Anda di halaman 1dari 28

di Balik

pintu Lemari
Cerita pendek ini ditulis dalam kurang
lebih satu jam pada sesi sebuah klub
menulis di hari Kamis, 17 Maret 2022.

Tantangan yang diberikan oleh host


malam itu adalah untuk melanjutkan
awalan yang diberikan host di dua
halaman pertama.

Selamat membaca.
"Bagaimana bisa kita tidur dengan
telinga yang terus terjaga?"

Kami saling berpegangan tangan.


Selimut sudah menutupi sampai ke
bawah dagu. Namun, suara klarinet
dari lemari baju sebelah dipan kayu
kami terus melagukan komposisi
The Godfather yang seolah
mencoba memanggil meminta
pertolongan.
Dari celah daun pintu lemari itu,
sayup-sayup suara Ayah melirih,

"Sini, Nak..."

Kami berdua sepakat turun dari


tempat tidur, membuka perlahan
daun pintu, melangkahkan kaki
memasuki lorong dunia baru. Tanpa
pernah kami duga, suasana tahun
1969 sedang menunggu di ujung
sana.
Masih berpegangan tangan, mata kami
berusaha beradaptasi dengan cahaya
yang menyerbak. Di balik pintu lemari,
hari masih siang, alih-alih mendekati
tengah malam.

Kami mendapati diri kami berdiri di


dalam kamar yang terlihat sedikit
familier, tapi sangat berbeda. Aku melirik
kalender yang ada di samping pintu
kamar - hari ini tanggal 17 Maret, 1969.
"Nak, sini..."

Suara yang kami dengar berasal dari luar


kamar ini. Suara itu sama dengan yang
memanggil kami ketika kami berada di
balik selimut di tahun 2022.

Hanya saja, kali ini suara itu terdengar


sangat berbeda. Jauh, jauh lebih muda.
Aku melangkahkan kaki menuju pintu
untuk mencari sumber suara itu, namun
tertahan karena adikku berdiri di tempat.
Tangannya enggan melepaskan aku.

Aku menatap wajah mungilnya, bola


matanya basah. Aku mengerti bahwa
situasi ini sangat sulit dipahami dan tidak
ada dalam kendali kami.
Melalui matanya, dia mengerti bahwa
aku pun sama bingungnya, tapi apa pun
yang terjadi, aku tidak akan membiarkan
hal buruk terjadi padanya.

Dengan rasa percaya dan izinnya, aku


melanjutkan jalanku.

Langkah-langkah kecilnya mengikuti dari


belakang.
Pintu kamar itu mengarah ke sebuah
ruang tamu. Di depan kami, duduk di
salah satu sofa berwarna hijau tua,
adalah seorang anak laki-laki. Usianya
kira-kira 10 tahun, tidak jauh berbeda
dariku.

Aku mengenali matanya. Mata penuh


ketakutan itu adalah mata sang
pengecut.

"Ayah?" Aku berharap tebakanku salah.


Sialnya, Ayah menganggukkan kepalanya
yang terlihat lebih kecil. Rambut masih
menghiasi bagian-bagian kepalanya yang
nantinya akan botak. Ia melambaikan
tangannya kepadaku, memintaku
mendekat. Mana sudi.

"Ini di mana?" tuntutku.

Ayah diam sebentar. "Ini tahun 1969, di


rumah nenek dan kakekmu."
Jawaban itu tidak memuaskanku sama
sekali. "Kenapa Ayah jadi anak kecil?
Kenapa aku dan Adik dibawa ke sini?"

"Dengar," potong Ayah tergesa, "Ayah


dalam bahaya. Ada orang-orang jahat
yang mengincar Ayah di sana. Ayah harus
bersembunyi di sini sementara."
Aku tidak berkata apa-apa. Adikku
menarik ujung bajuku, rautnya penuh
kebingungan. Bibit-bibit air mata
berkumpul di kelopaknya.

Kasihan dia, umurnya masih lima tahun.


Dia pasti sama sekali tidak mengerti apa
yang terjadi.
"Ayah butuh bantuan kalian. Kembalilah
ke rumah, kemudian ambil dua koper
yang ada di bawah meja kerja Ayah.
Bawa koper-koper itu ke sini. Berhati-
hatilah, jangan ketahuan siapa-siapa,"
bisik Ayah. Matanya nanar mengawasi
situasi di luar rumah.

"Siapa yang mengincar Ayah?" desakku.


"Bagaimana kita bisa ada di sini?"
"Kamu tidak perlu tahu itu," ujar Ayah
gusar. Dia berdiri; matanya mengerut
keji.

Adikku gemetar di belakangku. Dia


mencoba sekuat tenaga supaya tidak
menangis, meskipun tidak ada hal lain di
dunia ini yang ingin tubuh mungilnya
lakukan selain itu.

"Cepat lakukan saja perintah Ayah!"


Sontak, adikku melepaskan pegangan
tangan kami dan berlari kembali ke
kamar tadi. Aku mengikutinya dan
menutup pintu. Kupeluk ia erat-erat.

Tangisnya tanpa suara, tapi air matanya


turun dengan deras. Usahanya untuk
berhenti menangis tampak sia-sia.
Ayah tidak membuka pintu kamar seperti
yang kutakutkan.

Malah, dia kembali berkata, "Lakukan apa


yang Ayah katakan. Jika tidak, kalian tahu
sendiri akibatnya."
Aku melihat lemari tempat kami keluar
tadi. Kelihatannya sangat biasa, seperti
tidak menghubungkan dua tahun yang
jauh berbeda.

Tidak tahu apa lagi yang bisa kulakukan,


akhirnya aku kembali menggenggam
tangan adikku. Bersama-sama, kami
membuka pintu lemari dan kembali
melangkah masuk.
Pintu lemari kututup di belakangku. Jam
dinding menunjukkan pukul 23:50. Kami
kembali berdiri di kamar kami di tahun
2022. Adikku sudah berhenti menangis,
meski matanya masih merah.

Kami mengendap-endap ke arah ruang


kerja Ayah, berharap setengah mati tidak
ada yang memergoki kami.
Di ruang kerja, segera kuhampiri meja
kerja yang tadi disebutnya. Benar saja,
ada dua koper besar yang bersembunyi
di baliknya. Koper-koper itu terkunci, tapi
dengan mudah bisa kutebak kode untuk
membukanya.

Tanggal lahir Ayah.

Dia memang terobsesi dengan dirinya


sendiri, sampai-sampai tidak pernah
mempedulikan orang lain. Tidak istrinya,
tidak juga darah dagingnya.
Emas.

Dua koper itu mengandung tumpukan


demi tumpukan emas. Mataku
mengernyit.

Dari mana Ayah mendapatkan emas


sebanyak ini? Dan mengapa dia ingin
kami membawakan ini kepadanya yang
berusia 10 tahun, 53 tahun yang lalu?
Dari siapa ia bersembunyi, dan
bagaimana ia bisa memanipulasi ruang
dan waktu? Apa sebenarnya lemari itu?
"Kak..." kudengar adikku berbisik dari
ujung ruangan.

Tangannya memegang sobekan koran


yang ditemukannya di tempat sampah
ruang kerja Ayah.

Kubaca tulisan yang masih nampak jelas


di sobekan itu.
Bupati X terduga korupsi...
bekerja sama dengan
mafia... menyelundupkan
emas... mengambil hak
masyarakat... kasus sedang
diselidiki oleh polisi.
Aku melepaskan sobekan koran itu, dan
memeluk adikku.

Kemudian, aku berlutut agar dapat


melihat matanya dengan jelas.

"Masuklah ke kamar Ibu, tidurlah


dengannya. Lupakan saja malam ini. Ini
hanya mimpi buruk."
Kurasa adikku jelas tidak percaya bahwa
kejadian ini hanyalah mimpi buruk, tapi
kalaupun begitu, dia tidak
memperlihatkannya.

Alih-alih, dia mengangguk, memelukku


erat, kemudian berlari keluar.

Kudengar suara pintu kamar Ibu terbuka,


kemudian tertutup. Itu membuatku puas.
Kutinggalkan dua koper itu di bawah
meja kerja Ayah dalam keadaan terbuka.
Dari garasi, aku mengambil bensin dan
korek api.

Pertanyaan demi pertanyaan


berkecamuk di kepalaku seraya kakiku
membawa badan ini kembali ke kamar.

Namun, aku tidak begitu merasa perlu


mendapatkan jawaban dari pertanyaan-
pertanyaan itu.
Hanya ada satu pertanyaan yang penting
untukku:

Apakah aku ingin Ayah kembali?


Jawabanku tegas: tidak. Dan dengan itu,
aku tersenyum menyaksikan api menari-
nari seraya melahap lemari baju sebelah
dipan kayu.

Suara klarinet yang tadi merdu kini kian


melembut, melembut, melembut, hingga
hilang ditelan sunyi.
gitadine
17 Maret 2022

Anda mungkin juga menyukai