Anda di halaman 1dari 12

MALAM MENCEKAM

Rumahku terletak di sebuah Desa yang cukup terpencil. Jarak


antara satu rumah dengan rumah yang lain cukup berjauhan. Rumahku
ini cukup sederhana, rumah panggung khas Minang yang seluruh
bagian rumah dicat berwarna gelap. Bagian halaman depan rumah ku
ditanami ibu dengan bunga-bunga seperti Melati, Kamboja, dan Asoka.
Di bagian halaman belakang, Ayah menanaminya dengan beberapa
pohon buah-buahan seperti Sirsak, Mangga, Jambu dan Durian. Di
halaman belakang ini juga dulunya terdapat sebuah kuburan yang kata
warga sekitar adalah kuburan seorang wanita perawan yang mati
bunuh diri, namun sebelum Ayah membeli tanah ini kuburan itu telah
dipindahkan ke perkuburan umum. Di depan rumah kami adalah letak
Perkuburan umum itu yang hanya dipisahkan oleh jalan kecil berkerikil
tanpa aspal. Dari rumahku, kita bisa melihat 2 kain putih berbentuk
seperti tenda kecil yang dipasang di atas bambu yang menancap di atas
sebuah gundukan tanah. Yaa, itu adalah makam baru. Seminggu yang
lalu seorang ibu hamil tujuh bulan meninggal dunia karena sebuah
kecelakaan. Dan makam baru itu adalah makamnya.

Bagi tetamu, dan teman-teman sekelas ku di SMA yang pernah


berkunjung ke rumah, mereka sering kali merasakan hal aneh. Ada yang
tiba-tiba merasa hawa dingin merasuk tubuhnya, ada yang merinding,
ada juga yang merasa seperti diikuti. Bagian dalam rumah ku memang
dihiasi dengan beberapa benda kuno, seperti beberapa lukisan abstrak
yang menggantung di dinding, patung-patung binatang yang disusun di
atas buffet, dan sebuah patung hanya kepala berukuran besar, hidung
panjang, bibir tebal dan merah, alis melengkung mirip tokoh wayang
yang Ayah pajang di atas meja. Meskipun demikian, kami sekeluarga
sampai detik ini tidak pernah merasakan hal aneh. Mungkin mereka
merasa seperti itu karena terbawa suasana rumah kami yang
bertetangga dengan perkuburan.

Kamis adalah hari yang melelahkan bagiku. Aku harus mengikuti


kegiatan ekstrakurikuler di sekolah dan tiba di rumah ketika hari mulai
gelap. Aku begitu lelah, sehingga setelah sholat isya Aku memilih untuk
tidur lebih awal.

“PRAAAKKKKK. . .” Suara persis sebuah benda kaca yang jatuh


terdengar memengakkan telinga. Akupun terbangun dari tidur ku.

“Suara apa itu”, aku berbisik dalam hati.

Aku terdiam di atas tempat tidur sambil mendengarkan kembali. Tapi


yang ku dengar hanya suara longlongan anjing, dan sesekali suara
burung hantu yang menambah suasana hati ku semakin kacau. Dari
arah perkuburan ku dengar suara persis lonceng kuda yang semakin
lama terasa semakin mendekat. Tak mau ambil resiko, aku
memutuskan menarik selimut dan kembali melanjutkan tidur.

“Adduuh kenapa harus sekarang”. Aku mengoceh ketika tiba-tiba


perasaan ingin buang air kecil itu datang disaat yang tidak tepat. Ku
rapatkan kedua kaki ku, dan meringkuk di balik selimut berharap hasrat
ingin pipis ini bisa ku tahan hingga pagi. Lima menit berlalu, dan
akhirnya aku menyerah. Jika seperti ini terus bisa bisa besok pagi aku
harus jemur kasur. Dan itu sangat memalukan jika seorang gadis yang
sudah duduk di bangku kelas 2 SMA harus jemur kasur karena ngompol.

Aku bergerak turun dari tempat tidur. Meraba-raba mencari


sebuah tombol di dinding untuk menyalakan lampu di kamar ku.

“Klik. . Klak. .Klik. . Klak”. Beberapa kali ku tekan tombol itu tapi lampu
tak kunjung menyala. “Ahh. . Sialan. Kenapa harus sekarang lampu
kaampreettt”. Aku memaki karena begitu kesal. Ku buka pintu kamar
dan berjalan perlahan di dalam rumah yang redup di terpa cahaya
bulan yang menembus melalui lubang-lubang ventilasi di sekeliling
rumah.

“Klikkk. . Klaaakkk. .Klikkk. . .Klakkk”. berkali-kali ku tekan tombol lampu


di dapur dekat kamar mandi tapi tak kunjung menyala. Aku mulai
gemetaran, antara ketakutan dan juga karena menahan pipis.
“Betul. . betul sialan. Kenapa juga lampu ini harus bermasalah
bersamaan, njiirr”. Aku kembali memaki, dan tiba-tiba aku merasa
seseorang mengamati ku yang baru saja mengucapkan sumpah
serapah. Aku ingin menoleh, tapi juga tidak berani. Aku merasa
sepasang mata mengawasi ku dari arah meja makan.

Perlahan-lahan aku mengalihkan pandanganku ke arah meja


makan itu. Dan seketika mata ku melotot tajam, darahku mengalir
begitu cepat, jantung ku berdebar tak karuan, aku ingin berlari secepat
kilat tapi kakiku seperti tidak bertulang, aku ingin berteriak sekencang
mungkin tapi mulutku seperti terkunci, kerongkonganku seperti
diganjal dengan batu. Sesosok makhluk dengan tatapan tajam di balik
rambutnya yang hitam panjang menutupi wajahnya begitu
mengagetkan ku membuat sekujur tubuhku gemetar. Bajunya putih
panjang hingga ke lantai, ku lihat bagian depan bajunya di penuhi noda
berwarna merah, dari tangannya menetes cairan kental yang juga
berwarna merah.

“Iiiicaaaa. . Iiiiicaaa. . .” makhluk itu memanggil-manggil nama ku


dengan suara berat, parau dan terdengar seperti suara nenek tua
dalam drama kolosal “Misteri gunung merapi”.

“Yaa Allah makhluk apa ini” ? ?Aku menjerit dengan suara lirih karena
ketakutan. Dan tiba-tiba makhluk itu bangkit dari posisinya yang
tadinya terduduk di samping meja makan dan perlahan berjalan
mendekatiku.

“Iiiiicaa. . .Iiiiicaa. . .Anakku. . .” Makhluk itu kembali menyebut-nyebut


namaku.

“Yaa Allah apa mungkin wanita ini mengira aku yang menabrak dan
membunuh anaknya”. Ucapku dalam hati. Dengan sekuat tenaga ku
angkat kaki ku yang masih terasa lemah, kemudian berlari ke arah
ruang tamu.

“Bruuuukkkk”. Tubuh ku ambruk di atas sofa setelah tadi


tersandung oleh sesuatu. “Ding. .Dong. .Ding. .Dong” Suara lonceng jam
dinding tua yang bergantung di dinding ruang tamu berbunyi. Aku
semakin ketakutan. Dari kaca jam dinding itu, ku lihat sosok makhluk
berambut panjang di dapur bergerak menuju ruang tamu dan masih
menyebut-nyebut nama ku. “Iiicaaaaaa. . . kemarilah. . . Iiicaaa”

Aku mencoba mengangkat tubuh ku dari sofa, dan tidak sengaja


tangan ku mendarat pada beberapa jari-jari kecil. Tangan ku meraba-
raba dan ini seperti sebuah kaki. Ku angkat tubuhku, melihat apa
sebenarnya yang ku pegang ini, dan

“AHHHH. . .” Aku berteriak histeris. Bersamaan dengan sosok


anak kecil tanpa baju, bercelana dalam putih, dengan muka pucat pasi
itu membuka matanya. Aku bergegas bangkit, dan berlari menuju pintu
utama. Kali ini langkah kaki dari arah dapur terdengar lebih cepat, dan
tangisan anak kecil tiba-tiba muncul dan membuat ku semakin gemetar.
Aku berlari sekuat tenaga, “aku harus keluar dari rumah penuh hantu
ini”, ucapku dalam hati.

Dua langkah lagi gagang pintu itu akan ku raih. Dan


“SREEEETTTTT”, pintu itu membuka sebelum ku sentuh.

Aku berdiri mematung, mulutku menganga, mata ku melotot tak


berkedip. Seorang laki-laki berbadan tegap dan tinggi memaki topi
cowboy berwarna hitam, menggunakan masker penutup mulut
berwarna hitam, dengan celana dan baju serba hitam. Di tangan
kanannya ia memegang sebuah parang berukuran panjang, dan
tangannya kirinya ku lihat dia memegang seutas tali dengan benda
bulat persis kepala manusia di bawahnya.

“Apalagi ini yaa Allah”. Ucapku lirih. Aku semakin ketakutan. Aku
melangkah mundur perlahan, dan lelaki itu malah bergerak maju dan
memasuki area ruang tamu. “Iiiiicaaaaaa. . .” Aku mendengar samar-
samar lelaki itu memanggil namaku dari balik masker yang menutupi
separuh wajahnya.

“Apa mungkin dia adalah suaminya. Apakah dia ingin membunuh


ku? Aku memang mengendarai sebuah motor persis di dekat lokasi
kecelakaan itu, tapi jujur bukan aku pelakunya”. Sekelebat Tanya
muncul di kepala ku.

Badan ku bergetar hebat, peluh ku bercucuran, bulu kuduk ku


merinding. Kurasakan air mata ku mulai mengalir. “Yaa Allah seperti
inikah akhir hidupku”, keluh ku di dalam hati. Aku sudah kehilangan
tenaga, tubuh ku serasa kehilangan daya topangnya lalu rebah ke lantai
dalam posisi terduduk. Suara tangisan anak kecil semakin keras, derap
langkah kaki dari arah dapur semakin mendekat, dan sosok lelaki
dengan benda tajam di tangannya selangkah lagi akan menggapai kaki
ku. Suara tangisan, bunyi lonceng jam dinding, dan suara dua makhluk
yang memanggil-memanggil namaku membuatku merasa seperti di
perkuburan yang penuh dengan hantu yang ingin balas dendam.

Ku kumpulkan segenap keberanianku, setidaknya jika aku harus


mati aku harus tetap memberikan perlawanan. Aku menelan ludah, dan
mulai mengeluarkan suara

“TOLLLL. . .” belum juga selesai teriakanku meminta tolong,


beberapa jari jemari sudah membungkam mulut ku dari arah belakang.
Ku rasakan beberapa helai rambutnya menyentuh leher ku. Aku
mencoba melepaskan tangan itu dengan kedua tangan ku, tapi dia
terlalu kuat untuk ku lawan. Jari-jemarinya basah, dan mulai
meneteskan cairan merah yang jatuh membasahi kulit tangan ku dan
begitu dingin. Ku rasakan wajahku dipenuhi cairan lengket yang berasal
dari telapak tangan makhluk itu.

Dan “ohh tidak”, sosok laki-laki itu kini memegang erat kaki ku
yang meronta. “Yaa Allah, tolong hamba, selamatkan Hamba”. Di posisi
yang disekap dua makhluk ini, aku masih terus berdoa, mencoba
melepaskan diri meskipun terasa tidak mungkin. Setelah meronta-
ronta, dan memberikan perlawanan, akhirnya aku pasrah tidak
berdaya.

“Jika memang ini jalan hidupku, aku pasrah Yaa Allah”, ucapku
dalam hati.

Dan tiba-tiba “CLIINGGGG. . .” Semua lampu di rumah ini menyala.


Perlahan-lahan tangan yang membekap mulutku hilang, kaki ku pun
sudah bebas bergerak. Meski begitu, aku masih mendengar suara
tangisan anak kecil. Dan ku lihat baju ku juga dipenuhi noda cairan
berwarna merah. Ku Sapu mulut ku dengan tangan dan ku dapati cairan
merah yang juga masih menetes.

“Apa yang terjadi dengan diri ku”, aku berbicara pada diriku sendiri.
Aku masih bingung dengan apa yang terjadi.
“Icaa. .Icaa. . anak ku, tenang nak, kamu kenapa”. Kurasakan
seseorang dari arah belakang menggoncang pundak ku. Aku berbaalik.
“ibuu. . . .? Sejak kapan ibu ada disini?”. Tanya ku heran.

“Ica kamu nggak apa-apa kan nak”. Aku menoleh ke arah pintu, di
dekat kaki ku ayah terduduk dengan tatapan khawatir, dengan masker
menggantung di leher.

“Ayah, kenapa ada disitu”, aku masih kebingungan ketika menoleh ke


arah sofa dan kulihat adik ku Rehan tanpa baju, dengan bedak dingin
yang mulai mengering di sekujur badannya. Dia masih terus menangis,
dan perlahan ibu mendekati meja di dekat sofa, mengambil beberapa
lembar tissue kemudian membersihkan tangannya yang dipenuhi
cairan merah kental, lalu meraih adik ku kemudian menenangkannya.

Aku masih kebingungan ketika ibu mulai bercerita.

“Tadi tiba-tiba listrik padam, dan adik mu merasa kepanasan di dalam


kamar. Ibu membawanya ke sofa, mengolesi badannya dengan bedak
dingin kemudian terlelap. Sementara adik mu terlelap, ibu ke dapur
untuk membuatkan susu. Karena terlalu gelap, ibu tidak sengaja
menyenggol botol syrup pisang Ambon di atas meja makan yang
akhirnya tumpah mengenai tubuh ibu sebelum akhirnya jatuh dan
pecah. Ibu sementara membersihkannya ketika ibu melihat mu ingin
menyalakan lampu, dan tiba-tiba berlari tak karuan”.
“Lalu Ayah ? ?”. Aku menoleh kepada ayah .

“ Tadi ayah di halaman belakang, mencari durian yang mulai


berjatuhan. Baru juga 1 buah yang ayah dapatkan, Ayah kaget dengan
suara berisik yang berasal dari rumah. Ayah bergegas kembali ke rumah
dengan membawa durian yang Ayah dapat”. ayah menjelaskan sambil
menunjuk ke arah durian yang tergeletak di samping kaki kanan ku.
Ternyata yang awalnya aku pikir kepala manusia itu adalah Durian.
Ayah memang selalu membawa parang ketika ke halaman belakang,
untuk berjaga-jaga jika saja tiba-tiba muncul hewan berbahaya seperti
ular.

Karena ketakutan yang teramat sangat, aku tidak mengenali suara


ibu ku yang memang saat itu sedang terserang batuk. Dia memanggil ku
karena khawatir, dan mengira diriku kerasukan karena gemetaran lalu
lari terbirit-terbirit. Dan Ayahku, ohh aku sudah sangat histeris untuk
mengenali suara ayah ku yang samar-samar karena terhalang masker,
ditambah suara tangisan adik ku yang menggema, bunyi lonceng jam
dinding yang persis dalam scene film horror yang pernah ku tonton.
Semua itu membuat pikiran normal ku buyar, dan dipenuhi pikiran
tentang hantu yang bergentayangan di rumahku.
“Kamu ini bikin khawatir aja Ica”. Ucap ibuku dengan adik ku
Rehan digendongannya. Aku masih di posisi duduk ku karena masih
terlalu lemah dan kaget, kemudian

“Bu, ini bau apa yaa ? ?”. Ayah bertanya dengan hidungnya yang
bergerak-gerak mencari sumber bau. Ibu mendekati ku, duduk tepat di
sampingku dan adik ku Reihan di pangkuannya. “Iyaa Yah, ini bau apa
yaa? Ibu juga rasa kok”. Jawab Ibu dengan hidungnya mengendus-
endus mencari sumber bau.

Sedangkan aku, aku merasakan sesuatu yang hangat ada pada


diriku. Sesuatu itu menjalar melewati kaki ku, dan merembes melalui
serat-serat celana ku yang longgar dan setinggi lutut. Dan kini, aku
menatap bagian bawah betisku bak saluran irigasi yang dialiri air
berwarna kekuning-kuningan.

Setelah menyaksikan “saluran irigasi” itu, Ibu dan ayah kompak


bersuara “ Aaaaaa. . . Ica Jorok”. Dan dengan spontan bergerak
menjauhi ku. Menyadari itu semua, Aku hanya bisa tertawa terkekeh,
“Hehehehe”.

Lalu, Bagaimana dengan suara lonceng kuda dari arah


perkuburan? Yuppss, sebuah pertanyaan bagus. Bagi kami yang sudah
bertetangga cukup lama dengan tempat pemakaman umum, itu sudah
menjadi hal yang biasa. Tidak hanya bunyi lonceng kuda, suara
longlongan anjing, burung hantu, suara tangisan wanita, suara teriakan
minta tolong, suara jeritan bayi, dan suara orang tertawa misterius
juga sering terdengar. Apalagi ketika tempat pemakaman itu memiliki
tanah kubur yang masih basah. Suara-suara itu biasanya hanya di
dengar oleh orang-orang tertentu saja. Dan tidak menutup
kemungkinan, suara bunyi lonceng kuda, longlongan anjing, dan burung
hantu malam ini adalah pertanda jika memang ada sesuatu di
Perkuburan seberang sana. Dan Jika saja malam ini hanya aku yang
mendengar suara-suara itu, maka mungkin saja. . . . . ? ?Ahhh sudahlah.
Lupakan.

Aku baru saja mengganti pakaianku, disaat ibu memintaku


membersihkan tumpahan syrop yang belum sepenuhnya dibersihkan.
Aku bergerak menuju dapur di dekat meja makan. Semakin mendekati
meja makan, aku merasakan aroma tajam yang menusuk hidung ku. Ku
perhatikan cairan syrop itu, tapi aku merasa agak berbeda. Aku
mencoba menyentuhnya dengan jari telunjuk, menempelkannya
dengan ibu jari ku. Cairan ini sangat kental, tapi tidak mengeluarkan
aroma khas syrop pisang Ambon seperti yang tadi ada ditangan ibu, dan
menempel di pipi ku, cairan ini berbeda. Aku mendekatkan jari ke
hidung perlahan-lahan. Dan “Ahhhhh. . . “aku teriak histeris kemudian
tidak sadarkan diri setelah mengetahui cairan itu adalah darah segar.

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai