Anda di halaman 1dari 7

Tembok Berdarah

Aku berusaha membuka pintu kamar tidur ku, tapi tidak bisa. Ku gunakan
seluruh tenaga ku juga tidak bisa terbuka. Seluruh tubuh ku sudah basah kuyup
oleh keringat, bahkan tangan ku sudah dingin semua karena ketakutan dan kalang
kabut. Aku berteriak memanggil ibu ku dan ayah ku, tapi sama sekali tidak ada
suara yang keluar dari tenggorokan ku.

Tampak tembok kamar ku yang berwarna gading, mulai berubah.

Semakin lama semakin didominasi warna merah. Tembok kamar ku serasa


mirip pori-pori, yang tiba-tiba bisa meneteskan cairan berwarna merah yang ku
yakini adalah darah. Perlahan cairan merah itu mulai mengalir juga ke lantai,
bahkan menyentuh telapak kaki ku. Kali ini aku bahkan sudah tidak bisa lagi lari
untuk menghindar, kaki ku seperti terpaku di tempat, sama sekali tidak bisa
bergerak lagi, padahal aku sangat ingin menghindari cairan merah itu.

Aku hanya bisa menatap tembok di depan ku yang terasajaraknya semakin


dekat dengan ku. Pandangan mata ku berputar mencari asal cairan merah itu
karena penasaran. Tapi aku tidak menyangka kalau yang kutemukan lebih
mengerikan lagi, tiba-tiba terdapat banyak pasang tangan yang keluar dari tembok
itu, bahkan sepasang tangan yang berbulu lebat dengan kuku-kuku panjang mulai
mendekati leher ku dan mencekik leher ku. Aku hanya bisa memejamkan mata ku
karena takut.

Aku merasa jantung ku seperti mau meledak karena kehabisan nafas,


bahkan aku merasa hidup ku sebentar lagi akan berakhir,

"Tuhan, apakah saat ku sudah tiba?", pikir ku pasrah.

"Mia! Mia!", suara orang yang memanggil ku membuat ku sadar dan membuka
mata ku. Pandangan ku langsung mengitari ruang kamar ku, kulihat tembok
kamar ku yang berwarna gading. Pandangan ku akhirnya berhenti pada Ibu yang
berdiri di depan ku dan menatap ku khawatir.
"Kau kenapa Mia? Mengapa nafas mu tersengal-sengal? Apakah kau sakit? jadi
ibu membangunkan mu", ujar ibu sambal meletakkan punggung tangannya ke
dahi ku.

"Ah..untung aku masih hidup! Untung ibu datang, jadi aku selamat!", ujar ku
tanpa sadar langsung memeluk ibu.

"Hush!! Kok bicara sembarangan?", tegur ibu.

"Aku tadi dicekik Bu", ujar ku.

"Siapa yang mencekik mu? Makanya jangan suka nonton film horor, akhirnya
kebawa mimpi kan!", omel ibu.

"Ini tidak seperti mimpi Bu, aku benar-benar merasa seperti mengalaminya Bu.
Aku benar-benar takut!", ujar ku menjelaskan.

"Sudah, jangan berpikir macam-macam lagi, cepat tidur dan berdoa, agar mimpi
buruk tidak mengganggu mu lagi!", ujar ibu sambal memberikan ku segelas air.
Setelah minum aku menuruti perkataan ibu, untungnya sesudah itu aku tidak
bermimpi lagi sampai keesokan paginya.

Aku adalah anak tunggal.Baru-baru ini ayah ku ditugaskan di kota kecil B,


untuk mengatasi anak perusahaan yang manajemen nya sedang kacau. Ibu dan aku
yang tidak mau berpisah dengan ayah akhirnya mengikuti ayah ke kota B.

Ayah yang ingin menyewa sebuah rumah kecil malah akhirnya


mendapatkan sebuah rumah yang lumayan luas dengan empat kamar tidur. Ayah
menyewa rumah itu karena mendapatkan harga murah dan juga dekat dengan
tempat kerja ayah.

Tidak masalah besar bagi ku untuk pindah sekolah, karena aku memiliki
otak yang encer dan aku juga pintar bergaul. Jadi dalam waktu sebentar saja aku
sudah mempunyai teman akrab.

"Mia, hari ini kau koq kelihatan lesu?", tanya Dita teman sebangku ku.

"Ooo, aku kemaren mimpi buruk, akhirnya tidur ku terganggu dit', ujar ku.

"Mimpi itu cuman bunga tidur Mia", ujar Dita.


"lya, aku tahu Dita", ujar ku berusaha melupakan mimpi yang menyeramkan itu.

"Oh iya, tempat tinggal mu di mana Mia? Kapan-kapan aku mampir ya!", ujar
Dita.

"Jalan Melati nomor empat, kapan-kapan mampir ya", undang ku.

"Haa..Apa? Melati nomor empat?", tanya Dita kaget.

"lya, kenapa? Apakah kau tahu tempatnya?", tanya ku.

"Dari begitu banyak rumah, kenapa keluarga mu bisa menyewa di sana?", tanya
Dita menyesalkan.

"Kata ayah ku selain murah, juga dekat tempat kerja ayah ku', sahut ku yang
bingung dengan kekagetan Dita.

"lyalah harganya murah, soalnya gak ada yang mau sewa rumah itu! Kecuali
pendatang yang tidak tahu", ujar Dita.

"Memangnya kenapa?", tanya ku penasaran dan jiwa detektif ku langsung keluar.

"Ada seorang anak remaja yang seusia kita, sesudah tinggal di situ menjadi gila.
Sempat sekolah di sini juga kabarnya, tapi hanya dua Minggu, karena sesudah itu
dia dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Kata orang pintar di sini, itu karena
diganggu penghuni rumah itu", ujar Dita.

"Masak hanya gara-gara itu?", ujar ku tidak percaya.

"Setelah itu, ada beberapa orang yang menyewa rumah itu, banyakan pendatang,
tapi gak lewat empat bulan sudah pergi", ujar Dita lagi

"Mungkin memang mereka cuman sebentar saja, aku juga kalau tugas ayah ku
sudah selesai kami balik kembali", ujar ku tidak percaya.

"Gak tahu juga sih, gosipnya sih kayak gitu.

Semoga saja tidak benar', ujar Dita.

Kali ini aku ditarik masuk ke dalam tembok. Aku merasakan betapa
pekatnya tempat itu dan bahkan membuat ku susah untuk bernafas.Tapi samar-
samar aku melihat ada dua orang yang senasib dengan ku berada di dalam tempat
gelap itu, tapi aku sama sekali tidak bisa melihat wajah mereka. Yang aku tahu ke
dua orang itu adalah seorang laki-laki dan seorang perempuan kalau dilihat dari
tubuhnya. Aku ingin bertanya kepada mereka, tapi anehnya tidak ada satu suara
pun yang bisa keluar dari tenggorokan ku.

"Tolong! tolong! keluarkan kami!" terdengar suara lirih seorang perempuan


meminta pertolongan.

"Bagaimana aku bisa menolong kalian? Aku sendiri saja tidak tahu apa yang
terjadi dengan diri ku. Ya Tuhan ada apa ini?", pikir ku dalam hati.

Tiba-tiba aku melihat setitik cahaya, aku membuka mata ku.

"Ah. aku mimpi lagi", ujar ku ketika melihat cahaya matahari yang masuk lewat
jendela karena kordennya yang ku tutup kurang rapat.

"Sudah pagi! Kenapa aku bermimpi seram terus", pikir ku lagi.

Setelah berkali-kali aku mengalami mimpi yang menyeramkan, akhirnya


aku memutuskan akan menemui remaja yang dikatakan menjadi gila karena
tinggal di rumah yang ayah ku sewa. Untung saja tidak terlalu sulit menemukan
info nama anak itu, karena dia juga pernah bersekolah di tempat aku sekarang
bersekolah, walaupun sudah beberapa tahun yang lalu.

Tidak menghabiskan waktu lagi, aku memutuskan untuk mengunjungi


anak yang bernama Rima itu, seorang diri, karena Dita takut dan tidak mau
menemani ku.

"Kamu siapa nya?", tanya petugas rumah sakit jiwa itu.

"Aku saudara sepupunya. Ayo lah pak ijinkan aku menengok nya, aku datang
jauh-jauh dari kota J, hanya untuk menengok saudara ku ini', ujar ku berbohong.

"Baiklah! tapi jangan terlalu lama ya!", ujar petugas itu akhirnya memberi ijin,
mungkin karena kasihan pada ku.

"Akhirnya orang yang kutunggu tiba juga!", ujar Rima"

"Apa maksud mu?", tanya ku bingung.


"Dari cerita mu kau mengalami hal yang sama dengan ku", ujar Rima yang
terlihat tidak seperti orang gila.

"Tapi mengapa kau dimasukkan ke rumah sakit jiwa? Padahal menurut ku kau
tidak sakit', tanya ku bingung

"Itu rencana ibu tiri ku. Dia ketahuan selingkuh dengan orang yang menyewakan
rumah itu, oleh ku. Dia melaporkan pada ayah ku kalua aku gila karena suka
berteriak di malam hari, dan aku mengorek dinding tembok kamar ku. Dan ayah
ku percaya saja, jadi aku langsung dimasukkan ke rumah sakit jiwa!", cerita Rima
meneteskan air mata.

"Dan kupikir sebentar lagi aku akan gila beneran, karena setiap hari aku hanya
melihat dan berkumpul dengan orang gila! Aku mohon bantu lah aku keluar dari
sini Mia!", ujar Rima memohon.

Bagaimana cara aku bisa menolong mu Rima?", tanya ku yang merasa


kasihan pada Rima.

"Kau lanjut kan misi ku, korek lah dinding tembok kamar mu. Aku yakin kau
akan menemukan suatu rahasia di sana. Mimpi mu semua seperti mimpi yang ku
alami, hanya saja mimpi mu belum lengkap. Percayalah pada ku! Aku tidak gila!
Aku hanya dijebak", ujar Rima menatap memohon padaku sambal menggenggam
tangan ku. Aku bisa merasakan tangan nya yang dingin, mungkin karena trauma.

Akhirnya aku memutuskan untuk melanjutkan pekerjaan Rima, sebelum


mimpi lain dating menghantui ku lagi. Jiwa detektif ku langsung keluar, karena
aku selalu membayangkan menjadi seorang detektif setiap membaca novel Alfred
Hitchcock, trio detektif itu.

Aku mulai menghancurkan tembok itu dengan linggis dan palu ketika ibu
ku sedang tidak berada di rumah. Akhirnya aku menemukan suatu benda putih
yang ku yakini akan memberi petunjuk, betul saja sesudah aku bisa
mengeluarkannya, benda itu terlihat seperti tulang.

"Apa yang kau lakukan Mia!", ujar ibu yangtiba-tiba muncul di kamar.
"Mengapa kamu menghancurkan tembok kamar mu. Sadarlah ini hanya rumah
sewaan!", ujar ibu marah.

"Ibu, ada yang tidak beres dengan rumah ini. Lihat! apa yang kutemukan?", ujar
ku sambal menunjuk benda putih yang ku temukan yang ku yakini adalah tulang
manusia. lbu juga kaget melihat hasil penemuan ku, dan ibu langsung
memutuskan melaporkannya ke polisi.

Setelah penyelidikan, akhirnya diketahui kalua itu adalah tulang pemilik


asli rumah yang kami sewa. Pak Amir yang menyewakan rumah kepada ayah ku,
ternyata adalah pembantunya dulu. Karena pemilik rumah tidak mempunyai sanak
saudara, akhirnya saat dia menghilang tidak ada yang mencarinya. Asal orang
bertanya pada pak Amir, pak Amir beralasan sang pemilik sudah tinggal di kota
lain dan menyuruh dia untuk mengurus rumah tersebut.

Sesudah lama akhirnya orang-orang di sekitar tempat itu sudah lupa,


bahkan mereka menganggap kalau pak Amir adalah pemiliknya. Pak Amir
mengaku membunuh sang pemilik karena tidak tahan selalu diomeli.

Tapi yang membuat ku shock dan bulu kuduk ku berdiri semua adalah saat
mengetahui kalua mayat yang satu lagi adalah Rima.

Ternyata Rima pernah berusaha kabur dari Rumah sakit jiwa karena tidak
tahan tinggal bersama orang-orang yang sakit jiwa. Saat Rumah sakit
menghubungi ibu tirinya, ibu tirinya berkata sudah bertemu dan akan merawat
Rima sendiri dengan alasan juga sudah pindah kota.

Akhirnya kasus kaburnya Rima ditutup sampai di situ. Tapi yang


sebenarnya Rima sudah dibunuh ibu tirinya, dan pak Amir membantunya dengan
menyemen mayat Rima di dinding kamar yang ku huni, untuk menghilangkan
jejak, agar perselingkuhan mereka tidak diketahui.

Yang menjadi pertanyaan ku siapa sebenarnya yang sudah kutemui di


rumah sakit jiwa itu? Siapa petugas yang sudah mengijinkan ku untuk bertemu
dengan Rima? Kali ini aku sudah tidak tertarik dengan jiwa detektif ku lagi. Bagi
ku Rima dan sang pemilik rumah sudah lepas dari tembok kamar itu!
Aku benar-benar tidak ingin tahu hal lainnya lagi yang membuat bulu
kuduk ku berdiri. Kalau ku telusuri lagi, aku takut lama-lama aku yang akan sakit
jiwa!

Anda mungkin juga menyukai