirkan Gagah daripada Radita.

Gagah tidak mempedulikan teriakanku, dia masih terus memukuli Radita.

Aku berlari menghampiri Gagah, mendekapnya dari belakang. “Berhenti,


kumohon berhenti ... aku tidak mau kau dikeluarkan dari sekolah.” Isakku sedih.

38
Fb.me/overebook

Gagah berhenti, melepaskan cengkeramannya pada kerah baju Radita, membuat


anak itu terjatuh lemas. Dadanya bergerak naik turun menahan amarah.
Bergetar, tangannya menyentuh punggung tanganku. “Ayo kita pulang, Honey
Amy ...” bisik Gagah.

“Yah ... ayo pulang.” Jawabku pelan.

Aku terbangun dengan mata yang basah, tengkurap dengan kepala menghadap
ke samping di atas pipiku. Aku tidak ingin bangun ... aku hanya ingin berdiam
diri di kamar. Aku tidak ingin bertemu Gagah ....

Beberapa saat aku terdiam dalam posisi seperti itu, sampai akhirnya aku
menguatkan hati untuk mulai beraktifitas. Waktu terus berjalan, dan aku harus
terus melangkah apapun yang terjadi.

Bangkit dari tempat tidur, aku keluar dari kamar, menuju kamar Megy untuk
mengambil baju kotor yang harus kucuci.

Sampai di depan kamar Megy, aku mengetuk pintu. Tidak ada sahutan.

“Meg ... Megy ...” panggilku pelan, takut membangunkan yang lain.

Masih tidak ada sahutan.

Aku mendesah dan mendorong pintu kamar Megy, itu yang selalu kulakukan
jika Megy tidak menyahuti panggilanku. Aku bebas keluar masuk kamarnya
kecuali di hari kerja—dengan tanda kutip—.

Aku masuk ke kamar Megy, mendapati ruangan yang masih dalam keadaaan
gelap gulita. “Kau masih tidur, Meg?” tanyaku seraya meraba-raba mencari
saklar lampu.

Menemukannya aku pun menekan tombol, seketika ruangan menjadi benderang.


Aku terpekik ketika menyadari Megy tidak sendiri, tangan maskulin yang

39
Fb.me/overebook

kokoh tampak melingkari pinggang rampingnya. Apa Megy menerima tamu


malam ini?

Megy membuka mata, terkejut melihat kehadiranku. “A-Amy ... k-kau di sini?”
dia mengangkat kepalanya, terlihat salah tingkah. Tangannya menarik selimut
untuk menutupi tubuhnya yang polos.

Aku heran kenapa Megy terlihat gugup, bukan hanya sekali aku memergoki dia
bersama tamunya, dan biasanya dia selalu bersikap santai.

Baru kemudian aku mengerti.

“Siapa, Sayang?”

Jantungku seakan berhenti berdetak. Suara serak khas bangun tidur itu ... aku
sangat mengenalnya.

Duniaku seakan terbalik ketika muncul seraut wajah maskulin dari balik
punggung Megy, dengan mata yang masih agak terpejam karena mengantuk.

“Gagah ...” bibirku bergetar saat menyebut namanya lirih, tak percaya dengan
apa yang kulihat.

“Kau hebat tadi malam, Sayang.” Gagah nampak tidak mempedulikan


kehadiranku, dia mencium pipi Megy mesra.

Mataku mengabur, lupa dengan tujuanku mendatangi tempat ini aku berbalik
dan berlari keluar. Masih sempat mendengar suara Megy yang memanggilku.

“Amy ... tunggu.”

Aku masuk ke kamar dan mengunci pintunya, kembali menghempaskan tubuh,


menelungkupkan wajah ke atas bantal. Terisak sedemikian rupa.

Pintu kamarku diketuk dari luar, Megy memanggil-manggil namaku, meminta


aku untuk membuka pintu.

40
Fb.me/overebook

Aku tidak beranjak, tidak ... aku tidak marah pada Megy. Aku hanya marah
pada diriku sendiri. Aku yang terlalu bodoh untuk berharap Gagah mencintaiku,
bahkan setelah 10 tahun dia meninggalkanku.

Mataku terpejam berusaha menahan air mata, tapi air mata ini masih saja terus
mengalir tanpa aku bisa menghentikannya ....

“Jangan menangis, Honey Amy .... Aku tidak pernah suka melihatmu
menangis....”

®RatuBuku

41
Fb.me/overebook

LIMA

Aku keluar dari kamar menjelang sore, mendapati Megy yang duduk meringkuk
di depan pintu. Melihatku, Megy langsung berdiri dan memelukku.

“Maaf ... maafkan aku, Amy.” Isaknya di bahuku.

Aku mengelus punggungnya pelan, “Tidak ada yang harus dimaafkan ... ini
bukan salahmu.” Bisikku.

Megy melepas pelukannya, “Tidak. Kau salah. Ini tidak seperti yang kau
pikirkan, ada yang harus kubicarakan denganmu.”

Aku menatap Megy tak mengerti.

“Semalam ...”

“Kau sudah keluar?”

Ucapan Megy terpotong suara keras Gagah, yang sekarang berjalan


menghampiri kami.

“Bagus. Sekarang kau bisa bersiap-siap dengan yang lainnya. Malam ini kita
buka kembali.” Lalu dia menyeret Megy menjauh dariku.

Aku memperhatikan mereka, terlihat sekali Gagah tidak ingin jauh dari Megy.
Menghela napas, aku menekan dada, berusaha mengurangi rasa sakit yang tiba-
tiba muncul di sana.

Kemudian aku melangkah ke kamar mandi.

Aku sedang mengeluarkan baju-baju lamaku ketika pintu kamar terbuka.


Menoleh, aku melihat Megy yang sudah siap.

42
Fb.me/overebook

“Apa yang kau lakukan?” tanya Megy melihat aku membongkar seluruh isi
lemari.

Aku mengangkat bahu, “Kau tidak dengar, tadi Gagah menyuruhku bersiap
seperti yang lainnya.”

Megy berjalan cepat menghampiri, meraih tanganku dan menggenggamnya erat.


“Amy, kenapa tidak kau katakan saja pada Gagah?”

Sesaat aku terdiam, lalu menggeleng pelan. “Biarkan saja, Megy. Biar saja
seperti ini.” Gumamku.

Megy menghentakkan tangan kesal, “Aku tidak mengerti dengan kalian.


Kalian...” menggantung ucapannya, Megy tampak berusaha menenangkan diri.
“Kalian hanya menyakiti diri kalian sendiri.” Kemudian dia berbalik dan keluar
dari kamar, menutup pintunya keras.

Aku terduduk di samping ranjang, meraih sebuah gaun yang tergeletak di


sampingku, memilin-milin ujung roknya dengan tangan gemetar.

“Oh, Amy ... andai Gagah mau kembali, aku akan dengan senang hati
menerimamu menjadi menantu.” Mamih melepas pelukannya, “Mulai sekarang,
aku tidak akan pernah mengijinkan kau melakukan pekerjaan ini lagi.”

Aku mendongak menatap Mamih yang menatapku serius.

“Tinggallah di sini, Amy. Kau bisa mencari pekerjaan yang lain, atau mencuci
baju penghuni kompleks seperti yang biasa kau lakukan. Tapi aku tidak akan
pernah memaafkan diriku sendiri, jika tetap membiarkan kau menjual diri.”

Aku memeluk Mamih terharu, menangis seperti anak kecil di bahunya.


Membuat baju bagusnya basah terkena air mata dan ingusku.

43
Fb.me/overebook

“Saat Gagah kembali nanti ... aku ingin kau menjadi pengantin wanita yang
paling cantik ....”

Gedoran pada pintu kamar menarikku dari lamunan.

“Kau sudah siap?” itu suara Gagah.

Gugup aku melepas baju yang kupakai dan mengenakan gaun sekenanya. “Ya,
sebentar.” Jawabku menghentikan gedoran pada pintu.

Sial, aku salah memilih baju. Gaun ini terlalu mini ... terlalu ketat ... terlalu
terbuka .... Aaahh. Aku menghentakkan kaki kesal.

Suara gedoran mulai terdengar lagi.

Tidak ada waktu buat mengganti apa yang sudah aku kenakan.

“Sebentar.” Menyisir rambut asal, aku memasang penjepit kembang dadap di


sisi rambut. Lalu meraih sepatu dan memakainya seraya menghampiri pintu.
Membuka pintu terburu-buru.

“Apa yang kau ...” Gagah tidak meneruskan ucapannya, menatapku dengan
mulut terbuka. “Huh, kau berdandan habis-habisan rupanya.” Lanjutnya sinis,
kemudian memalingkan wajah dan meninggalkanku.

Apa maksudnya dengan habis-habisan? Aku bahkan tidak sempat menggunakan


make up. Aku menoleh ketika merasa ada yang menggamit lenganku, melihat
Mba Vero sudah di samping.

“Dia malu mengakui kalau dia terpesona melihatmu.” Bisik Mba Vero di
telingaku.

Wajahku memerah, itu tidak benar. Gagah tidak mungkin terpesona padaku, dia
tertarik pada Megy.

44
Fb.me/overebook

Aku berjalan canggung saat memasuki ruang temaram tempat penghuni


kompleks berkumpul. Aku hanya pernah sekali melakukan ini, itupun 6 tahun
yang lalu ....

Mba Vero menyenggol bahuku, “Jangan kaku seperti itu, Amy. Goyangkan
tubuhmu.”

Aku merasa gerah berada di sini, rasanya ... ingin lari dan kembali ke kamar.
Mba Vero mengangkat tangan dan menggerak-gerakkan tubuhnya mengikuti
irama, menatap tajam menyuruhku menirukannya. Aku berpaling berusaha
menghindar, tapi Mba Vero meraih tanganku, mengangkat dan menggerak-
gerakkannya. Menyenggol kakiku dengan lututnya, terpaksa aku mengikuti
kemauannya, bergerak canggung mengikuti irama.

Aku memperhatikan sekeliling, khawatir ada yang menertawakan perbuatan


gilaku. Tubuhku menegang saat beradu pandang dengan Gagah yang tengah
menatapku dengan mata membara. Kenapa dia terlihat begitu marah?

Seorang lelaki berbisik di telinga Gagah, aku mengernyit ketika melihat dia
menenggak habis minumannya. Gagah mengangguk, kemudian berdiri dan
berjalan menghampiriku bersama pria itu.

“Temani dia, Amy.” Katanya dingin ketika sudah berada di hadapanku,


mendorong pria yang ada di sebelahnya.

Aku memperhatikan laki-laki itu, agak ngeri melihat caranya menatapku, tapi
tak urung aku mengangguk juga.

Pria itu meraih pinggangku, mendekapnya erat. “Tunjukkan di mana kamarmu.”


Bisiknya, aroma alkohol menguar dari mulutnya.

Menyeret kaki, aku mengajaknya ke kamar.

45
Fb.me/overebook

“Tunggu, Om.” Kataku ketika pria itu membuka pintu kamar dan menyeretku
kasar.

Pria itu terkekeh, “Karena aku suka padamu, kau boleh memanggilku Danu.
Aku belum terlalu tua untuk dipanggil „Om‟.” Katanya tetap menyeretku.

Tanganku terasa panas saat Danu sudah melepas pegangannya. Aku mengelus
bagian pergelangan yang memerah, memperhatikannya yang sedang mengunci
pintu.

Pria bernama Danu itu ... mungkin dia hanya dua atau tiga tahun lebih tua
dariku. Wajahnya terlihat biasa saja, memiliki bekas luka pada sudut mata
bagian kiri. Tapi yang aku tidak suka darinya adalah matanya. Caranya menatap
terlihat ... aneh.

“Kemari ... siapa namamu? ... ah ya, Amy. Kemari Amy, kau harus berbaring di
ranjangmu.” Gumamnya lebih terdengar seperti racauan.

Takut-takut, aku menaiki ranjang. Danu membuka lemari baju, mengobrak-


abrik isinya seperti sedang mencari sesuatu. Kemudian berhenti ketika
tangannya memegang selendang hitam milikku.

Berbalik ke arahku, Danu menyeringai. “Berbaring!” serunya, merobek


selendang itu menjadi beberapa bagian.

Aku menurutinya. Danu menghampiri, meraih kedua tanganku dan mengikatnya


di kepala ranjang.

“Tu-tunggu, apa yang kau lakukan?” aku meronta panik.

“Diam.” Bentak Danu.

46
Fb.me/overebook

Aku terdiam, melihat ekspresi Danu yang kini terlihat datar. Dia mengikat
dengan kuat. Kemudian membuka kedua kakiku dan mengikat masing-
masingnya pada sudut ranjang.

Aku mulai ketakutan. “Meggyyy ... Mba Verooo ...” teriakku panik. Aku pikir
orang ini gila, aku tidak pernah mendengar ada tamu yang berbuat seperti ini.

Danu mendekat, menampar pipiku keras.

Aku memekik kesakitan.

“Berani kau berteriak seperti itu lagi, aku akan lebih keras menamparmu.”
Geramnya marah.

Berbalik, Danu berjalan memutari ranjang. Melepas ikat pinggangnya perlahan,


kemudian meloloskan sesuatu dari dalam ikat pinggang. Danu menghentakkan
benda yang kini ada di tangannya, menimbulkan bunyi yang membuat mulut
dan mataku terbuka lebar.

Aku kembali meronta berusaha melepaskan ikatan. Ketakutan, melihat cambuk


coklat kehitaman yang ada di genggamannya.

Danu kembali melecut cambuk itu di udara, lalu mendekatkan cambuk itu ke
atas tubuhku. Ujung cambuk itu menyentuh pipi, kemudian turun perlahan ke
dada ... lalu ke perut ... dan berhenti tepat di paha. Tiba-tiba Danu melecutkan
cambuknya, rasa perih seperti terbakar langsung menyengat kulit telanjangku.

Aku berteriak kesakitan.

Kembali berteriak ketika ujung cambuk itu singgah lagi di bagian tubuhku yang
lain. Entah sampai berapa lama, yang aku rasakan kemudian hanya rasa pening
di kepala, pandangan mataku sudah mulai kabur.

47
Fb.me/overebook

Samar-samar aku mendengar pintu kamarku di gedor dari luar. Mendengar


mereka memanggil namaku, aku mencoba untuk menyahut. Tapi yang keluar
dari tenggorokan hanya suara seperti tercekik.

Lalu aku melihat pintu yang terbuka dengan paksa, beberapa orang yang
menghambur ke arahku. Di antara batas kesadaran, tiba-tiba semuanya bergerak
menjadi sangat lambat dalam penglihatanku ... Megy yang berusaha melepas
ikatanku ... Mba Vero yang berteriak-teriak marah ... dan Gagah yang memukuli
Danu ... terlihat sangat marah.

Mataku mulai menggelap ... bumi seakan berputar mengelilingiku ... pusaran
gelap menyedotku ke dalamnya ketika aku mendengar suara yang sangat
kukenal menyebut namaku dengan panggilan yang paling ingin aku dengar ....

“Honey Amy ... bangun, Sayang ....”

®RatuBuku

48
Fb.me/overebook

ENAM

Semua ini berawal dari waktu. Waktu adalah benih dari segalanya wahai
Dhananjaya. Jika tiba saatnya, sang waktu akan mengambil sesuai
kehendaknya. (Perkataan Resi Vyata pada Arjuna)

Karenanya, aku harus berlari sekencang-kencangnya sebelum dia mengambil


semua yang ada padaku.

Aku merasa ada kekuatan yang mendorongku keluar dari kenyamanan yang
kurasakan saat ini. Membangkitkan kembali rasa perih pada sekujur tubuh, aku
mencoba bertahan di ambang batas ... tidak ingin rasa sakit itu menguasaiku
lebih jauh.

“Honey Amy ... Honey Amy ....”

Panggilan itu menarikku, nyeri dan perih kembali kurasakan ....

“Honey Amy ... bangun, Sayang.”

Aku merasa meringkuk dalam pangkuan seseorang yang mendekapku erat,


sesuatu yang kasar menyentuh pipi dan dahi, menggesek-geseknya di sana.
Membuka mata perlahan, aku merasakan goyangan pelan ... lalu kusadari aku
benar-benar berada dalam pangkuan seseorang ... Gagah.

Gagah melihat aku telah sadar, wajahnya terlihat sangat lega ketika dia
mengencangkan pelukannya. “Oh, Syukurlah ...” gumamnya lirih.

Aku merintih kesakitan.

Gagah melonggarkan pelukan, menatapku khawatir. “Aku akan mengobati


lukamu.” Katanya sedih, merebahkan aku ke atas ranjang hati-hati.

49
Fb.me/overebook

Saat itulah aku baru tahu ada banyak orang yang berkerumun di kamarku,
termasuk Mba Vero dan Megy. Megy ... aku bergerak gelisah, merasa tidak
enak padanya, dia pasti melihat perlakuan Gagah padaku barusan.

“Bubar, bubar!” Mba Vero merentangkan kedua tangan, menggiring mereka


yang berkerumun keluar dari kamar.

“Aku akan kembali.” Kata Gagah seraya berdiri, lalu keluar meninggalkanku.

Hanya tinggal aku dan Megy sekarang. Dia menghampiri, duduk di samping
ranjang.

Aku mengalihkan pandangan, salah tingkah.

“Andai kau melihat saat dia menghajar laki-laki itu, Amy ...” gumam Megy
menyentuh lenganku.

“Dia tidak suka ada orang yang melukai anggotanya.” Desahku.

“Tidak, dia marah ada orang yang menyakiti „Honey Amy‟-nya.”

Aku menyatukan kedua telapak tangan dan meremas-remasnya.

“Gagah membuat pria itu tidak bisa berdiri. Mereka membuangnya ke jalanan
dalam keadaan pingsan.”

Memberanikan diri, aku menatap Megy. Melihat tidak ada kemarahan sama
sekali di matanya.

“Dia sangat mencemaskanmu.” Megy tersenyum. “Siapapun yang melihatnya


saat itu, akan tahu kalau dia sangat mencintaimu.”

Jantungku berdebar keras. Benarkah yang dikatakan Megy? Sesaat aku merasa
melambung, tapi kemudian tertunduk sedih saat mengingat kejadian yang
kulihat di kamar Megy.

50
Fb.me/overebook

“Itu tidak benar ... dia tertarik padamu.”

Megy tertawa. “Bagaimana mungkin kau berpikir seperti itu?”

Aku menatapnya bingung, “Aku melihat kalian di kamarmu, maksudku aku


tahu kalian saling tertarik satu sama lain.” Gumamku ragu.

Megy kembali tertawa.

“Aku akan menceritakan sebuah rahasia padamu,” kata Megy mendekatkan


kepalanya, berbisik di telingaku, “aku tidak peduli lagi dengan ancamannya
sekarang.”

Megy menjauhkan lagi kepalanya setelah membisikkan kalimat itu. Tatapannya


membuat aku hampir mati penasaran, aku bergerak mencoba untuk duduk, tapi
rasa nyeri di tubuh kembali menyerangku.

“Ssshhh ... santai saja, kau tetap bisa mendengarkan sambil tiduran.” Gumam
Megy geli, membantu memperbaiki posisi tidurku.

“Apa?” tanyaku tidak sabar.

“Malam itu, tidak ... pagi itu. Dia datang ke kamarku pukul 4 pagi, menanyakan
apa kau berhubungan secara serius dengan salah satu langgananmu.”

Mulutku terbuka mendengar cerita Megy, bagaimana bisa Gagah berpikiran


seperti itu.

“Aku hampir menjelaskan pada Gagah bahwa dia salah sangka padamu ketika
kau datang, dan ...” Megy mengangkat bahu, “entah ide dari mana, tiba-tiba
Gagah membuka kaosnya lalu menarikku ke tempat tidur, menutupi tubuh kami
dengan selimut. Dia menurunkan tali dasterku sehingga terlihat seolah-olah aku
telanjang. Tapi aku tidak telanjang, Amy.” Lanjutnya cepat. “Kau melihat kami,
dan yah ... bisa diduga kelanjutannya seperti apa.”

51
Fb.me/overebook

Mulutku terbuka semakin lebar.

“Aku ingin menceritakan padamu sore itu, tapi kau tahu Gagah mencegahku.
Dia mengancam akan mengusirku kalau aku berani menceritakan ini padamu.
Tapi sekarang aku tidak peduli lagi.”

Aku mengangkat punggung, bertumpu pada salah satu tangan untuk duduk.
Tidak mempedulikan lagi rasa sakit yang kurasakan. “Kau tidak bohong, kan?”
tanyaku tak percaya.

“Kau tidak boleh banyak bergerak, Honey Amy.”

Aku belum sempat menoleh ketika tangan kokoh itu meraih tubuhku dan
merebahkan aku kembali ke atas ranjang. Saat aku sudah terbaring, aku melihat
sorot matanya yang menatapku lembut. saat itulah aku tahu, Megy tidak
berbohong.

“Aku akan mengobati lukamu.” Gumamnya lirih, tanpa melepas tatapan. Kedua
tangannya masih berada di bawah tubuhku.

Lalu dia meloloskan tangan kanannya dan membelai pipiku dengan ibu jari.
“Tangan yang membuat tanda ini ... sudah kupatahkan.” Katanya bergetar, sarat
dengan amarah.

Aku terpana melihat ekspresi Gagah, bodohnya aku melupakan satu hal yang
paling kutahu dari dirinya. Caranya melindungiku.

“Aku keluar dulu, deh.”

Aku berpaling ke arah Megy, melihatnya sudah melangkah menuju pintu. “Meg
...” panggilku.

Megy menoleh.

“Terimakasih.” Bisikku lirih.

52
Fb.me/overebook

Megy hanya tersenyum dan mengangguk. Lalu dia menjatuhkan pandangan


pada Gagah yang membelakanginya, “Kau harus ingat apa yang kukatakan tadi,
Bos.” Katanya dengan nada mengancam. Kemudian keluar dari kamar dan
menutup pintu.

Aku menautkan kedua alis penuh tanya, melihat Gagah penuh rasa ingin tahu.
Tapi Gagah hanya diam, tangannya dengan cekatan mengoleskan kapas basah
ke pipi dan sudut bibirku.

“Megy berkata apa?” tanyaku tidak tahan. Aku benar-benar ingin tahu.

Tangan Gagah beralih ke lenganku, “Bukan apa-apa ...” gumamnya menahan


senyum.

Aku merengut tidak suka.

“Akan kuceritakan jika aku selesai, Oke?” kemudian mengangkat sedikit


tubuhku, menurunkan ritsleting gaun.

“Mau apa kau?” tanyaku panik.

Gagah terkekeh, “Aku tidak akan macam-macam, Honey Amy. Aku hanya
ingin mengobati lukamu.”

Wajahku memerah, “Tidak usah.” Gumamku.

“Jangan keras kepala.” Dengan mudah dia meloloskan gaunku.

Hanya mengenakan pakaian dalam di depan Gagah membuat aku canggung.

Tanpa merasa risih, Gagah mulai merawat lukaku. “Kau malu padaku?”
tanyanya.

“Apa? Tidak.” Aku menjawab kesal.

“Lalu kenapa wajahmu merah padam?”

53
Fb.me/overebook

Aku memalingkan wajah, tidak bisa menjawab.

Gagah tertawa geli, “Tidak usah malu, aku pernah melihatmu lebih dari ini?”

Aku menoleh, menatapnya tajam. Bahkan ketika kami melakukan itu pun, aku
tidak melepas baju.

“Kau lupa? Dulu kita sering mandi bersama.” Gumamnya masih menatapku
geli.

Aku kembali berpaling, merasakan pipi yang mulai memanas. “Itu dulu. Kita
masih kecil waktu itu.”

Kali ini Gagah tertawa. Tawanya menular, tanpa bisa ditahan, aku
melengkungkan bibir membentuk senyuman lebar. Gagah sudah selesai dengan
lukaku, dia menyingkirkan perlengkapan yang baru digunakannya, kemudian
naik ke atas ranjang hati-hati.

“Tunggu. Apa yang ...” Ucapanku terhenti ketika Gagah mengecup bibirku
sekilas. Tapi mampu membuat jantungku berdebar dengan sangat keras.

“Aku hanya ingin memelukmu, Honey Amy.” Katanya seraya berbaring,


menarik selimut untuk menutupi tubuh kami dan merengkuhku dalam
pelukannya.

Tubuhku menegang di dalam pelukannya. Namun perlahan tapi pasti,


kenyamanan yang kudapatkan setelahnya membuat syaraf-syaraf pada tubuhku
mengendur, hanya menyisakan debaran pada dadaku.

Aku memejamkan mata, meresapi perasaan yang kini hadir di dalam dada ....
Oh, Tuhan ... betapa aku sangat merindukan laki-laki ini.

®RatuBuku

54
Fb.me/overebook

TUJUH

Aku terbangun keesokan harinya, sendirian. Meneliti tubuhku yang sudah


mengenakan gaun tidur, aku melihat bekas-bekas luka cambukan benar-benar
ada, bahkan masih terasa perih saat kusentuh. Berarti aku tidak bermimpi
semalam. Lalu ... apa semalam Gagah benar-benar memelukku? Atau aku hanya
memimpikannya?

“Kau sudah bangun?”

Aku menoleh, tersenyum malu-malu mendapati Gagah yang sedang


menghampiriku dengan mangkuk di tangannya.

“Kau tidur nyenyak sekali, untungnya kau tidak kesakitan semalam.” Gagah
menarik kursi kayu yang ada di tengah ruangan dan membawa ke samping
ranjang, kemudian duduk di atasnya. Menyuapiku ketupat sayur yang
dibawanya perlahan.

Aku makan dalam diam, dia menyuapi sampai mangkuk kosong. Kemudian
meletakkan mangkuk itu di atas meja samping tempat tidur dan mengambilkan
segelas air putih yang sudah ada di sana untukku.

“Kau benar-benar menemaniku semalam?” tanyaku masih tak percaya.

Gagah tertawa, “Tentu. Kau pikir ini mimpi?” candanya, meletakkan gelas ke
tempatnya semula.

Aku menundukkan pandangan, “Ya, kupikir ini mimpi. Aku terlalu sering
memimpikanmu sampai tidak tahu lagi ini kenyataan atau hanya sebuah
mimpi.” Gumamku.

55
Fb.me/overebook

“Honey Amy,” Gagah menyentuhkan jari-jarinya ke wajahku, kemudian


mengangkatnya perlahan, “lihat aku.” Bisiknya.

Aku memberanikan diri menatap wajahnya, sorot mata yang semula hangat kini
meredup. Mendekatkan bibirnya, dia menciumku. Bukan kecupan singkat
seperti semalam, tapi ciuman yang panjang dan dalam ... seperti yang pernah
kami lakukan dulu, dan masih sama seperti dulu ... ciumannya masih tetap
membakarku. Membuat seluruh tubuhku bereaksi sepenuhnya akan dirinya,
menyadari keberadaanya secara nyata.

“Sekarang kau percaya ini nyata?” tanyanya pelan, melepas ciumannya.


“Percayalah Honey Amy, aku pun merasakan hal yang sama denganmu.” Dia
mengelus pipiku. “Memimpikanmu setiap malam.”

Aku menatapnya sayu, tak percaya dengan apa yang kudengar.

“Aku sangat marah ketika Mamih memberitahu kau memilih menjadi anggota.”

Aku meletakkan tangan di atas tangan Gagah yang masih berada di pipiku,
meremasnya lembut, menatap meminta maaf.

Gagah tersenyum, “Aku tahu kau melakukan itu hanya karena kau ingin tinggal.
Kau menungguku. Megy yang mengatakannya kemarin.”

“Megy ...”

“Itu yang dia katakan kalau kau ingin tahu.” Gagah menghela napas. “Tepat
setelah kau masuk kamar bersama pria brengsek itu.” Sesaat aku melihat sorot
matanya berubah menjadi dingin saat mengucapkan kalimat terakhir. “Maafkan
aku Honey Amy ... aku terbakar rasa cemburu sehingga memperlakukanmu
dengan kasar.”

Ada dorongan yang besar untuk memeluknya ... dan aku tidak melawan
dorongan itu. Aku memeluknya, erat.

56
Fb.me/overebook

“Jangan bicara seperti itu. Melihatmu lagi itu sudah cukup buatku.” Gumamku.

Gagah mengelus rambutku, mengecup belakang telinga pelan. “Aku tahu,


karena aku pun begitu.”

“Ada yang ingin kutanyakan.” Gumamku, melepaskan pelukan enggan.

Gagah mengangkat sebelah alisnya dengan menawan.

“Aku pernah menjadi anggota meski hanya semalam,” aku terdiam sesaat,
merasa berat mengucapkan kalimat selanjutnya. Menekatkan hati, aku
mengatakan apa yang mengganjal dalam hatiku. Lebih baik Gagah tahu
sekarang. “Apa kau tahu yang kulakukan di satu malam itu?” lanjutku
menundukkan kepala.

Aku menunggu tanggapan dari Gagah. Tapi dia hanya diam, dan tiba-tiba saja
perutku terasa mulas. Apa dia kecewa padaku? Memberanikan diri, aku
meliriknya dari balik bulu mataku. Melihat dia yang menatapku dengan sorot
mata geli.

“Kenapa? Kau khawatir aku meninggalkanmu?” guraunya dengan seringai pada


bibirnya.

Wajahku merah padam merasa dipermainkan, memalingkan wajah karena malu,


namun dalam hatiku ... aku bernapas lega.

Gagah terkekeh, dia mengacak rambutku sayang. Aku menepis tangannya,


“Aku bukan anak kecil.” Gumamku kesal.

“Bagiku kau tetap gadis kecilku, Honey Amy.” Katanya, beralih duduk di
samping dan merangkul bahuku.

Aku mendengus, “Aku lebih tua tiga tahun darimu.”

“Tapi aku lebih dewasa.”

57
Fb.me/overebook

Aku menoleh padanya dan terbelalak melihatnya yang memasang wajah


menyebalkan. “Kau menyebalkan.” Gumamku mendorong bahunya.

“Tapi kau suka.” Goda Gagah mendekatkan wajah padaku.

Aku tak bisa bersuara, rasanya bernapas saja susah melihat dia sedekat ini. Aku
tidak bisa menghentikan tanganku yang terulur menyentuh rahangnya,
menyapukannya pada bulu-bulu halus yang tumbuh di sekitarnya.

“Kau belum bercukur?” gumamku serak.

Selanjutnya, Gagah mencium bibirku dengan keras dan bertubi-tubi.

“Kenapa kau boleh naik ke atas dan aku tidak?” teriakku mendongakkan kepala
melihat Gagah yang sudah berada di atas pohon.

“Diamlah, Amy.”

Aku menatapnya khawatir ketika melihat tangan kecilnya meraih sarang lebah
yang menggantung di salah satu dahan. Melihatnya menyeringai ketika sarang
itu sudah berada di tangannya. Dengan lincah dia turun dari atas pohon dan
melompat begitu jaraknya sudah tidak terlalu jauh dari tanah.

Aku memperhatikan Gagah yang mulai memukul-mukulkan sarang lebah itu ke


atas batu hingga terbelah. Aku berjongkok di sampingnya, melihat Gagah yang
merogohkan tangan ke salah satu rongga sarang tersebut.

Gagah mengeluarkan tangandari rongga tersebut, jari-jarinya kini penuh dengan


cairan kental berwarna coklat keemasan.

“Ini namanya madu, lebih enak dari permenmu yang jatuh tadi.” Katanya sok
tahu. Lalu dia mengulurkan jarinya ke mulutku. “Coba jilat.”

Aku menjilat jari Gagah sekali, dia benar. Rasanya manis. Aku menjilat lagi
sampai jari-jarinya bersih.

58
Fb.me/overebook

Gagah tertawa, “Kau suka?”

“Hmm ... ini enak.” Gumamku sambil mengangguk. “Madu ya? ... honey.”

“Apa?” gagah yang kembali merogohkan tangan ke rongga sarang mendongak


menatapku. Dia tertarik dengan kata yang kuucapkan.

“Honey. Kata Bu Guru, bahasa inggrisnya madu, honey.”

“Honey? Honey Amy ...”

Kali ini aku yang berpaling menatapnya.

Gagah tertawa. “Aku suka nama itu. Honey Amy. Kau manis seperti madu, jadi
aku akan memanggilmu „Honey Amy‟ mulai sekarang.”

Aku mengangkat bahu tak peduli, ikut merogoh rongga sarang lebah dan
menjilati jari-jari ketika mendapatkan cairan itu di tanganku.

“Kenapa tadi aku tidak boleh ikut naik ke atas pohon.” Tanyaku saat madu di
sarang lebah tersebut sudah habis.

“Kau terlalu kecil untuk naik ke atas pohon.” Gumam Gagah melempar belahan
sarang lebah ke semak-semak.

Aku mendengus. “Aku lebih tua tiga tahun darimu.”

“Tapi aku lebih dewasa.”

®RatuBuku

Aku merasakan kebahagiaan yang teramat sangat dalam hatiku ... sampai-
sampai aku takut ini tidaklah nyata. Berkali-kali mengelus pipi bercambang
pria yang kini terbaring di sampingku, mencoba meyakinkan diri bahwa dia
benar-benar ada.

59
Fb.me/overebook

Wajahnya terlihat tenang, dadanya naik turun mengantarkan hembusan


napasnya yang teratur, tangannya melingkar erat di pinggangku. Kata Megy, dia
tidak tidur semalaman. Hanya duduk di samping ranjangku.

Aku melirik kisi-kisi di atas jendela kamar yang tertutup, kurasa ini sudah
terlalu siang. Aku mengangkat tangan Gagah yang berada di pinggangku,
menyingkirkannya perlahan.

“Jangan pergi.” Gagah mempererat pelukannya.

“Kau sudah bangun?”

“Aku tidak ingin kau pergi.”

“Tidak. Aku hanya ingin menggerakkan tubuh. Badanku pegal-pegal kalau aku
tidak bergerak.” Kataku meletakkan tangan di pipi Gagah.

Gagah memegang tanganku dan menggeser ke bibirnya. Mengecupnya lembut.


“Apa kau sudah merasa lebih baik?” tanyanya, menatap tepat di bola mataku
dari balik bulu matanya.

“Aku sudah baikan.” Gumamku, tidak lagi merasakan nyeri pada memar-memar
di tubuhku. Mungkin karena aku terlalu bahagia sehingga rasa sakit itu
terkalahkan.

Gagah bangun dan melompat turun, “Aku akan mengajakmu ke suatu tempat.
Bersiap-siaplah.” Katanya, bibirnya mengembang membentuk senyuman yang
paling indah.

Aku ikut tersenyum melihat matanya yang berbinar, seakan mengajakku untuk
ikut merasakan apa yang dia rasakan. “Kemana?” tanyaku ingin tahu.

Gagah hanya mengedipkan sebelah matanya dan tersenyum misterius sebelum


dia keluar dari kamar.

60
Fb.me/overebook

Aku menghela napas, kemudian turun dari ranjang dan menghampiri handuk
yang tersampir. Bersiap untuk mandi.

Sampai di depan kamar mandi, aku melihat kerumunan penghuni komplek di


dekat sumur. “Hai,” sapaku.

Kerumunan itu langsung berpindah mengelilingiku.

“Kau sudah baikan Amy?”

“Kenapa keluar kamar?”

“Kau masih harus istirahat, Amy.”

Mereka bertanya dan memberikan saran dengan hampir bersamaan.

“Aku sudah baik sekarang.” Jawabku tersenyum.

Mereka menatapku tak percaya.

“Percayalah.” Aku tertawa, berusaha meyakinkan mereka.

“Hei, percaya saja. Dia kan dirawat dokter paling handal. Dokter cinta.” Goda
mba vero membuat sebagian yang ada di sini tertawa.

Wajahku memerah. “Kalian ini ...” gumamku malu.

“Kami ikut senang, Amy.” Kanya menyeletuk dari barisan belakang.

“Omong-omong, apa kalian sudah saling melepaskan rindu?” Megy


mengedipkan mata, ikut menggodaku.

“Pasti lah, mereka di kamar terus setengah hari ini.” Aku tahu itu suara Melisa.

Wajahku semakin memerah mendengar kikikan geli teman-temanku. “Tidak.


Tidak seperti yang kalian bayangkan, dia hanya menemaniku.” Jelasku berusaha
menghentikan mereka.

61
Fb.me/overebook

Tapi mereka malah semakin terkikik.

“Ah, sudahlah.” Gumamku putus asa, masuk ke kamar mandi dan menutup
pintu rapat-rapat. Meredam suara tawa dan selorohan nakal mereka.

Di dalam kamar mandi, aku tersenyum mengingat kalimat yang Gagah ucapkan
setelah dia menciumku.

“Kalau Orion berakhir dengan menjadi rasi bintang karena cintanya pada Eos,
aku ingin berakhir sebagai denyut pada nadimu, Honey Amy.”

®RatuBuku

Masuk ke kamarku, aku dikejutkan dengan kotak bercorak cantik warna biru
muda yang ada di atas ranjang. Aku menyampirkan handuk tanpa melepaskan
pandangan dari kotak tersebut, kemudian menghampirinya. Menemukan sehelai
kertas merah jambu yang tertempel di atas tutup kotak. Membungkuk, aku
membaca pesan itu.

„Ketika melihat gaun ini, aku tahu kau akan terlihat sangat cantik jika
memakainya.‟

Aku membuka penutup kotak, tersenyum ketika mendapati potongan kain batik
berwarna biru tua dengan corak lingkaran obat nyamuk. Mengambilnya dan
mengepaskan ke tubuh sambil bercermin. Lalu, dengan tidak sabar mengenakan
gaun tersebut.

Berkaca, aku terpana melihat betapa potongan gaun itu sangat pas di tubuhku.
Sackdress dengan tali bahu berbentuk A-Line yang panjangnya tepat di atas
lutut, ada kerutan pada bagian pinggang belakang dan selembar kain sifon biru
muda yang menutupi bagian kiri gaun dari bawah lengan sampai panggul,
berakhir dengan tiga corsage yang menempel di tengah pinggang.

62
Fb.me/overebook

Aku merapikan rambut ikalku, menyisirnya menjadi satu di tengah dan menjepit
kedua pinggirnya dengan jepitan rambut. Menyapukan make-up tipis pada
wajah. Mengambil sebuah selop, aku berdiri sekali lagi di depan cermin. Kini
aku sudah siap.

Saat aku keluar dari kamar, Gagah sudah menunggu. Berdiri bersandar pada
samping pintu dengan kedua tangan di dalam saku celana. “Gah.” Panggilku.

Gagah menoleh dan terdiam sesaat, kemudian menghembuskan napasnya yang


tertahan. “Kau sangat cantik ...” gumamnya pelan.

Pipiku terasa panas mendengar pujiannya. “Terimakasih.” Sahutku.

Tersenyum, Gagah meraih tanganku dan menggandengnya. Jantungku berdebar


keras, entah karena tangannya yang menggenggam tanganku hangat, atau
karena aroma pinus pada tubuhnya.

“Kau bercukur?” tanyaku spontanitas melihat dagunya sudah licin. Yang


kemudian kusesali saat dia melirikku dengan mengangkat sebelah alisnya
jenaka.

“Ya.” Jawabnya tersenyum lebar.

Aku tertunduk malu, mengutuki mulutku yang lancang. Sementara Gagah


tertawa melihat reaksiku. “Jangan menertawakanku.” Gumamku sebal.

“Tidak. Aku suka kamu.” Katanya, tapi aku tidak yakin dia tidak
menertawakanku.

Gagah menarikku, memeluk bahu dan mengecup puncak kepalaku. “Sudah


kubilang, aku lebih dewasa darimu.” Gumamnya.

“Itu karena dulu, kau tidak pernah memberiku kesempatan untuk lebih dewasa
darimu.” Kelitku.

63
Fb.me/overebook

“Itu karena kau selalu tergantung padaku.” Gagah tidak mau kalah.

“Tidak.” Bantahku cepat, melupakan betapa aku kehilangan dia saat Gagah
meninggalkanku.

Gagah tertawa, mencubit hidungku pelan. “Sekarang kau bisa lihat siapa yang
lebih dewasa.”

“Terserahlah.” Jawabku menyerah.

Kami sudah keluar kompleks, Gagah menuntunku ke sebuah mobil sport


berwarna hitam yang terparkir di ujung gang.

“Aku meminjam dari temanku.” Katanya membukakan pintu mobil, kemudian


dia berjalan memutar dan duduk di kusi kemudi.

“Kenapa harus pakai mobil? memangnya kita mau kemana?” tanyaku


penasaran.

“Nanti kau juga tahu.” Jawabnya seraya mengerling padaku.

Aku tersenyum, kemanapun ... yang penting bersamanya. Itu sudah cukup
buatku.

Semua ini berawal dari waktu. Waktu adalah benih dari segalanya wahai
Dhananjaya. Jika tiba saatnya, sang waktu akan mengambil sesuai
kehendaknya. (Perkataan Resi Vyata pada Arjuna)

Karenanya, aku harus berlari sekencang-kencangnya sebelum dia


mengambil semua yang ada padaku.

®RatuBuku

64
Fb.me/overebook

DELAPAN

Aku merasa sedang berada di atas langit, melompat-lompat dari awan yang satu
ke awan yang lainnya, berlari sambil tertawa. Gagah mengejar di belakang,
tertinggal satu awan dariku. Hatiku terasa ringan, penuh dengan kebahagiaan.
Setiap aliran darah di nadiku seakan meneriakkan kata „aku bahagia‟.

Gagah menangkapku, dia membuat aku terguling ... terhempas pada lembutnya
hamparan awan.

“Aku mendapatkanmu, Honey Amy.”

“Honey Amy ... Honey Amy ....”

Aku membuka mata, melihat Gagah yang sedang menepuk-nepuk pipiku


lembut. Melihatku terbangun, Gagah tersenyum.

“Mimpi indah? Tanyanya dengan senyum menggoda.

Aku tersipu, membetulkan posisi dudukku. “Emang kenapa?”

Gagah terkekeh, “Tidak. Hanya saja, melihatmu tersenyum dalam tidur


membuat aku senang.”

“Kita sudah sampai?” tanyaku menglihkan perhatian.

“Ya.”

Aku memperhatikan sekeliling, sepertinya dulu ... sudah lamaa sekali, aku
pernah ke sini.

“Kau ingat tempat ini?”

Aku menggeleng ragu.

65
Fb.me/overebook

Gagah membuka pintu mobil, keluar dan berjalan memutar, membukakan pintu
untukku. Lalu mengulurkan tangan, membantu aku turun.

Dia menggandeng tanganku menuju ke suatu tempat, memasuki sebuah jalan


setapak yang hanya bisa dilewati kendaraan roda dua. Gagah berhenti di depan
sebuah rumah kecil terbuat dari bilik bambu yang atapnya terlalu pendek
sehingga Gagah akan membungkuk jika memasukinya.

“Sekarang ingat?” tanyanya lagi.

Sesaat aku diam, mencoba menggali ingatan yang paling dalam. Kemudian
kedua bola mataku terbuka lebar ketika mengingat sesuatu. “Ini rumah Nini
kan?”

Gagah tertawa, “Iya.” Jawabnya.

“Bukannya Nini sudah lama meninggal?” tanyaku memperhatikan rumah yang


sepertinya sudah lama kosong itu.

“Kau betul,” kata Gagah seraya menuntunku memasuki rumah tersebut.

“Ayo Amy.”

Aku melangkah ragu mengikuti Gagah, memandang perempuan tua yang berdiri
di depan pintu ketakutan. Perempuan itu sangat menakutkan, tubuhnya bungkuk
dengan tonjolan besar pada punggung, rambutnya yang putih tergerai
berantakan, dan mulutnya tidak berhenti mengunyah sesuatu.

“Ini nenekku, kau bisa panggil dia Nini seperti aku.” Kata Gagah meraih tangan
perempuan tua itu dan menggoyang-goyangnya.

Nini tertawa padaku, aku mundur dan bersembunyi di belakang punggung


Gagah, ketakutan melihat mulutnya penuh cairan merah. Mungkin darah,
pikirku.

66
Fb.me/overebook

“Tidak apa-apa, Amy.” Gagah menenangkan aku.

“Ulah sieun ka Nini ...” Nini bergumam menggunakan bahasa asing yang tidak
pernah aku dengar sebelumnya. Lalu, dia meludahkan darah yang ada di mulut.

“Itu bukan darah, Amy. Nini hanya nyeupah.”

Aku tidak tahu apa itu nyeupah, tapi aku agak tenang ketika tahu itu bukan
darah.

Nini tertawa, dia mengambil benda coklat kehitam-hitaman dari mulutnya dan
meletakkan di sebuah wadah yang terbuat dari anyaman bambu, lalu
menggelung rambutnya menjadi satu.

“Ayeuna meureun babaturan maneh teu sieun deui ka Nini, Gah. Pan Nini geus
teu siga jurig deui.” Katanya masih tertawa.

Gagah ikut tertawa, “Nini kan cantik, masa dikira jurig.”

Memasuki ruang depan, aku ingat ruangan ini masih sama seperti dulu. Lantai
yang masih tanah, tiga kursi kayu yang mengelilingi meja bundar kecil, dan
sebuah dipan bambu beralas tikar yang terletak di salah satu sisi ruangan.
Bahkan lentera dari botol masih menempel di dinding biliknya.

“Seperti tidak pernah ditinggalkan.” Gumamku.

“Aku menyuruh orang untuk membersihkan tempat ini, imbalannya mereka bisa
memanfaatkan lahan sekitar.” Kata Gagah memperhatikan sekeliling.

“Apa desa ini masih sepi seperti dulu?” aku ingat hanya ada sedikit orang di
desa ini, mungkin sekitar 20 orang, dengan tempat tinggal yang saling
berjauhan.

“Ya. Tidak ada yang suka tinggal di tempat terpencil. Hanya ada orang tua di
sini, mereka yang muda pergi merantau.”

67
Fb.me/overebook

“Aku akan suka tinggal di sini ...” gumamku melongok ke ruangan yang
satunya. Seperti dugaanku, ruangan besar itu masih berupa dapur. Terlihat luas
karena hanya diisi dengan rak piring kayu dan sebuah tungku panjang dari
tanah. Setumpuk kayu bakar berada di salah satu sudut ruangan, tertutup
selembar plastik yang lebar.

Gagah merangkul bahuku, “Ayo keluar, ada yang ingin kutunjukkan.”

Aku menoleh, “Apa?” tanyaku penasaran.

Gagah hanya tersenyum, “Ayolah.” Katanya menggandengku.

Aku harus menunda rasa ingin tahuku, mengikuti Gagah menuju belakang
rumah. Melirik sebuah sumur pompa yang ada di situ, aku bertanya-tanya apa
sumur pompa itu masih berfungsi seperti dulu.

“Kau harus memompanya seperti ini agar airnya keluar.”

Aku tertawa geli melihat Gagah yang bergerak naik turun untuk memompa
tangkai besi sumur. Menghasilkan air yang melimpah di ember kecil kami.

Tawaku terhenti ketika seember air itu mengguyurku, kali ini Gagah yang
tertawa keras. Aku menyapukan telapak tangan ke muka, menghapus air di
wajahku. Menunduk memperhatikan baju yang basah kuyup, lalu berpaling
menatap Gagah marah. Tapi melihat ia yang terpingkal, membuat aku
tersenyum. Kemudian kami tertawa bersama sambil saling memercikkan air.

“Lihat!” tunjuk Gagah pada satu-satunya pohon besar di atas bukit belakang
rumah Nini. “Ayo ke sana.” Ajaknya kembali menggandengku.

Kami berjalan mendaki bukit yang tidak begitu tinggi, yang terhampar rumput-
rumput hijau sejauh mata memandang. Beberapa bunga liar tumbuh
bergerumbul, mempercantik bukit tersebut.

68
Fb.me/overebook

Sampai di atas, Gagah menyeretku ke bawah pohon, menghampiri sebuah


ayunan dari roda mobil yang tergantung di salah satu dahan.

“Ayunannya masih ada.” Teriakku tak percaya. Dulu Aki yang membuatkan
ayunan itu untukku dan Gagah, membuat kami betah berlama-lama di tempat ini
jika berkunjung. “Apa masih kuat?” aku mendongak dan menyentak tali ayunan
ke bawah, mencoba kekuatan tali tersebut.

“Mungkin.” Gumam Gagah. “Coba saja.”

Hati-hati aku duduk di ayunan yang berbentuk seperti donat itu, tersenyum
ketika mengingat masa kecilku bersama Gagah. Dulu, Gagah akan mengayunku
dengan kencang, membuat aku berteriak-teriak antara rasa takut dan senang.

“Di tempat ini aku memberimu nama „Honey Amy‟.” Gumam Gagah
mengayunku pelan. Ada senyum pada suaranya.

“Kau mengingatnya?” tanyaku mendongak menatap Gagah.

“Aku ingat dengan pasti ketika kau menangis karena permenmu jatuh, dan aku
menaiki pohon ini untuk mendapatkan madu dari sarang lebah agar kau berhenti
menangis.”

Aku tertawa mendengar ceritanya, sedikit merasa malu karena aku juga
mengingat bagaimana kekanakannya aku saat itu.

Tiba-tiba Gagah berbalik menghampiri salah satu sisi pohon, berjongkok dan
memperhatikan sesuatu.

“Honey Amy, sini!” panggilnya.

Aku turun dari ayunan, berjalan menghampirinya, membungkuk di samping


Gagah.

69
Fb.me/overebook

Salah satu tangan Gagah menempel pada pohon, jarinya menelusuri sebuah
guratan di atas kulit pohon tersebut. Gambar dua orang anak yang sedang
bergandengan. Agak jauh dari gambar tersebut, ada dua buah garis dengan
inisial nama di samping-sampingnya. Garis yang atas bertuliskan huruf G dan
garis yang bawah bertuliskan huruf HA. Di bawah gambar kedua anak itu juga
tertulis huruf yang sama.

Aku tersenyum, ikut menelusuri guratan tersebut dengan jari. “Masih ada ya ...”
gumamku teringat saat kami mengukur tinggi badan di pohon itu.

“Aku akan menikah denganmu, Honey Amy. Di tempat ini.” Kata Gagah,
tangan kecilnya sibuk menggoreskan pisau kecil di atas kulit pohon.

“Aku belum pernah melihat orang menikah ...” gumamku menerawang.

“Ketika menikah, pengantin wanita akan mengenakan pakaian seperti milik


putri-putri dalam dongeng.”

Mataku berbinar, berpaling menatap Gagah. “Apa aku juga akan mengenakan
pakaian itu?” tanyaku antusias.

Gagah menghentikan gerakan tangannya, berbalik balas menatapku. “Tentu


saja. Kau pasti akan terlihat sangat cantik.” Katanya dengan sungguh-sungguh.

Jariku terhenti ketika Gagah meletakkan tangan di atas tanganku, meraih dalam
genggamannya. Masih berjongkok, dia berbalik. Menatapku tajam dari balik
bulu matanya yang lentik.

“Katakan padaku, Honey Amy. Maukah kau menikah denganku?”

Waktu seakan berhenti, angin yang berhembus lembut terasa membuat


segalanya menjadi sempurna.

70
Fb.me/overebook

Aku tidak tahu seperti apa reaksiku, tapi hatiku terasa melambung ke tempat
yang penuh dengan bunga-bungaan, diselimuti dengan kabut merah jambu.

Aku pikir, aku mengangguk. Karena kemudian Gagah berdiri dan memelukku
erat, mencium bibirku penuh kelembutan.

Saat Gagah melepas ciumannya, dia menatapku dengan sorot matanya yang
redup, bibirnya membentuk senyum yang sangat indah.

Sudut mataku terasa basah, aku menghapusnya cepat-cepat. Aku tidak akan
menangis di hari bahagiaku. Tapi ketika Gagah kembali menciumku, aku tidak
bisa menghentikan air mata yang mengalir.

Gagahku sudah kembali.

®RatuBuku

“Saha Maneh?”

Kami yang sedang menghangatkan tubuh di depan tungku serentak menoleh.


Melihat seorang laki-laki tua membawa sabit di depan pintu dapur. Aku
beringsut ngeri, tapi Gagah malah berdiri dan tersenyum hangat.

“Mang Karsim, leres?” tanya Gagah sopan.

Laki-laki tua itu terlihat mengerutkan kening, seolah sedang berpikir keras.
Kemudian berteriak-teriak seraya mengacung-acungkan sabit. “Aaahh ... anjeun
teh Gagah? Leres pisan ieu teh Gagah?”

“Gah ...” panggilku ngeri melihat laki-laki tua itu mengacung-acungkan sabit.

Tapi Gagah tidak mendengarku.

“Leres, Mang. Ieu abdi, Gagah.”

71
Fb.me/overebook

Aku menarik napas lega ketika laki-laki tua itu meletakkan sabit di tanah,
berlari menghampiri Gagah dan menggoncang-goncangkan bahu Gagah.

“Atuuhh ... meuni ganteng pisan ayeuna mah. Teu siga abdi, enggeus kolot.”
Laki-laki itu terlihat sangat senang, “Gimana kabarnya sekarang?”

Gagah tertawa, merangkul laki-laki tua itu hangat. “Damang, Mang. Saya
sehat.” Gagah membimbing laki-laki tua itu, menghampiriku.

Aku berdiri dan tersenyum.

“Tepangkeun, Mang. Ieu teh Amy, calon pamajikan abdi” Kata Gagah
menyentuh bahuku. “Honey Amy, ini Mang Karsim. Yang selama ini mengurus
rumah Nini.”

Aku mengangguk dan mengulurkan tangan.

Mang Karsim mengusap-usapkan tangan ke celana pendek hitam yang


dipakainya, menyambut uluran tanganku dan menjabatnya erat. “Calon
pamajikan? Atuuh, meuni geulis pisan, enya?”

“Mang Karsim bilang, kamu cantik.” Kata Gagah menjelaskan.

Aku kembali tersenyum, “Terimakasih, Mang.”

Mang Karsim tertawa, melepaskan jabatan tangannya. Kemudian tiba-tiba dia


berbalik seperti mengingat sesuatu, “Sebentar ya.” Katanya seraya
meninggalkan kami.

Aku dan Gagah hanya saling pandang menahan senyum. Tak lama kemudian
Mang Karsim kembali membawa singkong yang masih utuh dengan batangnya.

“Ubi ti kebon.” Katanya meletakkan singkong itu di samping Gagah. “Sok atuh
dibakar.”

“Hatur nuhun pisan, Mang.” Kata Gagah.

72
Fb.me/overebook

Mang Karsim tersenyum lebar, memperlihatkan giginya yang sudah ompong


sebagian. “Ulah gitu atuh, ini kan punya Den Gagah juga.” Mang Karsim
mengambil kembali sabitnya. “Mamang pulang dulu, lamun ngabutuhkeun
sasuatu, imah Mamang deuket tuh di ditu.” Ujarnya menunjuk ke belakang
rumah.

“Iya, Mang.”

Mang Karsim meninggalkan kami setelah sebelumnya memamerkan kembali


gigi ompongnya, membuatku tersenyum karena geli.

“Tidak sopan menertawakan orang tua,” tegur Gagah ketika Mang Karsim
sudah tidak ada, tapi senyum lebar juga tak lepas dari wajahnya.

Aku tertawa kecil, meraih singkong dan mengangkatnya tinggi-tinggi,


“Sepertinya enak.” Gumamku.

“Tidak sebelum dibakar.” Sahut Gagah seraya mengambil singkong yang ada di
tanganku.

Kemudian dengan cekatan dia memotong singkong itu dari batangnya, dan
melemparkan ke dalam nyala api dalam tungku.

Aku duduk beralaskan daun pisang di depan tungku, mencari kehangatan.


Menjelang sore di tanah pegunungan seperti ini udara terasa semakin dingin.

Gagah menghampiri dan memeluk dari belakang. Kami saling terdiam,


menikmati moment yang kami lewati bersama. Mendengarkan desir angin yang
berhembus menggesek dedaunan di luar rumah, jangkrik yang mulai
memperdengarkan suaranya, terkadang bunyi katak yang saling bersahutan.
Terdengar sangat indah.

Aku bersandar pada bahu Gagah nyaman, memperhatikan ia yang serius


membolak-balik singkong dengan satu tangannya yang memegang bilah bambu.

73
Fb.me/overebook

Aroma singkong bakar mulai menguar di udara. Aku menegakkan tubuh, tiba-
tiba merasa kelaparan. Perutku yang berbunyi menarik perhatian Gagah, dia
menoleh padaku dan menyeringai. Wajahku merah padam.

“Kau lapar.” Gumamnya.

“Aromanya membangunkan cacing dalam perutku.” Sahutku berkelit.

Gagah tertawa, dia menggerakkan bilah mengeluarkan singkong bakar dari


tungku. Aku mendekatkan wajah mengendus aroma dan menghirupnya dalam-
dalam.

“Hmm ... wanginya enak sekali.” Gumamku.

Gagah meletakkan salah satu singkong pada selembar daun pisang,


membelahnya menjadi dua, lalu meniupnya perlahan-lahan. Agak lama untuk
membuat singkong itu menjadi dingin, dia mengambil sedikit singkong yang
masih hangat dan menyuapkan ke mulutku. Aku melakukan hal yang sama
untuknya, lalu kami tertawa bersama.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk menghabiskan singkong bakar itu,


mengingat kami sudah sangat kelaparan. Kami makan sambil bercanda, Gagah
tidak berhenti menggodaku, mengingatkan aku tentang kejadian-kejadian lucu
di masa lalu, dan aku akan membalas mengolok-olok dia. Kemudian aku
terbahak melihat wajah Gagah yang malu-malu. Sungguh, aku tidak pernah
tertawa sekeras ini sebelumnya, sampai air mata keluar dari sudut mataku.

Menjelang malam, setelah mandi dengan air yang sedingin es, Mang Karsim
meminta kami untuk makan malam di rumahnya. Istrinya sangat ramah, tidak
pernah berhenti tersenyum. Dia menghidangkan pepes ikan untuk kami, dengan
beberapa macam sayuran mentah sebagai lalap. Masakannya sangat enak, aku
bahkan tanpa malu-malu menghabiskan satu ekor ikan besar. Gagah tertawa
melihatku makan sangat banyak.

74
Fb.me/overebook

“Enak sekali.” Gumamku, ketika aku merasa perutku sudah tidak kuat lagi
menampung makanan.

Mang Karsim dan istrinya tertawa senang.

“Mang Karsim punya kolam ikan?” tanya Gagah masih menghisapi kepala ikan
yang ada di tangannya.

“Enteu, Mamang mancing di danau.” Jawab Mang Karsim.

“Emang danaunya masih ada?” tanyaku antusias.

“Emang kamu pikir, danau seluas itu bisa menghilang begitu saja.” Kata Gagah
mencolek daguku.

Aku merengut kesal, melap bekas colekannya yang menyisakan bumbu pepes di
dagu. “Aku kan hanya tanya.” Gerutuku.

“Masih, besok ke sana atuh, kalian bisa berkeliling danau naik perahu
Mamang.” Kata Bi Warmi, istri Mang Karsim sambil memberesi bekas makan
kami, aku beranjak membantunya. “Tidak usah, Neng.” Larangnya.

“Tidak apa-apa, Bi.”

Aku berdiri mengikuti Bi Warmi menuju dapur, membantu mencuci piring.


Selesai membantu Bi Warmi, aku kembali. Melihat Gagah yang sedang mengisi
tembakau ke atas kertas rokok dan memilinnya dengan tangan, mengikuti cara
Mang Karsim.

Gagah dan Mang Karsim terlibat pembicaraan seru menggunakan bahasa sunda
yang tidak aku mengerti, sesekali tertawa bersama.

“Kau ingin tidur?” tanya Gagah menoleh padaku setelah terdiam beberapa saat.

75
Fb.me/overebook

Aku menggeleng, “Tidak.” Jawabku. Meski aku tidak mengerti apa yang
dibicarakannya bersama Mang Karsim, tapi aku menikmati melihat dia tertawa
ceria.

“Bagus. Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.” Gumamnya mematikan api


pada rokok hasil lintingannya. Kemudian berdiri, berpamitan pada Mang
Karsim. Mang Karsim hanya mengangguk-anggukkan kepala, menikmati rokok
yang sedang dihisapnya.

“Bii, pergi dulu ya ...” teriak Gagah sambil melongok ke dapur.

“Iya, Jang. Isuk kadieu deui nyak.” Sahut Bi Warmi dari dalam.

“Iya, Bi. Hatur nuhun, Bi.”

Bi Warmi kembali menyahut dari dalam, kali ini aku tidak begitu jelas
mendengarnya.

Kemudian Gagah menggandengku keluar dari rumah Mang Karsim.

“Mau ke mana?” tanyaku setelah berada di halaman rumah Mang Karsim.

Gagah tidak menjawab, dia hanya menuntunku menuju ke atas bukit.

Bulan yang bersinar menerangi jalan setapak yang kami lalui, suara binatang
malam terdengar di balik semak di pinggir jalan. Mataku berkeliling mencari-
cari sesuatu.

“Apa yang kau cari?” tanya Gagah.

“Kunang-kunang.”

Gagah tertawa, “Mungkin sekarang kunang-kunang sudah punah.”

“Mungkin mereka hanya sembunyi.”

76
Fb.me/overebook

“Atau mungkin sekarang sudah tidak ada anak yang menanam potongan kuku
mereka lagi.” Gagah tersenyum dan melirikku penuh arti.

Aku tersenyum.

“Aku akan menanam ini di bawah pohon kita.” Kata Gagah menunjukkan
potongan kuku yang ada di telapak tangannya.

“Kalau kita menanamnya, apa akan menjadi pohon kuku?” tanyaku ingin tahu.

Gagah tertawa, “Tidak. Tapi kuku-kuku ini akan berubah menjadi kunang-
kunang.”

Mataku berbinar, “Benarkah?”

Gagah mengangguk.

“Ayo kita tanam.” Ajakku antusias.

Malamnya aku dan Gagah menunggu di bawah pohon. Bersorak gembira ketika
puluhan kunang-kunang beterbangan di sekitar kami. Tertawa gembira, kami
berlari-lari mengejar kunang-kunang itu.

Tentu saja kisah itu hanya trik para orangtua agar anak-anaknya mau memotong
kuku. Tapi bagiku saat itu, kisah itu adalah hal yang paling luar biasa yang
pernah aku dengar.

Sampai di atas bukit, kira-kira sepuluh langkah dari ayunan kami, Gagah
merebahkan tubuh. “Kemarilah, Honey Amy.” Katanya padaku.

Aku ikut berbaring di sampingnya, mengikuti cara dia meletakkan satu tangan
di bawah kepala. Kami terdiam, memperhatikan langit yang penuh bintang
malam ini. Dengan bulan yang bersinar keperakan. Langit terlihat sangat cerah,
hanya ada beberapa kabut tipis di antara bintang-bintang.

Gagah mengenggam tanganku yang bebas.

77
Fb.me/overebook

“Kau ingat ketika menceritakan kisah Orion padaku?” tanyaku lebih berupa
bisikan.

“Yah ....”

“Ceritakan kisah yang lainnya.”

Gagah terdiam sejenak, kemudian menghela napas. “Ini kisah tentang bulan
yang selalu berwajah muram.” Gumamnya memulai.

Aku berpaling, memperhatikan siluet wajahnya yang menatap lurus ke arah


bulan.

“Tiap malam, Selene melintasi angkasa dari istana emasnya di timur dengan
mengendarai kereta yang dihela dua ekor sapi jantan bertanduk sabit. Dia
memberikan cahayanya yang lembut keperakan bagi bumi di malam hari.”

Aku terpesona dengan cara Gagah menceritakan kisah tersebut.

“Kau tahu, Honey Amy? Dalam perjalanannya, dia selalu ditemani oleh Vesper,
sang Bintang Senja. Kala fajar menyingsing, bersama mereka akan menuju ke
Sungai Ocean di sebelah barat dan kembali ke istananya di timur dengan
mengendarai perahu.”

“Selene terdengar bahagia, lalu kenapa dia selalu berwajah muram?” tanyaku
memandang lurus ke arah bulan di atas langit.

Gagah mendekatkan kepalanya padaku, menunjuk ke arah bulan. “Kau lihat?


Bulan selalu bersinar keperakan, tapi terlihat pucat.”

Aku mengangguk.

“Itu adalah gambaran Selene, dia dilukiskan sebagai wanita cantik yang
mengenakan gaun dan berkerudung keperakan. Wajahnya pucat oleh duka.”

78
Fb.me/overebook

“Kenapa dia selalu terlihat sedih?” gumamku, memperhatikan cahaya pucat


keperakan yang tertutup kabut tipis di permukaannya.

“Konon suatu malam, saat dia sedang menjalankan tugasnya menerangi bumi,
dia berjumpa seorang penggembala yang tampan bernama Endymion di Gunung
Latmos. Selene jatuh cinta pada Endymion.” Gumam Gagah tak melepas
pandangannya dari bulan. “Endymion yang juga jatuh cinta pada Selene
memohon pada Jupiter agar disatukan dengan Selene. Jupiter memberikan
pilihan pada Endymion untuk tetap menjadi manusia atau awet muda.
Sayangnya Endymion memilih untuk tetap awet muda.” Gagah mempererat
genggaman tangannya, “Akibatnya ia harus tidur selamanya .... Maka dia tidak
akan pernah terbangun oleh sentuhan lembut jemari Selene yang membelai
wajahnya, untuk mengatakan pada Selene bahwa dia juga mencintainya.”

Entah kenapa air mataku mengalir begitu derasnya, terus dan terus-terusan.
Sama sekali tidak bisa kuhentikan.

®RatuBuku

Keterangan

Nini: Nenek

Aki: Kakek

Ulah: Jangan

Sieun: Takut

Meureun: Mungkin

Nyeupah: Menginang

79
Fb.me/overebook

Ayeuna: Sekarang

Babaturan: Teman

Maneh/Anjeun: Kamu

Teu/Enteu: Tidak

Deui: Lagi

Siga: Seperti

Enggeus: Sudah

Jurig: Hantu

Saha: Siapa

Leres: Betul

Ieu: Ini

Pisan: Banget

Tepangkeun: Kenalkan

Pamajikan: Istri

Geulis: Cantik

Abdi: Saya

Imah: Rumah

Lamun: Kalau

Hatur nuhun: Terima kasih

Catatan penulis

Kisah Mytology dalam novel ini bersumber dari The Golden Age of Clasiccal Myths.

80
Fb.me/overebook

SEMBILAN

Aku bermimpi ... berada di suatu padang yang luas ... tertidur di hamparan
rumput hijau. Berpuluh-puluh ekor sapi dan domba mengelilingi, lalu aku
melihat Gagah menghampiri ... dia meraih kepalaku ke atas pangkuannya, tapi
kenapa wajahnya terlihat sedih? Aku melihat buliran kristal menetes dari sudut
matanya, jari-jarinya menyentuhku lembut ....

Aku ingin membuka mata, aku ingin menghapus air matanya ... mengatakan
padanya bahwa aku sangat mencintai dia. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa
menggerakkan tubuh, bahkan aku tak bisa membuka mataku. Hanya cahaya
keperakan di atas sana ... menyinari tubuh kami dengan kelembutannya ....

Lalu, aku terbangun dalam keadaan menangis. Menyadari cahaya keperakan


yang aku lihat telah berubah menjadi sinar keemasan mentari. Aku meringkuk
di sisi ranjang, memeluk tubuh dengan kedua tanganku, sedangkan air mata
terus jatuh tanpa aku bisa menghentikannya.

“Honey Amy ... kenapa, Sayang?” Gagah terbangun, bergeser mendekat dan
menyentuh bahuku lembut.

Aku menggeleng, tapi isakanku tidak bisa berhenti.

“O, Sayang ... jangan menangis.” Gagah merengkuhku, mendudukkan aku


dalam pangkuannya, “Katakan kenapa kau menangis?”

Aku menyelusupkan wajah ke dada Gagah, menahan isakanku. Aku tidak tahu
kenapa menangis, aku hanya merasa sedih ... sangat sedih. Beberapa lama aku
masih terisak dalam dekapan Gagah, sampai aku merasakan kenyamanan,
perlahan aku berhenti menangis, dan kembali mengantuk. Aku pun tertidur
dalam pangkuan Gagah.

81
Fb.me/overebook

Saat aku terbangun, aku masih berada di pangkuan Gagah, melihatnya yang
tengah membelaiku sayang.

Terkejut, aku segera menyingkir dari pangkuannya. “Maafkan aku, apa aku
tertidur lama?”

Gagah menatapku geli. “Kenapa menyingkir?” tanyanya tanpa menjawab


pertanyaanku.

Aku tersenyum salah tingkah, “Maaf,” gumamku. “Kakimu pasti sakit.”

“Tidak juga,” Gagah bangkit dari duduknya, “aku cukup kuat jika hanya untuk
memangkumu, Honey Amy.”

Aku tersenyum mendengar nada angkuhnya, mengingatkanku pada Gagah kecil


yang sok tahu.

“Tunggu sebentar.” Gagah meninggalkanku, keluar kamar.

Aku tidak ingin menunggu, aku turun dari ranjang dan mengikutinya. Di dapur,
aku melihat Gagah tengah menyeduh teh dari air yang dijerangnya di atas
tungku.

“Kau tidak mendengarku, aku bilang tunggu.”

Aku mengerucutkan bibir, tanpa mempedulikan ocehannya, berjongkok di


depan tungku.

“Bi Warmi mengantar sarapan untuk kita, kau mau makan?”

Perutku menjawab pertanyaan Gagah.

Gagah tertawa, “Tentu saja kau kelaparan, ini sudah pukul 10 pagi.” Dia meraih
tangan dan menyeretku hingga berdiri, menggandengku menuju dipan
beralaskan tikar yang ada di ruang depan.

82
Fb.me/overebook

Nasi putih yang masih mengepul terhidang di dalam bakul bambu, sepiring
tempe goreng, ikan goreng dan sambal terasi tertata rapi di samping bakul nasi
tersebut. Ditambah sayur asam khas Jawa Barat terlihat sangat menggoda.

“Sepertinya berat badanku akan bertambah drastis jika terlalu lama tinggal di
sini.” Gumamku, tidak benar-benar peduli dengan kenaikan berat badanku.
Biasanya, aku susah makan. Beberapa tahun terakhir, selera makanku
berkurang, membuatku terlihat kurus. Aku ingin menambah berat badan
beberapa kilo lagi.

“Mungkin, tapi bukan karena makanan ini ...” Gagah melirikku penuh arti,
“Berat badanmu akan bertambah karena hamil anakku.”

Aku menoleh cepat ke arah Gagah.

“Kita akan menikah, Honey Amy. Hari ini kita akan pulang dan mempersiapkan
segalanya, setelah kita menikah, kita kan tinggal di tempat ini. Apa kau
keberatan.

Aku menggeleng kuat-kuat, “Sama sekali tidak.” Gumamku. “Sudah kubilang,


aku suka di sini.”

Aku memicingkan mata melihat Gagah bergerak gelisah.

“Aku belum menyiapkan cincin pertunangan kita.” Gumamnya dengan wajah


sedikit memerah. “Begitu sampai di Jakarta, kita akan segera membeli cincin
itu.”

Aku tersenyum melihat dia berkata sambil malu-malu, memeluk pinggangnya


erat. “Aku tidak peduli dengan cincinnya.” Gumamku bahagia.

®RatuBuku

83
Fb.me/overebook

Kami akan pulang sore ini, tapi sebelum pulang, Gagah mengajakku ke danau.
Menaiki perahu yang biasa dipakai memancing oleh Mang Karsim.

Matahari belum terlalu tinggi, cahayanya hangat menyentuh kulit terasa sangat
nyaman. Aku memandang tak berkedip pada Gagah yang ada di ujung perahu,
berhadap-hadapan denganku yang duduk di ujung lainnya. Sedangkan tangan
kananku menyentuh permukaan air, merasakan kesejukannya.

Gagah menggerakkan dayung perlahan, melajukan perahu ke tengah danau.

Tiba-tiba aku merasa lelah, merebahkan tubuh, aku setengah berbaring di atas
perahu, bersandar pada gulungan jaring dan pelampung milik Mang Karsim.

“Kau lelah, Honey Amy?”

“Sedikit.” Jawabku tersenyum.

Gagah berhenti mendayung, dia meletakkan kedua dayung itu pada tempatnya
dan bergeser agak ke tengah. “Kemarilah. Letakkan kepalamu di pangkuanku.”
Gumamnya.

Hati-hati aku berbalik, meletakkan kepala ke atas pangkuan Gagah hati-hati.

Perahu berhenti di tengah danau, hanya bergerak perlahan mengikuti arus.


Elusan tangan Gagah pada rambutku menghadirkan kenyamanan yang sangat.
Aku menatap langit biru, semburat keemasan mentari menyisakan pendar-
pendar membentuk lingkaran putih pada kelopak mataku, membuatku sedikit
terpejam. Suara desiran angin ... kecipak ikan yang melompat di permukaan
danau ... atau cicitan burung dari kejauhan, terdengar sangat jelas di telinga.
Aku menikmati ini, dan aku rasa aku tidak akan bisa berhenti tersenyum
sekarang.

“Honey Amy ....”

84
Fb.me/overebook

Ketenanganku terganggu suara cemas Gagah.

Aku membuka mata, melihat Gagah yang tengah memperhatikanku dengan


khawatir.

“Hidungmu berdarah ....”

Refleks aku terduduk, melap hidung dengan punggung tangan, melihat cairan
kental kehitaman menempel di sana.

“Diam, Honey Amy.” Gagah membuka kaosnya, menempelkan kaos itu pada
lobang hidungku yang berdarah dan mendongakkan kepalaku.

“Tidak apa-apa, Gagah. Aku sudah sering seperti ini, nanti juga sembuh
sendiri.” Kataku agak susah karena sebagian kaos menutup mulutku.

“Kau sering mimisan? Sejak kapan?”

Aku berpikir, “Sudah 2 tahunan ... mungkin lebih ...” gumamku ragu.

“Kau pernah memeriksakan ini ke dokter?”

Aku menggeleng. “Sudah berhenti.” Gumamku melepaskan tangan Gagah yang


memegang kaos dari hidungku.

Gagah menyentuh pipiku, kecemasan terlihat jelas di kedalaman mata hitamnya.


“Kita akan ke dokter sore ini.”

Aku tertawa, “Tidak, Gagah. Ini hanya mimisan.” Tolakku.

“Kumohon ...” pinta Gagah memelas. Membuat aku tidak bisa menolaknya.

®RatuBuku

85
Fb.me/overebook

SEPULUH

Gagah melajukan mobil dengan pelan, dia terlihat tidak sesenang waktu
berangkat.

“Ada yang mengganggu pikiranmu?” tanyaku ingin tahu.

Gagah menoleh, tersenyum padaku dan menurunkan satu tangannya dari roda
kemudi untuk meremas tanganku. “Aku punya kejutan untukmu.” Gumamnya.

“O, ya? Apa?” aku lupa dengan pertanyaanku tadi.

Gagah tertawa, “Nanti, kau akan tahu kalau sudah sampai.” Jawabnya misterius.

Aku tidak sabar menunggu.

“Tidurlah, wajahmu pucat, mungkin kau terlalu lelah.” Gumam Gagah lagi,
melirikku sekilas.

“Aku tidak lelah.” Aku berbohong. Aku memang lelah, tapi aku bisa mengatasi
ini. Aku sudah terbiasa menahan rasa lelahku. “Berceritalah.” Kataku lagi,
menyandarkan kepala menyamping agar bisa mengamati pria yang ada di
sampingku.

Gagah melirikku lagi, tersenyum tipis. “Cerita apa? Kisah mitologi Yunani
lagi?”

Aku menggeleng, “Ceritakan kenapa kau meninggalkan kami?” tanyaku pelan.

Raut wajah Gagah langsung berubah keras, aku khawatir dia akan marah.

“Tidak usah kalau kau keberatan.” Kataku cepat.

Gagah menghela napas. “Aku bukannya tidak ingin cerita, Honey Amy. Aku
hanya tidak ingin mengingat hal itu sekarang.”

86
Fb.me/overebook

Mendengar suaranya yang sedih meluruhkan keingintahuanku. “Maaf.”


Gumamku.

“Jangan minta maaf, kau tidak melakukan kesalahan apapun.”

“OK.”

Gagah berpaling sekilas ke arahku, kemudian kembali fokus pada jalan raya.
“Mungkin aku bisa menceritakan yang lainnya.” Tawarnya mencoba
menghibur.

Aku tersenyum, “Banyak yang ingin aku ketahui.” Gumamku.

“Tanyakanlah.”

“Apa kau mau menjawabnya?”

Gagah tertawa. “Akan kuusahakan.”

“Aku ingin tahu kau ke mana? Apa saja yang kau lakukan selama menghilang
...” aku mendesah, “apa kau merindukan aku?” aku melirik Gagah saat
mengucapkan kalimat terakhir, melihatnya yang menatapku sekilas.

“Aku merindukanmu ... sangat, Honey Amy.”

Aku tidak tahu harus berkata apa, sorot matanya mengatakan semua itu.

“Selama ini aku tinggal di Bali. Bekerja di sebuah Cafe.”

“Cafe? Di Bali?”

Gagah tersenyum, “Ya. Aku juga melanjutkan kuliah.”

Aku menatapnya takjub, “Kau hebat.” Gumamku kagum.

“Jangan membuatku besar kepala.”

“Aku sungguh-sungguh.”

87
Fb.me/overebook

Gagah melirikku, “Aku tahu.” Dia tersenyum simpul.

“Seperti apa Bali?”

“Bali ... cantik.”

“Cantik?”

“Kau akan tahu jika ke sana.”

“Kau meledekku,” gumamku cemberut. “Aku tidak akan mungkin bisa ke


sana.”

“Kenapa tidak? Kita bisa bulan madu di Bali jika kau mau.”

Deg ....

Aku menunduk tersipu, apa Gagah sungguh-sungguh dengan ucapannya?

Gagah tertawa melihat reaksiku, kembali meremas tanganku. “Kita kan ke


sana.” Putusnya kemudian.

Beberapa saat kami terdiam, aku menyandarkan kepala pada kaca jendela dan
menikmati pemandangan yang kami lewati. Jalan yang berkelok-kelok dengan
sawah-sawah berbentuk terasering pada sisinya, sungai yang sangat jernih
mengalir di bawah sawah tersebut, terpecah menjadi dua arus ketika
menghantam batu-batu besar di tengah-tengah sungai. Andai aku bisa
mencelupkan kakiku ke sungai itu, sebentar saja ....

“Kau ingin kita berhenti sebentar?” tanya Gagah seolah mengerti apa yang
kupikirkan.

Aku berpaling kepadanya, memandang memohon, “Jika kau tidak keberatan.”

Gagah tertawa, menepikan mobil dan mematikan mesin.

88
Fb.me/overebook

Aku membuka pintu, langsung merasakan hembusan angin segar bagitu keluar
dari mobil. menyatukan kedua tangan, aku meregangkannya ke atas,
melemaskan otot-otot tubuhku yang mulai kaku.

“Ayo turun.” Ajak Gagah yang sudah di sampingku, menggamit tanganku dan
menuntun menuruni tepi jalan.

Aku duduk di sebuah batu besar di tepi sungai, melepas sepatu dan
mencelupkan kedua kaki ke dalamnya, airnya yang sejuk membuatku berjingkat
sedikit, kemudian tertawa senang. Gagah melinting celana panjangnya sebatas
lutut, kemudian mengikuti caraku.

Gagah menggenggam tanganku erat, aku menyandarkan kepala pada bahunya.


Aku memejamkan mata, menikmati bunyi desir angin yang melewati celah-
celah dahan dan suara kicauan burung.

Ah, aku tidak ingin semua ini berakhir ....

®RatuBuku

89
Fb.me/overebook

SEBELAS

Gagah menghentikan mobil di depan gang komplek Kembang Dadap.


Mengeluarkan sebuah kain tipis merah bata dari laci dashboard dengan
senyuman di bibirnya. Aku mengangkat sebelah alisku penuh tanya.

“Kau harus menutup matamu, aku tidak ingin merusak kejutannya.” Gumamnya
dengan nada yang luar biasa gembira.

Aku tersenyum karenanya, menurut ketika dia mulai melingkarkan kain itu
menutupi mataku. Lalu, aku mendengar Gagah membuka pintu mobil, dan tak
lama kemudian dia sudah menuntun tanganku untuk turun dari mobil.

Gagah membimbingku berjalan dengan hati-hati, samar mendengar bisikan


orang-orang di sekitarku, entah apa yang mereka bicarakan. Aku
membayangkan warga sekitar berdiri di samping gang memperhatikanku
dengan bertanya-tanya, atau menertawakanku, membuat pipiku terasa hangat
karena malu.

“Stop, Honey Amy.” Kata Gagah lembut di telingaku. Aku menghentikan


langkah. “Bersiaplah.” Gumamnya lagi. Lalu, aku merasakan tangannya mulai
membuka simpul kain yang melingkar di kepalaku.

Aku tidak langsung membuka mata begitu kain itu terlepas, merasa takut
dengan apa yang akan kulihat. Debaran di dadaku memperkuat itu. Tapi, Gagah
mendorongku dengan suaranya yang lembut, meyakinkan aku bahwa semuanya
baik-baik saja.

“Ayo, buka matamu.”

Aku membuka mata, yang pertama kulihat adalah kerumunan orang di


sekitarku, menatapku dengan penuh gairah. Kegembiraan terpancar di mata

90
Fb.me/overebook

mereka. Gagah menunjuk agak ke atas di depanku, aku mengikuti arah


telunjuknya, dan ... aku melihat itu.

Sudut mataku terasa panas, dadaku terasa membengkak karena gairah yang
kurasakan. Sama seperti beberapa pasang mata yang menatapku penuh harapan.

Nanar, aku menatap plang yang terpasang di atas pintu masuk Kembang Dadap.
Bukan lagi papan dari kayu tua bercat jingga yang warna-warnanya sudah
memudar dengan beberapa kerutan di bagiannya karena terkena hujan. Tapi,
sebuah plat besi yang terlihat kokoh. Dicat warna putih menuju krem dengan
hiasan bunga-bunga kecil di sudut-sudutnya. Tidak ada tulisan „Kembang
Dadap‟ dengan huruf besar-besar berwarna merah mencolok, dan garis putih
tipis yang mengelilingi tulisan tersebut. Tapi, tiga kata yang tertulis di plang itu
membuat dadaku membuncah karena bahagia.

HONEY AMY KONVEKSI

Ada gambar sebuah mesin jahit di samping tulisan tersebut, lalu meteran dan
gunting ... dan gambar sederhana sebuah baju.

Aku berbalik dan memeluk Gagah, meluapkan perasaan gembira yang kini
memenuhi dadaku. Sorak sorai warga sekitar memenuhi komplek Kembang
Dadap, salah ... bukan komplek Kembang Dadap lagi .... Batinku dengan
bangga.

“Kau ingin masuk?” tanya Gagah, terdengar samar karena gemuruh suara
orang-orang belum juga mereda.

Aku mengangguk, kemudian dengan tidak sabar mendahului Gagah masuk ke


rumah. Sebagian kerumunan mengikutiku masuk. Meski aku sudah menduga,
tapi aku tetap saja terkejut mendapati mesin-mesin jahit yang tertata rapi di
ruang depan—yang semula digunakan untuk berkumpul penghuni Kembang
Dadap saat menanti kedatangan tamu—berjumlah sekitar duapuluh-an.

91
Fb.me/overebook

Lampu disco yang tadinya terpasang di tengah ruangan kini ditanggalkan,


berganti dengan papan-papan kecil bertuliskan Sewing ... Finishing ... lalu, di
bagian belakang, di atas sebuah meja besar menggantung papan bertuliskan
Cutting.

“Bagaimana?” tanya Gagah yang sudah ada di belakangku.

“Oh, Gagah ... aku tidak percaya kau melakukan ini.”

“Aku tahu ini impianmu dari dulu.”

“Suatu saat nanti, aku akan mempunyai toko baju yang kujahit sendiri. Aku
akan membuat baju yang indah-indah.”

“Aku akan membantumu, Honey Amy. Aku berjanji, aku akan membuatkanmu
toko baju dengan mesin-mesin canggih seperti milik Bu Kartika.”

“Aku menepati janjiku bukan, Honey Amy?”

Aku mengangguk terharu, bersemangat ketika melihat teman-temanku dengan


antusias mencoba menjalankan mesin-mesin tersebut, bahkan Sonny—salah
satu bodyguard Mamih semasa hidup—yang bertubuh paling besar terlihat lucu
ketika sedang mengoperasikan mesin obras. Di sampingnya, seorang lelaki
bergaya kewanita-wanitaan terlihat sedang mengajari Sonny.

“Siapa laki-laki itu?” tanyaku pada Gagah, daguku sedikit terangkat menunjuk
pada laki-laki yang kumaksud.

“Dia salah seorang pekerja temanku yang membuka konveksi juga. Akan
tinggal di sini selama beberapa bulan untuk mengajari mereka mengoperasikan
mesin.”

“Aku bisa mengajari mereka juga.” Kataku bersemangat. Aku lama bekerja di
konveksi, sangat paham untuk mengoperasikan mesin-mesin tersebut.

92
Fb.me/overebook

Gagah tertawa, “Tentu saja kau bisa.” Gumamnya, “Tapi, sekarang kau harus
istirahat. Wajahmu terlihat pucat, besok pagi kita ke dokter.”

“Aku merasa baik-baik saja, Gagah. Aku masih ingin di sini.” Kataku tanpa
berpaling dari kesibukan di depanku.

“Tidak. Kau harus tidur sekarang.”

Aku bersungut ketika Gagah dengan keras kepala mendorongku lembut ke


kamarku.

“Biarkan aku mandi dulu.” Gumamku kesal, meraih handuk yang tersampir di
ujung ranjang.

Gagah terkekeh, “Tentu. Atau kau ingin aku memandikanmu.”

Aku melemparkan handuk yang ada di tanganku ke arah Gagah, namun meleset
karena dia berkelit dan bisa menangkap handuk itu dengan mudah. Aku
menghampirinya dengan langkah menghentak, merebut kembali handukku dan
meninggalkan dia yang masih terkekeh.

®RatuBuku

Malam ini aku tertidur sangat lelap, bermimpi Gagah mendatangiku di tengah
malam, tidur di sampingku, dan memelukku hangat.

Saat terbangun keesokan paginya, aku menyadari itu bukan mimpi.

Melihatnya yang terbaring di sisiku, dengan wajah pulasnya membuatku


tersenyum. Aku mengelus rambut ikalnya sayang, merasakan hembusan
napasnya yang terasa hangat di wajahku.

Aku sangat bahagia ... sampai-sampai dadaku terasa sesak karenanya.

93
Fb.me/overebook

Jantungku seakan mengembang dan siap meledak karena terisi rasa bahagia
yang berlebihan. Yang membuat bibirku terus mengembangkan senyuman.

“Honey Amy ....”

Aku menarik tanganku cepat mendengar Gagah menyebut namaku, namun


kemudian aku tahu dia hanya mengigau, matanya masih terpejam dan
dengkuran halusnya masih terdengar.

Aku kembali tersenyum, apa dia memimpikanku?

Lalu, tanganku kembali terulur menyentuh dagunya yang kasar. Yang mulai
ditumbuhi cambang-cambang kecil di sekitarnya.

“Kau mengigau.” Kataku suatu pagi di bulan Desember—saat Gagah


mengajakku camping menjelang akhir tahun—teringat semalam aku sama sekali
tidak bisa tidur karena Gagah terus berbicara di tengah tidurnya.

“Siapa? Aku? Itu tidak benar.” Sangkalnya seraya memanaskan telapak tangan
di samping api unggun yang kami buat.

Aku tertawa, “Terdengar sangat jelas.” Gumamku menyeruput kopi panas di


tanganku. Sedikit membantu menghangatkan tubuh. Bahkan ketika kami duduk
di depan api unggun dengan jaket tebal, sama sekali tidak membantu untuk
mengusir hawa dingin pegunungan di akhir bulan Desember.

“Kau serius?” Gagah berpaling dan menatapku tajam.

Aku mengangguk, tersenyum lebar.

“Apa yang kukatakan?” tanyanya ingin tahu.

Aku menggeleng, memalingkan wajah dari Gagah, membalik ranting yang


digunakan sebagai tusuk untuk membakar sosis. “Tidak begitu jelas, aku tidak
bisa mengingatnya.” Gumamku menghindar.

94
Fb.me/overebook

Gagah terlihat lega, dia mengikuti aku membalik bakaran sosis.

Tentu saja aku mengingtnya, dia mengucapkan dengan sangat jelas. Berkali-kali
menyebut namaku dan mengatakan mencintaiku.

Aku menunduk menyembunyikan senyumku.

Tidak kusangka dia masih memiliki kebiasaan itu, berbicara dalam tidurnya.

“Honey Amy ....”

Kali ini Gagah tidak mengigau, matanya terbuka lebar. Aku tertangkap basah
sedang meraba pipinya.

Aku menarik tanganku. Namun, kalah cepat dengannya. Dia sudah


mencengkeram erat pergelangan tanganku, menatapku dengan tatapan yang
tidak aku mengerti.

Lalu ... aku mulai mengerti ketika dia membawaku terbang menembus seluruh
lapisan imajinasi yang tidak pernah terbayangkan. Menggenggam seluruh isi
langit malam dan menebarkannya, menghasilkan kerlipan bintang perak di
sekeliling kami.

Dalam desahan napas tipis kami, aku masih bisa mendengar suaranya yang
berbisik lirih

“Aku mencintaimu ... Honey Amy ....”

®RatuBuku

Aku menutupi tubuh telanjangku dengan selimut, menyembunyikan wajah yang


merah padam. Sementara Gagah memelukku dari belakang, melingkarkan
tangan kokohnya pada pinggangku. Napasnya yang masih memburu, menyapu
helaian rambutku.

95
Fb.me/overebook

Aku tidak berani berbalik untuk menatap wajahnya, bagaimana tidak ....
mengingat apa yang baru saja kulakukan membuatku sangat malu. Aku sudah
pernah melakukan ini sebelumnya, tapi belum pernah aku merasa lepas seperti
ini, mendesah dengan sangat keras ... meliukkan tubuh bersemangat mengikuti
gerakannya ....

Oh, Tuhan ....

Aku semakin menenggelamkan wajahku.

Gagah tertawa, membalik tubuhku untuk menghadapnya dan membuka selimut


yang menutupi wajahku.

“Kau sangat manis,” gumamnya menatapku geli.

Aku tahu pipiku sudah sewarna dengan tomat sekarang. Aku mencubit perut
kerasnya, membuatnya semakin tergelak, lalu menyembunyikan wajahku pada
dada bidangnya.

Beberapa saat dia memelukku hangat, sampai aku merasa lebih baik.

“Aku harus mandi,” gumamku enggan.

“Ya, kita ada janji dengan dokter jam sembilan.” Sahutnya terdengar enggan
juga.

“Huh, kau masih mau membawaku ke dokter. Aku baik-baik saja, Gagah.”

“Aku akan yakin kalau dokter yang mengatakan itu padaku.” Katanya,
mengecup bibirku sekilas sebelum bangun untuk memakai boxer-nya.

“Ya, tentu saja.” Sungutku memalingkan wajah. Melilitkan selimut pada


tubuhku dan berdiri untuk memakai bajuku juga.

“Bergegaslah, Honey Amy. Aku menunggumu.” Seru Gagah sebelum membuka


pintu untuk keluar dari kamarku.

96
Fb.me/overebook

Aku terbelalak melihatnya melenggang hanya mengenakan boxer,


meninggalkan celana panjang dan kaosnya di sini.

Aku baru akan memanggilnya ketika pintu kamarku sudah tertutup.

Dia gila!

Bagaimana mungkin dia bersikap seperti itu, ada puluhan pasang mata di sini.

Mereka pasti akan senang sekali menggodaku setelah ini.

®RatuBuku

97
Fb.me/overebook

DUABELAS

Gagah mengajakku ke rumah sakit di pusat kota. Katanya, dia mengenal salah
seorang dokter di sana.

“Apa temanmu tidak marah, kau belum mengembalikan mobilnya?” tanyaku


ingin tahu, melihat Gagah terlihat santai mengendarai mobil milik temannya.

Gagah tertawa, “Sebenarnya tidak, dia malah senang karena mobil jualannya
laku.”

Aku mengerutkan kening tidak mengerti, “Bukannya kau meminjam darinya?”

Gagah menatapku meminta maaf, “Bisa dibilang begitu sih, aku meminjam
dengan memberikan DP padanya. Itu artinya aku membeli mobil ini dengan
mengangsur.”

Aku menyipitkan mata tidak suka, “Kenapa kau tidak bilang dari awal.”

Gagah tertawa, mencubit pipiku sekilas. “Tidak. Aku malu.”

Aku menahan senyum, “Jadi lebih baik bilang pinjam daripada hutang?”

“Yap.” Gagah mengangguk dan tersenyum lebar.

Aku menggeleng-gelengkan kepala, berpaling menatap ke luar jendela.

“Honey Amy.”

“Hmm.”

“Dokter ini, dokter yang akan kita temui namanya Dr. Wiguna. Aku
mengenalnya waktu di Bali. Dia menangani temanku yang sakit, dan setahun
yang lalu dia pindah ke Jakarta.”

98
Fb.me/overebook

Aku tertarik pada bagian Gagah mengatakan „temanku‟, menoleh padanya dan
menatap antusias. “Teman? Kau tidak pernah bercerita memiliki teman.”

Sesaat aku melihat kesedihan di mata Gagah, tapi lalu menghilang bersamaan
dengan senyumannya yang tulus.

“Namanya Dino, kami sudah seperti saudara.”

Aku tersenyum, menunggu Gagah menceritakan lebih lanjut. Namun, Gagah


tidak melanjutkan ceritanya.

“Dr. Wiguna ini, orangnya sangat ramah. Kau pasti menyukai beliau.” Kata
Gagah dengan antusias yang dilebih-lebihkan.

Aku mengangguk, memikirkan tentang teman Gagah yang bernama Dino,


bertanya-tanya dalam hati, sakit apa sebenarnya dia? Kenapa Gagah terlihat
enggan menceritakan tentang dia padaku?

“Kita sudah sampai.” Kata Gagah membuyarkan lamunanku.

Gagah membelokkan mobil ke sebuah bangunan besar berwarna putih.


Memarkir di tempat yang kosong dan mematikan mesin mobil.

Aku masih setengah melamun ketika Gagah membukakan pintu untukku.

“Honey Amy.”

“Eh, ya.” Sahutku bergegas turun.

Gagah menggandeng tanganku, agak menyeret ketika melintasi lorong rumah


sakit.

Kepalaku berdenyut. Deja vu ... bayangan anak laki-laki mengenakan celana


merah tengah menggandeng anak perempuan yang bagian belakang rok birunya
tertutup kemeja putih melintas dalam pikiranku. Menggeleng cepat, aku
mengikuti langkah lebar Gagah.

99
Fb.me/overebook

“Dr. Wiguna bilang, kita bisa langsung ke ruangannya.” Bisik Gagah di


telingaku.

Di sebuah persimpangan lorong, Gagah berbelok ke kiri, berhenti di depan


sebuah pintu dan mengetuknya perlahan.

“Masuk saja, Gah.” Sahut suara berat dari dalam.

Gagah mengerling padaku, menyeringai lebar. “Dia sudah menungguku.”


Gumamnya, membuka pintu hati-hati dan melongokkan kepalanya. “Dokter.”
Panggil Gagah.

Suara tawa yang serak terdengar, dilanjutkan dengan bunyi langkah yang
tergopoh-gopoh. “Ayo, masuk.” Seru seseorang dari dalam, suaranya terdengar
seperti laki-laki setengah baya.

Gagah membuka pintu lebih lebar, sekarang aku bisa melihat Dr. Wiguna.
Seperti dugaanku, laki-laki itu sudah berumur, dengan kepala agak botak di
bagian depan. Tapi, gerakannya masih cekatan.

Gagah menggandengku memasuki ruangan Dr. Wiguna.

“Jadi ini yang namanya Amy? Atau Honey Amy?” Dr. Wiguna berkata ramah,
kilat canda terlihat di mata sejuknya.

Aku tersipu, hanya bisa mengangguk kepada Dr. Wiguna. Sedangkan Gagah
tertawa pelan, mengulurkan tangannya pada Dr. Wiguna. Mereka berjabatan
tangan hangat.

“Apa kabar, Dokter?”

“Baik. Kamu sendiri bagaimana?”

“Seperti yang Dokter lihat.” Jawab Gagah.

100
Fb.me/overebook

“Kau terlihat bahagia. Apa karena gadis cantik ini?” Dr. Wiguna beralih
menatapku dengan senyum menggoda, berganti mengulurkan tangannya
padaku.

Aku menyambut uluran tangan Dr. Wiguna.

“Aku banyak mendengar tentangmu dari Gagah.” Katanya hangat,


menangkupkan satu tangannya pada jabatan tangan kami. “Dia banyak
menceritakanmu sewaktu kita masih di Bali.”

Benarkah?

“Dokter.” Tegur Gagah.

Aku melirik Gagah, melihatnya yang tersenyum salah tingkah.

Dr. Wiguna tergelak. “OK, Amy. Ayo kita cari tahu apa penyakitmu.” Ujar Dr.
Wiguna setelah tawanya mereda, membuka tirai hijau pupus yang ada di
samping mejanya.

“Saya tidak sakit, Dok. Gagah yang terlalu berlebihan.” Kataku mencoba
menjelaskan.

“Hmm, kalau begitu, kita buktikan Gagah salah. Sekarang berbaringlah di


sana.” Dr. Wiguna menunjuk ranjang besi putih di balik tirai dengan dagunya,
sementara dia mencuci tangan di wastafel.

Aku melirik Gagah, dia mengangguk padaku dengan pandangan memohon.


Ragu-ragu, aku melangkah menghampiri ranjang dan berbaring di atasnya
perlahan.

“Kata Gagah, kau sering mimisan, ya?” tanya Dr. Wiguna berbarengan dengan
suara tirai yang ditutup.

“Ya, Dok.”

101
Fb.me/overebook

“Sejak kapan?”

“Mmm,” aku menggigit bibirku mengingat, “sekitar dua tahunan lebih ...
mungkin ...” gumamku ragu.

Dr. Wiguna mengangguk-anggukkan kepalanya, lalu dia mulai memeriksaku


dengan stetoskop. Aku menahan senyum, merasa geli teringat terakhir kali
logam dingin itu menyentuh kulitku mungkin saat aku berumur 5 tahun. Aku
jadi merasa seperti anak kecil lagi.

Dr. Wiguna hanya sebentar menggunakan stetoskopnya. Dia lebih banyak


memberikan pertanyaan-pertanyaan padaku. Seperti, apa aku sering mengalami
nyeri sendi atau demam tinggi? Aku ingat, terkadang aku memang mengalami
nyeri pada persendian tulangku, dan aku juga sering demam, maka aku bilang,
iya. Kemudian Dr. Wiguna menanyakan, pernahkah aku melihat bercak biru
kehitaman seperti lebam di kulit pada tubuhku? Aku mengangguk. Sesekali
lebam seperti itu muncul di bagian-bagian tertentu pada kulitku. Megy bilang,
itu karena „dijilat setan‟. Lalu, saat Dr. Wiguna menanyakan apakah aku mudah
lelah? Dia menatapku dengan sorot mata prihatin.

“Ya, Dok. Saya cepat sekali lelah.” Gumamku, menjawab pertanyaan Dr.
Wiguna.

Dr. Wiguna mulai terlihat serius. “OK, Amy. Kau boleh bersama Gagah lagi
sekarang.” Katanya seraya membuka tirai.

Aku turun dari ranjang, menghampiri Gagah yang menatapku khawatir dan
duduk di sampingnya.

Dr. Wiguna duduk di depan kami, membetulkan letak kacamatanya. Aku


melihat bibir keriputnya agak berkedut ketika dia mengerutkan kening. Seolah
ada sesuatu yang membuatnya enggan bicara.

102
Fb.me/overebook

“Bagaimana, Dok?” tanya Gagah pelan.

Dr. Wiguna berdehem. “Aku tidak yakin, Gagah. Kita harus melakukan tes
terlebih dahulu.”

“Tes? Tes apa?” tanya Gagah lagi.

Bibir Dr. Wiguna kembali berkedut. “BMP—Bone Marrow Puncture.”

®RatuBuku

Dalam perjalanan pulang, Gagah lebih banyak terdiam.

Aku tidak tahu apa itu tes BMP ... Bon Marry ... entah apa namanya, aku tidak
bisa menyebutkannya dengan benar. Tapi, setelah Dr. Wiguna mengatakan itu,
Gagah terlihat pucat. Dia menatapku sedih, kemudian menggenggam tanganku
dengan tangannya yang gemetar.

“Tidak bisakah dilakukan tes lain selain BMP, Dok? Saya dengar, sekarang bisa
dilakukan dengan pemeriksaan kromosom BCR-ABL.”

Kata-kata Gagah setelah mendengar ucapan Dr. Wiguna masih terngiang di


telingaku.

“Pemeriksaan kromosom BCR-ABL membutuhkan waktu yang lama, Gah. Bisa


sampai satu bulan. Nanti kita akan lakukan tes darah terlebih dahulu, untuk
mengetahui perlu tidaknya melakukan tes BMP, karena untuk sementara aku
hanya menduga dari gejala-gejala yang Amy katakan.” Jelas Dr. Wiguna
melirikku.

Gagah tertunduk lesu, “Saya khawatir Amy harus melakukan tes BMP seperti
Dino, Dok.” Gumamnya lirih. “Sampel massa yang diambil, melalui tulang

103
Fb.me/overebook

dada karena jarum bornya sudah terlalu pendek untuk mengebor tulang
belakang.”

Dr. Wiguna tertawa miris. “Jangan khawatir, Gah. Pengambilan sampel BMP
yang sekarang, semua dilakukan di tulang belakang, tidak lagi di tulang dada.”

“Gah.” Panggilku pelan.

Gagah menoleh sekilas, tersenyum padaku. Aku tahu dia sedang memikirkan
sesuatu. “Ya, Honey Amy?”

“Tes BMP itu ... apakah sakit?”

Gagah kembali menoleh padaku, pandangannya menenangkan. Dia mengelus


punggung tanganku lembut. “Tidak, hanya sedikit ngilu.”

Ada banyak pertanyaan yang ingin aku tanyakan pada Gagah. Seperti .... Sakit
apa aku? Kenapa harus tes BMP? Apakah sakit yang sama dengan yang diderita
Dino teman Gagah? Apa kabarnya Dino sekarang, apa dia sudah sembuh? Tapi,
semuanya tertelan kembali sebelum pertanyann itu benar-benar terucap.

Karena ternyata, aku takut mendengar jawabannya.

Semua ini berawal dari waktu. Waktu adalah benih dari segalanya wahai
Dhananjaya. Jika tiba saatnya, sang waktu akan mengambil sesuai
kehendaknya. (Perkataan Resi Vyata pada Arjuna)

Karenanya, aku harus berlari sekencang-kencangnya sebelum dia


mengambil semua yang ada padaku.

®RatuBuku

104
Fb.me/overebook

TIGABELAS

Aku seakan melangkah di awang-awang, semua yang aku lakukan dan kulihat
seakan berjalan dengan lambat. Pemeriksaan tes darah, tes BMP, ekspresi Dr.
Wiguna ketika melihat hasil tesku, penjelasannya pada Gagah yang sama sekali
tidak aku pahami ....

Lalu, aku mengerti ... ada yang tidak beres dengan diriku.

“CML. Krisis Blast.”

Aku mendengar Dr. Wiguna berbisik pada Gagah, mereka menjauh dari ranjang
tempatku berbaring di ruang perawatan rumah sakit.

Pagi tadi, aku resmi menjadi pasien di rumah sakit ini.

Aku melihat wajah Gagah menjadi pucat. Berpaling, aku menatap ke luar
jendela, tidak ingin melihat kesedihan seperti apa yang terlihat dari mata pria
itu.

Beberapa saat kemudian, Gagah kembali padaku, duduk di kursi samping


ranjang dan menggenggam erat tanganku. Aku menoleh, tersenyum padanya.

Gagah membalas senyumku, senyum yang dipaksakan, menatap manik mataku.


Tiba-tiba dia terlihat begitu lelah, begitu putus asa. Aku rasa, aku tidak perlu
menanyakan lagi apa penyakitku.

“Aku ingin duduk.” Gumamku.

“Ya, tentu.” Gagah menyetel ranjang agar aku bisa duduk dengan nyaman.
Kemudian, dia duduk di sampingku, membiarkan aku bersandar pada bahunya.

“Sakitku ini, apakah parah?”

105
Fb.me/overebook

Gagah menghela napas. Tapi dia tidak menjawab pertanyaanku. Dengan


sendirinya aku pun mengerti.

“Bolehkah aku tidur?” bisikku.

“Ya. Ya ... tentu, Honey Amy. Tidurlah. Apa kau ingin berbaring lagi?”

“Tidak. Aku ingin tidur di bahumu. Seperti dulu.”

“Tentu.” Suara Gagah terdengar bergetar.

“Aku suka bahumu.” Gumamku saat bersandar di bahunya seraya mengamati


langit dari atas atap.

Gagah tertawa, “Kenapa?”

“Entahlah, rasanya sangat nyaman saat bersandar seperti ini.”

®RatuBuku

Perutku terasa mual, sudah kedua kalinya aku mencoba mengeluarkan isi
perutku di wastafel. Gagah memegangi pinggangku dan menarik rambutku ke
belakang agar tidak terkena muntahan. Saat aku selesai, dia membersihkan
mulutku dengan tissue, membimbing aku kembali ke tempat tidur.
Membaringkanku perlahan.

Lemas, itu yang paling kurasakan saat ini selain mual dan pusing.

“Ini efek dari kemoterapi.” Gumam Gagah menjelaskan. “Tidak apa-apa, kau
akan sembuh, Honey Amy.” Bisiknya kemudian.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk, berusaha menyembunyikan


ketidakyakinanku dengan apa yang dikatakan Gagah.

106
Fb.me/overebook

“Bagaimana kabar Megy dan yang lainnya?” gumamku menayakan kabar


teman-temanku. Sudah satu minggu aku di sini, dan aku merindukan mereka.

“Mereka baik, sangat sibuk dengan kegiatan baru mereka. Mungkin besok
mereka akan menengokmu.”

“Mereka suka dengan pekerjaan baru mereka?”

“Pasti. Aku rasa, mereka sudah tidak sabar ingin menceritakan padamu tentang
itu. Terutama Megy.”

Aku menunduk, “Aku menyesal tidak bisa ikut merasakan hal baru itu bersama
mereka.” Gumamku sedih. “Aku ingin cepat sembuh dan pulang”

“Kau akan sembuh, Honey Amy. Dan kau akan pulang untuk membantu mereka
menjalankan konveksi kita.” Gagah mengelus punggung tanganku menghibur,
“Setelah itu kita akan menikah. Kau harus merancang gaun pengantinmu mulai
sekarang.” Gumamnya lagi menatapku jenaka.

Aku tertawa pelan. “Ya. Gaun pengantin yang kujahit sendiri, dan aku akan
terlihat seperti putri-putri dalam dongeng.”

“Ketika menikah, pengantin wanita akan mengenakan gaun seperti milik putri-
putri dalam dongeng.”

®RatuBuku

Aku lupa dengan rasa sakitku, melihat mereka mengunjungiku. Memeluk


mereka satu persatu dengan perasaan yang membuncah karena bahagia.
Mendengarkan celoteh mereka dengan antusias. Ah, aku merindukan saat-saat
seperti ini. Ketika, kami berkumpul di sumur seraya bergosip, suara baju yang

107
Fb.me/overebook

dikucek, ember yang jatuh ke dalam sumur ... atau pekikan mereka ketika saling
menciprat air.

“Kenapa senyum-senyum?” Megy mencolek daguku dan menghempaskan


pantatnya ke atas kursi.

“Melihat kalian ada di sini, aku teringat kebersamaan kita dulu.” Gumamku
tersenyum sayang.

“Kau akan kembali, Amy. Kami menunggumu di rumah.”

“Terimakasih.” Bisikku tulus. “Ke mana Gagah?”

“Dia sedang berbicara dengan dokter.”

Aku menghela napas, “Meg ...”

Megy mengangkat alisnya.

“Mungkin aku sakit parah.”

Megy melebarkan matanya, “Itu tidak benar, kau akan sembuh.” Katanya
antusias.

Aku tahu, Megy berbohong. Sikap antusiasnya yang berlebihan seolah ingin
menyembunyikan sesuatu dariku.

Satu persatu mereka mulai keluar dari kamar, kesunyian kembali menyergap.

“Aku pulang dulu, Amy.” Kata Megy pelan.

“Kau akan kembali?”

“Pasti. Aku akan sering menengokmu.”

Aku mengangguk.

108
Fb.me/overebook

Sunyi ... hanya bunyi desiran entah apa dari lorong rumah sakit. Mungkin
penyedot debu yang digunakan petugas kebersihan ... atau suara lap pel yang
bersentuhan dengan lantai.

“Apa yang kau pikirkan?”

Aku mendongak, tersenyum saat melihat Gagah berdiri di sampingku.

Aku menggeleng, “Hanya ... apa kau memperhatikan sesuatu, Gagah?”

“Apa?” Gagah duduk di sampingku.

“Megy terlihat dekat dengan Sonny.”

Gagah tertawa, “Kau menyadarinya juga ya?”

Alisku menaut, “Jadi, mereka benar-benar memiliki hubungan?”

“Sudah beberapa hari yang lalu, aku pikir akhirnya Sonny berani meminta
Megy jadi pacarnya.”

Mulutku terbuka, “Jadi mereka benar-benar pacaran?”

Gagah mengangguk mantap, “Bukan hanya itu, mereka akan menikah


secepatnya.”

“Benarkah? Kapan?”

“Aku pastikan tidak lebih cepat dari kita.” Ujar Gagah setengah cemberut.

Aku tertawa. Gagah mengusap rambutku.

“Ayo kita menikah.” Katanya membuatku kehilangan orientasi sejenak.

“Tapi, aku sakit.” Gumamku pelan.

“Tidak apa.” Bisik Gagah, mengecup tepi keningku. “Yang penting kita
menikah ....”

109
Fb.me/overebook

Ada yang menyesak di dada mendengar cara Gagah berbicara. Seolah, semua
yang dia ucapkan tidak akan pernah terwujud.

“Kau mau?” tanyanya lagi.

Aku mendongak, menatap manik mata Gagah yang entah kenapa aku melihat
kesedihan di sana. “Aku mau.” Jawabku.

Mungkin, aku harus berlari sekencang-kencangnya sebelum waktu


mengambil semua yang ada padaku.

®RatuBuku

110
Fb.me/overebook

EMPATBELAS

Pernikahan ....

Dulu, aku memikirkan pernikahan dengan senyum yang merekah di bibirku,


gelembung angan penuh kebahagiaan seolah meletup mengiring setiap
senyuman.

Kini, aku bahagia ... ketika Megy membawa kain sutra putih yang membiaskan
cahaya setiap terkena lampu ... berlapis dengan sifon tipis terlihat begitu
memukau ... aku bahagia. Namun, kebahagiannku kini beriringan dengan rasa
takut. Takut aku tidak akan pernah memiliki kesempatan untuk memakai gaun
itu.

Perutku kembali mual, kakiku gemetar ketika mencoba turun dari ranjang
menuju wastafel. Berpegangan pada tiang infus, aku hampir terjatuh ketika
lengan kokoh menahan pinggangku.

“Mau ke mana?” tanya Gagah, yang kini sudah memelukku.

“Aku ... mual.” Sahutku.

Gagah membimbingku ke wastafel, aku terharu melihat caranya mengumpulkan


rambutku yang mulai menipis, menjauhkan dari mulutku agar tidak terkena
muntahan.

“Sudah ...” bisikku.

Gagah kembali membimbingku ke ranjang, membantuku berbaring.

“Waktunya minum obat.” Kata Gagah meletakkan plastik bening yang


dipegangnya ke atas nakas.

111
Fb.me/overebook

Aku melirik bungkusan itu, bermacam-macam pil yang harus kuminum ada di
dalamnya.

Aku mendesah, “Ada banyak obat yang harus kuminum.” Bisikku pelan.

“Tidak apa, yang penting kau sembuh.” Kata Gagah, mengeluarkan pil itu satu
demi satu, tangannya sedikit bergetar.

“Kemo membuat rambutku rontok ...” gumamku.

“Nanti akan tumbuh lagi, kau tidak usah khawatir.” Gagah mengulurkan pil-pil
yang ada di tangannya padaku.

Aku meraih dan menelan obat itu secara bersamaan, meminum air bening yang
juga disodorkan Gagah.

“Aku ingin jalan-jalan.” Bisikku.

“Kau ingin ke taman?”

Aku mengangguk.

Gagah mendorong kursi roda ke dekatku, membantu aku duduk di atasnya, lalu
mengambil jaket dan memakaikannya padaku. Sebelum dia mendorong kursi
roda keluar, Gagah menyelimuti kakiku dengan selembar kain.

aku menatap hamparan rumput yang terpangkas rapi, beberapa bunga yang
bertangkai panjang bergoyang-goyang tertiup angin. Sesekali ada beberapa
daun yang terjatuh dari ranting pohon, melayang perlahan sebelum jatuh dengan
sempurna.

Aku teringat dengan „pohon kita‟, di mana aku dan Gagah membuat goresan
nama kami di sana. Di mana kami mengubur potongan kuku kami untuk melihat
kunang-kunang. Tiba-tiba mataku terasa basah, rasanya baru kemarin kejadian
itu terjadi.

112
Fb.me/overebook

Gagah meletakkan tangannya di atas bahuku, aku memejamkan mata ...

“Aku ingin menikah di bawah pohon kita.” Kataku pelan.

“Tapi, kondisimu ...”

“Tolong ....”

Gagah terdiam.

Aku tahu aku tidak akan hidup lama lagi. Aku hanya ... merasakannya.

“Maukah kau menceritakan tentang Dino padaku?” pintaku.

Gagah tidak menjawab.

“Dia meninggal.” Gumamku lebih berupa pernyataan.

“Kau harus kembali ke kamarmu.” Bisik Gagah, mendorongku berbalik.

Aku tahu dia hanya ingin menghindari pertanyaan selanjutnya. Tapi, aku tidak
akan menanyakan apa-apa lagi, semuanya sudah cukup jelas di mataku.

Terkadang ... waktu tidak akan bisa menahan apa yang menjadi kebahagiaanku,
bukan?

®RatuBuku

Aku bersikeras untuk menikah di tempat yang aku inginkan, bahkan Gagah
tidak bisa membujukku. Gagah menyerah, dia membicarakan keinginanku
dengan Dr. Wiguna.

Mungkin aku egois ... kurasa tidak. Keadaan tubuhku benar-benar sudah
memperingatkan aku, aku harus memperjuangkan apa yang aku inginkan,
karena aku tahu ... ini akan jadi yang terakhir.

113
Fb.me/overebook

“Dr. Wiguna akan memeriksamu, jika semuanya baik-baik saja ... kita akan
berangkat besok.” Bisik Gagah di telingaku, suaranya terdengar letih.

“Aku baik-baik saja,” gumamku. Itu yang kurasakan sekarang. Aku memang
masih lemah, tapi rasa mual dan pusingku mulai berkurang.

Aku tidak terlalu terkejut ketika akhirnya Dr. Wiguna menyetujui


permintaanku. Dia memang harus menyetujuinya, bukan? Aku yakin dia
mengetahui sesuatu ... sesuatu yang aku dan Gagah juga ketahui, tapi kami
berpura-pura itu tidak akan terjadi.

Sore harinya, Megy datang membawakan gaun pengantinku. Aku


membentangkannya di atas pangkuan ... sangat indah. Warna putihnya terlihat
cemerlang, dilapisi kain sifon panjang yang membuatnya akan terlihat elegan
jika dikenakan. Manik-manik menyerupai kristal menempel dengan sempurna
di bagian dada, memang bukan swarovski, tapi ini akan sangat sempurna.

Aku tidak bisa tidur malam ini, berharap hari segera pagi.

“Tidurlah.” Bisik Gagah, mengelus lenganku.

“Aku takut ...” aku berkata, “aku takut jika aku memejamkan mata, aku tidak
akan pernah bisa bangun lagi.”

“Jangan berkata seperti itu, kumohon.” Suara Gagah terdengar bergetar.

Aku merasa bersalah, dia terlihat rapuh, “Tidak lagi....” Gumamku lirih.

Kami hanya bisa saling menatap, menangkap semua mimpi ... menjadikannya
pegangan bahwa kami masih bersama, untuk saat ini ... berharap memiliki
waktu lebih lama.

Sampai fajar menampakkan sinarnya, mata kami sama sekali tidak terpejam ....

114
Fb.me/overebook

Jika tiba saatnya, sang waktu akan mengambil sesuai kehendaknya ... dan aku,
tidak memiliki kesempatan lagi untuk berlari.

®RatuBuku

Perjalanan menuju rumah Nini hari ini, tidak sama dengan perjalanan-
perjalanan yang pernah kami lakukan sebelumnya. Bahkan ketika kami masih
kanak-kanak, aku akan dengan gembira menempelkan wajahku ke kaca jendela
Bus.

Gagah memelukku di kursi belakang, membiarkan aku bersandar pada bahunya.


Aku hanya melirik ke luar jendela, melihat pohon dan gunung-gunung seolah
berlari di sisi kami. Dr. Wiguna ikut dengan kami, dia berbaik hati
meminjamkan dua mobilnya untuk mengangkut pekerja konveksi yang
kesemuanya teman-temanku. Mereka tidak akan melewatkan pernikahanku.

Aku menatap Megy yang duduk di depan bersama Sony, merasa bahagia
melihat kebersamaan mereka. Lalu, aku menoleh pada Gagah, membelai
pipinya yang kini tercukur rapi.

“Aku ingin terlihat tampan di hari pernikahanku.”

Dia memang tampan, apa dia tidak tahu itu?

Menjelang sore, aku sudah berada di rumah Nini. Duduk di pinggir ranjang
dengan gaun pengantin yang sudah menempel di tubuhku. Kamar ini sudah
dihias sedemikian rupa, aroma bebungaan semerbak memenuhi ruangan. Bi
Warmi dan para tetangga wanita yang melakukan itu.

Korden pintu kamar tersingkap, aku menoleh, Gagah berdiri di tengah pintu,
satu tangannya menahan korden yang disingkapnya.

115
Fb.me/overebook

Senyum lebar terukir di bibirku, “Kau benar-benar terlihat tampan.” Gumamku,


memperhatikannya yang mengenakan stelan jas hitam dan kemeja putih.
Rambutnya tersisir rapi, wajahnya terlihat segar, meski aku melihat setitik
kesedihan di bagian terdalam matanya.

Gagah hanya diam menatapku, tidak ada senyum di bibirnya.

“Apa aku sudah terlihat seperti putri-putri dalam dongeng?” tanyaku memecah
kesunyian.

Gagah melangkah mendekat, berlutut di hadapanku, tangannya menggenggam


tanganku yang ada di atas pangkuan.

“Kau ... jauh terlihat lebih cantik daripada putri-putri dalam dongeng.” Bisiknya
lirih.

Aku membelai pipi Gagah, “Tersenyumlah, Gah. Ini hari pernikahan kita.”

“Honey Amy ...”

Aku meletakkan jari telunjukku ke bibirnya, menahan apa yang ingin ia


ucapkan dengan suaranya yang bergetar. Lalu, perlahan ... kudekatkan wajahku,
hingga aku bisa melihat dengan jelas ... kilauan cahaya seperti kristal
menggenang di pelupuknya.

“Ini hari pernikahan kita, bukan?” bisikku serak, menempelkan dahiku pada
dahinya.

Gagah mengangguk.

“Maukah kau tetap menjadi Gagah untukku?”

Kembali Gagah mengangguk.

Aku mengecup bibirnya sekilas, sebelum menjauh dari wajahnya. “Bawa aku ke
bukit sekarang.”

116
Fb.me/overebook

Gagah berdiri, mengangkat tubuhku dalam gendongannya. Aku melingkarkan


lenganku ke lehernya, sama sekali tidak berpaling dari matanya.

“Katakan, kita akan bahagia hari ini.” Bisikku lagi.

“Kita akan bahagia hari ini.” Gumam Gagah pelan.

Gagah melangkah perlahan keluar dari kamar, membawaku ke atas bukit, ke


bawah pohon milik kami. Tempat di mana aku dan dirinya akan mengikat janji.

“Berjanjilah kau tidak akan menangis hari ini ... apapun yang terjadi.”

Gagah tidak menjawab, dia hanya memandang lurus ke depan, tapi aku
merasakan jari-jarinya yang bersentuhan dengan kulitku gemetar.

Aku tahu waktunya akan tiba ... dan jika itu tiba, berjanjilah kau akan selalu
bahagia ... selamanya.

®RatuBuku

117
Fb.me/overebook

LIMABELAS

Angin bertiup cukup kencang ketika aku mencoba berdiri di bawah pohon.
Bertumpu pada Gagah yang memelukku, menahan agar aku tidak terjatuh.
Kibaran kain sifon karena angin, menampar-nampar wajah dan kakiku. Hari
belumlah terlalu gelap meski petang menjelang, semburat kemerahan
bercampur jingga melukis langit senja di ufuk barat. Beberapa burung terlihat
terbang melintas menuju jalan pulang, melewati awan-awan tipis yang bergerak
perlahan.

Sementara di bagian sisi langit lainnya ... bola bundar keperakan mulai bergulir
naik.

Aku memperhatikan bibir Gagah yang bergerak pelan, mengucapkan janji


pernikahan kami. Di antara deru angin yang berhembus ... bersahutan dengan
nyanyian burung yang mengabarkan dia pulang ... lalu, suara tipis riak air
danau....

Kemudian, saat bibirnya menyentuh bibirku ... aku mulai merasakan kebas pada
setiap bagian tubuhku. Aku menahannya agar tetap terjaga, kumohon ... jangan
sekarang. Beri aku beberapa detik lagi ....

Aku menatap Gagah sayu, “Bawa aku ke perahu....” Bisikku pelan.

Gagah mengangkat tubuhku, berjalan perlahan menuju danau, melewati


kerumunan tamu yang ikut menghadiri pernikahan kami. Menaiki sebuah
perahu, Gagah membaringkan aku dalam pangkuannya.

Aku melihat tangannya bergetar saat meraih dayung, bibirnya tidak berhenti
mengucapkan kalimat yang membuat aku tidak bisa melepas senyuman.

“Aku mencintaimu, Honey Amy....”

118
Fb.me/overebook

Aku tahu kau mencintaiku, karena aku pun begitu.

Perahu pun melaju, mengikuti arus yang bergerak pelan. Gagah berhenti
mendayung ketika perahu sudah berada di tengah-tengah danau. Riakannya,
mengombang-ambingkan perahu kami bagai buaian pengantar tidur.

“Aku tahu itu adalah planet.” Kataku pelan, menunjuk ujung barat langit,
mengarah pada satu titik dengan cahaya putihnya yang bersinar terang.

“Kau benar....” gumam Gagah parau, “itu planet Jupiter. Hanya bisa dilihat di
bulan Mei hari ini.”

“Sebelas Mei....” bisikku.

“Ya ... sebelas Mei.”

Senja berganti malam, langit mulai gelap, bintang-bintang mulai bermunculan


satu persatu, menghias langit malam bagai percikan kembang api yang
kunyalakan setiap malam tahun baru. Aku bertanya-tanya ada berapa juta
bintang yang berkerlip di sana, termasuk planet yang mungkin belum diketahui
namanya.

“My Dear....” bisikku lagi, “boleh aku memanggilmu seperti itu?”

Gagah tidak menjawab, tapi aku merasakan anggukannya saat dagunya


menyentuh puncak kepalaku.

“My Dear....” Gumamku memejamkan mata. Sungguh, panggilan itu terdengar


indah di telingaku. “Ceritakan aku kisah tentang orion lagi, lalu ... ceritakan aku
kisah tentang Selene....”

“Orion....” Suara Gagah seperti tercekat, “Dia pria malang yang sangat
mencintai Eos, sang fajar....”

119
Fb.me/overebook

Aku mendekatkan tubuhku ke dada Gagah, bersandar pada lekuk lengannya


yang kokoh. Suara Gagah yang mengalun pelan, membuatku terbuai, meski aku
sudah pernah mendengar cerita itu sebelumnya.

Suara angin yang bergemerisik lirih, menyapu permukaan air danau ... lalu dari
kejauhan ... terdengar derik jangkrik memecah kesunyian malam, bergabung
dengan suara binatang malam laiannya. Kadang burung hantu ... kadang
kepakan sayap kelelawar.

Aku membuka mataku kembali, bersitatap dengan Gagah yang sedang


menatapku. Sorot matanya terlihat sedih, bibirnya terkatup rapat, baru saja
selesai menceritakan kisah Orion.

Sekumpulan kunang-kunang beterbangan di sekitar kami, mengalihkan


perhatianku. “Apa ada anak-anak yang menanam kukunya tadi pagi?”

“Aku akan menanam ini di bawah pohon kita.” Kata Gagah menunjukkan
potongan kuku yang ada di telapak tangannya.

“Kalau kita menanamnya, apa akan menjadi pohon kuku?” tanyaku ingin tahu.

Gagah tertawa, “Tidak. Tapi kuku-kuku ini akan berubah menjadi kunang-
kunang.”

Aku tertawa kecil, mengingat sebaris kejadian dari ribuan memory yang
kulewati bersama Gagah.

“Honey Amy....” Bisik Gagah lirih, aku menangkap berjuta kesedihan pada
suaranya.

Aku mengulurkan tangan, mengelus pipinya. Hal yang paling kusukai akhir-
akhir ini. “Jangan sedih ... berceritalah lagi.” Bisikku pelan, senyum tipis terukir
di bibirku.

120
Fb.me/overebook

Gagah mulai bercerita lagi, kali ini tentang Selene. Perwujudan dari Bulan yang
selalu berwajah muram, namun memiliki keindahan dengan cahayanya yang
keperakan. Mengingatkanku akan pria yang kini sedang menatap wajahku sayu.
Mataku terasa semakin berat ketika suara Gagah mulai mengalun seiring
desahan angin. Gambaran wajah Gagah yang kulihat mulai memudar, semakin
memudar ... sampai kemudian tergantikan dengan kegelapan.

“Maka, Endymion tidak akan pernah terbangun oleh sentuhan lembut jemari
Selene yang membelai wajahnya, untuk mengatakan pada Selene bahwa dia
juga mencintainya.”

Suara itu semakin samar di telingaku, aku hanya bisa merasakan sentuhan jari
Gagah di pipiku ... kemudian....

Aku bermimpi ... berada di suatu padang yang luas ... tertidur di hamparan
rumput hijau. Berpuluh-puluh ekor sapi dan domba mengelilingi, lalu aku
melihat Gagah menghampiri ... dia meraih kepalaku ke atas pangkuannya, tapi
kenapa wajahnya terlihat sedih? Aku melihat buliran kristal menetes dari sudut
matanya, jari-jarinya menyentuhku lembut ....

Aku ingin membuka mata, aku ingin menghapus air matanya ... mengatakan
padanya bahwa aku sangat mencintai dia. Tapi entah kenapa, aku tidak bisa
menggerakkan tubuh, bahkan aku tak bisa membuka mataku. Hanya cahaya
keperakan di atas sana ... menyinari tubuh kami dengan kelembutannya....

Semua ini berawal dari waktu. Waktu adalah benih dari segalanya wahai
Dhananjaya. Jika tiba saatnya, sang waktu akan mengambil sesuai
kehendaknya. (Perkataan Resi Vyata pada Arjuna)

Kini, aku tidak bisa menolak lagi, ketika perjalanan waktuku terhenti.

®RatuBuku

121
Fb.me/overebook

EPILOG

Andai aku tahu akhir sebuah cerita, akan kupaksa waktu mengikat kita berdua,
memanfaatkan setiap masa yang ada ... sehingga ketika ikatan itu terlepas, aku
sudah memiliki banyak kenangan bersamamu.

Jika memang ini takdirku ... aku menerimanya. Seperti engkau yang melepaskan
senyum, dalam lelap panjangmu.

Memeluk tubuhmu seperti ini, mendekap kepalamu di dada ... melihat senyum
yang terlukis di bibir pucatmu, aku menangis tanpa air mata.

Ayunan perahu ... cahaya bulan yang keperakan, desir angin ... lalu, suara
binatang malam yang bersahutan.... Memberitahuku bahwa semua sudah
berakhir.

®RatuBuku

Tongkatku membantu Aku berjalan menaiki bukit, tertatih-tatih menuju tempat


yang paling ingin kutuju saat ini. Pohon tempat kau menungguku.
Menyandarkan salah satu tangan sebagai tumpuan pada batang pohon, aku
menyadari tubuhku sudah merenta. Napasku sudah tidak beraturan ketika
akhirnya aku menjatuhkan pantatku untuk duduk di sampingmu.

Tangan keriputku yang selalu bergetar membuka lembaran demi lembaran


sebuah buku bersampul hitam yang sudah kumal dimakan waktu.

Aku merindukanmu....

Adalah satu kalimat favorit yang selalu kubaca.

Apa kau juga merindukanku seperti aku merindukanmu?

122
Fb.me/overebook

Aku menghela napas.

Yah, aku juga merindukanmu ... selalu.

Kembali melanjutkan membuka lembaran buku. Tanganku terhenti ketika


sampai pada lembaran-lembaran terakhir.

Aku tahu, kesempatanku semakin menipis. Waktu sudah mulai mengikisnya


secara perlahan. Tapi, aku mensyukuri semua ini, aku bersyukur kau kembali ...
aku bersyukur kau selalu ada di sampingku, saat ini.

Terkadang, aku bertanya-tanya dalam hati. Apa yang membuatmu dulu pergi?
Lalu, apa yang terjadi dengan Dino? Meski aku sudah bisa menduganya ... aku
selalu ingin jawaban darimu.

Bersandar pada pohon, aku memejamkan mata. Mengingat kejadian yang


membuatku selalu menyesali keputusanku meninggalkanmu saat itu. Itu yang
selalu kulakukan jika membaca lagi tulisanmu. Seakan berharap kau bisa
mendengar untuk memaafkanku.

Aku harus berusaha keras untuk mengingatnya, ingatanku tidak lagi setajam
waktu muda. Samar, aku mulai mengingat perselisihanku dengan Mamih. Jiwa
mudaku memberontak dengan apa yang dilakukan Mami, ejekan dari teman-
temanku membuat aku membenci Mamih, dan ketakutanku yang paling dalam...
membuat aku lari menjauh.

Aku tahu, suatu saat nanti ... kau akan menjadi seperti mereka.

Itu membuatku muak dengan keadaan ini.

“Aku akan menikahi Honey Amy.” Putusku ketika itu.

Itu satu-satunya cara kau terlepas dari lingkaran hitam yang Mamih buat.

123
Fb.me/overebook

“Memang berapa umurmu?” Mamih mencibir mendengar ucapanku. “Kau pikir


anak ingusan sepertimu bisa begitu saja menikah? Terus, mau kau kasih makan
apa istri dan anakmu? Minta sama Mamih?”

Rahangku mengetat, perasaaan terhina meluap begitu saja. “Akan kubuktikan


kalau aku bisa hidup tanpa uang Mamih.” Teriakku saat itu.

Lalu, aku memutuskan untuk pergi. Tak bisa tertahan meski kau meminta untuk
tinggal.

“Apa kau akan merindukanku?” tanyamu.

Aku hanya terdiam, meski hatiku berteriak kencang „Tentu saja aku akan
merindukanmu, tidakkah kau mengerti aku sangat mencintaimu?‟.

Tapi, yang bisa kulakukan saat itu hanya melangkah pergi.

Bertahun-taun aku tidak menghubungi Mami. Sampai entah dari mana Mami
tahu nomor teleponku, dia menghubungiku, ingin aku kembali. Aku tidak bisa,
saat itu Dino sangat membutuhkan aku. Aku hanya bisa berjanji untuk sesekali
menelepon Mami, bagaimana pun, dia tetap ibuku.

Setiap menelepon Mami, aku sangat ingin menanyakanmu. Tapi, aku


menahannya dengan segera mematikan telepon setelah memberi tahu aku baik-
baik saja.

Aku takut ... aku takut mendengar kabar apa yang paling aku takutkan saat itu.
Aku menyibukkan diri dengan pekerjaanku dan mengurus Dino, sahabat yang
sudah aku anggap saudaraku.

Lalu, apa yang terjadi dengan Dino?

Kau benar. Dia meninggalkanku karena penyakit yang sama denganmu. Itulah
kenapa aku sangat ketakutan ketika kau mengatakan sering mimisan. Itulah

124
Fb.me/overebook

kenapa aku memaksamu untuk ke Dokter ketika kau mengeluhkan gejala yang
sama seperti yang dialami Dino.

Aku takut kehilangan lagi.

Tapi, ternyata waktu tetap mengambilmu.

Tidak apa, aku tahu kau bahagia.

Jangan khawatir, ketika kau membaca ini ... aku menulisnya dalam keadaan
bahagia.

Kau tahu? Kau pun akan bahagia. Menjalani kehidupanmu dengan baik-baik
saja. Mungkin kau akan menikah ... kau akan memiliki anak-anak yang cantik
dan tampan sepertimu, lalu mereka akan memberimu banyak cucu ... kemudian
cicit. Kau tahu? Aku tertawa membayangkan itu.

Jadi, ketika kau melihat noda tetesan air yang mengaburkan tinta pada
tulisanku, itu adalah tetesan air mata bahagia.

Berbahagialah Gagah ... selalu.

Aku tersenyum, kau benar Honey Amy ... aku bahagia.

Seperti yang kau bilang, aku memiliki banyak anak, mereka memberiku cucu
yang lucu-lucu. Kemudian cucuku memberi aku cicit.

Tidak, aku tidak menikah. Hanya kau satu-satunya wanita yang ada di hatiku.

Panti asuhan yang kudirikan sejak setahun kepergianmu, kuberi nama „Honey
Amy‟. Sebagai pengingat bahwa kau ibu mereka.

Kurasa aku menangis, karna aku merasakan pipi keriputku sudah basah. Cepat-
cepat kuhapus air mataku, aku sudah berjanji tidak akan menangis.

Berjanjilah padaku kau tidak akan menangis....

125
Fb.me/overebook

Aku berjanji.

Aku memejamkan mata, tersenyum mengingat kalimat terakhir yang kau tulis di
bukumu. Kalimat yang selalu kuingat ... yang selalu kubayangkan kau
mengucapkannya padaku, dengan senyumanmu yang indah, dengan tatapan
matamu yang berkilau....

Rindukan aku.

END

overebook.blogspot.com

126

Anda mungkin juga menyukai