Anda di halaman 1dari 9

Sebatang lolipop berwarna warni

dan sekeping surat dilipat kemas


Suasana dalam bilik bacaan itu suram, ditambah dengan wajah wajah
muram si ibu dan si anak yang tenang mendengar bicara peguam
tentang wasiat si ayah yang baru sahaja meninggal dunia akibat
penyakit kanser. Peguam itu mengeluarkan sampul besar bersaiz A4
daripada beg hitamnya yang berisi sebatang lolipop berwarna warni
dan sekeping surat dilipat kemas. Kata peguam, peninggalan si ayah
untuk si ibu cuma lah sebatang lolipop berwarna warni, manakala si
anak tidak akan mewarisi apa apa pun melainkan sekeping surat yang
ditulis sendiri oleh si ayah. Si anak tadi bingkas bangun daripada
tempat duduknya, tidak berpuas hati dengan kata kata peguam itu,
lalu merampas surat peninggalan si ayah tersebut.
"Wahai anak ku,

Sebenarnya 10 tahun lepas aku pernah memberikan ibu kau satu


lolipop beracun ketika sedang makan dalam sebuah restoran untuk
menamatkan riwayatnya agar aku boleh berbahagia dengan calon
pilihan aku sendiri. Cuma aku tak sangka ibu kau begitu bermurah
hati mendermakan lolipop itu pada seorang kanak kanak berbaju
lusuh yang bertandang dari meja ke meja menjual tisu. Lalu aku
rampas kembali lolipop itu daripada tangan kanak kanak itu
sebelum semua orang dalam restoran memandang aku dengan
tajam. Seorang lelaki hampir hampir bangun dan menghempuk
kepala aku dengan sebuah kerusi besi tapi sempat dihalang teman
wanitanya yang awal awal lagi telah pun membaling tulang ayam
kepada aku sebagai tanda protes. Demi menyelamatkan nyawa
aku, kanak kanak itu aku peluk lalu aku umumkan pada khalayak
yang mulai hari tu kanak kanak itu akan aku bela nasibnya.
Dan begitulah ceritanya bagaimana aku terpaksa menjadikan kau
anak angkat ku dan menyebabkan kau tidak layak untuk menerima
walau satu sen pun harta hartaku. Sekian ayah akhiri surat ini
denga sedikit ketawa ringkas, kah kah kah!
Fakyu,
Ayah angkatmu"

Jam 11 malam, ada makcik ketuk


tingkap bilik datang jual karipap
gemuk gemuk.
Perut lapar, aku pandang bungkusan kuaci yang
berselerak tepi tilam. Nak kurus la konon makan kuaci
malam malam, tapi tak juga mengecil perut ni. Silap
silap minggu depan aku bangun pagi dengan tubuh
badan seekor hamster.
Tiba tiba tingkap bilik diketuk kuat. Aku bangun selak
langsir, entah siapa ketuk tingkap bilik malam malam
begini. Rupa rupanya seorang makcik memakai baju
kurung kedah putih dengan selendang kuning sambil
mengendong sebakul penuh karipap gemuk gemuk.
Dik, karipap dik? tanya makcik tersebut. Aku pandang
karipap gemuk gemuk dalam bakul merahnya dengan
penuh minat. Aku buka tingkap, ni karipap inti apa ni?
Makcik tersebut tersentak, tak takut ke makcik ke nak?
Tengok muka makcik ni, tak takut? Aku pandang muka
makcik itu, tarik nafas dalam dalam dan berkata,
Makcik, makcik, makcik. Sebenarnya memang saya
perasan yang muka makcik dah reput, malah ada ulat
yang bergantungan di pipi makcik. Saya juga perasan
yang kaki makcik tak kelihatan. Dan saya juga perasan,
yang cerita makcik jual karipap ketuk pintu bilik malam
malam ini juga adalah satu cerita hantu yang klise.
Saya perasan semua tu, tapi ada beberapa benda yang
makcik tak perasan tentang saya.
Makcik tersebut garu kepala, apa yang makcik tak
perasan?

Saya seorang lelaki yang baru lepas putus cinta


makcik. Tak percaya tengok dada saya. Makcik
perasan tak dada saya? Dada saya ni makcik,
berlubang. Tak ada organ organ yang menjalankan
fungsi fungsi vital seperti jantung, paru paru dan
hati. Nampak tak? hati pun tak ada makcik. Jadi
makcik, secara logiknya, kalau sekarang saya tidak
ada hati untuk untuk mengawal aras glukosa dalam
darah, menyahtoksik bahan bahan beracun dalam
badan dan untuk melayan perkara perkara yang
berlaku disekeliling saya, makcik rasa saya ada hati
untuk takut kepada makcik?
Makcik karipap geleng geleng kepala. Aku
tersenyum, terus sambung soal - so ni karipap ni
kira macam mana? Seringgit dapat empat ke
seringgit dapat tiga?

Hilang

Fauzi membuka mata. Ruang keliling tampak kelam. Kini


dia berada dalam bilik, macam hotel. Di hadapannya
terletak cermin berhabuk. Di sebelahnya terletak almari
kayu besar berwarna hitam. Lampu yang terletak di atas
meja kopi di sebelah katil, berkelip-kelip. Sudah rosak
agaknya.
Fauzi bangun dari tempat pembaringannya. Memorinya
hilang. Dia tak ingat apa-apa. Dia mula berjalan ke arah
pintu. Buka pintu. Jenguk. Kaki lima pun kelam seperti di
dalam.
Dia meneruskan perjalanan ke hujung kaki lima sehingga
dia terjumpa sebuah bilik. Bilik 213. Fauzi pernah lihat
nombor itu. Sangat-sangat familiar. Fikirannya
menerawang. Mata ditutup untuk mendapatkan fokus
yang maksimum. Otaknya bekerja keras, mencari
cebisan-cebisan memori yang mungkin terletak jauh di
dalam kotak memori otak.
Sudah lima belas minit Fauzi berdiri di hadapan bilik itu.
Fikirannya masih menerawang. Jauh. Tanpa dia sedari,
tangannya bergerak ke arah tombol pintu. Minda separa
sedarnya sedang mengawal pergerakan badannya.
Tombol pintu dipulas.
Matanya tertancap pada kerusi besi yang terletak betulbetul di bawah chandelier. Kerusi itu menarik minatnya.
Berbentuk bujur di tempat sandarnya. Di tempat duduk
terletak bantal empuk bersarungkan baldu warna violet.
Mungkin kerusi ini mampu kembalikan memorinya yang
hilang.

Fauzi bergerak perlahan, menghampiri kerusi tersebut.


Selepas melabuhkan punggung, Fauzi dapat lihat yang
kerusi itu punya butang yang banyak. Ada yang
mengeluarkan warna hijau dan ada yang berbunyi bip bip.
Fauzi menekan butang merah yang terletak di kiri armrest.
Tiba-tiba satu suara perempuan senada bersuara Selamat
datang ke Mesin masa. Akan kembali pada satu jam yang
lalu diikuti dengan bunyi TING yang kuat. Pandangan Fauzi
semakin gelap hitam.

Fauzi membuka mata. Ruang keliling tampak


kelam. Kini dia berada dalam bilik, macam hotel.
Di hadapannya terletak cermin berhabuk. Di
sebelahnya terletak almari kayu besar berwarna
hitam. Lampu yang terletak di atas meja kopi di
sebelah katil, berkelip-kelip. Sudah rosak
agaknya.

Isat, adalah seorang anak yang berusia 12 tahun yang


hidupnya penuh siksaan orangtuanya. Hidupnya tidak
pernah lepas dari ringan tangan orangtuanya. Selain itu,
cacian selalu diterimanya sejak ayahnya ditangkap oleh
kepolisian atas kasus korupsi. Peristiwa itu mengakibatkan
semua harta benda Orangtuanya disita. Dan ayahnya
dimasukan ke dalam penjara. Ibunya Isat dan Isat terus
berusaha mengeluarkan ayahnya dari penjara. Berkat
tabungan yang dimiliki Isat, ayahnya berhasil bebas walau
sebatas tahanan kota. Orangtuanya pun heran Isat bisa
mendapat uang yang katanya dari tabungannya. Padahal,
semua harta benda tak tersisa. Isat menjelaskan bahwa
tabungannya ia simpan di sebuah tempat. Isat pun tak mau
memberitahukannya itu di mana. Yang jelas, ketika ayahnya
masih kaya dari korupsi, Isat tak mau menerima uang dari
ayahnya tersebut. Uang tabungannya berasal dari
pemberian pamannya yang seorang pemuka agama. Setelah
mendengar pernyataan Isat, bukannya berterima kasih
tetapi malah Isat menjadi tersiksa hidupnya dari perilaku
kasar orangtuanya. Rupanya, orangtua Isat dengan
pamannya ada masalah argumen yang berbeda. Sudah 10
tahun ayahnya melakukan korupsi dan 10 tahun pula Isat
mendapat uang dari pamannya. Pamannya tahu bahwa
ayahnya Isat bermain kotor. Sehingga, ia tak tega dengan
Isat apabila harus makan dengan uang haram. Maka,
sebagai cintanya paman kepada keponakan, beliau
memberikan sedikit rejekinya kepada Isat.
Perg i B ersama Kab isat

Sudah hampir 4 tahun Isat mendapat siksaan orangtuanya.


Selain aksi ringan tangan, Isat disuruh mengemis. Isat
sempat menolak, tetapi serangan maut membuat Isat
menjadi tak berdaya. Uang hasil ngemisnya, diambil semua
oleh orangtuanya. Uang tersebut tidak digunakan untuk
kepentingan bersama melainkan untuk kepentingan
orangtuanya.

Orangtuanya enggan memberikannya. Mereka beralasan, Isat


mempunyai paman yang mencintainya. Lagipula, Isat
sebenarnya tak mau makan dari uang hasil ngemis itu. Untuk
keperluannya, diam-diam Isat mengamen. Uang hasil
ngamennya disimpan sebagai penyambung hidupnya.
Namun, suatu ketika Isat terpergok orangtuanya. Lekas
orangtuanya memarahinya dan menghajarnya. Kejadian itu
terjadi sebulan yang lalu.
Untuk hidup, Isat melakukan puasa. Jika tak kuat, ia akan
menjual jasanya untuk membantu orang. Uang yang
didapatnya hanya untuk sehari saja. Penghasilan yang
didapatnya hanya seminggu sekali. Ia tak mau meminta apa
lagi tinggal bersama pamannya. Sebab, seperti
bagaimanapun sifat orangtuanya, Isat tak mau berpisah
walau saat ini ia kadang berpuasa. Tetapi senyumnya tak
pernah lepas dari bibirnya. Wajahnya selalu sabar meskipun
batinnya tersiksa.
Tanggal 29 Februari. Merupakan hari ulang tahun Isat. Terakhir
ia merayakannya bersama ibunya. Tapi kini, orangtuanya
enggan memberikan hadiah apa lagi mengucapkan selamat
ulang tahun aja tidak terdengar di telinga Isat. Malah, dihari
ultahnya, Isat disuruh melakukan pekerjaan ngemisnya yang
lebih keras dari sebelumnya. Dengan kondisi perut lapar dan
tak punya uang, Isat melakukannya demi orangtuanya
dengan tak rela. Cuaca pada saat itu sangat panas. Mungkin
suhunya bisa mencapai 35 derajat. Keringat yang membasahi
tubuh Isat tidak menghalangi pekerjaannya. Tetapi
menghalang keinginannya untuk tidak mengemis. Tubuh Isat
semakin lemah, ia tak kuat lagi. Akan tetapi, orangtuanya
melihat lalu memberikan hadiah maut yang terpaksa Isat
terima. Walaupun sakit, Isat tetap tersenyum. Meskipun
penuh luka, Isat tetaplah Isat yang biasanya. Isat kembali
berdiri, ditatapnya wajah kedua orangtuanya tepat di hadapan
mereka. Pemahaman orangtuanya, Isat melawan mereka.
Padahal tidak sama sekali. Pukulan maut melintas di kepala
Isat.

Seketika itu juga tubuh Isat terjatuh dan memeluk


orangtuanya. Kembali serangan maut menyerang Isat,
tetapi tak ada rintihan suara kesakitan apa lagi mencoba
menahan. Dipukul lagi, Isat tetap begitu. Rupanya, Isat
pergi bersama kabisat yang sebentar lagi akan berlalu dari
dunia fana. Isat tiada, di tangan kedua orangtuanya.
Wajahnya yang sabar dan tersenyum meninggalkan jejak
duka bagi orangtuanya. Kecintaannya kepada orangtuanya
nampak seperti cahaya yang menyinari langit pada siang
dan malam. Dipeluknya tubuh kecil rentan itu oleh mereka.
Air mata yang terjatuh tak mampu membayar nyawa yang
telah pergi. Tak mampu mengganti cinta anak kepada
orangtuanya. Hal yang sebenarnya Isat tak ingin lakukan.
Usapan tangan orangtuanya yang lembut kini hanya
usapan biasa. Usapan kasih sayang orangtua hanya
sebatas semu di jiwa yang kaku. Pelukan cinta orangtuanya
cuma pelukan saja. Tiada lagi pelukan hangat yang terasa
nyata oleh Isat. Semuanya hanya biasa.
Duka telah terbayarkan dari penyesalan. Cinta dan kasih
seorang anak tentang keutuhan keluarga 4 tahun lalu
menjadi kenangan yang tidak bisa terhapus dengan cara
apapun. Mencoba melupakan, merobek, hingga menjadi
serpihan debupun tak dapat menghilangkannya. Momen itu
akan selalu hadir menyapa insan yang kesannya bak
teman lama yang baru dapat bertemu lagi. Sebagian tubuh
mungil Isat dikuburkan di pemakaman. Dihiasi doa yang
penuh kesedihan dan permohonan maaf serta taubat yang
baru terucap oleh kedua manusia dewasa. Mereka
menyadari kehilangan anak yang sangat mencintainya
bukan karena Isat yang bekerja. Tapi abdinya kepada
orangtuanya yang kuat bagaikan jaring laba-laba yang
menahan laju pesawat jet. Sebagian tubuh Isat lainnya
dikubur dalam hati orangtuanya. Terukir nama Isat di kedua
tempat itu. Tiba-tiba, wujud bayangan Isat nampak di
kedua tempat itu. Sambil tersenyum dan berkata:

ARNAB YANG
PEMALAS
Cerita kanak-kanak tentang dua sahabat.
Di sebuah hutan tinggal sepasang sahabat. Mereka
ialah seekor arnab dan seekor tupai. Setiap hari mereka
menghabiskan masa bersama-sama. Pada suatu hari,
tupai berkata kepada arnab, Mari kita buat sarang.
Sekarang dah tiba musim hujan. Apabila hujan, kita ada
tempat berteduh. Ya, betul kata awak. Tapi biarlah
saya berehat dulu, jawab arnab. Pada petang itu,
hujan turun dengan lebatnya. Tupai dan arnab berteduh
di bawah pokok. Mereka basah dan kesejukan.Jika kita
ada sarang, tentu kita tak akan basah begini,kata
tupai. Ya, betul kata awak, jawab arnab. Pagi esok
kita akan buat sarang, kata arnab lagi.

Keesokan pagi, cuaca sungguh baik. Tupai mengajak


arnab menbuat sarang. Lebih baik kita pergi cari kayu
untuk membuat sarang, kata tupai. Tapi bukan
sekarang, jawab arnab. Kita masih ada banyak masa
lagi. Marilah kita pergi cari makanan. Saya sungguh
lapar! Tupai menggeleng-geleng melihat sikap
sahabatnya itu. Pada petang itu, hujan turun lagi. Tupai
dan arnab basah kuyup kerana tiada tempat berteduh.
Alangkah baiknya jika kita ada sarang, kata tupai.
Esok kita mesti buat sarang. Saya tak mahu terus
basah seperti ini sewaktu hujan. Arnab yang
pemalasitu tidak menghiraukan rungutan sahabatnya.
Kita tunggu esok sahajalah, kata arnab.

Anda mungkin juga menyukai