Mendasar
“Batu Menangis”
Dahulu kala di sebuah bukit yang jauh dari pemukiman. Hiduplah seorang ibu petani
bersama anak perempuannya. Setiap hari, Sang Ibu harus bekerja keras menanam sayuran dan
menjualnya ke pasar demi menyambung hidup dikarenakan sang suami telah tiada. Anak
perempuannya itu tumbuh menjadi gadis dengan paras yang sangat cantik, rambutnya panjang
begitu lembut lebat, dan terurai dengan indah dipercantik dengan keberadaan poni yang bersisir
rapi menyusuri keningnya. Namun sayangnya, dibalik Kecantikan itu, sifat dan perilakunya jauh
dari kata baik. Dia sangat pemalas dan juga manja. Setiap hari hanya berdandan di depan cermin
tak pernah sekalipun dia mau membantu ibunya bekerja. Selain itu, dia juga suka membentak
dan mengambil upah dari kerja keras ibunya dengan alasan agar ia selalu terlihat cantik.
Hingga suatu hari, sisir yang biasa dia guankan patah. Sang anak pun kesal dan berteriak
memanggil ibunya.
Dia meminta untuk dibelikan sisir sekaligus perhiasan baru. Sang Ibu memberitahu anaknya
bahwa dirinya hanya sanggup membelikan sisir, tidak dengan perhiasan baru. Mendengar
jawaban itu, sang anak sangat marah dan mengancam akan pergi dari rumah.
Malam itu, Sang Ibu sedih meratapi peringai anaknya. Akan tetapi, demi kebahagiaan
sang anak, dia rela mengambil uang tabungan yang selama ini dikumpulkan sedikit demi sedikit
dari sisa upah yang kerap diambil anaknya.
Keesokan hari, Sang Ibu mengajaknya pergi ke pasar untuk menjual sayur serta
membelikan barang yang diinginkan. Sang anak pun merasa senang karena keinginannya
dituruti. Ibunya pun turut Bahagia. Dia rela menghabiskan tabungan asalkan putri semata
wayangnya bisa tersenyum.
Selama perjalanan, Sang Anak tidak mau membantu membawakan sayur dagangan
ibunya.
“Kenapa, Nak?”
Usai menuruni bukit dan hampir tiba di pasar, ia berhenti dan berpesan kepada ibunya.
“Ahhh… Sudahlah ikuti saja perintahku. Sekarang mana uangnya? Biar aku yang membeli
sendiri!” kata Sang Anak sembari mengambil uang dari Ibunya.
Hal ini dia lakukan karena malu mempunyai ibu yang sudah tua dan lusuh.
Sang Anak pun pergi ke pasar sedangkan Ibunya menjual sayuran. Karena waktu telah
cukup lama berlalu, Sang Ibu menghapiri Anak.
“Apakah kamu sudah menemukan perhiasan yang ingin kau beli, Nak?” tanya Ibunya.
“Hem.. Apakah itu ibumu? Jika benar, biarkan Dia memilihkan perhiasan untukmu,” kata
penjual perhiasan.
“Ha? Ibuku? Tentu saja bukan. Ibuku tidak jelek dan tua seperti ini,” jawab sang anak
ketus.
Mendengar perkataan anaknya, Sang Ibu terkejut, Dia hanya bisa diam sambil menahan air mata.
Setelah mendapatkan perhiasan, Sang anak ingin membeli sisir yang berada tak jauh dari
tempat itu. Saat sedang berjalan, tak sengaja seorang pemuda menabraknya.
Dengan sigap pemuda tersebut membantunya untuk berdiri. Namun, ketika akan mengundurkan
tangan, gadis itu menolaknya mentah-mentah. Dia pun marah dan menghina pemuda tersebut.
Si Pemuda hanya bisa diam dan tertunduk malu. Orang-orang pun mulai berkerumun melihat
kejadian itu. Sang Ibu mendekat dan ingin menghampiri anaknya. Namun, Sang Anak menengok
melihat ibunya dengan tatapan marah. Seolah memberikan isyarat agar tidak mendekat. Melihat
itu, Sang Ibu pun mengurungkan niatnya.
Usai membeli sisir, mereka pun pulang. Gadis itu masih tidak mau berjalan berdekatan
dengan sang ibu.
“Hei Nona. Kamu Nampak begitu cantik. Berbeda dengan gadis-gadis di sekitar sini.
Kalau boleh tahu, di manakah kau tinggal?” kata seorang pemuda.
“Tentu saja aku cantik karena aku selalu merawat tubuhku.”
Melihat anaknya dikelilingi oleh beberapa pemuda, Sang Ibu merasa khawatir.
“Hah? dengar ya! Ibuku jauh lebih cantik daripada wanita tua itu. Dia bukan siapa-
siapaku. Dia itu hanya pembantuku!” jawab Sang Anak dengan ketus.
Kali ini sang Ibu benar-benar tak sanggup lagi menghadapi perilaku anaknya. Dengan perasaan
hancur, dia menangis terisak-isak, ia tak menyangka anak yang telah dia rawat dan besarkan
sepenuh hati tega berkata seperti itu. Kemudian, Sang Ibu bersimpuh, berdoa memohon kepada
Tuhan.
“Ya Tuhan… Hamba mohon ampun bagi diriku yang lemah dan tak berdaya ini. Hamba
sudah tak kuat menahan penderitaan ini. Hamba tak mampu menghadapi sikap angkuh putri
hamba. Ya Tuhan… Tolong berikan hukuman yang semestinya kepada putri hamba. Hukumlah
putri hamba yang durhana ini. Hamba memohon kepadamu, ya Tuhan!”
Secara mengejutkan, tubuh gadis itu menjadi kaku dan tak bisa digerakkan.
“Ibu. Ada apa dengan tubuhku? Kenapa kakiku tidak bisa digerakkan? Ha? Ha?” tanya
Sang Anak dengan tangis.
Ternyata kakinya mulai membatu dan ikuti sekujur tubuhnya. Dia pun menangis memohon ampun
kepada ibunya.
“Maaf, Bu. Maafkan aku. Aku berjanji tidak akan pernah mengulanginya. Aku mengaku
salah karena tidak menganggapmu sebagai ibuku. Maaf, Bu. Maaf.”
Akhirnya Sang Anak berubah sepenuhnya menjadi batu. Sang Ibu memeluk batu tersebut dan
dari dalam batu terus mengalir air mata Sang Anak. Semua penyesalannya telah terlambat, dia
telah menerima hukuman karena menjadi anak yang durhaka.
2. Apa saja hal-hal unik dari cerita fantasi yang baru saja kamu dengar?
5. Menurut kamu, apakah kamu bisa membuat cerita yang sama, namun dengan versimu?
Agar pertanyaan di atas dapat terjawab dengan lebih terarah, silakan
mengisi lembar kerja di bawah ini. Silakan menulis hasil kesepakatan
kamu pada tabel di bawah ini.
Silakan tulis urutan peristiwa secara umum pada tabel di bawah ini.
Gunakan kalimat sederhana yang menjelaskan inti peristiwa. Kemudian,
silakan modifikasi peristiwa tersebut menjadi peristiwa versi kamu.
Tengah
Akhir
Kerangka Karangan
Catatan: kamu bisa saja mengubah urutan cerita. Misalnya, kamu meletakkan ending atau akhir
cerita di bagian awal atau pola lainnya yang kamu inginkan sebagai karya reproduksi versi
kamu.
Pengembangan Cerita
Angin bertiup seperti biasanya, suara ayam berkokok di pagi hari, dan burung yang
bercuit seperti membuat orkestrasi musik nan indah. Perasaan tenang dan damai pastilah
terpancar dari suara-suara alam yang menggambarkan keseimbangannya yang masih terjaga.
Tidak jauh dari sana, terlihat seorang Ibu Tua mengenakan pakaian kotor dan robek di
beberapa bagian sedang menarik gerobak berisikan sayuran yang segar dan berwarna-warni. Ia
meletakkan gerobaknya di dekat rumah panggung khas Kalimantan Barat yang terbuat dari kayu.
Dari dalam rumah terdengar suara lagu suku Dayak yang manis dan rancak.
Si Ibu Tua menaiki tangga untuk masuk ke rumahnya tersebut. Sambil menyeka keringat di
keningnya dan tersenyum, Ia pun memanggil anak perempuannya dari jauh.
“Enggang… Enggang”, panggil Ibu Tua tersebut dengan lembut. Beberapa waktu berlalu,
tapi tidak juga ada suara yang menjawab. Si Ibu Tua berjalan menuju ruangan di dekatnya.
Mungkin hanya perlu lima langkah untuk sampai ke sana.
“Enggang… Kenapa kamu tidak menjawab panggilan Ibu?”, tanya Ibu Tua tadi kepada
seorang anak perempuan di dalam kamar itu. Ternyata Ibu Tua memanggil anak perempuannya.
Perempuan muda berambut panjang dan hitam itu terlihat sedang merias dirinya. Sungguh cantik
gadis itu. Ia memiliki kulit putih bersih, hidung mancung, dan badan yang langsing bak seorang
puteri.
“Apa sih, Bu? Aku sedang sibuk. Jangan menggangguku!”, kata Enggang Si Gadis cantik
dengan ketus. Mendengar itu, Ibunya hanya diam dan pergi ke dapur.
Keesokan harinya, sebelum pergi ke pasar untuk menjual sayuran yang kemarin Ia bawa,
Ia kembali memanggil Enggang untuk meminta Enggang untuk menemaninya ke pasar. Namun,
Enggang hanya kembali menjawab ketus permintaan Ibunya itu dan malah sibuk membersihkan
kukunya. Ibu Tua hanya diam dan melanjutkan pekerjaannya. Di dalam hatinya, Ia sangat sedih
dengan sifat anaknya yang tidak kunjung berubah. Ia berharap anak perempuan satu-satunya itu
mau menjadi temannya untuk melewati hari demi hari dengan bahagia. Tiap hari Ibu Tua yang
sabar itu hanya bisa berdoa.
Hari pun hampir gelap, Ibu Tua terlihat sangat lelah saat kembali ke rumahnya sepulang
dari bekerja. Diistirahatkannya dirinya, Ia duduk dan menarik nafas panjang sembari menikmati
teh manis yang telah dibuatnya sebelumnya. Ia keluarkan beberapa uang koin dari sakunya
dengan senyum syukur yang tampak dari garis-garis wajahnya yang sudas tua. Tiba-tiba Enggang
datang dan mengambil uang tersebut dari tangan Ibunya dengan kasar hingga gelas teh manis
di samping Ibunya pun terjatuh dan tumpah. Ia tersenyum lebar, namun tidak sedetik pun melirik
Ibunya yang tampak lelah dan tua itu.
“Ini aku sisakan satu untukmu”, kata Enggang tanpa ragu dan seketika pergi kembali ke
kamarnya. Si Ibu Tua hanya bisa menahan tangis dalam dirinya. Perasaan terpahit yang muncul
dari dirinya adalah bagaimana hidup anaknya kelak saat dia sudah tiada. Bagaimana anaknya
dapat bertahap hidup jika hanya mengandalkan dirinya yang sudah tua. Dengan langkah berat
dan lemah, Ibu Tua pergi ke kamarnya dan memasukkan satu koin tadi ke kotak penyimpanan
uang miliknya.
“Aaaaaah!” terdengar teriakan Enggang dari dalam kamar. Ibunya langsung berlari
dengan sisa kekuatannya dan menghampiri anaknya. “Sisirku patah! Gimana ni?” teriak Enggang
tanpa malu. Ibunya kembali membalikkan badannya dan melangkah ingin menuju ke kamar.
Namun, Enggang menarik baju Ibunya dan berkata, “Besok kita pergi ke pasar untuk membeli
sisir baruku dan sekalian perhiasan baru. Sudah lama aku tidak membeli perhiasan baru, Bu.”
“Enggang… Uang Ibu, Ibu simpan untuk kita. Jika sewaktu-waktu ada keperluan
mendesak, Nak.”
“Ah! Sudahlah, Bu. Nanti juga ada lagi uangnya. Ibu kan bekerja… Ayolah Bu.. Ayo.. Aku
mohon, Ya, Bu?”, kata Enggang memelas dan menangis.
“Baiklah. Besok kita ke pasar. Kamu temani Ibu. Kita pergi bersama”.
Keesokan harinya Ibu Tua tersebut dan Enggang memulai perjalannya menuju pasar. Ibu
Tua membawa gerobak berisi sayur-sayuran dan menariknya sendiri, sedangkan Enggang
berjalan tanpa membantu Ibunya. Jarak dari rumah mereka ke pasar cukup jauh. Enggang
menjadi kelelahan dan tidak mampu lagi melanjutkan perjalanannya.
“Aduh… Aku capek sekali… Kenapa pasar jauh sekali sih, Bu? Atau… kayaknya lebih
baik kalau aku naik ke gerobak itu deh. Soalnya aku gak kuat lagi, Bu.” Tanpa menunggu jawaban
Ibunya, Enggang langsung naik ke gerobak dan duduk dengan santainya.
Si Ibu Tua menarik gerobak dengan badannya yang kecil dan tua, sedangkan anak
perempuannya duduk di dalam gerobak itu dengan santai sambil bersenandung. Tidak beberapa
lama, muncullah segerombolan laki-laki melewati mereka berdua.
“Siapa perempuan tua di depan itu? Ibu kamu?”, kata laki-laki lainnya.
“Bukan! Bukan! Tentu dia bukan Ibuku”, Ibu Tua sontak kaget dengan jawaban Enggang.
Dia hanya menarik nafas dan menahan dirinya. Tidak berapa lama, mereka sampai di pasar.
Enggang turun dari gerobak dan berkata, “Ibu jauh jauh deh dariku. Aku malu kalau orang-orang
melihat kamu”. Sedih sungguh teramat sedih. Ibu Tua hampir menangis dengan perlakuan anak
satu-satunya itu. Namun Ia memutuskan untuk mengurus sayur-sayurnya yang nantinya ingin dia
diserahkan ke penjual sayur langganannya. Enggang pergi ke penjual gelang dan membeli gelang
kesukaannya dengan hati senang tanpa peduli perasaan Ibunya.
Di perjalanan pulang. Enggang berjalan kaki dengan senang sambil melihat gelang
barunya yang cantik. Kemudian datanglah beberapa laki-laki yang tadi mereka jumpai saat
perjalanan ke pasar. Ibu Tua merasa khawatir dengan Enggang karena gerombolan laki-laki
tersebut tidak terlihat baik. Ibu Tua memutuskan untuk menghampiri Enggang berniat
menyuruhnya berhenti berbicara dengan gerombolan tersebut dan melanjutkan perjalanan
pulang ke rumah. Namun Enggang menjadi marah dan mendorong Ibunya dengan keras. Melihat
itu, gerombolan lelaki tadi pergi menjauh dan meninggalkan Enggang dan Ibu Tua.
“Enggang… kenapa kamu seperti ini, Nak?”, kata Ibu Tua sambil menangis sedih.
“Kenapa kamu malu dengan Ibu dan mendorong Ibu dengan kasar. Kamu mengambil uang hasil
kerja keras Ibu, namun kamu tidak mau sekali pun membantu Ibu bekerja”. Mendengar itu,
Enggang makin marah dan berjalan menjauh. Melihat respon Enggang seperti itu, Ibu Tua
menjadi terpuruk dalam kesedihan. Ia berseru dengan kuat, berdoa kepada Tuhan sambil
tertunduk dan menyembah. Kemudian perlahan, Iamenengadah ke atas dan berkata “Tuhan…
Hamba tidak kuat lagi. Biarlah anak hamba menerima pelajaran dari sikapnya ini. Biarlah dia
menerima hukuman darimu, Ya Tuhan!”.
Petir pun datang dan gemuruh guntur pun terdengar. Enggang tiba-tiba merasa
badannya kaku. Kakinya tidak bisa Ia gerakkan. Ia melihat ke bawah dan ternyata tubuhnya
perlahan berubah menjadi batu. Ia menangis kuat dan memanggil Ibunya
“Ibu…. Ibu…. Tolong aku, Ibu”, Ibu Tua datang menghampiri Enggang dan hanya bisa
menangis. Akhirnya Enggang pun berubah seutuhnya menjadi batu. Air matanya yang menangis
terlihat keluar dari tubuhnya yang telah menjadi batu.
Penyusunan Rencana
Proyek
Pemantauan
(Monitoring)
Evaluasi Pengalaman
Belajar
Berikut ini adalah hal-hal yang akan kamu lakukan pada level 6,
yaitu evaluasi pengalaman belajar.
1. Guru akan mengevaluasi proses pembelajaran mereproduksi
teks cerita fantasi. Ada dua (2) hal yang dievaluasi, yaitu proses
pembelajaran berbasis proyek yang telah kamu kerjakan dan
produk proyek kamu.
2. Kamu menceritakan pengalaman kamu selama proses
pelaksanaan pembelajaran berbasis proyek reproduksi teks.